26.7.12

Pengamen




Dont judge the book by its cover, kalimat tersebut sudah biasa kita dengar atau baca kan?
Nah, tulisan saya ini bukan bercerita tentang buku, tapi tentang pengamen. Persamaannya adalah, kesimpulan agar kita tidak kita menilai seorang pengamen dari penampilannya saja. Dengar dulu suara dan lagunya, baru tutup mata, atau pura-pura tidur, pura-pura sibuk nelpon, atau sms-an, atau..atau..lainnya. Jika Anda terhibur apalagi terkesima dengan penampilannya, sisihkanlah barang seberapa rupiah untuk harga suara dan kocokan gitarnya untuk Anda. #edisi-membela-pengamen! :D

**
Baru kali ini saya mendengar seorang pengamen bus menyanyikan nasyid (makna umum, lagu islami). Maksudnya, bukan lagu-lagu pop indonesia biasa, dari grup band umum. Kali ini dari grup nasyid yang menurut saya tidak dikenal banyak orang (kalangan umum). Wah, susah menggambarkan sesuatu untuk menghindari bahasa-bahasa khusus ya! :D

Sederhananya, saya menyimak lagu islami -yang tidak populer di kalangan umum- itu dari pengamen yang gaul secara penampilan. Pengamen itu adalah seorang lelaki penyandang gitar.. (terinspirasi : Gadis penjual korek api). J

Biasa saja penampilannya. Memakai celana jins kucol lagi belel, kantong di sana-sini, kedodoran. Atasannya kaos oblong berwarna merah. Walaupun saya suka kaos warna merah, tapi sungguh yang dipakai pengamen itu sangat tidak menarik bagi saya. Karena warna merah darahnya itu menakutkan, apalagi ada gambar entah wajah siapa di bagian depan. Entah tokoh –pemberontakan- apa, saya tak kenal.  

Saya kemudian tak memperhatikan bagian wajah si pengamen, karena ia sudah memulai aksinya. Gejreng-gejreng..-Selamat siang bapak ibu sodara sodari penumpang bus XX jurusan xx.. ; prolog-.
Yang jelas, ia memakai topi pet. Ya, biasalah. Sama seperti gaya anak muda lainnya. *eh!*
            “Ia ibarat kaca yang berdebu...” ia memulai.

Dug! Saya terkejut. Lalu, mematut-matut pengamen itu lagi.
“Masak sih, pengamen segini “keren”, mau-maunya laguin nasyid itu? Tau darimana juga?” Saya membatin. *Lha, saya apa pula? Heran-heran begitu! Suka-suka pengamen dunk!

“Ia ibarat kaca yang berdebu/jangan terlalu keras membersihkannya/Karena ia mudah retak dan pecah/”
Waw! Keren! Hebat pula mungkin ya, kalau pengamen ini diberikan pendidikan mengamen ya. Wah, tentunya pendidikan itu akan berguna sekali buat para pengamen. Bisa dilihat keprofesionalannya dalam mengamen. Nanti, bisa-bisa pengamen ini  juga disertifikasi. Pengamen yang tersertifikasi adalah yang jam mengamennya sesuai standar. Atau, jumlah peminat yang mendengarkan ia mengamen sesuai standar. Pelayanan primanya sesuai standar. Dan standar-standar lainnya. *ngawur!*

Dia ibarat kaca yang berdebu/jangan terlalu lembut membersihkannya/nanti ia mudah keruh dan ternoda/”
Bukankah begitu lebih baik, daripada asal-asalan. Setiap pekerjaan jika dilakukan secara profesional; bekerja se-terbaik mungkin, tentu akan menjadikan kita berbeda dengan yang lainnya. Beda inilah nilai jualnya Bung!

Mengamen ibaratnya berdagang, kan tidak cuma : saya jual anda beli, tapi lebih dari itu. Melihat kebutuhan pasar. Kesesuaian barang dengan harga yang ditawarkan. Jika barang berkualitas, pembeli pun tak segan membeli dengan harga standarnya. Anda butuh apa? Saya jual dengan harga segini. Anda jadi beli? Kalau tidak, tak apa. Saya bisa jual pada yang lain. –tawar-menawar-.  Berdagang, tak sekedar untung rugi. Tapi juga mengerti peluang dan kebutuhan pasar.

“Ia bagai permata keindahan/Sentuhlah hatinya dengan kelembutan/Ia sehalus sutera di awan/Jagalah hatinya dengan kesabaran.”

