19.12.09

REDAKSI

REDAKSI SUARA KAMPUS


Q : Apa itu redaksi?
A : ....
Q :Hmh...tentu fungsinya...(bla..bla..)
A : yup.. (bla..bla..)
Q : untuk foto itu, qt sepakati sebagai fungsi redaksi?
A : Tentu, khususnya untuk Suara Kampus... (hihihi..)
Q : Hew...:)

Untukmu Bunda

meski cintaku tak terungkap lewat susunan kata,
bukan pun tiap hari,
tapi yakinlah, setiap doaku terselip untukmu, Bunda


love u Mom!

Fren...

Fren..
I can't change your past with all it's heartache and pain,
nor the future with its untold stories.
But I can be there now when you need me to care.

1.12.09

SURAT UMUM KEPADA KITA ANGGOTA SUARA KAMPUS

Padang, 30 November 2009


Suara Kampus di Tengah Kebangkitan Media Kampus


Klise, bahasa yang dapat dilabelkan pada slogan “Membangun tri dharma perguruan tinggi, dan berpartisipasi dalam pembangunan daerah”,
jika hal tersebut tidak diikuti dengan kesungguhan berorganisasi dalam LPM Suara Kampus. Kepada pengurus tertanam berbagai kewajiban memenuhi visi dan misi yang telah disampaikan dan diharapkan untuk dituntaskan. Baik itu, tanggung jawab moril (pengkaderan), maupun tanggung jawab mnateril (apapun bentuknya, maaf). Kita hanya berharap pengurus tika mewariskan dosa apapun kepada generasi berikutnya, uga bukan nama kelam. meski secara individual ada senarai kesuksesan dibalik nama para pengurus. tapi satu hal yang dibutuhkan adalah, nama baik SK bagaimana? Adakah ingatan orang pada suatu prestasi yang dicapai pengurus antara periodenya. Memang butuh perhatian dan kesungguhan untuk perubahan yang lebih baik.
kita tentu saja masih ingat, ketika masih berkantor segadang cupak, oplah SK dan syiar nya tersiar kemana-mana. Atau ketika masalah diatasi tanpa masalah (slogan pegadaian), dijadikan solusi cerdas pengurus masa itu. Atau lbih jauh mengingat, kru yang hanya beranggotakan sekian orang, menyablon spanduk, agar menghasilkan "angka-angka" demi penerbitan. kini, kita terlalu manja untuk setiap rengekan kepahitan.

Kepada kita anggota, tentu juga terpatri bakti agar lembaga ini tetap kreatif dalam bidangnya. SK telah menemani kita dalam membentuk pla pikir kritis dan kreatif. Mengingat IAIN Imam Bonjol Padang, hari ini telah ditumbuhi berbagai media, yang barangkali saja terpancing hasratnya ada karena ketiadaan ‘wujud’ Suara Kampus. Memang kita tidak menafikan berbagai kendala, yang menyebabkan SK ‘susah dicari’.

Selayaknya, apresiasi kita disampaikan kepada berbagai media kampus yang juga concern terhadap dunia tulis menulis maupun lebih spesifik, Jurnalistik. Satu hal yang akan dipertanyakan nanti adalah, hal kecil apa yang mampu memberikan kebanggaan Suara Kampus dibandingkan media lain? Apakah, nama orang-orang besar yang tercantum sebagai Uda dan Uni, senior Suara Kampus? Atau prestasi para qudama’ (orang-orang terdahulu) yang telah mengharumkan nama Suara Kampus di panggung jurnalistik kampus?

29 November 2009, tepat ketika Suara Kampus berusia 31 tahun, hendaknya menjadi momen rehabilitasi atas citra dan nama baik yang telah melegenda di nusantara ini. Disamping sebagai upaya reintegrasi anggota yang mulai diam, vakum dan kaku dari kreatifitasnya masing-masing, yang barangkali salah satu faktornya disebabkan oleh pragmatik internal. Suara kampus tidak menjanjikan dana cair sebagai reward yang akan diperoleh, tidak pula popularitas dan lain sebagainya.

Menjadi tanggung jawab dan beban moral tersendiri bagi siapapun yang masih ‘bergetar’ hatinya ketika mendengar Suara Kampus disebut, untuk menjadikan Suara Kampus tetap eksis sebagai Lembaga Pers Mahasiswa satu-satunya pada institusi perguruan tinggi Islam di Sumatera Barat. Memberikan arahan dan bimbingan demi kemajuan baik dalam hal intelektual maupun kreatifitas.

Suara Kampus, satu tahun lalu kita bisa berjaya dengan karya. Meski menyisakan berbagai keruwetan dan corengan nama. Kembali, perubahan ada di tangan kita. Dirgahayu Suara Kampus yang ke XXXI, semoga tetap eksis membangun tri dharma perguruan tinggi dan berpartisipasi dalam pembangunan daerah.


Kor-Lip SK 08/09



*rupanya ada di draft!! i found it then (why not) to post it!! ^_^

14.9.09

ungkapanku

putaran alam dan cuaca, menemani hariku. terkadang mendung itu indah, atau cerah itu kaku.
aku paham ini takdir.
memang TUhan tetapkan semua hal.tapi, bukankah Engkau menilainya sesuai dengan kadar uapayaku?
sungguh aku tidak meragukan keadilan dan kebijakanmu TUhan.

Demi NamaMu Yang Maha Pengasih, Aq butuh segera jawaban dari semua rahasia ini.

Aku tak bangga menjadi yang mereka kenal. tapi aku hanya ingin menjadi berarti bagi mereka.
aku menikmati persaudaraan ini. persahabatn ini. dan kehidupan ini...
semua tentu kan berarti bagiku.
selama Engkau tidak marah kepadaku, aku tidak peduli.
selama Engkau ridhai langkahku, pantang surut dan membalik.

pelangi

seperempat belahan bumiku sudah tersinar pelangi
indah memang
ku tahu itu fatamorgana
meski tangan selalu ingin menjangkau
pelangi yang melingkar di langit hati
pasti kan sirna jika sinar mentari dan hujan tidak bertemu

salam hangat untuk sahabat

seorang sahabat memintaku untuk menasehatinya. kira-kira seperti kutipannya:


'saudar-saudariku, beri aku nasehat. aku lagi kehilangan gairah menuntut ilmu dan menulis. aku juga merasa seperti orang asing'

lalu, sejenak aku berfikir.

ingin kusampaikan bahwa 'futur' kehilangan gairah dan semangat hidup adalah hal yang lumrah. dan adalah keputusan yang bijak bertanya pada sahabat bagaimana mengembalikannya. bagiku, inspirasi bisa saja dari orang lain, tapi solusi milik sendiri. karena tidak ada satu pun orang yang benar2 mengerti diri dan kebutuhan diri. mereka hanya tahu kita kulit luar saja. dan hanya akan peduli kita sepintas saja.
meskipun itu seorang sahabat yang memiliki ketulusan hati. alasannya tidak susah, karena mereka juga punya problem yang menuntut penyelesaian dari diri dan pikiran mereka sendiri.

sahabat, menurutku, tinggalkan futur itu, kembalikan semangat menuntut ilmu dan gairah menulismu dengan mencari inspirasi, dengan membaca, jalan2, melihat dan mematut-matut lalu tuliskan. seorang penulis hebatpun, menuliskan tulisannya yang sangat bermutu bagi orang lain, pasti tetap merasakan satu kepuasan atas apa yang ia tuliskan semata-mata karena 'bahasa hati'nya.

dunia akan menginspirasi. akankah kita bersyukur atau kufur atas segala permasalahan yang menghinggapi kita. futur adalah salah satunya. tentu ada sebabnya bukan? telusuri dan jangan berlarut diri. mesti menjadi lebih baik!

good luck!! semoga alam menginspirasimu.

