15.5.09

Yusuf AS

Referensi : Silsilah pengajaran Bahasa Arab (Nahwu)
Universitas Imam Muhammad bin su’ud Al Islamiyah, Riyadh, 1994

Yusuf menceritakan mimpinya yang menakjubkan kepada ayahnya Ya’kub As, bahwa ia melihat matahari dan bulan serta sebelas bintang bersujud padanya, maka ayahnya mengingatkannya akan tipu daya saudara-saudaranya.
Para saudara yusuf berembuk memikirkan suatu tipu daya bagi yusuf dan seorang saudaranya, dan mereka berkata “Bagaimana ayah kita mencintai dua orang saudara kita itu dengan cinta yang mendalam dan tidak mencintai kita seperti kepada keduanya sementara kita juga tergolong anaknya.”
Maka mereka menyusun tipu daya untuk membuang yusuf, agar ayah mereka mengizinkan keduanya menemani mereka dan mereka akan menjaga, kemudian ditinggalkan di sumur yang dalam. (Kemudian mereka datang kepada ayah mereka sambil menanggis, yusuf: 16) lalu mereka mengatakan bahwa serigala telah memakan yusuf namun ayah mereka tidak mempercayai mereka, dan berkata: (maka kesabaran yang baik (itulah kesabaranku), maka Allah sajalah yang dimohon pertololongannya terhadap apa yang kamu ceritakan, yusuf: 18).
Kemudian lewatlah suatu kafilah, salah seorang mereka menurunkan ember ke dalam sumur, maka yusuf bergantung dengan tali dan seseorang tersebut mengeluarkan ember tercenganglah orang tadi (dia berkata, oh kabar gembira ini seorang anak muda, yusuf: 19), kemudian para musafir itu membawa yusuf dan menjualnya kepada raja Mesir.
Di Mesir terjadi kejadian yang lain, seorang istri Raja telah mencintainya dengan cinta yang mendalam, kemudian ia menggodanya (yusuf) dengan dirinya agar jatuh cinta dengannya, akan tetapi yusuf yang terpelihara berujar: Aku berlindung pada Allah
Para wanita bercerita perihal istri raja, kemudian didatangkan ajakan/undangan kepada mereka, dan disiapkan makanan serta diberikan kepada masing-masing mereka pisau, dan berkata: (keluarlah kepada mereka, yusuf : 31). Maka para wanita itu memandangi yusuf takjub dan mereka memotong tangan mereka sendiri (dan mereka berkata : Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia, sesungguhnya ini tidak lain adalah malaikat yang mulia, yusuf : 31)
Isrti raja membuat tipuan terhadap yusuf dan raja mempercayai istrinya keduanya telah berbuat zalim, dan memasukkan yusuf ke dalam penjara yang gelap.
Pada suatu malam, raja bermimpi aneh yang menunjukkan yang menunjukkan pada kondisi yang gersang yang melanda negari itu, ketika yusuf menghadap maka ia memaafkan/mengampuni yusuf dan menjadikannya menteri serta menetapkan bagi yusuf penetap kebijakan ekonomi sehingga kondisi negeri menjadi lebih baik.
Kemudian datanglah saudara-saudara yusuf dengan onta mereka untuk membeli kebutuhan pokok dari gandum setelah gersang melanda dan yusuf mengenali saudaranya, dan menahannya bersamanya. Kemudian datang Ya’kub As dan keluarganya ke istana, maka terpana yusuf dengan gembira (dan dia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana, dan mereka merebahkan diri seraya sujud kepada yusuf, dan berkata Yusuf, Wahai Ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnnhya tuhanku telah menjadikannya sjuatu kenyataan. yusuf 100)

KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN

Kekerasan atau paksaan juga berarti tindakan hirarki, otoritas, intimidasi atau dalam dunia pendidikan dikenal adanya istilah bullying. Kekerasan dalam pendidikan berarti adanya situasi-situasi yang dipaksakan dalam proses pendidikan, yaitu proses transformasi ilmu dan menjadikan manusia menjadi manusia dewasa.