Begitu juga dengan mengamen. Tidak sekedar nyanyi-nyanyi. Imej pengamen yang sudah begitu hendaknya dikembalikan. Kembali menjadi : Pengamen adalah kerja/profesi menghibur orang lain dengan membawakan sebuah lagu. Sederhananya ia adalah pemusik jalanan.

Bukan sekedar sandang gitar, asal gejreng-gejreng, lirik atau syair lagunya pun sangat jauh dari yang namanya menghibur. Mana sebagiannya juga tak ‘menghibur’ dari segi penampilan. Okelah, kalau rapi dan wangi. Yang menyebalkan sekali adalah bau tak sedap itu. Waduhh!

Bagi penonton/pendengar, mau dibayar enggan, tak dibayar juga susah. Karena di penutup kata-katanya, di pengujung penampilannya, tak sedikit pula pengamen yang ‘mengutuk’ mereka yang tidak memberi sedikit uangnya.  Huh.

Saya lanjutkan mendengar Lelaki penyandang gitar...
 “/Lemah lembutlah kepadanya? Namun jangan terlalu memanjakannya/Tegurlah bila ia tersalah/Tapi janganlah lukai hatinya/”

Satu lagi, mengamen sebetulnya bisa juga berdakwah. Coba setiap pengamen bisa menyampaikan beberapa hadis tentang adab ini – itu. Dengan catatan, ya, dia sendiri juga lebih dulu beradab. Bisa ingatkan tentang kepedulian sosial. Kan bermanfaat. Orang tak akan pura-pura tidur, atau bermuka masam padanya.

Hm..satu lagi..(kedua), saya hanya menyarankan, kalau-kalau ada pengamen yang baca blog saya ini. Masing-masing kita diberi kelebihan oleh Sang Pencipta. Nah, jika kelebihan kita adalah suara yang merdu, indah dan menyenangkan, tak masalah jika menjadi pengamen. Namun seandainya kelebihan itu bukanlah pada suara, mungkin pada otot kawat tulang besi,  dan tenaga sakti mandraguna *lebay*, ada baiknya kita menyalurkan kelebihan tersebut untuk profesi lain. Bertukang misalnya. Mengangkat di pasar misalnya. Dan profesi lain yang memanfaatkan kekuatan.

Kalaupun akan tetap menjadi pengamen, jadilah pengamen yang berbeda. Seperti pengamen yang saya ceritakan di awal misalnya. Jadilah pengamen yang penuh sopan santun, bersih, rapi, wangi, lagu-lagunya pun bermakna. Kan keren! Setidaknya, dengan itu orang masih mendengarkan walau tak terhibur secara utuh. Dan, jika nanti ada sertifikasi pengamen, mana tau itulah kriterianya.

“Bersabarlah menghadapinya/terimalah ia dengan keikhlasan/karena ia kaca yang berdebu/semoga kau temukan dirinya/bercahayakan iman/”

Saya pun mengeluarkan selembar uang kertas untuk pengamen itu. Lelaki penyandang gitar. Karena merasa terhibur dengan dendangan nasyid Kaca Yang Berdebu – Maidany di siang yang terik itu. Ikhlas. *dan, akhirnya saya tidak menerima kutukan pengamen*
  ^_*

22.7.12

Hari Ibu(ku)




Hari ini tanggal 22 Juli. Hari ini adalah hari ibu bagi kami. Ibu dilahirkan pada tanggal ini, 56 tahun yang lalu. Dalam ijazah-ijazah ibu tertulis tanggal lahir beliau adalah 22 Juli 1955, yang benar kata ibu, adalah tahun 1956. Kesalahannya adalah saat ibu mendaftar sekolah dasar dulu. Umurnya dipercepat satu tahun agar bisa lebih cepat masuk sekolah. Ah, bagi kami terserah saja, mau bilangan usia ibu sekarang 56 atau 57, yang jelas ibu kami selalu terasa muda. 

Bagaimana tidak muda. Semua cerita kegiatan sanggar, tari-menari, acara-acara, kesibukan kampus adikku juga menjadi bahan pembicaraan beliau. Apalagi denganku. Cerita apa yang tak terungkap olehku kepada Ibu. Pekerjaan yang setumpuk. Balada buruh negeri ini. Dilema idealisme. Mulai dari organisasi di kampus dulu. Juga untuk urusan jatuh cinta, patah hati, galau dan..dan.. calon pendamping. Kalaulah ada laporan ceritanya, mungkin sudah penuh satu kamar, laporan itu ditanda tangani Ibu.