15.5.09

Yusuf AS

Referensi : Silsilah pengajaran Bahasa Arab (Nahwu)
Universitas Imam Muhammad bin su’ud Al Islamiyah, Riyadh, 1994

Yusuf menceritakan mimpinya yang menakjubkan kepada ayahnya Ya’kub As, bahwa ia melihat matahari dan bulan serta sebelas bintang bersujud padanya, maka ayahnya mengingatkannya akan tipu daya saudara-saudaranya.
Para saudara yusuf berembuk memikirkan suatu tipu daya bagi yusuf dan seorang saudaranya, dan mereka berkata “Bagaimana ayah kita mencintai dua orang saudara kita itu dengan cinta yang mendalam dan tidak mencintai kita seperti kepada keduanya sementara kita juga tergolong anaknya.”
Maka mereka menyusun tipu daya untuk membuang yusuf, agar ayah mereka mengizinkan keduanya menemani mereka dan mereka akan menjaga, kemudian ditinggalkan di sumur yang dalam. (Kemudian mereka datang kepada ayah mereka sambil menanggis, yusuf: 16) lalu mereka mengatakan bahwa serigala telah memakan yusuf namun ayah mereka tidak mempercayai mereka, dan berkata: (maka kesabaran yang baik (itulah kesabaranku), maka Allah sajalah yang dimohon pertololongannya terhadap apa yang kamu ceritakan, yusuf: 18).
Kemudian lewatlah suatu kafilah, salah seorang mereka menurunkan ember ke dalam sumur, maka yusuf bergantung dengan tali dan seseorang tersebut mengeluarkan ember tercenganglah orang tadi (dia berkata, oh kabar gembira ini seorang anak muda, yusuf: 19), kemudian para musafir itu membawa yusuf dan menjualnya kepada raja Mesir.
Di Mesir terjadi kejadian yang lain, seorang istri Raja telah mencintainya dengan cinta yang mendalam, kemudian ia menggodanya (yusuf) dengan dirinya agar jatuh cinta dengannya, akan tetapi yusuf yang terpelihara berujar: Aku berlindung pada Allah
Para wanita bercerita perihal istri raja, kemudian didatangkan ajakan/undangan kepada mereka, dan disiapkan makanan serta diberikan kepada masing-masing mereka pisau, dan berkata: (keluarlah kepada mereka, yusuf : 31). Maka para wanita itu memandangi yusuf takjub dan mereka memotong tangan mereka sendiri (dan mereka berkata : Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia, sesungguhnya ini tidak lain adalah malaikat yang mulia, yusuf : 31)
Isrti raja membuat tipuan terhadap yusuf dan raja mempercayai istrinya keduanya telah berbuat zalim, dan memasukkan yusuf ke dalam penjara yang gelap.
Pada suatu malam, raja bermimpi aneh yang menunjukkan yang menunjukkan pada kondisi yang gersang yang melanda negari itu, ketika yusuf menghadap maka ia memaafkan/mengampuni yusuf dan menjadikannya menteri serta menetapkan bagi yusuf penetap kebijakan ekonomi sehingga kondisi negeri menjadi lebih baik.
Kemudian datanglah saudara-saudara yusuf dengan onta mereka untuk membeli kebutuhan pokok dari gandum setelah gersang melanda dan yusuf mengenali saudaranya, dan menahannya bersamanya. Kemudian datang Ya’kub As dan keluarganya ke istana, maka terpana yusuf dengan gembira (dan dia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana, dan mereka merebahkan diri seraya sujud kepada yusuf, dan berkata Yusuf, Wahai Ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnnhya tuhanku telah menjadikannya sjuatu kenyataan. yusuf 100)

KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN

Kekerasan atau paksaan juga berarti tindakan hirarki, otoritas, intimidasi atau dalam dunia pendidikan dikenal adanya istilah bullying. Kekerasan dalam pendidikan berarti adanya situasi-situasi yang dipaksakan dalam proses pendidikan, yaitu proses transformasi ilmu dan menjadikan manusia menjadi manusia dewasa.

Ada dua sisi jika melihat adanya kekerasan dalam pendidikan. Pertama, kekerasan secara abstrak, yaitu dalam artian paksaan. Jika ditilik lebih jauh, ada banyak situasi yang terkesan dipaksakan dalam proses pendidikan kita. Seperti halnya dalam proses pendidikan yang diselenggarakan beserta elemen-elemen penyelenggara pendidikan itu sendiri. Artinya ketika kita berbicara kekerasan, tidak terlepas dari tiga hal, yaitu pelaku kekerasan, korban dan proses.
Korban utama dalam proses pendidikan adalah peserta didik, korban berikutnya adalah guru atau pendidik. Sementara pelakunya, bisa saja adalah system yang sudah menyalahi aturan-aturan kemanusiaan, dimana pengusutan tentang penyelesaiannya bisa diselesaikan melalui lembaga peradilan. Sebagaimana yang muncul ke permukaan Mei 2007 lalu, ketika para praktisi pendidikan melaporkan pemerintah / departemen pendidikan nasional ke pengadilan negeri Jakarta pusat, yang telah melanggar HAM, yaitu hak siswa, sehubungan dengan tidak adanya remedial bagi siswa yang gagal dalam UN.
Kedua, kekerasan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan kerugian dan kerusakan pada orang lain atau barang lain atau dalam artian kongkrit (bullying). Misalnya jeweran telinga guru pada murid, atau lempar sesuatu pada siswa, atau membelalakkan mata, menekan siswa dengan ancaman dan sebagainya. Di Minangkabau, jika orang tua menyerahkan anaknya untuk menuntut ilmu agama di surau, yang dibekalkan kepada guru mengaji adalah rotan. Rotan yang disiapkan untuk membuang kebodohan dan malas berganti lecutan semangat bagi anak. Tapi memang berbeda dengan konsep hari ini.
Penilaian dan evaluasi secara nasional semacam Ujian Nasional bukanlah hal yang baru lagi. Dahulu kita mengenal adanya EBTANAS. Pada EBTANAS, penilaian dilakukan tidak hanya berpatokan pada hasil akhir saja, namun sekolah juga berperan dalam lulus atau tidaknya seorang siswa. Dengan alasan penilaian didasarkan pada prinsip pertama dari prinsip-prinsip penilaian yang dikeluarkan oleh DIKNAS, yaitu menilai harus berorientasi pada siswa. Artinya penilaian dilakukan untuk membedakan mana siswa yang cepat dapat menerima pelajaran dan mana yang lambat. Dan proses tersebut tidak ada yang dapat mengetahui selain melalui pihak sekolah. Maka inovasi pendidikan dalam penilaian yang sesuai untuk permasalahan tersebut adalah dengan EBTANAS.
Ternyata pemerintah menemukan kejanggalan dalam sistem EBTANAS ini. Ketika kelulusan itu ditentukan oleh pihak sekolah, semua siswa walau bagaimanapun kualitasnya, cenderung tetap diluluskan. Dengan demikian siswa yang lulus ketika diterjunkan ke masyarakat malah tidak ‘terlihat’ atau tidak mampu bersaing secara sehat untuk mendapatkan prestasi dalam pemilihan perguruan tinggi / sekolah lanjutan favorit.
Untuk itu, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyuksekan pendidikan, mengganti EBTANAS dengan UN sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah dalam mengontrol kualitas pendidikan. UN memandang peserta didik sebagai indvidu dalam suatu bentuk yang unik, memperhatikan standardisasi test agar pemerintah tidak kecolongan lagi. UN ditujukan untuk mengukur kemampuan peserta didik berdasarkan kompetensi yang dituntut oleh suatu program dari lembaga pendidikan.
Faktanya, ternyata UN masih belum menjadi obat yang mujarab untuk kesembuhan kualitas pendidikan Indonesia. Yang ada malahan UN menjadi hantu yang menakutkan bagi dunia pendidikan. Sehubungan dengan penyakit ini, kita kembalikan pada konsep awal, bahwa kekerasan dalam pendidikan terdiri dari tiga elemen, yaitu pelaku, korban dan proses.
Pertama, korban. Peserta didik adalah korban kekerasan yang pertama dalam pendidikan. Karena peserta didik dituntut untuk bisa bersungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai yang sesuai standar dalam UN. Siswa ditekan oleh guru. Pada tingkatan diatasnya, guru juga menjadi korban penindasan pihak sekolah dan juga bentuk permasalahan prestisenya sendiri. Guru dituntut bisa memberikan ‘kesuksesan nilai’ bagi peserta didik. Guru adalah korban kedua.
Pihak sekolah juga ditekan oleh pemerintahan daerah, karena kegagalan suatu sekolah dalam UN merupakan aib bagi daerah tersebut. pusinglah kepala sekolah. Dan yang menjadi sorotan ketika daerah gagal sekian persen dalam UN, adalah pemerintahnya. UN merupakan permasalahan gengsi. Kegagalan bukan lagi menjadi keberhasilan yang tertunda, melainkan menjadi momok yang harus benar-benar diantisipasi. Tidak berlaku lagi gaya belajarnya Einsten, seribu kali coba untuk menguji kebenaran teorinya.
Kedua, pelaku kekerasan. Jika dalam hal ini pelaku kekerasan adalah yang memberikan tekanan dan tuntutan, maka yang termasuk dalam pelaku kekerasan dalam UN adalah pemerintah/departemen pendidikan nasional, lalu pemerintahan daerah, pihak sekolah kemudian guru.
Sehingga tidak dapat disalahkan ketika peserta didik menjadi pelaku kekerasan sebenarnya pula. Apa mau dikata, jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mereka berasumsi, kalau batasan pelaku kekerasan untuk saat ini tidak hanya preman alias manusia perai makan, atau free man (manusia tanpa aturan), melainkan free adalah bagian dari freedom of human right. Siapapun berhak melakukannya ketika ia menerima perlakuan kekerasan tersebut. Kekerasan yang sifatnya nyata alias perilaku amoral.
Namun tidak bisa disalahkan, pemerintah menjadi pelaku kekerasan pendidikan dalam UN disebabkan keinginan untuk menjaga muka di pentas dunia, agar tidak mendapat prediket kualitas terburuk dalam bidang pendidikan. Ketika fakta bahwa pendidikan Indonesia berada dibawah peringkat Vietnam, pemerintah merasa perlu memegang kendali langsung dalam dunia pendidikan nasional demi peningkatan mutu pendidikan. Jalan salah satunya melalui system penilaian terpusat seperti UN.
Sedangkan peserta didik menjadi pelaku kekerasan dari intimidasi system dan kekerasan proses. Peserta didik merasa ada hak yang semestinya mereka peroleh. Tidak ada yang bisa disalahkan.
Ketiga, proses. Dengan adanya pertaruhan gengsi dan prestise berbagai pihak, proses bukan menjadi prioritas lagi. Hasil adalah segala-galanya. Untuk mendapatkan hasil sesuai keinginan tersebut, cara atau proses dinafikan dengan menghalalkan segala cara. ‘Menghalalkan’ disini lebih bermuatan ‘syirik’, karena secara praktis, UN dikawal langsung oleh guru dan petugas keamanan yang sudah tidak aman lagi.
Jangan lagi proses UN menjadi hantu yang menakutkan dalam dunia pendidikan bagi peserta didik. Cukuplah dosa turunan ini terputus, tidak menjadi perusakan dasar suci nilai agama, ilmiah dan hati nurani secara ‘berjamaah’, jika memang semua berkeinginan menjadikan baik manusia ‘pintar’ bangsa ini.


