26.2.12

RESENSI: Mei dan Bujang Berhati Paling Lurus Sepanjang Kapuas


Judul               : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis             : Tere-Liye      
Penerbit           : Gramedia, Jakarta
Th. Terbit        : Januari, 2012
Hal.                 : 507 hal.
           


Mei dan Bujang Berhati Paling Lurus Sepanjang Kapuas

Menurut Anda, apa yang selalu menjadi warna hidup dalam setiap karya Tere Liye?
Pertama, novel-novel karya penulis yang bernama lain Darwis-darwis ini berkisah seputar cerita cinta dan romantika sosial. Sederhana. Tentang keluarga, kakak-adik, persahabatan dan nuansa Indonesia yang beragam ras/suku. Semuanya tersaji lewat cerita yang memikat.
Meskipun sederhana, inilah hebatnya Tere Liye, ia bisa menyajikan kisah cinta nan romantis dengan bahasa yang asik, gaul dan tetap sopan. Makna cintanya tetap tersampaikan meski tanpa bahasa yang vulgar. Tak sedikit pula kata bijak, petuah-petuah cinta, dan pribahasa yang selalu dibuat pas untuk berbagai masalah hati.
“Camkan bahwa cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencinta tanpa selalu memberi” (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah; 168)
Cerita cinta yang realistis, penuh pengorbanan, kesetiaan dan ketulusan juga hadir di setiap karyanya. Rembulan Tenggelam di Wajahmu misalnya, penulis menceritakan tentang perjuangan cinta Ray, dan kesungguhan si tokoh utama menjawab lima pertanyaan tentang makna kehidupannya.
Melalui novel Senja Bersama Rosie, penulis mengisahkan tentang takdir cinta yang kembali mempertemukan Tegar Karang dengan Rosie, yang akhirnya menyatukan mereka dalam cinta bentuk lain. Jangan salahkan bila Anda terharu setelah membaca halaman terakhirnya. Meski tak sedikit pula yang protes dengan ending seperti itu.
Inilah hal lain yang membuat pembaca tak jenuh, alur yang unpredictable. Selalu ada kejutan. Bahkan untuk akhir cerita yang happy ending, tetap saja alurnya diluar dugaan. Memantik api  penasaran Anda.

“…Astaga Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas, maka siapa lagi yang bisa kaupercaya?” (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah; 507)
Penulis menggambarkan karakter kuat tokoh utama dalam setiap novelnya. Misalnya tentang seorang lelaki hebat itu diantaranya memiliki sifat pekerja keras, penuh semangat, boleh juga workaholic, penuh dedikasi, mencintai keluarganya dan tentu saja jujur. Nilai kejujuran ini yang selalu tertanam dalam setiap potongan kisah kehidupan karya penulis. Ia konsisten untuk yang satu ini. Edukatif. 
Kali ini, lewat buku Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, kejujuran dan sifat-sifat lelaki hebat itu dimiliki oleh tokoh yang bernama Borno, bujang berhati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Saking lurusnya, ia memburu siapakah pemilik angpau merah yang tertinggal di sepit (speed)-nya selama bertahun, dengan maksud hendak mengembalikan angpau penting itu. 
Setting latar diceritakan dengan lengkap dan detail. Pembaca merasa benar hadir, berhulu-hilir di sungai Kapuas, pulau Borneo/Kalimantan/bekas sungai. 
Satu hal lagi yang khas dalam karya-karya Tere Liye. Ia bercerita tentang kisah cinta yang berliku, dan terkesan tidak diungkapkan dan diperjuangkan. Pada kisah cinta terpendam Tania dan Danar (Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin) misalnya. Tania dan Danar tidak saling mengungkapkan, dua tahun setelah pernikahan Danar baru diketahui adanya ‘rasa’ diantara mereka. Tragis. Begitu pun pada novel Sang Penandai dan Senja Bersama Rosie. 
Maka buku terbaru Tere Liye tahun ini juga tentang kisah cinta yang berliku. Atau bisa jadi karena penulis punya pengalaman langsung tentang cinta yang tak sampai, tak terungkapkan atau tidak diperjuangkan?
“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan halan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya…” (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah; 194)
Ini tentang kisah cinta bujang itu dengan Mei, gadis keturunan anak seorang dokter yang telah membuat ayah Borno menjemput ajal. Bagaimana perkenalannya dan kedekatan mereka? Mei-kah pemilik angpau? Bagaimana perjuangan cinta mereka? Segera nikmati buku baru Gramedia ini. Selamat membaca! 
[Peresensi: Miftahul Hidayati]

23.2.12

Oh, Ini Rupanya Pak Amir Syarifuddin!