Ya, hanya soal calon pendamping itulah aku sadar Ibu sudah tak semuda dulu. Karena memikirkan beliau di masa depan, kadang aku takut membahas itu. Aku ingin pause kan kehidupan pada masa ini saja. Sudah bahagia rasanya hidup di tahun ini. Setelah melewati waktu-waktu sesak. Memang kehidupan berlalu begitu cepat setelah kesedihan melanda.
Sore ini, Ibu menyinggung hal itu. Ibu meminta aku mempertimbangkan soal lanjut sekolah atau’ hal itu’ dulu. Aku mencoba berargumen. Memberi penjelasan semenarik dan serasional mungkin. Walaupun, kadang aku juga sependapat dengan ibu. Usia yang dirasa pas. Tapi, bagaimanalah. Belum waktunya saja mungkin. 

Aku yakin, Ibu atau Mama kalian juga pastilah hebat. Setiap bertemu dengan sebuah keluarga, yang selalu jadi perhatianku adalah induak bareh di rumah itu. Sehebat apapun Ayah, Bapak atau Papa kalian, mestilah ada perempuan yang menghebatkannya. Ada Ibunya, ada ibu kita. Yang kemudian sangat berperan untuk kehidupan dewasanya, ya, jelas ibu kita.

Lihatlah, untuk urusan sederhana saja di rumah, Ayah bisa sangat panik. Letak dasi kita sewaktu SD dulu misalnya, mana Ayah tahu. Okelah, kalau itu dianggap urusan ibu. Tapi, bagaimana jika, Ibu sakit. Tidakkah kita hidup dalam kepanikan tingkat tinggi?! Hanya karena ibu sakit. Banyak hal bisa-bisa ‘lumpuh’.

Sudahlah, aku kehilangan kata-kata menggambarkan kehebatan Ibu kita. Kita akan sepakat dengan Erich Fromm, pemerhati gender, yang menilai; dalam cinta maternal kita menemukan sumber cinta. Betapa luas dan tulusnya kasih sayang yang diberikan Ibu kepada anak-anaknya. Kadang sebagian kita melupakan hak-haknya sebagai ibu. Itulah sebab muncul kembali -seperti sesuatu yang tertutup lalu tersibak di Barat-, Mother Right- Hak Ibu.
Mungkin pula tak ada yang menyangkal bahwa cinta anak kepada Ibunya berasal dari kebutuhan akan perlindungan, rasa takut dan ketidakberdayaan. Ibu mana yang sejatinya tidak menunjukkan semua itu pada anaknya. Pelacur sekalipun, ia tetap menunjukkan kasih sayang yang besar terhadap darah dagingnya. Alasan apa yang akan diberikan untuk tidak mensyukuri; Tuhan telah menciptakan kita dari seorang Ibu.
 
Ya, kami sangat bersyukur dengan keluarga ini. Dengan Ibu dan Ayah yang hebat. Tuhan memang Maha Baik untuk urusan ini.

Senja, lalu azan Magrib berkumandang. Artinya, Ibu sudah di bilangan baru usianya. Sesuai penanggalan Hijriah, magrib adalah waktu pergantian tanggal, bukan jam 12 malam.
Tentang azan ini, dulu Ibu pernah bercerita kepadaku pada suatu senja.

“Ibu selalu lintuah jika mendengar azan seperti ini.” Ibu berkata sambil mengisikan nasi ke piringnya.
“Aku juga. Lebih-lebih lagi jika dikumandangkan di saat maghrib dan ashar.” Sambungku merespon.
“Iya. Lebih-lebih di magrib.” Ibu menambahkan.
“Dulu, kami sering shalat di batu tepi danau.” Ibu bercerita. “Kala itu, dengan sengaja, Ibu dan adik-adik menuju tepian danau. Petang jelang magrib. Kami duduk di atas batu. Memandang langit yang mulai menguning. Sedang matahari turun perlahan. Hingga benar-benar yang tersisa hanya jingga.”
“Saat itu, danau ramai. Ada mereka yang sekedar berbiduk-biduk. Bocah-bocah yang berkecimpuh mendentum-dentum air dengan telapak kaki dalam renang mereka. Para remaja belia yang sama seperti kami,” kata ibu, “duduk bermenung bersama kawan sebaya. Menanti serah terima mentari ke bulan pergantian siang dan malam.” Matanya berlinang mengenang saat itu.

