11.3.09

Kepada : Perempuan



Berawal dari saya iseng nyari buku barunya Nawal El Saadawi di internet, dengan menggunakan kata kunci GENDER. Berbagai artikel dan buku tentang Gender bermunculan. Namun kemudian, saya malah tertarik membaca sebuah artikel. Sayangnya, saya lupa alamatnya. Saya save, pindahkan ke word, terlupa meng-copy situsnya.
Berikut tulisannya:
***
  1. Doa wanita itu lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah SAW akan hal tersebut, jawab baginda, ”Ibu lebih penyayang daripada bapak dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia.”
  2. Wanita yang salehah (baik) itu lebih baik daripada 1000 lelaki yang saleh.
  3. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang senantiasa menangis karena takut akan Allah .Dan orang yang takut akan Allah SWT akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.
  4. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah saw di dalam syurga);
  5. Barangsiapa membawa hadiah (barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya) maka pahalanya seperti melakukan amalan bersedekah.Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki.
  6. Surga itu di bawah telapak kaki ibu;
  7. Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta sikap bertanggungjawab, maka baginya adalah surga.
  8. Apabila memanggil akan dirimu dua orang ibu bapakmu, maka jawablah panggilan ibumu terlebih dahulu.
  9. Daripada Aisyah r.a.” Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuannya lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.
  10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutuplah pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga. Masuklah dari mana saja pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.
  11. Wanita yang taat pada suaminya, maka semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama dia taat kepada suaminya serta menjaga salat dan puasanya
  12. Aisyah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita?” Jawab Rasulullah SAW “Suaminya.” ” Siapa pula berhak terhadap lelaki?” Jawab Rasulullah SAW, “Ibunya.”
  13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta kepada suaminya, masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dikehendaki.
  14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah SWT memasukkan dia ke dalam surga terlebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun).
  15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah SWT mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.
  16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah.
  17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.
  18. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.
  19. Apabila semalaman seorang ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT.

***
Apakah lagi yang akan dijadikan alasan untuk isu pemerataan gender itu, Perempuan? Bebas bekerja dan berprofesi, jelas sudah terbuka peluang luas untuk para perempuan. Bebas berpendapat sudah dari dulu diberlakukan di Indonesia. Bebas berkecimpung di dunia politik pun sudah didapat. Bahkan seolah ‘dipaksa’ dengan adanya kuota 30% perempuan dalam setiap partai politik. 

Di sisi lain, kadang kita menganggap sebagian besar bentuk ‘ekspos’ tentang perempuan itu merupakan bagian dari emansipasi. Kita tidak sadar, yang seperti itu adalah bagian eksploitasi semata.
Mari kita amati, berapa persen wanita/perempuan mengisi layar kaca kita? Film, sinetron, iklan, pembaca berita, infotainment dan lain sebagainya. Bahkan untuk iklan yang tidak butuh ekspos fisik perempuan sekalipun tetap dikait-kaitkan dengan tubuh mereka nan elok. Benar kata pepatah Minang, ‘condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak’. Siapa pula yang tak menyukai keindahan? Dan perempuan adalah bagian dari keindahan itu sendiri.  

Mungkin kita butuh lembaga pendidikan perempuan. Girl/woman education. Ya, khusus perempuan. Mengajarkan perempuan kembali bagaimana menjadi gadis remaja yang cerdas dan baik, perempuan dewasa yang mandiri, istri bagi suaminya, menjadi seorang ibu yang memang berperan selayaknya ibu. Semua bentuk pendidikan parsial itu tidak lagi didapatkan melalui lembaga pendidikan formal yang ada. Bahkan, tidak banyak keluarga hari kini yang membekali anak perempuan/gadis mereka dengan pendidikan feminis tersebut.

Ironisnya, pendidikan perempuan yang menjamur saat ini adalah lembaga pendidikan kecantikan. Seperti perusahaan kosmetik raksasa yang mengambil fungsi mendidik gadis –gadis belia tamatan SMA dari desa-desa, mengajarkan cara-cara perawatan kecantikan, kemudian memfasilitasi tempat bekerja untuk mereka. Bisa jadi nantinya bekerja di salon-salon, membuka usaha mandiri perawatan tubuh, dll.
Berbalik dengan masa emansipasi bangsa ini digemborkan. Rohana Kudus ingin perempuan juga memiliki nilai yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan/intelektual. Kartini menginginkan perempuan mendapat hak serupa dengan lelaki dalam hal belajar, social dan bermasyarakat. Sedang pendidikan tentang perawatan tubuh, kecantikan, keahlian mengurus rumah tangga jelaslah wajib diperoleh lebih dulu. Menjelang gadis semua ‘kehebatan’ itu sudah harus ada di diri masing-masing perempuan, barulah mereka menuju skill sekunder; pendidikan. 

Bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya, jika kita kelak. Berlomba-lomba menjadi perempuan nomor satu. Nama dan ‘tubuh’nya dijual/eksploitasi. Berbangga-bangga menjadi putri ini itu. Sementara jiwa sensitifitas keperempuanannya tidak lagi berlaku. 

Apa yang ada hari ini? Toh, mantan perempuan Indonesia yang melejit karirnya, akhirnya harus rela berpisah dengan anak-anaknya? Haruskah terlalu sibuk dengan urusan yang tak sepele itu, sedangkan amanah terbesarnya adalah menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya? Jangan hanya lihat hari ini, lihatlah bagaimana dan menjadi seperti apa anak-anak yang tidak mendapat full attention itu tumbuh dan berkembang. 

Itulah kenapa tak salah adanya adagium, “ketika perempuan di suatu negeri baik, maka baiklah negerinya”. Kita bisa lihat realitanya. Perempuan hari ini bukan tidak baik. Mereka bahkan hebat-hebat. Jauh lebih hebat dari apa yang terlintas dan menjadi cita-cita seorang Rohana Kudus atau Kartini dulu. Mereka hanya berharap agar perempuan mendapat akses pendidikan selayaknya laki-laki. Dan perempuan hari ini sudah mendapatkan lebih dari semua itu, hingga sebagiannya menjadi lupa dengan kodratnya sebagai anak perempuan/istri/ibu.

Selamat Hari Perempuan se-dunia.. :)

2.3.09

Krisis apa lagi yang perlu kita sematkan pada bangsa ini

Krisis apa lagi yang perlu kita sematkan pada bangsa ini, setelah beberapa tahun lalu, menutup abad 19, krisis moneter menjadi gelar yang tersemat di dada bangsa Indonesia. Perekonomian adalah permasalahan utama kala itu. Berbagai upaya membangkitkan bangsa dari kondisi perekonomian yang buruk pun dilakukan. Salah satunya dengan bantuan pinjaman dana moneter internasional. Sesaat bangsa ini berangsur pulih dari krisisnya.

Belum sehat betul, Indonesia mengalami krisis lagi. Kali ini krisis kepercayaan. Berbagai bentuk penyimpangan kepercayaan yang telah diamanahkan teruntuk wakil rakyat dan pejabat Negara, disepelekan. Terbukti dengan maraknya kasus tindak korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara ini. Krisis kepercayaan pun ikut berserakan bercampur dengan polusi pembakaran hutan di udara masyarakat Indonesia. Klimaksnya adalah ketika demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat, bahkan hingga hari ini krisis kepercayaan masih menggejala di nurani masyarakat Indonesia.

Krisis moral di lingkungan pelajar terlihat dengan maraknya tawuran antar pelajar, mahasiswa dan antar kampung. Entah permasalahan apa yang menyulut emosi kita kala itu, yang menawarkan solusi hanya terlihat dari tawuran. Kembali, layaknya orang-orang Arab Badui yang nomaden, mencari tempat menetap yang baru dengan bangga mempersembahkan “perang antar kaum/suku”.

Lebih-lebih lagi, Putri tidak layak lagi dipanggil putri, ketika pelajar-pelajar putri di berbagai daerah yang melakukan aksi cakar-cakaran, adu jotos layaknya pegulat dan pemain Smax Down di layar televisi. Barangkali karena terlalu menikmati hiburan yang ditayangkan di stasiun televisi, “putri-putri” tadi tersihir dan tersulap memasuki arena adu kekuatan. Berbagai informasi seputar perkelahian sesama siswi silih berganti muncul di surat kabar dan media elektronik.

Seiring dengan itu, krisis intelektual membaur di dunia pendidikan bangsa ini. Teringat ketika Menteri Pendidikan menanyai seorang bocah SD suatu kali di saat perbaikan sekolahnya di Jakarta, “Ananda cita-citanya mau jadi apa?”, dengan yakin dan semangat si bocah menjawab, “Mau jadi artis Pak! Artis kan terkenal, banyak duitnya..”. Pilu memang barangkali yang tersirat di lubuk hati Bapak Menteri Pendidikan kita. Tapi apa mau dikata, wong yang dilihat tiap hari selalu ada acara seleksi dan audisi menjadi artis dadakan alias ngetop instant.

