31.10.11

Tentang Perjalanan Singkat

Seperti biasa, saya melakukan perjalanan sejauh 15 kilometer setiap hari. Pagi dan sore. Saya menggunakan transportasi umum. Satu kali angkot, satu kali minibus.

Hari ini, saya berangkat agak telat dari waktu biasanya. Kira-kira 20 menit lebih telat. Sayangnya, di kota kami, jika terlambat dari waktu berangkat ‘anak sekolah’, akan sulit mendapatkan angkutan kota (angkot). Setidaknya, kalaupun dapat, pasti lajunya tak secepat waktu “anak sekolah”.

Saya pun dapatkan angkot setelah berjalan kira-kira 300 meter. Dan, tepat sekali. Angkot yang saya tumpangi tidak bergerak secepat waktu anak sekolah. Kira-kira, 20 menit baru sampai di perhentian minibus/ terminal.

Biasanya lagi, jika sudah terlambat, saya akan telepon atau sms Pak Malano (tukang ojek simpang) untuk mengantarkan ke perhentian minibus. Atau langsung ke persimpangan yang dilewati minibus. Tentu ini lebih cepat lagi. Memotong antrian jadinya.

Tapi entah kenapa, pagi ini saya tidak pilih cara itu. “hemat bebz” slogan iklan salah satu kartu selular tersebut mengiang di telinga saya. Betul juga. Setidaknya saat ini saya tidak harus datang tepat waktu, karena janji yang saya buat juga tidak pagi-pagi sekali. Masih ada waktu satu jam lagi. Jadi, kenapa tidak mencoba berhemat? Pikir saya.

Sampai di perhentian minibus, saya melihat sebuah bus berhenti. Tapi, saya tak berminat naik.
“Kenapa tidak disambung dengan angkot saja, ke persimpangan? Ini pasti lebih cepat” pikir saya lagi. Lantas saya menyetop angkot menuju persimpangan. Tiga menit. Lima menit. Angkot ini masih saja belum jalan. Tak sabar, saya turun.

“Nggak jadi bang!” saya lantang kepada sopir. Sopir itu hanya terheran-heran. Dan, barangkali sedikit marah. Tidak peduli, saya menuju sebuah minibus yang berhenti sedari tadi. Mendekati. Tapi, dengan jarak tak cukup dua meter dengan pintu bus tersebut, saya melihat ada sebuah bus yang tak ber-AC menuju perhentian minibus AC. Pikiran saya berkata-kata lagi. “kenapa tidak naik bus non AC saja? Ini pasti lebih hemat. Hemat bebz itu pun terngiang lagi di kepala saya. Akhirnya saya melewati pintu minibus, dan menaiki bus non Ac. Heran. Barangkali, jika ada yang memperhatikan saya dari tadi, mungkin akan bertanya, “Anda sebetulnya mau kemana??”

Sementara di bus on AC saya menunggu, minibus AC mulai berjalan. Rupanya ada aturan. Ini antrian. Dan bus yang saya tumpangi harus antri setelah minibus AC yang tidak saya pilih tadi. Lima menit. Tujuh menit berlalu. Saya memberanikan diri bertanya kepada sopir,

“Pak, masih lama?” Si Sopir hanya diam. Tak menjawab sepatah pun. Menengok, lalu menoleh lagi. Heran. Mungkin itu pikirannya.

Bus non AC ini pun melaju menuju persimpangan. Ia berhenti lagi. Lima menit. Saya tak sabar lagi. “haruskah menunggu seperti ini?! Hanya karena hemat bebz! Ah! Peduli apa dengan hemat. Saya sudah tak bisa menunggu selama ini. Saya harus segera berangkat. tak bisa seperti ini. Saya lalu turun, dan menyerahkan uang pas, seharga jauhnya, ke sopir bus non Ac. Heran? Jelas saja! MUngkin ia akan berfikir saya adalah orang paling aneh pagi ini.

Sedikit lega dengan keputusan yang saya buat, saya berlalu. Mata saya mencari-cari bus manakah yang akan segera datang. bua apa yang akan saya tumpangi. Kira-kira berlajan 10 meter, saya ditawari tumpangan travel liar.