Sekalipun ia adalah Ibu, bukankah beliau juga punya masa kecil yang indah untuk dikenang? Itulah kenapa, menurutku, perlunya membaguskan masa kecil jika ingin masa depan seorang anak menjadi indah. Memang bukan jaminan, setidaknya, dengan begitu, ia telah memulai goresan kenangan hidup yang indah sebelum menapaki kehidupan yang antah berantah ini.
Ibarat sebuah lukisan, goresan awal pada kanvas itu sangat menentukan. Lihatlah hari ini, betapa banyak anak-anak nakal, remaja-remaja amoral, yang hidup sesukanya. Betapa banyak masalah siswa di sekolah yang dipicu karena urusan rumah tangga yang tak beres.
Tidakkah Ibunya mengajarkan mereka tentang kehidupan? Tentang cara-cara menjalaninya? Barangkali memang tidak. Ibunya tersibuk dengan dirinya sendiri. Dengan dunianya. Dengan pertengkarannya dengan Bapak si Anak. Dengan keseriusannya menghidupi keluarga, karena tidak beruntung memilih Bapak yang tidak bertanggung jawab untuk si anak. Ibunya lupa, bahwa anak adalah amanah Sang Pencipta kepadanya.

Jika sudah bicara amanah, kembali lagi, bagiku Ibu yang hebat itu adalah ibu yang amanah pada perannya. Itu pula (mungkin) alasan sebagian orang (bapak) tidak mengizinkan induak barehnya bekerja di luar rumah. Cukuplah ia serius mengabdi pada keluarga, mendidik anak, dan hal-hal dalam ranah domestik lainnya.

Sepertinya mungkin sederhana, tapi, apa iya? Menuntaskan pekerjaan rumah tangga yang dianggap sepele oleh sebagian laki-laki, setiap hari. Belum lagi mengurusi anak-anak. Plus, harus menjadi konselor terbaik buat anak-anaknya. Mendampingi si anak dalam setiap perubahan masa kehidupannya. Bercerita dan ikut menggambar di waktu anak TK. Mendengarkan sepak-terjang sang anak ketika SD. Dipanggil ke sekolah. Menasehati. Mendengar cerita-cerita gebetan sang anak yang sudah remaja. Mengajarkan cara memilah dan memilih yang benar sesuai ajaran langit.

Apalagi, urusan terbesar sang anak. Suatu masa, si Ibu harus rela anaknya di-amanahkan, dipercayakan pada seseorang. Jika itu anak gadis, ia harus rela berbagi dengan lelaki asing, entah siapa-siapa, yang akan hidup dengan anaknya, besok dan hari selanjutnya. Sedang jika itu laki-laki, ia mesti rela anaknya diurus oleh perempuan manalah, yang entah bisa benar-benar mengurus anaknya.

Cemas. Pasti saja si ibu cemas ketika waktu itu benar-benar tiba. Ia cemas kehilangan buah hatinya. Ia sedih akan terpisah dan tak lagi mengurusi kehidupannya. Bahkan, harus meminta izin pula kepada lelaki asing itu, jika ingin menyuruh sesuatu pada anak gadisnya. Pantas saja, setiap ibu sangat hati-hati melihat dan memilih lelaki asing untuk kehidupan masa depan anaknya.

Bagi mereka yang tak pernah merasakan kedekatan dengan Ibu bagaimana? Sudah. Sudah lama ia tak rasakan kehangatan kasih sayang si ibu. Maka, jika ada masanya ia menjadi seorang ibu, akan canggung, bagaimana seorang ibu itu berlaku pada anaknya? Ya, itu hanya sebagian, tidak seluruhnya. Bisa saja, lingkungan yang mengajarkannya.

Hari ini, 22 Juli, hari Ibuku. Aku mengagumi, memuji dan mendoakan setiap ibu yang telah menghebatkan anaknya. Suatu kali, aku pernah berucap pada seorang ibu ketika anaknya diwisuda. Aku ucapkan selamat. Selamat bukan pada sang anak. Tapi pada ibunya. Bukankah selama ini Ibunyalah yang selalu berdoa siang dan malam agar dimudahkan jalan yang berliku itu, dilancarkan semua urusannya. Hingga ia wisuda.