Sebenarnya tidak ada cerita tentang pengalaman langsung dengan prof yang akan saya tuliskan di sini. Tapi, saya ingin turut berbagi, “apapun”lah – seperti ditulis Kang ipul di halaman facebook-. 

Saya baru mengenal nama Amir Syarifuddin sekitar tahun 2003. Semula saya tidak ambil pusing dengan nama rektor IAIN Imam Bonjol saat itu. Biasalah, tidak kenal, orang ‘besar’ pula. Saya pikir juga tidak akan berurusan dengan pak amir. Namun kemudian, nama beliau kian populer di telinga. 

Pertama kali mendengar nama Pak Amir, ketika saya mengikuti acara Mapersa (masa Perkenalan Asrama) MAKN/MAPK koto Baru Padang Panjang, 2003. Saat itu, pada acara penutupan seperti biasa, ada semacam drama dari senior (kakak kelas 3). Terjadi perdebatan hebat antara Uni Arina (putri prof.- ) dengan uni Nora dan uni Nayla Hayati (putri Dr.Zulkarnain). Dalam perdebatan itu, tersebutlah nama bapak Amir Syarifuddin- Rektor, yang anaknya ada di sini (asrama). Bagi saya itu tidak masalah, -menganggap tidak kenal-. 

Ternyata, setelah drama-dramaan tersebut usai, berlanjut pada pembicaraan serius antara uni arina -yang kebetulan satu kamar dengan saya- dengan uni yang menyebut-nyebut nama rektor tadi. Lagi-lagi, nama Prof terdengar. Uni arina sewot. Sampai-sampai menyebut kalimat, “laisal fataa man qaa la hadza abii, walaakin al fataa man qaa la : Ha ana dza!”, saking tidak inginnya ia dikenal dengan (menumpang) kebesaran nama ayahnya. Saya mulai ingin tahu, “yang mana pak Amir itu”. 

Dalam pelajaran ushul fiqh, ustad saya pernah ingatkan, rajin-rajinlah belajar dengan Arina. Dia anak penulis buku ini (sambil memperlihatkan buku Ushul Fiqh karangan Pak Amir). Saya terkesiap. Sekamar dengan anak penulis buku? Rasa tidak percaya. Karena beranggapan penulis buku itu pastilah “orang besar”. Sedangkan keseharian uni Arina sangatlah bersahaja, sederhana. Begitu pula dengan sikap Ika (putrid pak Amir) juga sederhana. Saya semakin penasaran dengan sosok sang rektor, yang -dugaan saya- pasti lebih bersahaja dari pada anak-anak beliau.

Sudah terniat dan penasaran sekali rasanya, saya ingin berjumpa langsung dengan pak amir. Bukan dari halaman belakang buku beliau saja. Bukan dari sekedar cerita.

Di jurusan pendidikan Bahasa arab, saya belajar dengan Bu Hafni. Beliau juga sederhana, bersahaja, mengayomi dan tegas. Satu kali, saya bertanya nomor hp bapak kepada bu hafni, untuk kepentingan liputan Tabloid Suara Kampus. Sayangnya, saya tak berkesempatan mewawancarai langsung. Sampai saat itu, belum pernah saya bertemu langsung dengan pak Amir. 

Setelah wisuda, dekat banda dari redaksi menuju mesjid saya bertemu sang professor. Beliau menyetir mobil biru tua kijang plat merah yang sangat sederhana. Setelah tahun 2003, baru 2011 awal itulah saya langsung bertemu sang professor sederhana itu. Benarlah apa kata orang, rupanya ini professor yang sederhana dan bersahaja itu. 

*Tulisan ini, tadinya mau dikasi ke Tim Kecil Penyusun Buku Biografi Prof. Amir Syarifuddin,,,tapi saya tak percaya diri mengirimkan tulisan eceh-eceh ini.. ^_^ 
heheheh

14.2.12

Urang Bunian; Percaya atau Tidak


Suatu malam di bulan lalu, saya sempat berbincang dengan Mak Datuak. Perbincangan kami mengalir sampai membahas tentang orang Lasi yang hilang beberapa waktu lalu. 

Kasus lelaki paruh baya itu terkait dengan orang bunian. Ceritanya, setelah ia menggorok leher istri, ia lalu kabur. Lari ke gunung. Menghilang. Tak ada kabar berita lagi. 

Pencarian dilakukan oleh tim SAR selama tiga hari tiga malam. Menjelajahi gunung Merapi. Hasilnya nihil. Lelaki itu tetap tidak ditemukan. 

Akhirnya, pihak keluarga meminta bantuan “orang pintar”/paranormal, untuk mencari. Lelaki itu kemudian ditemukan. Rupanya ia dilarikan “urang bunian”. Mereka (orang bunian) itu bukan dengan serta merta mau menyerahkan lelaki itu pada pihak keluarga. Mereka meminta syarat agar “mandoa/baralek” di Sarasah/air terjun  lembah itu. 

