Kali ke sekian saya menamatkan bacaan fiksi karya Tere Liye
itu, tetap saja ada rasa baru yang muncul sebagai dampaknya. Sama halnya ketika
saya membaca ulang Senja/Sunset Bersama Rosie, rasa, penilaian dan tanggapan
saya terhadap kisah sarat makna itu selalu berbeda. Beda penekanannya, beda
pelajaran.
Dulu, saya melihat kisah Danar dan Tania-nya. Bagaimana
Tania bisa menyimpan rapat rasa kakak – adik yang seharusnya ia jaga, bukan
yang lainnya. Pun begitu dengan Danar. Ia buru-buru menepis rasa yang berbeda
yang tak tepat menurutnya pada Tania. Mereka saling memendam.
Lalu, jika pada kenyataannya Danar menikah dengan Ratna, semua
itu belum menjadi akhir yang bahagia. Bahagia mungkin, hanya bagi Ratna, dan
tentu saja tak selamanya. Karena perlahan rasa tak tulus Danar yang diterima
Ratna muncul. Semakin terlihat jelas dengan sikap dingin, kaku dan diamnya.
Siapa yang menderita? Tania. Ya, ia mengira kehidupan Danar
dan Ratna telah menemukan happy ending love mereka. Tania memilih untuk
tetap melanjutkan hidup, dalam apapun bentuk terburuknya. Menjadi pribadi yang
paradox, dengan hati yang kebas.
Lalu siapa lagi yang menderita? Ratna. Yap, ia terluka dari
sisi yang ia sendiri tak ketahui. Siapa yang tahan didiamkan oleh orang
tersayangnya. Tak tahu apa kesalahan dan sebabnya. Tapi Ratna mencoba bersabar
untuk semua itu, berbaik dan selalu mengupayakan solusi untuk rumah tangga
mereka. Ia memang mendapatkan Danar. Rumah tangganya memang terlihat bahagia.
Tapi, tidak sebenarnya. Danar tak
benar-benar hadir dalam kehidupan itu. Ratna memang memiliki Danar, tapi tidak
hatinya. Semua menjadi tatapan kosong, hampa dan hambar.
Apakah Danar tidak menderita? Jelas saja. Ia sulit. Pada
posisinya sebagai kakak angkat dan usia yang berbeda jauh, ia harus mengubur
rasanya pada Tania. PIlihannya untuk menikah dengan Ratna, tentu memiliki
banyak konsekuensi. Apa ia harus memaksakan rasa, terus membohongi Ratna. Ia
harus ungkapkan pada Tania? Lebih gila lagi! Pada kondisi itu, diam mungkin
solusi (-khusus untuk Danar sendiri). Maka baginya, menikah bukanlah urusan cinta
semata. Itu lebih pada hal rasional. Ia memilih untuk mengubur rasa cintanya
dan terus berusaha menumbuhkan pada Ratna. Sayang, upayanya tak berhasil.
Maka Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, tepat sekali
menjadi pelajaran bagi banyak hal. Sesuatu yang sudah menjadi ketetapan,
bagaimana mungkin akan diingkari, dibenci, dan dihindari. Satu-satunya jalan
agar semua tetap berjalan normal adalah dengan penerimaan. Menerima begitulah
kehendak langit. Ikhlas dengan ketetapan akhir, dan sabar menjalaninya. Pesan
pertama yang saya dapat.
Pesan kedua, lagi-lagi tentang kerja keras. Tere Liye
seringkali memberikan contoh karakter tokohnya yang hebat itu adalah yang
bekerja keras. Tak ada jalan lain untuk sukses jika tak bekerja keras dan terus
belajar. Dicoba terus, dipelajari, dilaksanakan, dilanjutkan, dan terus seperti
itu.
Daun yang jatuh tak akan pernah membenci angin. :)