Jadi jangan bangga sendiri, kita dapatkan apapun, bukan semata-mata atas usaha sendiri. Doa ibulah yang banyak berperan untuk semuanya. Maka, bahagiakanlah hatinya. Agar kita beroleh kebahagiaan pula dalam hidup yang tersisa tak lama ini.

Hari ini pula, aku merasa sedang mengutuk setiap ibu yang tidak amanah pada anaknya. Pada ibu yang sengaja menghabisi nyawa si calon anak sejak awal, aborsi. Pada Ibu yang tidak mendidik dengan baik. Yang tidak peduli pada setiap perkembangan fisik dan psikologis anaknya. Membengkalaikan kehidupannya. Yang tersibuk pada facebook dan arisan semata. Dan, yang..yang... lainnya.

Selebihnya, selamat hari lahir Ibu.. Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.. Senantiasa dalam lindungan dan berkahNya.. Amiin.

Bagiku, hal terindah sejak dulu sampai kini, adalah dirimu. Meski wajah dan usia kian menua, hidupmu bukan saja di dunia, tapi dalam jiwa dan kehidupan kami. Doakan kami Ibu. Doakan kami bisa berperan sepertimu kelak. Menjadi ibu yang baik, cerdas dan amanah bagi kehidupan setelah ini. Tentu dengan itu saja caranya membuktikan, bahwa kami telah belajar banyak darimu. Dari sebilah tulang rusuk yang bengkok, yang dipertemukan Tuhan dengan Ayah. Lalu, menjadi kesempurnaan yang selalu kami banggakan. (*)





19.7.12

Dialog Panjang; Berkepanjangan



Dialog atau percakapan ini terjadi di negeri kami. Mungkin bisa dikata berkepanjangan beberapa masa terakhir. Masing-masing yang berdialog, mungkin paham apa yang menjadi akar persoalan. Dan secara cerdas mereka tak mempersoalkan perbedaan itu. Yang mempersoalkan adalah, orang yang tak mau adanya perbedaan. Mereka ingin terlihat kompak. Selalu bersama. Kadang, tak semua hal bisa disamakan. Apalagi pada hal yang menjadi pilihan dan keyakinan. 

Nah, bagi yang tak yakin, ya akan aman-aman saja. Tak jadi soal. Karena ia tak memilih. Mana yang terlihat ramai, di sanalah ia berada. Ke mana angin yang kencang, ke situ lah ia berhaluan. 

Bagi yang yakin dengan pilihannya, tentu juga tak masalah. Ia tahu atas apa yang dipilihnya. Tak asal.
Nah, dialog ini bisa saja tak akan berkepanjangan. Tapi...entahlah, kapan, mungkin suatu masa. Ketika ilmu pengetahuan tak bisa membuktikan kebenaran. Ketika semua berkaca pada tradisi semata, pada adat kebiasaan. Mungkin, suatu masa. Saat orang-orang tak mampu lagi memilih dan memilah, apa yang akan dipilihnya. Mungkin suatu masa. Ketika semua orang diharuskan memilih pada satu hal yang sama. Yang serupa. Dan begitulah aturannya.

