Otonomi pendidikan baru lima tahun lalu dilaksanakan. Ketika itu, penyelenggaraan pendidikan yang bersifat sentralistik dinilai menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan pendidikan secara maksimal. Maka dilakukanlah reformasi; otonomi pendidikan.
Namun sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan, ternyata juga belum berjalan sebagaimana diharapkan. Banyak pihak yang menilai otonomi pendidikan tidak memberi dampak yang berarti. Tidak sedikit pula permasalahan yang muncul. Banyak hambatan yang mengganggu efektivitas, efisiensi dan profesionalisme dalam mengelola pendidikan.
Sejumlah hambatan muncul karena perbedaan tingkat komitmen daerah dalam pengembangan pendidikan. Juga dinilai lemahnya profesionalisme daerah dalam mengelola pendidik dan tenaga kependidikan. Ada juga yang melihat dari sisi ketidakmerataan/ketidak sinkronan pengelolaan pendidikan antara Kementrian Agama (madrasah) dengan pendidikan di bawah pemerintah daerah dan/Kemdikbud (sekolah).
Pada pelaksanaan otonomi pendidikan, pendidik/guru diangkat dan diatur oleh pemerintah kota/kabupaten, dengan mengacu pada kebutuhan daerah tersebut serta anggaran yang ada. Positifnya, jika anggaran pendapatan daerah tinggi, maka lancar pendidikannya, sejahteralah guru/pegawainya. Sebaliknya jika daerah tersebut miskin, jelas tak banyak tunjangan dan perhatian untuk meningkatkan pendidikannya.
Secara nasional, ini berdampak pada ketidak merataan guru di daerah-daerah. Jelas saja guru memilih daerah aman. Guru menumpuk di daerah perkotaan dan langka di daerah terpencil. Menjawab persoalan ini, di samping adanya program pengiriman guru ke daerah terpencil dan terluar, pemerintah pusat kembali mengambil alih pengaturannya. Resentralisasi. Surat Keputusan Bersama yang ditanda tangani oleh lima mentri pun lahir.
Tujuannya adalah mengatur distribusi guru di setiap jenjang pendidikan, di setiap kota dan propinsi. Bentuk pelaksanaannya dengan pendataan ulang dan pengaturan jam mengajar guru. Badan Kepegawaian Daerah sebagai penanggung jawab di daerah mendata semua guru dengan jam wajib minimal 24 jam per minggu. Dengan pengecualian untuk jabatan-jabatan tertentu, ada yang bisa jam mengajarnya di bawah 12 jam seperti kepala labor, kepala perpustakaan, dan lain sebagainya.
Rasionalnya, jika terdapat tiga guru yang mengajar satu mata pelajaran di sekolah, misalkan dengan jumlah jam 38 jam, maka seorang guru akan memperoleh jam mengajar penuh, yaitu 24 jam. Satunya lagi memperoleh 14 jam. Dan yang satu terakhir, dengan nol jam, akan dikirim datanya ke BKD, untuk selanjutnya diatur distribusinya (baca; mutasi).
Lebih luas lagi, jika daerah tersebut tidak kekurangan guru, maka data dikirim ke propinsi untuk dibantukan ke kabupaten/kota lain. Nantinya, jika propinsi tersebut ternyata juga dinilai kelebihan guru, akan dilaporkan dan diatur langsung oleh pusat.
Kemungkinan dampak
Menurut teorinya, setiap kebijakan baru lahir untuk menjawab persoalan yang menjadi konsekuensi dari kebijakan sebelumnya. Pun pada SKB 5 mentri ini. Jelas berdampak pada banyak hal. Salah satunya, pada masalah yang sifatnya kondisional, seperti pendidikan dan pelatihan, tugas/izin belajar, cuti dan lain-lain.
Jika terdapat tugas/izin pendidikan/latihan/belajar, apakah masing-masing guru tersebut bertanggung jawab mencarikan pengganti, -dengan segala bentuk tetek bengeknya- menjadi tanggung jawab pribadi. Atau dengan ikhlas hati guru lain dengan mata pelajaran yang sama itu menggantikannya, padahal beban mengajar juga sudah 24 jam/minggu. Maka jika nanti berlaku, untuk urusan ini tidak diperhitungkan lagi masalah senior/yunior (tua/muda) guru.
Contoh lain, SKB 5 mentri tidak mengatur keterkaitan antara penentukan beban mengajar guru dengan telah atau belum sertifikasi. Pelaksanaan berdasarkan kebijakan pejabat tertinggi di instansi/ bidang tersebut. Di sekolah, pertimbangan tertinggi berada di tangan kepala sekolah. Selanjutnya kepala bagian mutasi/kepala Dinas Pendidikan, kepala BKD dan walikota.
Maka dengan berat hati, kepala sekolah tetap harus ‘mengambil sikap’ terhadap guru berlebih, dengan kinerja kurang – meskipun telah lolos sertifikasi- untuk dilaporkan ke bagian mutasi dinas pendidikan. Seterusnya, jika jumlah guru di kota tersebut berlebih, BKD mesti rela mengirimkan data ke propinsi. Guru dimutasi.
Jika menolak, sanksi diberlakukan. Bahkan jika program ini tidak terlaksana, atau pengambil kebijakan mencoba ‘main-main’ dengan SKB ini, maka walikota, gubernur, kepala dinas dan kepala sekolah mendapat ancaman berantai. Kait mengait dengan anggaran daerah.
Program ini memang dirancang oleh pemerintah pusat dan diteruskan ke daerah dengan tujuan perbaikan. Namun dengan ketidak pastian kondisi seperti ini, banyak guru yang risau. Jangan-jangan beban mengajarnya kurang, dipindahkan ke daerah entah. Lalu, kira-kira lima tahun lagi, bertukar lagi kebijakan. Otonomi lagi. Mereka yang sudah pindah, berdiam sajalah di daerah entah itu.
Dugaan yang bermacam ini, menyiratkan seakan tidak matangnya pertimbangan mengembalikan otonomi pendidikan ke sentralistik. Diperlukan kajian lebih dalam dengan berbagai pertimbangan kemungkinan. Keputusan mentri akan diberlakukan sampai ke pelosok negeri pada 2012 ini. Entahlah, sejauh mana efektifitas, efisiensi dan profesionalisme yang tercipta melalui kebijakan ini. Atau menunggu terbitnya SKB atau Undang-undang baru, setelah habisnya masa berlaku (pengambil) kebijakan ini. (*)