Bukittinggi—Pertengahan April lalu saya diminta
Immawan Boy Fitra untuk menyampaikan materi Keimmawatian di sebuah pengkaderan
kepemimpinan mahasiswa tingkat dasar di Bukittinggi. Semula, saya merasa tak
pas memberi materi lagi. Karena saya sudah cukup lama tak berada di dalam
organisasi, tak mengetahui dinamika dan pergolakannya lagi. Kedua, jika saja
tak berbicara perempuan, saya akan menolaknya. Rasanya, ini bukan bidang dan
‘hobi’ saya lagi.
Saat itu, dalam pikiran saya, pesertanya tak akan kurang
dari 20 orang. Tentu saja, persentase terbesarnya adalah peserta perempuan.
Ternyata, hanya ada sembilan orang peserta. Awalnya sepuluh; delapan orang
laki-laki dan dua lainnya perempuan. Satu orang perempuan itu akhirnya
mengundurkan diri tanpa sepengetahuan panitia. Informasi terakhir menyebutkan
bahwa ia dilarang teman dekat laki-lakinya untuk mengikuti acara tersebut. Halaah!
Saya geleng-geleng kepala mendengar cerita ini.
Bersama mereka,
mahasiswa fakultas Hukum salah satu universitas swasta di Bukittinggi, maka
jadilah pembicaraan tentang perempuan sore itu berlangsung hangat sampai ke
menit ke seratus. Ya, akhirnya diskusi yang dimulai pukul 16.50 tersebut
berakhir saat magrib.
Baiklah. Meskipun kita sedikit, delapan dari sembilan orang diantara kita pun
adalah laki-laki, kita tetap akan bicara tentang Immawati. Ibarat
mempergunjingkan diri sendiri, ujar saya
mengawali. Mereka tertawa.
Kita tidak sedang menyalahkan dan menyudutkan IMM dengan
kondisi tersebut. Tapi perlu menjadi catatan bersama, dan barangkali pertanyaan
mendasar untuk kita. Kenapa IMM tak menjadi organisasi inti dan favorit di
rumahnya sendiri? Sempat hanya mengkader 9 orang saja? Mana yang lainnya? Atau
kita memang belum mampu bersaing dengan tetangga sebelah untuk bisa memberikan
‘pesona intelektual’ pada mahasiswa secara umum. Untuk kita renungkan, seperti
kata Bung Ebit G Ade.
Saya kemudian memberikan beberapa kata kunci dalam diskusi.
Immawati, Perempuan, Gender, Feminis, Emansipasi, Kodrati, dan kepemimpinan.
Untuk tiga kata pertama, mereka bisa menjelaskan dengan ringkas. Ya, tentu
saja, immawati adalah sapaan untuk anggota perempuan dalam IMM. Perempuan,
semua juga tau makhluk berjenis kelamin ini. Saya lalu tekankan pada peserta
yang menyebutkan jenis kelamin itu dengan kata wanita, agar menggantinya dengan
perempuan. Sayangnya tak ada yang bertanya kenapa saya buat aturan semacam itu.
(Nb;Mahasiswa kita masih belum kritis, atau terlalu plegmatis?)
Pembicaraan tentang beberapa kata seterusnya menjadikan
diskusi kian hangat. Saya bercerita tentang kelompok feminis yang mulai
ada pada organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan
sebagainya. Tentang pendapat dan tuntutan yang digemborkan kaum feminis.Sempat pula saya menyinggung tentang contoh gerakan feminis
kelas dunia. Baik yang terkait Islam maupun tidak. Sayangnya, mereka hanya
merespon dengan kesimpulan bahwa feminis yang saya maksud adalah feminine
(kelembutan, keperempuanan). Perempuan yang feminine artinya mereka yang tidak
berlagak ke laki-lakian atau tomboy, jelas salah seorang peserta. (Aiihh..sesederhana itukah? Saya kembali
tergelak dibuatnya)
Kata kunci selanjutnya, adalah emansipasi dan kodrati. Saya
balik bertanya pada mereka, apa yang menjadi tugas dan kewajiban seorang
perempuan? Silakan berdalil aqli/rasional, dan lebih baik lagi jika ada yang
berdalil naqli/teoritis dari sumber/pedoman umat islam; Alquran dan hadis.
