Hari
itu saya harus kembali ke kota X, menyerahkan kelengkapan bahan. Maka
berangkatlah saya menjelang siang itu dengan travel X berwarna putih. Ketika
travel itu berhenti di depan saya, hanya ada beberapa mahasiswa yang mengikut
naik. Entah kenapa, mereka yang jadi duluan naik, lalu memilih tempat duduk
sesukanya. Jadilah saya duduk di tengah, sampai ada penumpang (yang akan saya
ceritakan) duduk di samping menggantikan agen.
Setelah
kami (saya dan adik-adik mahasiswa) duduk nyaman, naiklah seorang bapak dan
anaknya, lalu seorang ibu dan anaknya. Pertama, si Bapak dan anak lelaki
kira-kira usia lima tahunnya naik. Bapak ini, ada kekurangan di bagian mata.
Jadi agak kesulitan melihat dengan tatapan lurus dan melirik selayaknya orang
normal. Saat itu si Agen menyuruh mereka berdua langsung duduk di belakang.
Tapi si Bapak menolak.
“Wah,
anak saya susah duduk di belakang, nanti mabuk.” Si Bapak berkata.
“Ahh..naik
aja. Langsung ke belakang ya! Cepat..cepat..” si agen mendesak balik.
Akhirnya
si Bapak naik, langsung ambil posisi di belakang. Meski berat, ia tetap ikuti
aturan agen itu.
Saya
tidak suka ‘adegan’ ini! Si Agen sok banget. Mentang-mentang apa, ia suruh
se-enaknya begitu. Kalau saya jadi si Bapak, saya tak akan jadi naik itu
travel. Emang dia aja yang punya travel? Beuuhh!!!
Kedua,
seorang ibu agak gemuk naik dengan anaknya. Semula mereka terlihat ragu-ragu
akan naik ini travel. Tapi si agen ngotot,
“Muat
kok... masih bisa...! “
Padahal
di bangku tengah itu, sudah ada saya dan si mahasiswa keriting yang sudah ambil
posisi wueenak tidur di pinggir. Masa mau ditambah dua lagi??! Ya, gak jadi
travel dunk!! Malah jadi tak nyaman.
Si
Agen masih membujuk si Ibu. Saya lalu berkata pada si sopir,
“Uda,
kalau berdua gak akan muat. Sempit... mau duduk dimana coba?” saya juga
‘membujuk’.
Akhirnya,
berkat rayuan si Agen, ibu dan anak ‘gadis’ nya ini naik. Duduk tepat di
samping saya. Menggantikan si agen. Mau apa? Si Sopir hanya bisa menerima. Tak
menolak keras. Mungkin ia juga takut, besok-besok si agen itu tak mau lagi
‘meng-agen-i’nya. Karena ia terlalu banyak pilihan dan aturan.
Kalau
menurut saya sih ya, si sopir ini harus tegas juga. Biar. Biar saja si agen
songong itu tak mau jadi agen nya lagi. Emang dia pikir dia satu-satunya agen
di dunia ini?? Ya, dia juga harus diajari tentang ‘tahu diri’.
Ya
sudah. Saya pikir, itu takdir. Duduk bersempit-sempit. Di kanan, mahasiswa yang
mengingatkan saya pada Nobi Nobita. Belum lima menit sudah tertidur. Di kiri,
anak ‘gadis’ si ibu yang mengingatkan saya pada ‘seorang adik’. Lalu, mesti
ikhlas, suasana nyaman berganti ribut, oleh celotehan-ribut khas bahasa daerah
si Ibu.
Belum
jalan berapa jauh, apa yang dikatakan si Bapak yang duduk di belakang tadi
benar kejadian. Bocah lelaki – anaknya itu bilang mau muntah. Si Bapak tanya ke
saya, ada kantong plastik. Saya ya, tak punya, lalu tanya pada sopir.
“Uda,
ada kantong plastik?” Si sopir tampak menepi, lalu mencari-cari.
“Coba
tanya atau beli di sana saja Uda..” saya menyarankan. Sopir muda itupun
langsung turun dan menuju ke sebuah kedai di pinggir jalan. Belum lagi si Uda
Sopir kembali, bocah itu seperti sudah tak tahan akan mengeluarkan isi
perutnya.
Si
bapak bingung.
“Pak,
turun saja. Di luar saja. Buk.. buka pintunya buk. Ibu keluar dulu.. “ Saya
panik. *Lho, kok jadi saya yang panik ya?!*
“Ha.
Saya tak bisa buka pintunya!!” Si ibu tak kalah panik. Berkata volume tingkat
berapa ke saya. Hahaha. Itu sih emang aslinya volume segitu kali ya. :D
Saya
lalu membukakan pintu, sedikit mendorong ibu itu agar turun. Mendorong kursi
lagi, agar bocah itu juga dapat turun. Keluar sudah. Aman.. dan lega.
Si
bocah pasti lega, sedikit ketidaknyamanannya itu tersingkir sudah. Aman. Saya
aman dari semburan ‘lahar’ itu. Karena posisi saya tepat di depan mereka. Ya...
menakutkan dan menyeramkan memang. Si sopir sudah kembali? Ya. Sama seperti
adegan polisi datang saat pencuri sudah terlanjur menghilang, berlari. Si Sopir
datang membawa kantong kresek itu setelah semua berubah lega dan aman.
Oke.
Kita PAUSE dulu di sini ceritanya. Ibarat film, semua pemeran diam di tempat,
suasana diam dan kaku. Narator akan bicara.