--------------------------------------- dialog dimulai    -----------------------------------------------
Nah, apa masalahnya?
----
“Dia ndak patuh.”
                “Saya bukan tak patuh. Hanya ingin melakukan yang saya yakini saja. “
“Kamu kurang tahunya, kurang pahamnya mungkin.”
“Barangkali dianggap seperti itu. Tapi, sepanjang jalan ini, saya memilih langkah ini. Dan saya mencoba kommit dengan langkah saya. Tidak lucu kan, kalau sepanjang jalan, saya memilih rel kereta, tiba-tiba dalam hari-hari ini, saya beralih ke aspal. Atau tiba-tiba ada dua ‘hari’ yang sama dalam penanggalan saya sepanjang tahun ini. Ini ibarat rute yang separuhnya sudah saya jalankan, ya, melanjutkan saja kan. Rute anda, ya silahkan dilanjutkan pula.”
“Lihatlah, orang-orang bingung dibuatmu.”
                “Saya tak bermaksud membuat bingung orang-orang.”
“Lalu kenapa membesarkan dan ribet begini urusannnya?”
“Ya, barangkali di antara kita ingin tahu lebih jelas saja, apa alasan perbedaan itu. Mereka juga ingin paham.”
“Ya, kan itu jadi masalah kan?!”
“Siapa bilang itu akan jadi masalah. Mungkin yang tidak terbiasa dengan ke-universal-an saja yang akan mempersoalkan dan memperpanjang urusannya.”
“kalau semua bingung, itu masalah jadinya.”
“Itulah kenapa belajar itu menjadi wajib. Mengetahui yang belum diketahui itu dengan cara belajar. Kita sudah difasilitasi akal dan pikiran, untuk memikirkan ilmu pengetahuan, dan mengkaji sejarah.”
“lihat saja, selalu saja kamu yang berbeda kan?!”
“Sederhana saja, karena kamu sedang berada pada bagian ‘yang menetapkan’. Saya kira kita hanya perlu saling menghargai. Saya menghargai ketetapanmu itu. Dan hendaknya kamu juga menghargai saya tho. Itu saja.”
“Oke, kalau begitu datanglah rapat besok. Jangan berkeras hati, patuhlah pada aturan yang dibuat. Kita bisa jalankan bersama.”
“Buat apa menghadiri rapat yang hanya sekedar mendengarkan keputusan. Kita sedang tidak bersama dalam pendapat. Ya, mari jalankan dan hargai pendapat masing-masing. Begitu mungkin lebih baik. Saya denga rute yang telah saya siapkan jauh sebelum ini, dan kamu denga rute yang akan kamu tetapkan dalam sidang itu. Aman kan.”
“Yah, saya kan sudah bilang. Langkahmu itu, ndak ada dalam sejarah dan tradisi kita. Kamu mbok ya jangan macam-macam toh. Jangan bikin riweuh suasana. Ribut. Bingung. Dari jaman apa, ndak ada yang dijalankan yang kamu bilang itu. Ndak pernah ada.”
“Jika kita sepakat mengatakan bahwa kondisi hari ini tak sama dengan kondisi dulu, tentu kita juga akan sepakati bahwa, cara yang akan digunakan hari ini, mungkin saja juga akan berbeda dengan cara-cara yang digunakan, dilaksanakan pada kondisi dulu itu. Bagaimana akan memaksakan sesuatu pada seorang yang sudah belajar, mengkaji, mencari, dan yakin pada apa yang diketahuinya. Tidak akan mudah mengubah sesuatu dengan memaksa pada orang yang tahu, mengerti, apalagi yakin.”
“Kalau begitu, kenapa kamu ndak mencoba patuhi saja. Toh, patuh itu juga bagian dari aturan kita kan??”
“Ya, itu tadi. Sekedar patuh, itu tidak cerdas, tidak elegan. Kita bisa patuh dan tunduk, jika juga meyakini. Tanpa disuruh pun, jika yakin pastilah patuh. Tapi buat apa melakukan sesuatu jika hati kita sendiri tak pernah tunduk.”

-----------------------------pembicaraan terhenti, tanpa kesimpulan-----------------------------------

Kita menanti mentari terbit esok hari. Tapi kita tak sedang menanti kebenaran yang masih disangsikan. Masing-masing kita berhak dengan apapun bentuk kebenaran yang kita yakini, selagi itu tidak mengubah hal-hal yang menjadi fondasi. Ini hanyalah bagian. Ibarat cabang dari sebuah pohon. Bukan akarnya, bukan batangnya. Menyadari hak sendiri, dan menghargai hak orang lain mungkin kata kunci saat ini. Bukankah begitu salah satu bentuk demokrasi yang diajarkan bangsa ini. 

Maka, biarkan. Biarkan mereka menjalani apa yang diyakini. Kita pun akan begitu. Tak sulit, dan tak perlu diperuncing. Yang salah adalah yang tidak menjalani. Jadi, selagi ia menjalankan, hargailah. Itu pendapatnya.
Seorang yang mau belajar akan lunak hatinya dengan kebenaran yang disampaikan baik dengan dasar ilmu pengetahuan ataupun pelajaran dari tradisi masa lalu. Bukan langsung yakin, pada sesuatu  hanya tersebab itu adalah bagian tradisi. Bukan pula menerima mentah-mentah segala sesuatu hanya karena ia adalah aturan yang berlaku. Dan, aturan yang dibuat itu, bukan berarti nihil kritisi, kan?!