Miftahul Hidayati

Demokrasi Kampus Konservatif*

Oleh: Miftahul Hidayati

Harapan baru dari suatu bentuk pemerintahan –baik negara atau miniaturnya (organisasi)- adalah adanya proses perubahan atau transisi ke arah yang lebih baik. Proses tersebut ada yang akhirnya sampai pada titik yang diharapkan (demokrasi/syuro), ada pula yang statis bahkan ada yang menjadi lebih buruk dari bentuk kepemimpinan sebelumnya. Masih hangat dalam ingatan, transisi yang terjadi di dunia kampus pada periode awal yang menyebut kepemimpinan Senat Mahasiswa, beralih menjadi Badan Ekseskutif Mahasiswa, kembali lagi hari ini menjadi Senat Mahasiswa dengan jalur utamanya Dewan Mahasiswa. Satu bentuk pencarian demokrasi di kampus islami.
Demokrasi bermula pada Yunani Kuno pada 500 SM. Dari kata democratia, dimana demos berarti rakyat dan cratia berarti pemerintahan. Diantara tokohnya adalah Chleisthenes. Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil. Layaknya proses pemilihan melalui perwakilan anggota. Ada yang berpendapat, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi.
Abad perkembangan Islam, Nabi Muhammad saw juga memperkenalkan system yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi. Syuro namanya. Bahkan sebagian umat islam menilai berdasarkan catatan sejarah, ternyata syuro lebih berhasil dalam kepemimpinan dibandingkan demokrasi itu sendiri. Terlepas dari sepakat atau tidaknya dengan syuro atau demokrasi, yang ingin diperkenalkan disini adalah bentuk kepemimpinan di kampus –al jami’ah; tempat berkumpulkan calon-calon intelektual- islam negeri ini.
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif. Ada tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal yaitu Syura (musyawarah), Al-Maslahah (kepentingan umum), dan 'Adl (keadilan). (REPUBLIKA, 15 Mei 2008)
Pada tatanan sederhana, sebuah institusi atau universitas –layaknya suatu negara- dipimpin oleh sekelompok mahasiswa. Ada mahasiswa, ada kampus ada kepemimpinan. Demokrasi, kata yang digaungkan mahasiswa ditengah perubahan yang sampai saat ini masih berlangsung di Sekolah Tinggi, Institusi dan Universitas Islam di Indonesia, pasca berebdarnya SK Dirjen tentang peralihan bentuk kepemimpinan kampus dari Badan Eksekutif Mahasiswa menjadi Dewan Mahasiswa. Berbagai tanggapan dan tudingan ‘Demokrasi Kampus Konservatif’ beredar tidak hanya di kalangan mahasiswa, melainkan juga merambah ide dan masukan dari pihak dosen lebih-lebih lagi alumni yang berkecimpung pada organisasi eksternal yang sama. Ide seputar peralihan sistem ini dinilai sebagi bentuk kesalahan pusat, kenapa menetapkan ‘kemunduran’ bagi kampus-kampus Islam. Secara, demokrasi tidaklah bertentangan dengan Islam, katanya.
Diantara kriteria demokrasi adalah adanya jaminan hak bagi setiap civitas akademika untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala (setiap tahun)dan bebas, atau adanya jaminan hak bagi setiap mahasiswa untuk memilih dan dipilih dalam pemilu tersebut. Bagaimana dengan sistem baru ini yang tidak mendengarkan dan memperhitungkan seluruh komunitas kampus? Tidak ada hhak untuk memilih, apalagi menyuarakan diri untuk dipilih, jika tidak ‘perwakilan’ tidak menempati posisi strategis di jajaran lebih rendahnya. Apalagi akan mengajukan calon independen, yang notabene tidak memiliki siapa-siapa.
Diantara mereka –pemerhati kampus- ada yang gelisah dan gundah, mempertanyakan dimanakah letak demokrasi ketika sistem Senat ini berlaku di institusi (sebagai contoh, IAIN Imam Bonjol Padang)? Alasannya sederhana saja, sejalan dengan pendapat Hasan Al-Turabi, salah seorang pemikir Islam. Mereka berpendapat bahwa sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Dimana Syura (Qs. 3; 159**) dan tauhid memang sejalan, tapi bentuk demokrastisasi kampus bukanlah pada sistem Senat yang tidak melibatkan ‘komunitas akar rumput’ dalam menentukan orang yang akan mereka jadikan pemimpin. Musyawarah dan pemilihan hanya dilakukan oleh orang-orang terpilih.
Layaknya suatu proses demokratisasi, seperti yang disebutkan Eep Saefulloh Fatah, ada Aktor, Ingatan dan Demokratisasi, (Jeffrie Geovanie; 2004), maka kesalahan aktorkah (pemimpin terpilih) atau ingatan (mahasiswa) sehingga sampai hari ini memasuki bulan keempat pemerintahan, masih saja ada yang mempertanyakan ‘siapa-siapa pejabat (mahasiswa) kampus hari ini’. Ah, ingatan memang sangat buruk untuk standar kampus konservatif ini, bahkan untuk mengingat kutipan ucapan atau janji kemajuan pimpinan saja sudah tidak dapat diharapkan lagi. Apalagi akan mengingat sosok yang asing dan belum tentu berarti bagi mereka.
Lain lagi dengan kelompok dan kesatuan mahasiswa yang gembor menyuarakan penegakan khilafah islam dan menyatakan aksi menebar wacana untuk cita-cita tersebut. Menurut penulis, dalam catatan ini mahasiswa seakan berada pada titik dibawah payung pengaruh luar kampus. Ada semacam pemberdayaan-memperdaya antara jalur mahasiswa dan organisasi luar kampus yang sama-sama memiliki kepentingan. Terkesan tidak ada independensi mahasiswa dalam menetapkan langkah geraknya. Namun diantara sekian banyak yang menyuarakan pendapat dan bisikannya, tentunya masih saja ada yang bisanya hanya manggut-manggut entah mengiyakan transisi ini atau tidak.
Demokrasi kampus konservatif. Mungkin terlalu dini jika sistem peralihan ini kita simpulkan demokrasi atau tidakkah, sukses atau gagalkah, sseperti apa yang disampaikan Lex Riefell seorang ahli politik Brooking Institution terhadap kesuksesan Indonesia memilih presiden secara langasung, ‘Indonesia, the largest Muslim country with a democratically-elected government’ (Indonesia, negara Muslim terbesar dengan pemerintahan yang dipilih secara demokratis). Masih ada rentang waktu yang akan memberikan jawaban suksesi SK Dirjen tentang pembentukan karakter mahasiswa, lagi, proses transisi yang akan menemukan jawaban beragam.


* Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang
** QS. Ali Imran ; 159

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

26.4.09

Hmh...

Aq lupa, menggagai langit tangan tak sampai
mengakar ke bumi diri tak kuat
duhai angin yang berhembus mengitari, hembuskan sesal jauh dariku
asaq telah penat, cita telah rapuh olehnya
tiupkan hawa sejukmu, tinggalkan saja gerahnya di sahara
ku tak harap gersang itu

jangan aniaya dengan kulum senyummu,
jua gaung hebat menaramu
pupus

Duhai diri, dengan apalagi aq mengukurmu
aq lupa!
menggagai langit tangan tak sampai
hingga kembali kesadaranku
aq sudah seribu wajah
ketika tersadar akan sekitarku,
meski satu kepingan masih tersisa
tuk menatap diri dan asa esok hari.

24.4.09

Cinta untuk Rigel

Rigel, izinkan aku bicara cinta. Cinta, entah kosa kata yang diperkosa. Kukira, biruku dan birumu Rigel, pun kan berada dalam fatamorgana. Rigel, bagiku cinta bukan budi, bukan kesetiaan disisi, atau pandangan semu. Ah, aku masih belum bisa definisikan kata itu.
Dan Vega yang senantiasa menyisakan putih untukku, ya, putih pelambang kesucian kata orang, yang kan temani aku hingga jingga menerpa senja. Biarkan Capella redup kekuningannya. Bagai pelita yang terang dan tulus sinariku. Temani malamku yang kian sunyi. Menginspirasi. Betelgusa, merah yang kian membara. Andaikan Sirius tetap bersama, putih yang kebiruan. Tentu akan kuajak mengitari taman Azure.