Meski perlu diakui tidak semua anak Indonesia bercita-cita menjadi artis, namun yang satu itu telah menjadi gambaran buruknya mental akademis dunia pendidikan kita hari ini. Krisis intelektual masih berlangsung, entah sampai kapan. Barangkali sampai bangsa tercinta ini mampu menaikkan rating pendidikannya termasuk posisi 3 besar Asia Tenggara. Itu saja sudah cukup membuktikan keberhasilan pendidikan Indonesia dan kembali mendapat tempat di mata dunia.

Sudah cukupkah krisis bangsa sampai disini? Belum. Hari ini, dua dukun cilik bersaing merebut hati masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap dunia medis yang “tidak terjamah” saku mereka. Keyakinan dan keberimanan adalah krisis berikutnya. Bolehlah jika batu yang berkhasiat menyembuhkan itu memiliki senyawa khusus yang dapat mengobati suatu macam pengakit. Mungkin seperti belerang yang dapat menyembuhkan penyakit kulit, tentunya kita juga percaya hal itu. Akan tetapi, memposisikan dukun cilik sebagai “dewa penolong” dan berkat batu tersebut penyakit lenyap sesaat setelah minum air rendamannya, inilah dia krisis itu.

Mau berakhir dimana keimanan masyarakat kita? Agaknya keimanan sudah menjadi puncak dari berbagai krisis yang melanda bangsa ini. Semoga tidak ada lagi krisis-krisis lain yang datang menjangkiti jiwa dan kehidupan bangsa ini.


Nimiasata

Menjadi Sepertimu

Bukanlah keangkuhanku yang enggan merinduimu. Tapi gelap ternyata masih kutakuti daripada lenteramu yang jauh dan redup itu. Karena bagaimanapun, cahaya atas cahaya adalah yang terpenting bagiku.
Bukanlah keegoisanku, mengatamu pada posisi ragu. Lalu ngilu terhadap keberadaanku. Siapalah aku yang tidak berarti bagimu. Tapi hari ini, sesuatu mengajarkan aku. Betapa menghargai keyakinan dan hati adalah hal yang penting untuk hidupku.

Yang menjadi dayung penggerak sampanku yang tak kokoh ini. Rapuh. Sesekali kudapati ikan-ikan itu mendekat dan kutangkap dibawah purnama. Namun banyak kali kulewati kesempatan itu. Entah, entah dengan kekuatan dan kelemahan apa. Ku tak tahu. Namun, lagi-lagi aku meyakininya. Hingga kini baru kusadari, betapa aku ternyata lalai selama ini.

Sesaat ku perlu merenungi diri, merunut kelalaian selama ini. Mulai berkaca padamu, yang hari ini lebih baik dariku. Asumsiku.

Semoga senantiasa menjadi lebih baik. Tak apa kau lebih baik dariku, asal kebaikanmu menjadi bagianku, yang tak kan lekang oleh masa hingga menembus ruang dan waktu.

Selama ini, tidak pernah sekalipun aku berharap. Namun tempatmu telah melemahkanku. Ku ingin sepertimu!
Perlahan kubuka pintu, berharap kau mendekat dan bersilaturahim. Namun, entah keegoisankukah, ku tak tahu, hingga kau serupa denganku, sendiri, diam dan angkuh.

Kini kebaikan dan usaha perbaikanmu membuatku cemburu. Ingin kusaingi kebaikan-kebaikan yang hari ini tergenggam erat dijemarimu. Sejalanlah denganku. Tidakkah kau tanyai aku? Bahwa aku mulai mendengarkanmu.

Nimiasata

Mengakhiri Dominasi Politis Laki-laki

Perempuan dituntut mampu mengekspresikan dirinya di lingkungan social-politik. Hal ini dibuktikan dengan adanya quota 30 % bagi perempuan untuk duduk di kursi legislasi sebagai bukti penghargaan terhadap perempuan dalam keterlibatannya menetapkan kebijakan terkait nasib bangsa ini kedepan. Tentunya perhatian yang besar tersebut terhadap perempuan juga berimbas pada kemampuan moral, intelektual, dan social perempuan tersebut.

Pertanyaan yang muncul adalah, benarkah perempuan yang 30% di kursi legislative tersebut benar-benar mampu membawa angin segar perubahan sebagai bukti keterwakilan perempuan-perempuan Indonesia untuk menyelesaikan berbagai problematikanya?