Ada dua sisi jika melihat adanya kekerasan dalam pendidikan. Pertama, kekerasan secara abstrak, yaitu dalam artian paksaan. Jika ditilik lebih jauh, ada banyak situasi yang terkesan dipaksakan dalam proses pendidikan kita. Seperti halnya dalam proses pendidikan yang diselenggarakan beserta elemen-elemen penyelenggara pendidikan itu sendiri. Artinya ketika kita berbicara kekerasan, tidak terlepas dari tiga hal, yaitu pelaku kekerasan, korban dan proses.
Korban utama dalam proses pendidikan adalah peserta didik, korban berikutnya adalah guru atau pendidik. Sementara pelakunya, bisa saja adalah system yang sudah menyalahi aturan-aturan kemanusiaan, dimana pengusutan tentang penyelesaiannya bisa diselesaikan melalui lembaga peradilan. Sebagaimana yang muncul ke permukaan Mei 2007 lalu, ketika para praktisi pendidikan melaporkan pemerintah / departemen pendidikan nasional ke pengadilan negeri Jakarta pusat, yang telah melanggar HAM, yaitu hak siswa, sehubungan dengan tidak adanya remedial bagi siswa yang gagal dalam UN.
Kedua, kekerasan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan kerugian dan kerusakan pada orang lain atau barang lain atau dalam artian kongkrit (bullying). Misalnya jeweran telinga guru pada murid, atau lempar sesuatu pada siswa, atau membelalakkan mata, menekan siswa dengan ancaman dan sebagainya. Di Minangkabau, jika orang tua menyerahkan anaknya untuk menuntut ilmu agama di surau, yang dibekalkan kepada guru mengaji adalah rotan. Rotan yang disiapkan untuk membuang kebodohan dan malas berganti lecutan semangat bagi anak. Tapi memang berbeda dengan konsep hari ini.
Penilaian dan evaluasi secara nasional semacam Ujian Nasional bukanlah hal yang baru lagi. Dahulu kita mengenal adanya EBTANAS. Pada EBTANAS, penilaian dilakukan tidak hanya berpatokan pada hasil akhir saja, namun sekolah juga berperan dalam lulus atau tidaknya seorang siswa. Dengan alasan penilaian didasarkan pada prinsip pertama dari prinsip-prinsip penilaian yang dikeluarkan oleh DIKNAS, yaitu menilai harus berorientasi pada siswa. Artinya penilaian dilakukan untuk membedakan mana siswa yang cepat dapat menerima pelajaran dan mana yang lambat. Dan proses tersebut tidak ada yang dapat mengetahui selain melalui pihak sekolah. Maka inovasi pendidikan dalam penilaian yang sesuai untuk permasalahan tersebut adalah dengan EBTANAS.
Ternyata pemerintah menemukan kejanggalan dalam sistem EBTANAS ini. Ketika kelulusan itu ditentukan oleh pihak sekolah, semua siswa walau bagaimanapun kualitasnya, cenderung tetap diluluskan. Dengan demikian siswa yang lulus ketika diterjunkan ke masyarakat malah tidak ‘terlihat’ atau tidak mampu bersaing secara sehat untuk mendapatkan prestasi dalam pemilihan perguruan tinggi / sekolah lanjutan favorit.
Untuk itu, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyuksekan pendidikan, mengganti EBTANAS dengan UN sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah dalam mengontrol kualitas pendidikan. UN memandang peserta didik sebagai indvidu dalam suatu bentuk yang unik, memperhatikan standardisasi test agar pemerintah tidak kecolongan lagi. UN ditujukan untuk mengukur kemampuan peserta didik berdasarkan kompetensi yang dituntut oleh suatu program dari lembaga pendidikan.