Hey, kata legenda, taman langit itu ada bidadari. Tapi ku tau itu hayalan! Egois memang jika aku mengata AKU. Atau Actrurus merah jingga yang berpadu. Indahnya senja. Pilunya hati ketika mentari pergi kelam menjelang. Denganmu disisi memadu kaki langit dan batas pandang.

Yakinku, cinta untuk Rigel. Menantimu yang padukanku biru, dari diri yang menyepi, semakin jauh, birumu semakin cantik.

Purnama

Purnama cantik terang mengukir emas di cincin diri
Malam sunyi hanya ada bebisik jengkrik
ingin memeluk diri yang sendiri
mencari-cari kehangatan yang masih menjala di nadi
Sesaat beku.
Purnama kini tertutup awan
Cincinnya kian pudar
Perlahan menghilang,
Lalu, pucat diterpa mentari

coretan

Kidung diri yang mendung
Hari belum petang
Namun alam sudah kelam
Aku ada diantaranya
Yang menanti satu yang pasti
Bersamaku ada nama
Ada cinta
Ada cerita
Tentang masa lalu
Yang mengajarkan hari ini
Tentang asa yang menggebu, cita esok hari
ku rela lilin ini padam bukan karena angin
Atau sebagainya
Tapi karena tiupan sudah didekatkan-Nya
Tuhan, meski lilin tak lagi jadi pelita
Sisakan bagiku nama, cinta dan cerita
Petunjuk dari petunjukmu

20.4.09

Bukan Salah Kartini: Antara Emansipasi dan Kemerosotan Akhlak

Sejarah Indonesia telah mengukir nama Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh penggagas pergerakan perempuan Indonesia pertama yang berjuang untuk mempertinggi kedudukan social. Emansipasi perempuan digaungkannya melalui tuntutan kesetaraan hak untuk memperoleh pendidikan dengan kaum laki-laki. Tidak lain emansipasi ini muncul sebagai respon terhadap ketidakadilan budaya dan adat yang memposisikan perempuan sebagai korban hak kemanusiaan dalam perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Sebutlah kawin paksa, kekuasaan dan kepemimpinan mutlak lelaki dalam rumah tangga, ‘gadis pingitan’ yang baru menganjak waktu dewasa dan lain sebagainya. Inilah barangkali yang dianggap Kartini disebabkan karena kurangnya pendidikan perempuan.

Setelah bibit awal emansipasi perempuan disemai Kartini, maka bermunculan pula pergerakan perempuan lainnya. Meskipun sebelumnya memang telah ada sederetan nama yang menjadi Srikandi dalam legenda perjuangan rakyat Indonesia. Cut Nya Dien telah lebih dulu bergerak dengan raganya di Tanah Rencong, ada Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus serta banyak lagi Kartini-Kartini lainnya yang barangkali belum sempat terekam sejarah.

Namun perempuan mulai dalam kesatuan organisasi, pergerakan yang tidak lagi sendiri-sendiri baru ada pada tahun 1912 di Jakarta dengan berdirinya perkumpulan “Putri Madika” yang memang terlahir melalui campur tangan Budi Utomo –organisasi yang didominasi laki-laki-, dimana yang menjadi perhatiannya adalah kemajuan pengajaran anak-anak perempuan. Berikutnya, perkumpulan “Keutamaan Istri” yaitu rumah sekolah untuk perempuan, lainnya Sekolah Kartini (1913) di Jakarta dan disusul di berbagai kota, dan lain sebagainya.

Pergerakan dan perhatian terhadap perempuan tidak semata bermunculan dari perempuan. Piet H. Khaidir (laki-laki) dalam bukunya Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial menyebutkan, di Indonesia, terjadinya pelecehan perempuan dikarenakan tradisi melestarikan asumsi bahwa perempuan secara konservatif adalah di bawah laki-laki dalam akses komunikasi maupun pendidikan. Sehingga tidak terpikirkan bagaimana perempuan mendapatklan kelayakan pendidikan dan bebas dari kekerasan serta pelecehan yang sejajar dengan lelaki.

Barangkali argument Piet H. Khaidir tidak lagi mutlak dibenarkan jika kita bicara dalam konteks kekinian. Jika dalam aliran filsafat dikenal adanya aliran dualisme, maka perempuan termasuk objek di dalamnya. Perempuan berada pada dua sisi mata uang. Sisi pergerakan emansipasi, dimana perempuan telah mendapat tempat di dunia politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Tentunya berbeda dengan emansipasi Kartini yang hanya berbicara pada ranah domestic, bagaimana perempuan memiliki skill wajib semacam menjahit, baca-tulis, membatik dan lain sebgainya.

Ditambah lagi ekslusifisme emansipasi Kartini, dalam artian ketika itu emansipasi hanya menjadi ‘garapan’ kalangan tertentu (elit dan bangsawan Jawa) tidak merata dan mencakup berbagai ranah. Kedua, perempuan -disadari atau tidak- terjebak eksploitasi hak-haknya sebagai manusia. Dipertontonkan, dipekerjakan bahkan jauh dari pemeliharaan harga diri dan martabat perempuan timur yang berbudaya.

Di belahan dunia lain pada saat berdekatan dengan emansipasi Kartini juga tengah terjadi bentuk emansipasi perempuan. Pasca revolusi industry di Inggris (1760-1830 M) tanpa disengaja telah terjadi penghancuran akhlak dan tradisi perempuan Inggris saat itu. Perempuan yang bekerja sebagai buruh, mendapatkan hak yang tidak sama dengan laki-laki, mereka menuntut kesetaraan upah. Diupayakan sedemikian rupa dengan berbagai aliran feminism. Akibatnya, perempuan semakin banyak berkecimpung dalam dunia perburuhan. Kesalahan emansipasikah ini?

Ada dua hal menurut Muhammad Quthub yang menjadi akibat emansipasi tersebut, diantaranya longgarnya tali ikatan kekeluargaan yang tadinya dipegang oleh wanita. Sikap dasar femininnya sudah jauh berubah, juga kelembutan sentimentilnya yang dinilai merupakan satu eksistensi hidup perempuan. Kedua, rusaknya akhlak.
Dua sisi mata uang kepribadian perempuan yang terlahir dari bentuk emansipasi yang menurut rakyat Indonesia disuarakan perdana oleh RA Kartini. Adalah suatu konsekuensi dari aksi emansipasi tersebut.

Maka kesalahan Kartinikah jika perempuan hari ini begitu mengagungkan kemolekan dirinya sebagai wujud eksistensi? “Andakah Miss … itu?” atau, “Jika Anda berpenampilan menarik…” dan lain sebagainya, yang kebanyakan hanya sebatas kompetisi semu. Jika pemudi Indonesia disibukkan dengan cita-cita semu tersebut, kapan lagi waktunya memikirkan anak bangsa ini. Layaknya Kartini, 24 tahun jatahnya telah mampu menjalin pertemanan dan ‘diskusi pena’ dengan perempuan belahan Eropa sana, lalu mengukir nama sebagai emansipator.

Memang berbicara Kartini sama halnya membicarakan perempuan secara umum, yang tidak akan pernah tuntas sampai akhir masa. Namun, jika bukan perempuan itu sendiri siapa lagi yang akan membangunkannya dari lamunan panjang itu. Yang penting bukan salahnya Kartini memancing kemunculan emansipasi hingga apa yang terjadi hari ini tentang akhlak perempuan.

Kartini dan Kepentingan Masa

25 tahun agaknya jatah yang disediakan Allah untuk seorang pemikir dan pemerhati nasib perempuan Indonesia, RA Kartini belumlah cukup. Hanya dengan usia yang terbilang singkat itu, ia mampu mengukir prasasti sejarah dengan pena yang tajam, menggoreskan kesetaraan pendidikan kaum adam dan hawa di nusantara. Kepentingan perempuan Indonesia yang disuarakan oleh seorang gadis muda. Kalau saja jatah itu ditambah satu kali lipat lagi, maka tentu bisa kita bayangkan perubahan apa yang akan terjadi di negara ini atau bahkan sebaliknya, ‘perubahan’ macam apa yang yang akan menjangkiti perempuan Indonesia setelah masanya?

Mengawali pergerakannya, Kartini berkirim surat dengan sahabat-sahabatnya yang ada di Belanda. Pemikiran-pemikiran, gagasan dan idenya mengalir lewat surat-surat tersebut. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia katanya.