18.7.12

Indah



Siapalah yang tak akan menyebut indah, jika melihat dua orang tua bersahabat. Kira-kira barapk tua itu sudah berusia diatas 60 tahun. Yang satu menyetir mobil, angkotnya. Bapak satunya lagi duduk di sampingnya. Mereka berbincang, bercerita, sesekali tergelak, dan terlihat damai. Indah sekali. 

Di sebuah persimpangan terminal di kotaku, untuk kedua kalinya, aku memperhatikan pelangi yang muncul di langit kota. Pertama, ketika sepulang sekolah, aku melihat lukisan alam itu melingkar di atas bangunan lantai dua, rumah makan. Tidak satu, tapi dua. Dua lingkaran pelanginya. Sungguh indah saat itu. Kali ini, aku melihat pelangi melingkar di kaki Gunung Singgalang. Terlihat di belakang toko mainan depan sebuah SMA negeri unggulan kotaku. Sungguh indah.

Dalam perjalanan batas kota, asap kelabu menyembul dari puncak datar Gunung Merapi. Sedikit. Sedikit. Mengembang. Berubah warna. Menyebar. Dan pudar. Indah sekali tampaknya warna asap letusan gunung itu keluar gagah dari gunung biru yang juga tampak gagah. Dipadu dengan warna langit biru cerah, dan bersisik-sisik lukisan awannya. Sungguh menakjubkan. 

Berada di perbatasan dua gunung ternama di ranah Andalas ini, memberikan pesona lain. Telaga yang ditumbuhi enceng gondok, sebagiannya memantulkan puncak gunung yang gersang itu. 

Ke sisi lain memandang, lihatlah para petani sudah berada di ladang mereka semenjak subuh. Kali ini, mereka memanen daun bawang. Membuang bagian luar daun yang sudah membusuk. Menyiangi. Menumpuk yang sudah bersih. Berlima mereka bekerja. Terlihat dua orang perempuan paruh baya, dua orang pemuda, dan satu anak kecil. Barangkali itu anak si petani, yang sudah libur menyambut Ramadhan. Dua orang ibu itu berbincang, berdiri sambil terus menyiangi daun bawang. Wajah mereka riang. Indah sekali. 

Tak jauh dari pemandangan penuh keakraban itu, lihatlah, lagi-lagi ada pelangi. Kali ini ia melingkar tak penuh 180 derjat, di atas bukit yang memagar Padang Panjang. Meski tak utuh, warna bias air itu tetap terlihat indah di langit berawan cerah. 

Ada dua yang tak indah dalam perjalanan pagi ini. Satu, sebuah truk terjun ke jurang. Tahukah, ini kali ketiga setahun terakhir bus/truk jatuh di tempat itu. Belum lagi sebulan batas jalan itu diperbaiki, kini sudah retak dan pecah, ditembus truk. Betapa tidak damainya mereka yang tinggal di rumah di bawah jurang itu. Cemas.
Kedua, sangat tak indah menyaksikan kerumunan orang di penurunan menuju kota. Baru saja terjadi kecelakaan di sisi kiri jalan ini. Tampak tiga orang polisi berseragam  coklat dan rompi berbis hijau stabilo, terang. Satu diantara mereka memegang kertas, pena, dan sebuah alat komunikasi khas polisi. Barangkali, roger pula namanya. Tak indah. Orang-orang tampak sibuk, cemas, ramai, riuh. 

Bagaimana sebetulnya kita menilai sebuah keindahan? Bisakah indah itu dilihat pada sebuah  persahabatan? Indah juga kasih sayang yang tulus. Indah adalah kedamaian. Indah, adalah sesuatu yang tak biasa, yang membuat orang-orang jenuh dengan kebiasaan itu. Indah sebetulnya adalah sudut pandang. Bagaimana kita melihat segalanya menjadi indah, tersebab dari hati yang menyiapkan diri memandang dengan indah. Keindahan yang tak tampak seperti pelangi-pelangi itu, menjadi tampak pada persahabatan dua orang tua. Indah itu adalah bentuk kesyukuran yang berasal hati manusia yang menyebabkan kedamaian.

 ^__^



17.7.12

Untuk Nia




Apa yang kita inginkan memang tidak akan semuanya terkabul. Kadang, yang terjadi justru berbeda dengan harapan kita. Ya, begitulah kehidupan. Kita selalu diajar bagaimana menerima semuanya, karena di sanalah jawaban adakah iman di hati kita. Keyakinan bahwa ada yang Maha Segalanya yang mengatur kehidupan ini. 