Untuk bisa duduk di kursi tersebut, tentunya diharapkan adalah yang benar-benar loyal terhadap pembelaan perempuan. Tidak hanya yang telah memiliki gelar atau pun jabatan. Loyalitas ini akan terlihat dari pengetahuannya terhadap berbagai persoalan perempuan bangsa hari ini, lalu upaya apa yang ditawarkannya sebagai solusi untuk merubah stagnasi peran dan posisi perempuan di Indonesia, serta menjawab persoalan yang ada di kalangan perempuan.

Kalau selama ini cenderung ada asumsi yang sedikit menyudutkan perempuan dengan minimnya posisi dan peran wakil perempuan di bangku legislative dikarenakan imej yang diberikan pada perempuan adalah makhluk lemah yang tidak akan mampu berbuat banyak untuk kepentingan umat dan Negara, maka hari ini asumsi itu akan berganti dengan berakhirnya dominasi politis laki-laki di kancah perpolitikan bangsa ini.

Dengan adanya quota 30% tersebut, sebetulnya malahan membatasi keberadaan perempuan di kursi tersebut. Kalau saja ide mengakhiri dominasi politis laki-laki dapat terealisasi, maka jatah 30% tersebut tidak akan mencukupi. Mengingat perempuan secara kuantitas di Indonesia memang jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Namun, sudah menjadi rahasia umum barangkali ide tersebut tidak akan terealisasi karena secara umum untuk hal ini, kuantitas tidaklah menentukan kualitas.

Bentuk hubungan lelaki dan perempuan hari ini adalah partnership bukan lagi patriarkhi. Ketika perempuan terjun ke dunia maskulin semacam perpolitikan, lalu mencalonkan diri menjadi pemimpin, maka yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitasnya, baik secara intelegensi, spiritual, maupun secara emosionalnya. Jika ketiga syarat tersebut tidak dimiliki oleh perempuan, maka secara seleksi alam ia akan tersingkir dari dunia tersebut. Atau minimal ia akan merasa sendiri dan asing ditengah keramaian permasalahan yang menuntut solusi dari pemikirannya. Alhasil, perempuan berada pada kondisi dan situasi seperti itu, adalah ibarat mentimun bungkuk, yang hanya masuk karung, namun tidak masuk hitungan.

Realita hari ini barangkali sudah mendekati perumpamaan tadi. Ketika kebijakan quota 30% hak perempuan yang dibebankan bagi masing-masing partai dinilai hanya akan memperlemah penempatan posisi perempuan di mata masyarakat. Partai akan menyeleksi seorang perempuan setelah ada dua orang laki-laki. Ini terkesan hanyalah sebatas taat aturan saja, bukan disebabkan karena melihat potensi yang memang ada pada perempuan tersebut. Artinya, ketika calon perempuan ideal yang diharapkan, seperti yang memiliki tiga persyaratan tadi tidak didapatkan, maka partai hanya akan menawarkan pada orang yang ketika itu “bersedia” diajak bergabung ke dunia tersebut. Maka syarat mutlak keterlibatan perempuan di ranah public pada kondisi ini adalah kesediaannya, tidak lagi memperhatikan kualitasnya.

Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam keterlibatan perempuan dalam ranah public, hal yang wajib baginya adalah tetap mampu memerankan dirinya dengan sebagaimana mestinya dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga, atau di ranah domestic. Karena walau bagaimanapun suksesnya seorang perempuan dalam lingkup penetap kebijakan demi kepentingan bangsa, umat dan Negara, ia mesti memperhatikan sisi-sisi kodrati yang juga menuntut perlakuan adil darinya. Perempuan juga menjadi orang yang sangat berperan dibalik kesuksesan seseorang./ “The Man Behind The Gun”. Perempuan yang dituntut mampu memelihara keluarga, mendidik anak dan peranan lain di ranah domestic tersebut.

Jika perempuan mampu menyeimbangkan peranannya di kedua ranah tersebut, disinilah unggulnya perempuan dibanding laki-laki. Kita lihat saja bagaimana perkembangan moral dan perkembangan anak-anak indonesia pasca diberikannya kepercayaan kepada ibu-ibu mereka untuk bergabung menetapkan kebijakan demi kepentingan bangsa, umat dan Negara, yang notabene kebijakan tersebut berarti “mengurangi hak ibu bersama keluarganya”.

Demikian juga ketika bicara organisasi. Hari ini organisasi adalah bentuk dunia relasi, bukan masalah lelaki atau perempuannya. Tidak masalah apakah seseorang yang menjabat itu adalah laki-laki atau perempuan sekalipun, maka yang dituntut darinya adalah potensi kepemimpinan yang dimilikinya. Tetap saja, untuk mengakhiri dominasi politis laki-laki mesti diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia kaum hawa tersebut.

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...