Faktanya, ternyata UN masih belum menjadi obat yang mujarab untuk kesembuhan kualitas pendidikan Indonesia. Yang ada malahan UN menjadi hantu yang menakutkan bagi dunia pendidikan. Sehubungan dengan penyakit ini, kita kembalikan pada konsep awal, bahwa kekerasan dalam pendidikan terdiri dari tiga elemen, yaitu pelaku, korban dan proses.
Pertama, korban. Peserta didik adalah korban kekerasan yang pertama dalam pendidikan. Karena peserta didik dituntut untuk bisa bersungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai yang sesuai standar dalam UN. Siswa ditekan oleh guru. Pada tingkatan diatasnya, guru juga menjadi korban penindasan pihak sekolah dan juga bentuk permasalahan prestisenya sendiri. Guru dituntut bisa memberikan ‘kesuksesan nilai’ bagi peserta didik. Guru adalah korban kedua.
Pihak sekolah juga ditekan oleh pemerintahan daerah, karena kegagalan suatu sekolah dalam UN merupakan aib bagi daerah tersebut. pusinglah kepala sekolah. Dan yang menjadi sorotan ketika daerah gagal sekian persen dalam UN, adalah pemerintahnya. UN merupakan permasalahan gengsi. Kegagalan bukan lagi menjadi keberhasilan yang tertunda, melainkan menjadi momok yang harus benar-benar diantisipasi. Tidak berlaku lagi gaya belajarnya Einsten, seribu kali coba untuk menguji kebenaran teorinya.
Kedua, pelaku kekerasan. Jika dalam hal ini pelaku kekerasan adalah yang memberikan tekanan dan tuntutan, maka yang termasuk dalam pelaku kekerasan dalam UN adalah pemerintah/departemen pendidikan nasional, lalu pemerintahan daerah, pihak sekolah kemudian guru.
Sehingga tidak dapat disalahkan ketika peserta didik menjadi pelaku kekerasan sebenarnya pula. Apa mau dikata, jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mereka berasumsi, kalau batasan pelaku kekerasan untuk saat ini tidak hanya preman alias manusia perai makan, atau free man (manusia tanpa aturan), melainkan free adalah bagian dari freedom of human right. Siapapun berhak melakukannya ketika ia menerima perlakuan kekerasan tersebut. Kekerasan yang sifatnya nyata alias perilaku amoral.
Namun tidak bisa disalahkan, pemerintah menjadi pelaku kekerasan pendidikan dalam UN disebabkan keinginan untuk menjaga muka di pentas dunia, agar tidak mendapat prediket kualitas terburuk dalam bidang pendidikan. Ketika fakta bahwa pendidikan Indonesia berada dibawah peringkat Vietnam, pemerintah merasa perlu memegang kendali langsung dalam dunia pendidikan nasional demi peningkatan mutu pendidikan. Jalan salah satunya melalui system penilaian terpusat seperti UN.
Sedangkan peserta didik menjadi pelaku kekerasan dari intimidasi system dan kekerasan proses. Peserta didik merasa ada hak yang semestinya mereka peroleh. Tidak ada yang bisa disalahkan.
Ketiga, proses. Dengan adanya pertaruhan gengsi dan prestise berbagai pihak, proses bukan menjadi prioritas lagi. Hasil adalah segala-galanya. Untuk mendapatkan hasil sesuai keinginan tersebut, cara atau proses dinafikan dengan menghalalkan segala cara. ‘Menghalalkan’ disini lebih bermuatan ‘syirik’, karena secara praktis, UN dikawal langsung oleh guru dan petugas keamanan yang sudah tidak aman lagi.
Jangan lagi proses UN menjadi hantu yang menakutkan dalam dunia pendidikan bagi peserta didik. Cukuplah dosa turunan ini terputus, tidak menjadi perusakan dasar suci nilai agama, ilmiah dan hati nurani secara ‘berjamaah’, jika memang semua berkeinginan menjadikan baik manusia ‘pintar’ bangsa ini.