“Biarlah, tak ada lagi kata hemat bebz, tapi waktu adalah uang. Waktu sangat berharga! “ saya mantap. Satu menit duduk di cc mobil Avanza vvt.i silver itu, lalu, saya tak bisa menahan emosi. “maksud hati naik travel ini biar bisa langsung jalan, lho kok malah parker dulu?! Tak bisa ini! Harus Tanya. Saya pun bertanya kepada si sopir. Kira-kira usianya masih 26 atau 27 tahun. Hanya celana levis bawah lutut dan baju kaos lusuh itu, mengesankan usianya lebih hemat. Bisa jadi 25 tahun.

“masih lama bang?” saya bertanya. Ia menggeleng. Tiga menit. Lima menit. Saya mulai tak sabar. Si sopir mendekat. Dengan raut yang masih kesal saya menoleh ke arahnya.
“kalau mau cepet, silakan, duluan, ato pake yg lain aja, gak apa!” katanya ketus.

“OKe!!”

Tak sabaran, saya turun. Kalut, saya langsung berhentikan angkutan kota apa saja yang melintas. Saat itu, saya berhentikan yang warna biru. Angkot ini tak searah dengan tujuan saya. Kalaupun bisa ditumpangi, hanya sampai satu kilometer ke depan. Saya naik. Hufh. Sedikit lebih lega. Tak ada lagi pikiran, “hemat bebz” apalagi waktu adalah uang saat itu. Ah! Biarkan. Tak peduli dengan semua itu. Yang terpenting saya tak jadi menumpangi mobil lelaki 26 tahu yang hemat tampang menjadi 25 tahun itu. Tak akan nyaman. Pasti! Pikiran saya menyimpulkan.

Angkot ini akan berbelok. Saya harus turun. Dan saya turun. Membayar ongkos seharga jauhnya. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Saya memberhentiikan mikrolet. Jauh dari kesan santai, karna bunyinya yang berisik. Kaca hitamnya yang membuat mata mengantuk. Lajunya yang pasti saja tak semulus dan sekencang minibus, bus, apalagi avanza. Saya naik mikrolet tersebut.

Di sepanjang jalan, saya berfikir tentang perjalanan yang tak biasa ini. Perjalanan yang tak panjang. Tapi menjadi asing bagi saya hari ini. Begitu berbeda. Begitu banyak hal yang perlu saya sadari dan ambil hikmahnya. Saya tak ingat bahwa saya sedang berpuasa. Barangkali ini ujian kesabaran. Atau akibat dari kesalahan yang saya perbuat. Malu rasanya.

Hanya di mikrolet butut itu, akhirnya saya menyadari. Tuhan telah mengirim empat orang sopir “aneh” untuk saya pagi ini. Sarapan pelajaran. Alhamdulillah, setidaknya saya sampai di tujuan dengan selamat. Terlambat hanya 10 menit. Menit-menit yang sebelumnya itu terasa sangat lama, hanya karena tidak adanya kesabaran. Sungguh, jika Allah menguji hambanya, itu pertanda ia akan meningkatkan derajat hambanya, melalui kesabaran dan pelajaran.

Akhirnya, HIDUP itu begitu indah untuk dinikmati dan disyukuri Kawan! ^_^

(sisi jendela gedung, di sebuah Bukit, 27/10)

25.10.11

Mata Air

Keringkan saja mata airnya Tuhan. Kukira tak akan ada lagi musafir haus dan butuh airnya. Jalan ini sudah kututup rapat. Tak banyak yang tau. Dibalik sarang laba-laba dan semak ini ada jalan menuju mata air kami. Sedang, mereka, kukira tak lagi mengingat, apalah lagi berniat tuk kembali.

PEREMPUAN

Perempuan itu seperti bulan.
Menjadi Sabit. Bulan separo. Purnama. Lalu kembali menjadi Sabit.
Ada masa dan rasa magis yang membuatnya seakan goyah tak kokoh dalam langkah.
Atau bingung tak yakin dalam pilihan.
Ketahuilah, goyah itu agar ia tak keras dan mengarahkan.
Bingung juga bukanlah linglung, namun urung mendahului.
Semua atas rasa hormat dan santun, unggul dan anggun, bahwa dengan begitu, benarlah ia seorang PEREMPUAN.

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...