Disebutkan Salam, salah seorang peserta bahwa area kerja
perempuan yang biasa itu adalah di
rumahnya , di sumur, dapur dan kasur. Kalau sudah mampu (menyelesaikan kerja
rumahan dengan baik) baru bisa bergabung dengan dunia luar. Seorang peserta
lainnya (masih laki-laki) menyebutkan bahwa perempuan di Indonesia sudah
disamakan haknya untuk bekerja seperti laki-laki. Bagi saya, cukuplah mereka
memiliki gambaran sendiri tentang area kerja perempuan ini. Percuma berbicara
panjang lebar, memberi motivasi dan sebagainya, toh mereka tetaplah laki-laki.
Terakhir saya meminta mereka memberikan argument tentang
realita perempuan Indonesia hari ini. Sebelumnya saya gambarkan tentang over
career perempuan dalam dunia kerja, tentang perempuan-perempuan hebat bidang
keilmuan dan bisnis, tentang kepemimpinan kaum hawa ini dalam bidang social
politik.
Nah, disini baru mulai bergolak. Mereka menilai, perempuan
mesti berada di bawah kepemimpinan laki-laki. Bukankah ayat sudah katakan, ar
rijaalu qawwaamu alan nisa’? JIka
perempuan menjadi pemimpin, ia akan melalaikan tugasnya sebagai pengurus di
tiga area (domestic) tadi. Demikian pendapat peserta.
Baik. Kita bahas yang pertama. Kata-kata Qawwaam
dalam ayat tersebut memang diterjemahkan sebagai ‘pemimpin’. Namun pendapat mufasir berbeda beda
menyebutkan area pimpin laki-laki terhadap perempuan tersebut. Okelah, saya
juga sepakat jika yang dimaksud ayat itu adalah dalam kehidupan rumah tangga.
Saya mutlak sepakat. Tapi tentu tidak demikian dengan urusan sosial dan lainnya
bukan?
Kita tak perlu bicara panjang lebar untuk urusan ini,
demikian saya sampaikan. Jika dulu Kartini –yang disebut-sebut sebagai founding
feminis Indonesia-, menyuarakan persamaan hak dan kesetaraan gender, setidaknya
perempuan saat itu telah menguasai area domestiknya. Mereka telah mengerjakan
tugas pokok sebagai anak gadis, istri dan ibu bagi keluarga mereka. Ranah kecil
yang sudah menjadi prioritas.
Di sini kiranya kita, Immawati dan aktivis perempuan yang
masih rasional (waras) perlu menetapkan nilai beda dari yang lain. Kita perlu
menetapkan prioritas dengan tetap mengutamakan keluarga.
Perempuan jangan salah konsep. Isu penyetaraan gender,
persamaan hak, dan lain sebagainya secara manusiawi sudah diatur oleh
undang-undang. Bukankah secara umum, perempuan Indonesia sudah dianggap dan
diamankan? Pun secara hak dan kebebasan
juga sudah terlampau. Berkarir dan berkarya, hanya urusan kemampuan dan
kemauan. Jika ranah domestic sudah kokoh, tak ada salahnya berperan serta untuk
kebaikan yang lebih luas.
Kita tak sedang memikirkan sejarah, tapi kita telah mulai
menggoreskan pena, lalu menjadikannya sejarah kelak suatu hari. Kita tentu tak
ingin generasi setelah kita akan bobrok dikarenakan pendidikan yang mereka
peroleh tak sebaik yang kita dapatkan hari ini. Karena hulu dari pendidikan itu
adalah keluarga. Sedangkan pancang-pancang yang mengokohkan keluarga itu ada di
tangan ibu (perempuan). Inilah barangkali kenapa baiknya perempuan suatu negeri
menjadi cerminan baiknya negeri itu secara general.
Dan pembicaraan pun berakhir seiring dengan berkumandangnya azan magrib. :)