Miftahul Hidayati

Demokrasi Kampus Konservatif*

Oleh: Miftahul Hidayati

Harapan baru dari suatu bentuk pemerintahan –baik negara atau miniaturnya (organisasi)- adalah adanya proses perubahan atau transisi ke arah yang lebih baik. Proses tersebut ada yang akhirnya sampai pada titik yang diharapkan (demokrasi/syuro), ada pula yang statis bahkan ada yang menjadi lebih buruk dari bentuk kepemimpinan sebelumnya. Masih hangat dalam ingatan, transisi yang terjadi di dunia kampus pada periode awal yang menyebut kepemimpinan Senat Mahasiswa, beralih menjadi Badan Ekseskutif Mahasiswa, kembali lagi hari ini menjadi Senat Mahasiswa dengan jalur utamanya Dewan Mahasiswa. Satu bentuk pencarian demokrasi di kampus islami.
Demokrasi bermula pada Yunani Kuno pada 500 SM. Dari kata democratia, dimana demos berarti rakyat dan cratia berarti pemerintahan. Diantara tokohnya adalah Chleisthenes. Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil. Layaknya proses pemilihan melalui perwakilan anggota. Ada yang berpendapat, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi.
Abad perkembangan Islam, Nabi Muhammad saw juga memperkenalkan system yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi. Syuro namanya. Bahkan sebagian umat islam menilai berdasarkan catatan sejarah, ternyata syuro lebih berhasil dalam kepemimpinan dibandingkan demokrasi itu sendiri. Terlepas dari sepakat atau tidaknya dengan syuro atau demokrasi, yang ingin diperkenalkan disini adalah bentuk kepemimpinan di kampus –al jami’ah; tempat berkumpulkan calon-calon intelektual- islam negeri ini.
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif. Ada tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal yaitu Syura (musyawarah), Al-Maslahah (kepentingan umum), dan 'Adl (keadilan). (REPUBLIKA, 15 Mei 2008)
Pada tatanan sederhana, sebuah institusi atau universitas –layaknya suatu negara- dipimpin oleh sekelompok mahasiswa. Ada mahasiswa, ada kampus ada kepemimpinan. Demokrasi, kata yang digaungkan mahasiswa ditengah perubahan yang sampai saat ini masih berlangsung di Sekolah Tinggi, Institusi dan Universitas Islam di Indonesia, pasca berebdarnya SK Dirjen tentang peralihan bentuk kepemimpinan kampus dari Badan Eksekutif Mahasiswa menjadi Dewan Mahasiswa. Berbagai tanggapan dan tudingan ‘Demokrasi Kampus Konservatif’ beredar tidak hanya di kalangan mahasiswa, melainkan juga merambah ide dan masukan dari pihak dosen lebih-lebih lagi alumni yang berkecimpung pada organisasi eksternal yang sama. Ide seputar peralihan sistem ini dinilai sebagi bentuk kesalahan pusat, kenapa menetapkan ‘kemunduran’ bagi kampus-kampus Islam. Secara, demokrasi tidaklah bertentangan dengan Islam, katanya.
Diantara kriteria demokrasi adalah adanya jaminan hak bagi setiap civitas akademika untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala (setiap tahun)dan bebas, atau adanya jaminan hak bagi setiap mahasiswa untuk memilih dan dipilih dalam pemilu tersebut. Bagaimana dengan sistem baru ini yang tidak mendengarkan dan memperhitungkan seluruh komunitas kampus? Tidak ada hhak untuk memilih, apalagi menyuarakan diri untuk dipilih, jika tidak ‘perwakilan’ tidak menempati posisi strategis di jajaran lebih rendahnya. Apalagi akan mengajukan calon independen, yang notabene tidak memiliki siapa-siapa.
Diantara mereka –pemerhati kampus- ada yang gelisah dan gundah, mempertanyakan dimanakah letak demokrasi ketika sistem Senat ini berlaku di institusi (sebagai contoh, IAIN Imam Bonjol Padang)? Alasannya sederhana saja, sejalan dengan pendapat Hasan Al-Turabi, salah seorang pemikir Islam. Mereka berpendapat bahwa sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Dimana Syura (Qs. 3; 159**) dan tauhid memang sejalan, tapi bentuk demokrastisasi kampus bukanlah pada sistem Senat yang tidak melibatkan ‘komunitas akar rumput’ dalam menentukan orang yang akan mereka jadikan pemimpin. Musyawarah dan pemilihan hanya dilakukan oleh orang-orang terpilih.
Layaknya suatu proses demokratisasi, seperti yang disebutkan Eep Saefulloh Fatah, ada Aktor, Ingatan dan Demokratisasi, (Jeffrie Geovanie; 2004), maka kesalahan aktorkah (pemimpin terpilih) atau ingatan (mahasiswa) sehingga sampai hari ini memasuki bulan keempat pemerintahan, masih saja ada yang mempertanyakan ‘siapa-siapa pejabat (mahasiswa) kampus hari ini’. Ah, ingatan memang sangat buruk untuk standar kampus konservatif ini, bahkan untuk mengingat kutipan ucapan atau janji kemajuan pimpinan saja sudah tidak dapat diharapkan lagi. Apalagi akan mengingat sosok yang asing dan belum tentu berarti bagi mereka.
Lain lagi dengan kelompok dan kesatuan mahasiswa yang gembor menyuarakan penegakan khilafah islam dan menyatakan aksi menebar wacana untuk cita-cita tersebut. Menurut penulis, dalam catatan ini mahasiswa seakan berada pada titik dibawah payung pengaruh luar kampus. Ada semacam pemberdayaan-memperdaya antara jalur mahasiswa dan organisasi luar kampus yang sama-sama memiliki kepentingan. Terkesan tidak ada independensi mahasiswa dalam menetapkan langkah geraknya. Namun diantara sekian banyak yang menyuarakan pendapat dan bisikannya, tentunya masih saja ada yang bisanya hanya manggut-manggut entah mengiyakan transisi ini atau tidak.
Demokrasi kampus konservatif. Mungkin terlalu dini jika sistem peralihan ini kita simpulkan demokrasi atau tidakkah, sukses atau gagalkah, sseperti apa yang disampaikan Lex Riefell seorang ahli politik Brooking Institution terhadap kesuksesan Indonesia memilih presiden secara langasung, ‘Indonesia, the largest Muslim country with a democratically-elected government’ (Indonesia, negara Muslim terbesar dengan pemerintahan yang dipilih secara demokratis). Masih ada rentang waktu yang akan memberikan jawaban suksesi SK Dirjen tentang pembentukan karakter mahasiswa, lagi, proses transisi yang akan menemukan jawaban beragam.


* Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang
** QS. Ali Imran ; 159

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...