Kata Ayah, orang bunian itu biasanya memilih orang-orang hebat. Dulu, juga pernah seorang perempuan di kampung Ayah yang “dibawa” mereka. Perempuan itu menduga kepergiannya hanya sebentar, padahal orang kampung sudah mencarinya berhari-hari. Berminggu-minggu. Ketika kembali sesaat, perempuan itu bercerita, kalau menurutnya ia hanya pergi sebentar. Kira-kira setengah hari. 

Kita berhenti dulu di sini. Saya ingin menganalisa satu hal. Begitulah. Memang ada hal-hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa diukur berdasarkan standar pikir rasio kita. Misalnya saja cerita ini. Kita tidak bisa menyambungkan waktu dalam standar dunia nyata dengan kehidupan alam ghaib yang ada, tapi kita tak mengetahuinya. 

Bagaimana kita mengukur keimanan dengan meyakini seorang anak manusia dapat sampai ke langit ke tujuh hanya dalam waktu semalam? Berapa kecepatan kendaraannya jika ia berkendara. Tidak. Jangan bayangkan kendaraan yang ada sekarang. Jet dan segala jenis pesawat terkini, terhebat ciptaan manusia belumbisa menempuh ruang dengan batas waktu yang sama. 

Bagaimana mungkin seorang astronot dapat mendengar suara azan di bulan, sementara daerah itu hampa. Berapa tahun cahaya yang dibutuhkan suara dari bumi untuk sampai menembus space/angkasa. Pantas saja, ada yang menyebut azan itu adalah azan sekian tahun silam, yang baru sampai di bulan, dan didengar oleh astronot tersebut. Wallahu a’lam!

Ternyata begitulah adanya. Ilmu kita tak cukup dalam untuk membahas perbedaan alam ghaib dengan alam nyata ini. Iman kita tak cukup kuat untuk berkelabat memikirkannya. Mencari singkronisasi antara iman dan rasio. Namun saya yakin, suatu saat aka nada ilmu manusia sampai pada pengetahuan itu.

Kembali ke cerita orang bunian. Menurut cerita Ayah, dulu  beliau juga pernah hampr dibawa mereka. Ketika Ayah dan pemuda di Lasi mendaki gunung merapi, mencari asal muara galodo yang menimpa tiga kampung, termasuk kampung Ayah. 

Saat itu, ayah dan kawan-kawannya, serta tetua kampung, mesti meniti sebatang kayu. Dibawah batang kayu yang melintang itu jurang. Jurang Gunung Merapi memang terkenal ‘angkernya’. Ayah berada di bagian belakang rombongan. Setelah ayah, ada Mamak, yangjuga tetua kampung. Ayah kemudian melihat ada yang berjualan es. Dan logikanya, mana mungkin di gunung itu ada sebuah perkampungan yang orangnya berjualan es. Bukankah Lasi adalah kampung bagian perut gunung? Dan tidak mungkin pula orang yang hidup di negeri dingin akan berjualan es. Kalau bukan diingatkan oleh mamak tadi, barangkali ayah sudah lupa, kalau yang terlihat oleh pandangannya itu adalah kehidupan orang bunian. 

Ayah dipegangi oleh mamak. Terus berjalan. Sampai di suatu perhentian, selepas makan, mamak menceritakan perihal yang dilihat ayah. “Ampia se ang tingga di gunuang lai tadi” ujar mamak.  Alhamdulillah Ayah sampai di kampung dengan selamat. 

Mak Datuk bercerita tentang asal mula danau maninjau. Tentang batu cincinnya. Tentang kawannya, Tan Mudo, yang minta tolong dipanggil, karena dirinya tersesat, entah di gurun mana. Lalu dipanggil lewat hape, ia terdampar di daerah Pesisir Selatan. Setelah itu barulah ia pulang, ke kota kami.

Saya lalu berkesimpulan. Guru-guru agama di sekolah memang mengajarkan agar kita beriman dengan hal ghaib. Namun terkesan semua yang diketahui dalam masyarakat tentang hal ghaib, tidak diajarkan dan dicontohkan dengan baik, sehingga dapat dicerna dengan baik pula. Saya tak yakin, siswa dapat beriman dengan hal ghaib seperti yang dimaksud dalam kurikulum. Belum tercapai tujuan pelajaran agama tentang beriman pada hal ghaib jika masih saja ada rasa penasaran berlebih. Seperti yang saya rasakan dulu. Maka, pendidikan keluargalah menurut saya yang berperan besar untuk mendidik anak dalam hal keimanan seperti ini.  (*)

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...