Berjawab, respon dan saran pun sampai kepada Kartini hingga akhirnya menetaslah “Door Duisternis tot Licht” Habis Gelap terbitlah Terang karangannya yang menurut penerjemah lainnya lebih tepat diterjemahkan menjadi ’minazh zhulumati ilan nur’ yakni menurut Ahmad Mansur Suryanegara, yang seorang Kartini kemudian populer sebagai awal kebangkitan perempuan Indonesia. Kali ini adalah kepentingan dakwah.
Kepopuleran seorang Kartini muda adalah tuntutan gender dalam pendidikan. Kalau sebelumnya perempuan adalah korban ketidakadilan dan penindasan terutama dalam tataran social, maka perempuan juga berhak mengecap pendidikan layaknya laki-laki, karena menurut Kartini berbagai kerugian yang dialami perempuan itu disebabkan kurangnya pengajaran dan pendidikan. Demi kepentingan perempuan.

Namun, beberapa hal yang diduga menjadi korban pengkaburan sejarah dari kisah ini adalah pertama, sosok Kartini merupakan seorang anak bangsawan Jawa yang turut prihatin dengan kondisi rakyat saat itu. Maka ia tidak pantas disebut pahlawan nasional. Kepentingan politis. Kedua, Kartini sangat akrab dengan ajaran Kristen dan ajaran ketuhanan lainnya sehingga tidak patut usahanya disebut dengan dakwah. Nilai-nilai ajaran agama pun disifatinya secara plural dalam artian mengakui adanya satu tuhan tapi membenarkan ajaran-ajaran yang terdapat pada berbagai agama sahabat-sahabatnya. Kartini dianggap tidak memeluk Islam secara utuh. Kepentingan religius.

Adanya berbagai kontroversi persepsi tentang Kartini dan keyakinannya (Sinkritisme, kristen, islam dan komunis), menggambarkan bahwa Kartini menyapa berbagai kelompok melalui lisan penanya. Semuanya disimpulkan dari versi kepentingan penerjemahan surat-surat yang dikirim Kartini ke berbagai sahabat penanya di Belanda.

''Segenap perempuan bumiputra diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidakhanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya''. (Surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)

''Ibu sangat gembira... beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!''.(Suratnya kepada Ny. van Kol tanggal 20 Agustus 1902.)

Siapapun itu yang berkepentingan dengan surat-surat Kartini, yang penting Kartini senantiasa menjadi pembicaraan Indonesia. Kartini dinilai adalah milik bersama, Islam, kejawen, Kristen dan sebagainya. Terlepas pula dari segala kontroversi, pantaskah Kartini disebut pahlawan, Kartini tidak konsisten dengan ajaran agama, Kartini ‘anak’ Budha dan lain sebagainya, yang utama adalah, Kartini mampu memberi warna perubahan status social perempuan Indonesia melalui tulisannya, qalamnya.

Bukankah sejalan dengan Al quran? Perempuan Indonesia tetap berhutang ‘doa’ untuk Kartini, agar dirinya tidak menjadi korban kepentingan kelompok lagi, tapi kepentingan masa, dimana hingga saat ini apa yang disampaikan melalui surat-surat Kartini masih relevan dengan konteks kekinian. Semoga Kartini senantiasa manjadi pelecut semangat juang perempuan.

11.3.09

Kepada : Perempuan



Berawal dari saya iseng nyari buku barunya Nawal El Saadawi di internet, dengan menggunakan kata kunci GENDER. Berbagai artikel dan buku tentang Gender bermunculan. Namun kemudian, saya malah tertarik membaca sebuah artikel. Sayangnya, saya lupa alamatnya. Saya save, pindahkan ke word, terlupa meng-copy situsnya.
Berikut tulisannya:
***
  1. Doa wanita itu lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah SAW akan hal tersebut, jawab baginda, ”Ibu lebih penyayang daripada bapak dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia.”
  2. Wanita yang salehah (baik) itu lebih baik daripada 1000 lelaki yang saleh.
  3. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang senantiasa menangis karena takut akan Allah .Dan orang yang takut akan Allah SWT akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.
  4. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah saw di dalam syurga);
  5. Barangsiapa membawa hadiah (barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya) maka pahalanya seperti melakukan amalan bersedekah.Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki.
  6. Surga itu di bawah telapak kaki ibu;
  7. Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta sikap bertanggungjawab, maka baginya adalah surga.
  8. Apabila memanggil akan dirimu dua orang ibu bapakmu, maka jawablah panggilan ibumu terlebih dahulu.
  9. Daripada Aisyah r.a.” Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuannya lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.
  10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutuplah pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga. Masuklah dari mana saja pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.
  11. Wanita yang taat pada suaminya, maka semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama dia taat kepada suaminya serta menjaga salat dan puasanya
  12. Aisyah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita?” Jawab Rasulullah SAW “Suaminya.” ” Siapa pula berhak terhadap lelaki?” Jawab Rasulullah SAW, “Ibunya.”
  13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta kepada suaminya, masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dikehendaki.
  14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah SWT memasukkan dia ke dalam surga terlebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun).
  15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah SWT mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.
  16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah.
  17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.
  18. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.
  19. Apabila semalaman seorang ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT.

***
Apakah lagi yang akan dijadikan alasan untuk isu pemerataan gender itu, Perempuan? Bebas bekerja dan berprofesi, jelas sudah terbuka peluang luas untuk para perempuan. Bebas berpendapat sudah dari dulu diberlakukan di Indonesia. Bebas berkecimpung di dunia politik pun sudah didapat. Bahkan seolah ‘dipaksa’ dengan adanya kuota 30% perempuan dalam setiap partai politik. 

Di sisi lain, kadang kita menganggap sebagian besar bentuk ‘ekspos’ tentang perempuan itu merupakan bagian dari emansipasi. Kita tidak sadar, yang seperti itu adalah bagian eksploitasi semata.
Mari kita amati, berapa persen wanita/perempuan mengisi layar kaca kita? Film, sinetron, iklan, pembaca berita, infotainment dan lain sebagainya. Bahkan untuk iklan yang tidak butuh ekspos fisik perempuan sekalipun tetap dikait-kaitkan dengan tubuh mereka nan elok. Benar kata pepatah Minang, ‘condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak’. Siapa pula yang tak menyukai keindahan? Dan perempuan adalah bagian dari keindahan itu sendiri.  

Mungkin kita butuh lembaga pendidikan perempuan. Girl/woman education. Ya, khusus perempuan. Mengajarkan perempuan kembali bagaimana menjadi gadis remaja yang cerdas dan baik, perempuan dewasa yang mandiri, istri bagi suaminya, menjadi seorang ibu yang memang berperan selayaknya ibu. Semua bentuk pendidikan parsial itu tidak lagi didapatkan melalui lembaga pendidikan formal yang ada. Bahkan, tidak banyak keluarga hari kini yang membekali anak perempuan/gadis mereka dengan pendidikan feminis tersebut.

Ironisnya, pendidikan perempuan yang menjamur saat ini adalah lembaga pendidikan kecantikan. Seperti perusahaan kosmetik raksasa yang mengambil fungsi mendidik gadis –gadis belia tamatan SMA dari desa-desa, mengajarkan cara-cara perawatan kecantikan, kemudian memfasilitasi tempat bekerja untuk mereka. Bisa jadi nantinya bekerja di salon-salon, membuka usaha mandiri perawatan tubuh, dll.
Berbalik dengan masa emansipasi bangsa ini digemborkan. Rohana Kudus ingin perempuan juga memiliki nilai yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan/intelektual. Kartini menginginkan perempuan mendapat hak serupa dengan lelaki dalam hal belajar, social dan bermasyarakat. Sedang pendidikan tentang perawatan tubuh, kecantikan, keahlian mengurus rumah tangga jelaslah wajib diperoleh lebih dulu. Menjelang gadis semua ‘kehebatan’ itu sudah harus ada di diri masing-masing perempuan, barulah mereka menuju skill sekunder; pendidikan. 

Bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya, jika kita kelak. Berlomba-lomba menjadi perempuan nomor satu. Nama dan ‘tubuh’nya dijual/eksploitasi. Berbangga-bangga menjadi putri ini itu. Sementara jiwa sensitifitas keperempuanannya tidak lagi berlaku. 

Apa yang ada hari ini? Toh, mantan perempuan Indonesia yang melejit karirnya, akhirnya harus rela berpisah dengan anak-anaknya? Haruskah terlalu sibuk dengan urusan yang tak sepele itu, sedangkan amanah terbesarnya adalah menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya? Jangan hanya lihat hari ini, lihatlah bagaimana dan menjadi seperti apa anak-anak yang tidak mendapat full attention itu tumbuh dan berkembang. 

Itulah kenapa tak salah adanya adagium, “ketika perempuan di suatu negeri baik, maka baiklah negerinya”. Kita bisa lihat realitanya. Perempuan hari ini bukan tidak baik. Mereka bahkan hebat-hebat. Jauh lebih hebat dari apa yang terlintas dan menjadi cita-cita seorang Rohana Kudus atau Kartini dulu. Mereka hanya berharap agar perempuan mendapat akses pendidikan selayaknya laki-laki. Dan perempuan hari ini sudah mendapatkan lebih dari semua itu, hingga sebagiannya menjadi lupa dengan kodratnya sebagai anak perempuan/istri/ibu.