Apa yang menjadi pilihan kita kadang tidak terlaksana. Lalu dituntut menjalani pilihan lain. Itulah yang terjadi pada Nia. Kurnia nama siswi itu. Sebelum tes masuk perguruan tinggi ia ingin melanjutkan pendidikannya ke jurusan pendidikan bahasa inggris. Ia  memilih pilihan pertama jurusan tersebut. Pilihan kedua dan ketiga diisinya berdasarkan saran dan rekomendasi gurunya di sekolah. Walhasil, Nia lulus di pilihan ketiga. AgroEkoTek di fakultas Pertanian. 

Asing. Baginya jurusan itu sangat asing di telinga. Ia tidak tahu muara sarjana dari jurusan tersebut. Apa profesinya kelak. Bagaimana jaminan kehidupan dengan bekerja berlatar pendidikan tersebut. Berbalikan dengan dengan jurusan pendidikan bahasa inggris. Jelas. Setamat di jurusan tersebut ia bisa mengaplikasikan ilmunya, mengajar di sekolah apa saja nanti. Untung-untung ia lulus tes calon pegawai negeri. Menjadilah ia guru di sekolah negeri. Meski gaji ditakar, tapi setidaknya aman bagi perempuan dan sedikit ada jaminan masa depan. Begitu silkus hidup dalam gambarannya.

Tapi, siklus itu bukan kita yang mengatur bukan? Persoalannya hanya, kita banyak tidak tahu atau belum tahunya. Ilmu kita terlalu sedikit untuk menilai beginilah atau begitulah yang terbaik untuk kita.

Kondisi sekarang, Nia lulus di perguruan tinggi terbaik daerah itu juga bukan tes biasa. Ia lulus beasiswa FULL. Ia mendapat jaminan pendidikan sampai sarjana. Ibarat mendapat durian runtuh senangnya orang tua Nia. Berpikir dapat menguliahkan anak saja sudahlah impiannya, apalagi berkah beasiswa jaminan sampai tamat itu pula. 

Bukankah itu suatu kesempatan ? Kesempatan bagi orang lain mungkin, itu pikiran Nia. Kesempatan itu jika tak berpandai-pandai, hanya akan terbuang sia-sia. Dan jika pandai mengelola hati, ego dan pikiran dengan baik,  kesempatan yang sebenarnya bukanlah keinginan itu malah bisa menjadi peluang. 

Menolak realita, menjauh dari kemungkinan yang berseberangan dengan keinginan kita adalah hal bodoh, Nia. Cemen, kata orang sekarang. Kita memang tak bisa berkeras dengan jalan hidup. Tapi kita akan diuji dengan kesungguhan kita atas keinginan pada sesuatu.
Jika kita memilih bertahan pada keinginan dan impian kita, sementara peluang-peluang sudah dibukakan, konsekuensinya adalah penyesalan. Suatu saat kita akan merasa kehilangan atas peluang dan kesempatan yang telah diberikanNya. Kita tak tepat memilih.

Yang terbaik adalah, kita bisa menerima sesuatu dengan ikhlas. Bukankah kita telah berjuang untuk mendapatkan kesempatan pada apa yang kita inginkan, tapi Tuhan tidak memberi jalan untuk itu. Tuhan bukakan pintu lain. Mungkin itu yang lebih baik untuk kita, hanya saja kita tidak tahu, atau belum tahu. Kita akan tahu Nia, jika kita bisa menerima pilihan tersebut dengan ikhlas, menjalani dengan pikiran cerdas dan lapang dada. Menyiasati yang bukan pilihan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan, itulah sebenarnya yang diperlukan dalam kehidupan kita. 

Siapa yang menjamin kehidupan Nia akan lebih baik di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris itu? Jurusan Agro ini juga tidak kalah hebat. Cari tahulah kehebatannya. Jangan membandingkan dua hal yang tidak sama diketahui. 

Bagusnya, Nia menjalani dulu di jurusan agro eko ini, jika dalam setahun ini rupanya tidak bisa mengubah kesempatan menjadi peluang, maka lakukan yang diinginkan cita-citamu. Lakukan keinginanmu. Orang akan berani, bahkan sangat berani terhadap segala resiko atas pilihannya sendiri. Akan ada pelajaran yang mendewasakan. Ya, resiko adalah konsekuensi sebuah pilihan Nia. :)


Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...