Selamat Hari Perempuan se-dunia.. :)

2.3.09

Krisis apa lagi yang perlu kita sematkan pada bangsa ini

Krisis apa lagi yang perlu kita sematkan pada bangsa ini, setelah beberapa tahun lalu, menutup abad 19, krisis moneter menjadi gelar yang tersemat di dada bangsa Indonesia. Perekonomian adalah permasalahan utama kala itu. Berbagai upaya membangkitkan bangsa dari kondisi perekonomian yang buruk pun dilakukan. Salah satunya dengan bantuan pinjaman dana moneter internasional. Sesaat bangsa ini berangsur pulih dari krisisnya.

Belum sehat betul, Indonesia mengalami krisis lagi. Kali ini krisis kepercayaan. Berbagai bentuk penyimpangan kepercayaan yang telah diamanahkan teruntuk wakil rakyat dan pejabat Negara, disepelekan. Terbukti dengan maraknya kasus tindak korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara ini. Krisis kepercayaan pun ikut berserakan bercampur dengan polusi pembakaran hutan di udara masyarakat Indonesia. Klimaksnya adalah ketika demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat, bahkan hingga hari ini krisis kepercayaan masih menggejala di nurani masyarakat Indonesia.

Krisis moral di lingkungan pelajar terlihat dengan maraknya tawuran antar pelajar, mahasiswa dan antar kampung. Entah permasalahan apa yang menyulut emosi kita kala itu, yang menawarkan solusi hanya terlihat dari tawuran. Kembali, layaknya orang-orang Arab Badui yang nomaden, mencari tempat menetap yang baru dengan bangga mempersembahkan “perang antar kaum/suku”.

Lebih-lebih lagi, Putri tidak layak lagi dipanggil putri, ketika pelajar-pelajar putri di berbagai daerah yang melakukan aksi cakar-cakaran, adu jotos layaknya pegulat dan pemain Smax Down di layar televisi. Barangkali karena terlalu menikmati hiburan yang ditayangkan di stasiun televisi, “putri-putri” tadi tersihir dan tersulap memasuki arena adu kekuatan. Berbagai informasi seputar perkelahian sesama siswi silih berganti muncul di surat kabar dan media elektronik.

Seiring dengan itu, krisis intelektual membaur di dunia pendidikan bangsa ini. Teringat ketika Menteri Pendidikan menanyai seorang bocah SD suatu kali di saat perbaikan sekolahnya di Jakarta, “Ananda cita-citanya mau jadi apa?”, dengan yakin dan semangat si bocah menjawab, “Mau jadi artis Pak! Artis kan terkenal, banyak duitnya..”. Pilu memang barangkali yang tersirat di lubuk hati Bapak Menteri Pendidikan kita. Tapi apa mau dikata, wong yang dilihat tiap hari selalu ada acara seleksi dan audisi menjadi artis dadakan alias ngetop instant.

Meski perlu diakui tidak semua anak Indonesia bercita-cita menjadi artis, namun yang satu itu telah menjadi gambaran buruknya mental akademis dunia pendidikan kita hari ini. Krisis intelektual masih berlangsung, entah sampai kapan. Barangkali sampai bangsa tercinta ini mampu menaikkan rating pendidikannya termasuk posisi 3 besar Asia Tenggara. Itu saja sudah cukup membuktikan keberhasilan pendidikan Indonesia dan kembali mendapat tempat di mata dunia.

Sudah cukupkah krisis bangsa sampai disini? Belum. Hari ini, dua dukun cilik bersaing merebut hati masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap dunia medis yang “tidak terjamah” saku mereka. Keyakinan dan keberimanan adalah krisis berikutnya. Bolehlah jika batu yang berkhasiat menyembuhkan itu memiliki senyawa khusus yang dapat mengobati suatu macam pengakit. Mungkin seperti belerang yang dapat menyembuhkan penyakit kulit, tentunya kita juga percaya hal itu. Akan tetapi, memposisikan dukun cilik sebagai “dewa penolong” dan berkat batu tersebut penyakit lenyap sesaat setelah minum air rendamannya, inilah dia krisis itu.

Mau berakhir dimana keimanan masyarakat kita? Agaknya keimanan sudah menjadi puncak dari berbagai krisis yang melanda bangsa ini. Semoga tidak ada lagi krisis-krisis lain yang datang menjangkiti jiwa dan kehidupan bangsa ini.


Nimiasata

Menjadi Sepertimu

Bukanlah keangkuhanku yang enggan merinduimu. Tapi gelap ternyata masih kutakuti daripada lenteramu yang jauh dan redup itu. Karena bagaimanapun, cahaya atas cahaya adalah yang terpenting bagiku.
Bukanlah keegoisanku, mengatamu pada posisi ragu. Lalu ngilu terhadap keberadaanku. Siapalah aku yang tidak berarti bagimu. Tapi hari ini, sesuatu mengajarkan aku. Betapa menghargai keyakinan dan hati adalah hal yang penting untuk hidupku.

Yang menjadi dayung penggerak sampanku yang tak kokoh ini. Rapuh. Sesekali kudapati ikan-ikan itu mendekat dan kutangkap dibawah purnama. Namun banyak kali kulewati kesempatan itu. Entah, entah dengan kekuatan dan kelemahan apa. Ku tak tahu. Namun, lagi-lagi aku meyakininya. Hingga kini baru kusadari, betapa aku ternyata lalai selama ini.

Sesaat ku perlu merenungi diri, merunut kelalaian selama ini. Mulai berkaca padamu, yang hari ini lebih baik dariku. Asumsiku.

Semoga senantiasa menjadi lebih baik. Tak apa kau lebih baik dariku, asal kebaikanmu menjadi bagianku, yang tak kan lekang oleh masa hingga menembus ruang dan waktu.

Selama ini, tidak pernah sekalipun aku berharap. Namun tempatmu telah melemahkanku. Ku ingin sepertimu!
Perlahan kubuka pintu, berharap kau mendekat dan bersilaturahim. Namun, entah keegoisankukah, ku tak tahu, hingga kau serupa denganku, sendiri, diam dan angkuh.

Kini kebaikan dan usaha perbaikanmu membuatku cemburu. Ingin kusaingi kebaikan-kebaikan yang hari ini tergenggam erat dijemarimu. Sejalanlah denganku. Tidakkah kau tanyai aku? Bahwa aku mulai mendengarkanmu.

Nimiasata

Mengakhiri Dominasi Politis Laki-laki

Perempuan dituntut mampu mengekspresikan dirinya di lingkungan social-politik. Hal ini dibuktikan dengan adanya quota 30 % bagi perempuan untuk duduk di kursi legislasi sebagai bukti penghargaan terhadap perempuan dalam keterlibatannya menetapkan kebijakan terkait nasib bangsa ini kedepan. Tentunya perhatian yang besar tersebut terhadap perempuan juga berimbas pada kemampuan moral, intelektual, dan social perempuan tersebut.

Pertanyaan yang muncul adalah, benarkah perempuan yang 30% di kursi legislative tersebut benar-benar mampu membawa angin segar perubahan sebagai bukti keterwakilan perempuan-perempuan Indonesia untuk menyelesaikan berbagai problematikanya?

Untuk bisa duduk di kursi tersebut, tentunya diharapkan adalah yang benar-benar loyal terhadap pembelaan perempuan. Tidak hanya yang telah memiliki gelar atau pun jabatan. Loyalitas ini akan terlihat dari pengetahuannya terhadap berbagai persoalan perempuan bangsa hari ini, lalu upaya apa yang ditawarkannya sebagai solusi untuk merubah stagnasi peran dan posisi perempuan di Indonesia, serta menjawab persoalan yang ada di kalangan perempuan.

Kalau selama ini cenderung ada asumsi yang sedikit menyudutkan perempuan dengan minimnya posisi dan peran wakil perempuan di bangku legislative dikarenakan imej yang diberikan pada perempuan adalah makhluk lemah yang tidak akan mampu berbuat banyak untuk kepentingan umat dan Negara, maka hari ini asumsi itu akan berganti dengan berakhirnya dominasi politis laki-laki di kancah perpolitikan bangsa ini.

Dengan adanya quota 30% tersebut, sebetulnya malahan membatasi keberadaan perempuan di kursi tersebut. Kalau saja ide mengakhiri dominasi politis laki-laki dapat terealisasi, maka jatah 30% tersebut tidak akan mencukupi. Mengingat perempuan secara kuantitas di Indonesia memang jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Namun, sudah menjadi rahasia umum barangkali ide tersebut tidak akan terealisasi karena secara umum untuk hal ini, kuantitas tidaklah menentukan kualitas.

Bentuk hubungan lelaki dan perempuan hari ini adalah partnership bukan lagi patriarkhi. Ketika perempuan terjun ke dunia maskulin semacam perpolitikan, lalu mencalonkan diri menjadi pemimpin, maka yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitasnya, baik secara intelegensi, spiritual, maupun secara emosionalnya. Jika ketiga syarat tersebut tidak dimiliki oleh perempuan, maka secara seleksi alam ia akan tersingkir dari dunia tersebut. Atau minimal ia akan merasa sendiri dan asing ditengah keramaian permasalahan yang menuntut solusi dari pemikirannya. Alhasil, perempuan berada pada kondisi dan situasi seperti itu, adalah ibarat mentimun bungkuk, yang hanya masuk karung, namun tidak masuk hitungan.

Realita hari ini barangkali sudah mendekati perumpamaan tadi. Ketika kebijakan quota 30% hak perempuan yang dibebankan bagi masing-masing partai dinilai hanya akan memperlemah penempatan posisi perempuan di mata masyarakat. Partai akan menyeleksi seorang perempuan setelah ada dua orang laki-laki. Ini terkesan hanyalah sebatas taat aturan saja, bukan disebabkan karena melihat potensi yang memang ada pada perempuan tersebut. Artinya, ketika calon perempuan ideal yang diharapkan, seperti yang memiliki tiga persyaratan tadi tidak didapatkan, maka partai hanya akan menawarkan pada orang yang ketika itu “bersedia” diajak bergabung ke dunia tersebut. Maka syarat mutlak keterlibatan perempuan di ranah public pada kondisi ini adalah kesediaannya, tidak lagi memperhatikan kualitasnya.

Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam keterlibatan perempuan dalam ranah public, hal yang wajib baginya adalah tetap mampu memerankan dirinya dengan sebagaimana mestinya dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga, atau di ranah domestic. Karena walau bagaimanapun suksesnya seorang perempuan dalam lingkup penetap kebijakan demi kepentingan bangsa, umat dan Negara, ia mesti memperhatikan sisi-sisi kodrati yang juga menuntut perlakuan adil darinya. Perempuan juga menjadi orang yang sangat berperan dibalik kesuksesan seseorang./ “The Man Behind The Gun”. Perempuan yang dituntut mampu memelihara keluarga, mendidik anak dan peranan lain di ranah domestic tersebut.

Jika perempuan mampu menyeimbangkan peranannya di kedua ranah tersebut, disinilah unggulnya perempuan dibanding laki-laki. Kita lihat saja bagaimana perkembangan moral dan perkembangan anak-anak indonesia pasca diberikannya kepercayaan kepada ibu-ibu mereka untuk bergabung menetapkan kebijakan demi kepentingan bangsa, umat dan Negara, yang notabene kebijakan tersebut berarti “mengurangi hak ibu bersama keluarganya”.

Demikian juga ketika bicara organisasi. Hari ini organisasi adalah bentuk dunia relasi, bukan masalah lelaki atau perempuannya. Tidak masalah apakah seseorang yang menjabat itu adalah laki-laki atau perempuan sekalipun, maka yang dituntut darinya adalah potensi kepemimpinan yang dimilikinya. Tetap saja, untuk mengakhiri dominasi politis laki-laki mesti diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia kaum hawa tersebut.

29.1.09

Prioritas

hari ini, saya tercenung melihat anak2 SMA berpakaian seragam pramuka yang duduk2 di emperan toko sekitar Pasar Raya. padahal masih jam sekolah.
ada apa gerangan dengan mereka?
tidak kah sekolah wahai Adik2?? Bolos?
Hmh... realita,
apa prioritas pelajar hari ini? gank, ilmu, "gua anak gaul", fashion, atau macam apa lagi yang diinginkan?

siapa yang bertanggung jawab dengan kondisi ini?
jawab:KITA

sepakat?

27.1.09

syukuran yuk...!!

Alhamdulillah rabbil alamiin.... ^_^
Hmh... berakhir juga kepenatan tes / UAS smt 5,
ujian berlalu, semoga ilmunya tidak berlalu, tetapi bisa lebih mantap n lebih paham lagi.. ameen!!
nimiasata, saatnya memeta asa 2009 dan laksanakan resolusi, OK?
salam kenal buat humaera.blogspot yow...:)
mau syukuran kemana ya???

12.1.09

RESOLUSI 2009

Salam..

Resolusi 2009 buat Nimiasata:
1. Sukseskan Pemilu...!! He..he.. ga deh, Sukses Ilmu maksudnya, kuliah lancar nilai aman!
2. sukses kuliah; organisasi; sosial; delele
3. menej hidup lebih baik
dah dulu lah!

9.1.09

Selamat Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharam 1430!!

Tahun baru mendekat lagi. Bilangannya semakin besar 2009 untuk tahun Masehi dan 1430 untuk tahun Hijriah. Refleksi satu tahun terakhir telah mengajarkan kita berbagai masalah beserta gambaran solusi terhadap permasalahan tersebut. Satu pertanyaan yang muncul yang bagi sebagian orang tidak perlu dijawab adalah, Sudahkah kita baik semenjak bermulanya 1429 sampai berakhirnya hari ini?

Jawaban ideal adalah relative. Baik dari segi apa, bagaimana dan tentang hal apa. Belum bisa disebut baik oleh orang lain, minimal yang kita lakukan adalah yang terbaik menurut kita. Yang penting sejauh kita menganggap baik hal itu, tetap perlu ada introspeksi atau muhasabah diri. Setuju?

Saya teringat ketika seorang sahabat mengirimi saya sebuah pesan singkat, ucapan selamat tahun baru hijriyah. Kira-kira kalimatnya seperti ini, “Banyak hal telah kita saksikan, dan telah kita lakukan pada tahun ini. Iman, amanah dan perjuangan telah kita pertaruhkan bersama manis, pahit, bahagia dan getirnya samudera kehidupan ini. Kini, 1 tahun sudah kita lalui, Mari jadikan semua itu sebagai cermin tuk hadapi hari esok yang lebih bermakna”.

Sepakat!! Saya sepakat dengan momen tahun baru ini kita perlu memeta asa, harapan dan kesuksesan satu tahun kedepan dengan bercermin pada apa yang telah dilalui selama ini. Karena hidup adalah berlajar. Belajar dari yang lalu, belajar dari pengalaman yang kemudian memberikan gambartan solusi semestinya, belajar mengira-kira yang akan terjadi, serta belajar menyiapkan diri untuk menghadapi apa yang akanterjadi tersebut.

Satu tahun memang bukan waktu yang singkat untuk dirunut berbagai nilai kehidupan yang telah dilalui. Nilai pengalaman, nilai perubahan, nilai perbaikan diri dan sebagainya. Namun kita perlu sedikit saja merenungi kehidupan yang telahi dilalui. 

Umur semakin bertambah, jatah hidup semakin berkurang. Akankah kita akan menjadi orang yang merugi dengan tidak adanya perubahan dan perbaikan dari hari ke hari dan tahun ke tahun? Saya yakin, jawaban kita sama, “tentu tidak!”. Hanya saja bagaimana kita memaksimalkan upaya kearah sempurna, itulah yang membedakan kita. Nilai keimanan dan amal shaleh juga penentu dari perubahan tersebut. Wal ashri. Innal insaana lafii khushri. Illalladziina aamanuu wa amilushshalihaat. Watawa shaubil haq, wa tawa shaubilsh shabr.

(telat...;) )
Nimiasata

Tahun baru datang lagi

Desember 2008, suasana “sale akhir tahun” terasa dimana-mana. Bahkan, proposal pun juga “sale”. Berbagai acara diangkatkan di akhir tahun ini, daripada dana kembali, lebih baik dicairkan dan mengalir...

Oow..!! itu adalah asumsi saya.
^-^

HARI IBU

22 Desember, sebahagian manusia seisi dunia mencoba mengungkapkan isi hatinya berupa kasih sayang, cinta dan ketulusan kepada makhluk yang dipanggil IBU. Diantaranya memberi sedikit bentuk kejutan ringan, hadiah. Atau bagi anak yang tidak berada disisi ibunya, maka akan menelpon atau mengirimi pesan singkat dengan ucapan-ucapan ungkapan rasa cinta. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk tujuan agar ”ibu” merasa bahagia dan menjadi perhatian orang-orang terdekatnya pada hari tersebut.

Tidak masalah, jika yang diinginkan adalah kebahagiaan seorang makhluk Tuhan yang tercipta begitu kuat, begitu tegar, bersahabat, dan ujungnya sebutlah berada pada posisi yang mulia. Tidak akan ada diantara kita yang membantahnya, jika Ibu merupakan manusia yang mulia dan sangat berjasa bagi kita. Memang merupakan suatu bentuk terima kasih dan ungkapan kasih sayang kepada ibulah maka kita berkewajiban untuk membahagiakannya.

Namun, entah apa yang menjadi referensi bagi mereka untuk turut memperingati hari tersebut sebagai hari ibu, khususnya umat muslim. Barangkali karena sudah memasyarakat, khususnya Indonesia, maka dijadikan ”boleh serta baik” lah peringatan hari ibu ini. Sebagai umat islam yang berpikir, kita perlu melihat latar belakang historis kenapa hari ibu diperingati pada hari tersebut?

Sekian abad lampau di Mesir, hidup seorang perempuan beragama kristen koptik bersama ibunya yang begitu ia sayangi dan cintai. Apapun akan dilakukannya adalah demi kebahagiaan ibunya. Ia begitu mengkultuskan sosok ibunya. Ia tak tahan jika ibu sesaat saja tidak berada disisinya. Ibu adalah pelitanya. Ibu penerang jiwanya. Ibu bahagian hidupnya.

Suatu kali si ibu sakit. Ia begitu cemas. Segala upaya dilakukan agar si ibu bisa kembali sehat dan dapat menemani hari-harinya. Sampai akhirnya takdir berkata lain, si ibu meninggal dunia, meninggalkan putri tercinta. Perempuan tadi merasa shok berat. Ia tidak yakin dan tidak rela dengan kepergian ibunya. Akhirnya, dengan tujuan menjaga keberadaan ibu disisinya, si ibu tadi didandani sedemikian rupa. Si ibu dipakaikan baju kesayangannya. Perempuan tadi lena dengan situasi yang keluar dari jalur akal sehat tersebut. Maka diperingatilah hari kematian ibunya itu sebagai Hari Ibu. Tepat tiga hari selepas kepergian ibunya, perempuan tadi merayakan hari raya Natal.

Bagaimana menurut Anda narasi diatas? Jika Anda mengakui adanya keimanan dan keislaman, saya yakin ada hal yang membuat Anda perlu sedikit termenung.

Akankah kita mengikuti kebiasaan Kristen Koptik dan hal yang tidak pernah disyariatkan dalam islam? Syariat pun menyebutkan, ”Barangsiapa yang meniru-niru (adat dan kebiasaan) suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut”.

Perlukah kita memperingati hari ibu yang hanya diperingati satu kali setahun saja? Bukankah ibu adalah sosok yang sangat kita cintai? Lalu kenapa hanya satu kali dalam 365 hari kita ungkapkan rasa cinta dan kasih kita pada makhluk yang jasa-jasanya tak kan bernah berbalas dengan dunia seisinya? Islam begitu memuliakan perempuan khususnya ibu. Dalam suatu riwayat disebutkan ”suatu kali ... bertanya kepada Rasulullah saw, hormatilah ibumu, hormatilah ibumu, hormatilah ibumu, hormatilah ayahmu”. Tiga kali pengulangan penghormatan kepada ibu, tidakkah cukup meyakinkan kita untuk senantiasa menghormati Ibu sepanjang hari. Mari cintai, sayangi, dan muliakan Ibu spanjang hari. Hari ibu kita adalah setiap hari, sepanjang tahun.

Sahabat, kita perlu kritis terhadap suatu hal yang memang telah membudaya dan memasyarakat jika hal tersebut ternyata tidak ditemukan dalam syarit dan aturan agama kita, Islam. Dan jika hal atau kebiasaan tersebut benar bukan merupakan bagian dari syariat, kenapa kita tidak berani mengatakan ”tidak”?

Mental Janus Mahasiswa

Janus adalah nama salah seorang dewa romawi yang bermuka dua. Wajahnya terletak satu di depan dan satu lagi di belakang. Kondisi seperti ini diserupakan dengan sifat kepura-puraan, munafik dan tidak jujur yang ada di kalangan masyarakat.

Melihat realitas mahasiswa hari ini, tidakkah serupa dengan janus? Pura-pura dalam berbagai hal. Pura-pura mengerti dan memahami materi kuliah, pura-pura sepakat dalam rapat, pura-pura seide dan sependapat dalam organisasi. ah, saya hanya bisa berkomentar...^-^

Kalau bahasa al quran menyebutnya dengan ”tahsabuhum jamiian wa quluubuhum syatta”. kamu mengira mereka itu bersama, padahal hatinya satu-satu yang tidak bisa disamakan. "dangaan nan diurang laluan nan diawak" suatu bentuk penghianatan dan kepura-puraan. Walaupun memang perlu digarisbawahi, INI SEBAGIAN SAJA! Namun yang sebagian tersebut memberi warna pada elit minority bangsa ini.
kepura-puraan inilah yang terkadang menghancurkan suatu sistem yang telah dibangun dengan baik. ibarat virus yang menyerang sistem komputer, perlu intstall ulang untuk menghilangkannya. Sepakat??

Pemberdayaan Perempuan atau Eksploitasi


Salah satu isu hangat tentang perempuan hari ini adalah pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan adalah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk dapat menyalurkan berbagai keterampilannya dan diberdayakan sebaik-baiknya.
Namun terkadang ada kesalahan interpretasi dari bagaimana langkah memberdayakan perempuan tersebut? Dengan mempromosikan keberadaannya, atau mengekspos dirinya? Sebagai contoh, media yang berkembang di masyarakat hari ini baik media elektronik maupun media cetak, terlihat tidak terlepas dari sentuhan perempuan. Perempuan menjadi objek paling sering muncul di media tersebut. sebutlah berbagai program acara yang ditayangkan di televisi, bisa dipastikan tidak ada yang tidak diwarnai dengan ”perempuan”. Baik itu hostnya, acaranya sendiri, apalagi iklannya.

Pemilihan Miss Universe, ”Ajang bergengsi” dengan berbagai tawaran kemegahan dan ketenaran yang ditawarkan seakan memenuhi pemikiran sebagian perempuan indonesia saat ini. Trend ini juga menggejala di kalangan remaja putri. Berbagai seleksi pemilihan unjuk kebolehan diri yang notabene adalah pamer diri atau sebutlah ini membudayakan narsis yang tidak beralasan marak dan menjamur. Tidak beralasannya karena hanya berpatokan pada hal yang sifatnya buatan saja, polesan saja, bukan dilihat dan dinilai dari berbagai kemampuan dan skill yang memang bisa diandalkan dan diharapkan menjadi modal dalam kehidupan di remaja putri tersebut.

Atau ketika isu RUU APP beredar di masyarakat, sebagaian perempuan malah menentang dan menyatakan protes untuk penetapannya. Aneh sekali. Ada berbagai LSM perempuan yang menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya RUU tersebut. Kok malah perempuan yang menolak adanya ”perhatian baik” bangsa ini terhadap dirinya. Ironinya, alasan klasik masih saja didengung-dengungkan, ”Nilai Seni dan budaya”. Memang tidak bisa dipungkiri Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam budaya, dan kaya akan kesenian daerah. Keanekaragaman tersebut dilandasi dengan budaya timur yang terkenal dengan kesopanan dan kesantunannya. Lalu dari segi apalagi RUU APP tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya dan seni? Barangkali kita perlu merenungkan, apakah yang terjadi sudah merupakan pemberdayaan terhadap perempuan atau bahkan adalah salah satu bentuk eksploitasi hak-hak perempuan itu sendiri.

Setiap kali siaran televisi, apakah itu film, sinetron, dan siaran lainnya sebagian besar memanfaatkan perempuan sebagai komoditi utamanya. Lebih-lebih lagi iklan, yang menjadi promosi adalah produk harian berupa jam tangan, sabun cuci, dan lain sebagainya, namun yang menjadi perhatian eksposnya adalah beberapa bagian tertentu dari tubuh perempuan.

Hari ini sudah tidak ada lagi slogan media sebagai sarana penunjang pendidikan. Barangkali masih jauh dari harapan tersebut, jika kita melihat realita yang ada. Iklan-iklan yang tidak layak tayang sudah menjadi yang biasa di media. Dan semua itu tidak terlepas dari keberadaan perempuan sebagai bintang iklan tersebut. Inikah yang disebut dengan pemberdayaan perempuan? Atau hanyalah sebagai bentuk eksploitasi semu terhadap perempuan itu sendiri yang tidak disadari oleh sebagian besar mereka.

Perempuan dengan segala daya tariknya memenuhi setiap lini kehidupan. Dimana-mana dengan mudah bisa didapatkan apa yang dibutuhkan dari perempuan. Tanpa dicari pun perempuan sudah menjadi ”gula-gula media” yang bisa dinikmati kapanpu dan dimanapun.
Dampak tidak langsung dengan eksploitasi semu ini adalah maraknya pelecehan bernagai hal terhadap perempuan. Penghargaan terhadap bentuk emansipasi perempuan dianggap sebagai hal yang hanya bisa dinilai dengan sebelah mata.

Ternyata menara kehormatan perempuan yang telah dibangun R.A kartini, Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus, dan lain sebagainya telah roboh dan pupus dilawan ”gula-gula media”. Kepada Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan, semoga ini juga menjadi perhatiannya. Memang juga perlu kita akui masih ada perempuan yang bisa diberdayakan dengan segala kemampuan dan skillnya. Namun persentasenya tidak lagi sebanding antara yang positif dengan negatifnya.

Sebagai suatu ungkapan perasaan, kiranya perlu saya tuliskan, ”Saya turut prihatin melihat kondisi perempuan hari ini yang sudah tertinggal dari berbagai sisi, baik itu martabat, harga diri, bentuk-bentuk emansipasi dan kemampuan intelektual di ranah pendidikan dan kancah politik negeri ini”. Semoga kedepan kita bisa mengembalikan citra dan kehormatan yang selama ini dipinjam oleh sejarah.

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...