...Baik,
kita pelajari satu per satu. Si Bapak sedari awal sudah mengingatkan agen dan
sopir, tapi mereka tak mengindahkan. Kejadian juga kan?! Si Bapak memang
mengaku, ini kali pertama ia membawa anaknya naik mobil. Plis deh!! Hari gini,
ternyata masih ada orang yang sebegitu susahnya naik mobil. Jangan berpikir ia
akan membawa anaknya tour, liburan, dan berkunjung ke rumah sanak famili di
luar kota. Mungkin, sekedar pulang kampung saja jarang ia lakukan.
Lha.
Ibu anak ini mana?? Biasanya yang telaten mengurus anak itu kan Ibunya. Yang
tidak berlepas tangan membiarkan bocah lima tahun itu turun sendiri. Tidak
mengusap punggung anaknya saat mengeluarkan isi perutnya. Yang mengoles semacam
minyak penghangat perut, lalu memberi minum dan membuat anaknya nyaman. Tidak
ada. Ibunya tak ikut, mungkin sedang ada kerja lain. Atau sudah lebih dulu
pulang kampung. Entahlah.
Ini
juga aneh. Masa membuka pintu saja, tidak tahu caranya. Halllooo...ibu itu
hidup di jaman apa sih ya?? Dan...begitulah realitanya Sayang.. Kita tidak tahu
bagaimana mereka menjalani hari-hari. Mungkin ada kendaraan, motor yang tak
perlu pembuka seperti Avanza ini. Mungkin aktifitasnya cukup dengan berjalan
kaki setiap hari. Atau, kalaupun keluar kota, ia tak perlu membuka mobil lagi,
karena angkot dan bus di kotanya itu, sudah terbuka pintunya. Jarang ada yang
menutup.
Kita
juga tak pernah peduli, sebegitu ‘parah’nya kehidupan di sekitar kita. Kita
banyak tak tahu. Itulah kenapa kita diprintahkan “Siiruuu fil ardh..”
“berjalanlah..” kita akan banyak belajar dari kehidupan orang-orang di sekitar
kita.
Nah,
kalian akan bertanya tentang empat mahasiswa yang naik bersamaan dengan saya
bukan? Ya, mereka masih ada. Belum turun. Yang satu di samping saya, sudah
tidur. Lelap. Kadang-kadang hampir mengenai bahu saya. Seett. Saya langsung gesit,
“Maaf..dek.. ini, maaf..” saya sedikit tega untuk memukul-mukul bahunya.
Ih..siapa suruh juga, tidurnya itu mengganggu kenyamanan saya. Emangnya dia
siapa hah? Adik saya bukan, tetangga bukan, suami bukan. Enak aja, rebah
begitu. Hadehh! Ini kan bukan lagi adegan romantis. Toh kalau seperti
romantisan begitu, si cewek yang sandaran ke cowok. Bukan sebaliknya. Cemeenn..
;P
Tiga
lagi? Yang dua di belakang, sejak awal sudah sadar kalau posisi wueeenak buat
mereka tidur itu adalah di bangku belakang. Ya, mereka dari awal sudah tidur.
Lelap. Entah sekalian pura-pura tidak tahu dengan kejadian Bapak dan bocah di
samping mereka. Biar tidak ketularan mual. Hahaha.
Satu
lagi? Yang satu ini sibuuukk banget. Kayak dapat mainan baru. Kayak anak autis.
Bebe-an. Senyum-senyum. Tak peduli dengan orang sekitarnya. Saya iseng ganggu
dia.
“Dek,
tolong ambilin tisu itu dunk” dia berikan.
Lalu
saya minta dikembalikan lagi ke tempatnya, “Dek, taruh lagi aja di sana”.
Dia
Bete mungkin ya. Hahaha. Loe juga sih, gak ngeh dengan lingkungan. Orang
sudah panik dari tadi, masiiii aja sibuk sendiri. Padahal anak gadis yang
beneran autis duduk di belakangnya itu sudah susah dari tadi. Dia mah cuek aja.
Ihhh.. anak jaman sekarang...kurang bener sosialnya.
*lha
emang saya idup di jaman apa?!*
Okee..
tombol PAUSE ditekan lagi...
Perjalanan
dilanjutkan. Posisi saya sedikit nyaman. Si adik mahasiswa sudah sadar. Adik
gadis autis juga nyaman duduknya. Si Ibu juga diam.
Saya
tertarik bertanya pada si Ibu.
“Berapa
umurnya Bu?”
“Tujuh
belas tahun” jawab si Ibu.
Saya
teringat ‘seorang adik’ yang saya sebutkan di awal. Usia yang sama. Bedanya,
gadis autis ini, sakit karena demam panas yang sangat tinggi. Saya juga sudah
menduga itu. Rata-rata anak idiot, kembar seribu dan sejenisnya memang karena
panas yang terlalu tinggi. Sampai-sampai, menurut cerita si Ibu, anak gadisnya
ini baru bisa berjalan saat berusia delapan tahun. Ada Ajo, -kakak
laki-laki-nya yang dengan sabar terus melatih ia berjalan.
Sebut
saja Putri, saya lupa bertanya namanya. Si Putri ini bisa sekolah pun juga
lewat Ajo-nya. Suatu hari, Putri sedang ikut membantu Ajonya yang berjualan
sate. Seorang pembeli sate, memberitahukan kalau ada sebuah sekolah yang
mencari anak-anak spesial seperti Putri. Sekolah itu gartis. Maka datanglah Ajo
mencari sekolah tersebut. Setelah menemui kepala sekolah, dan menanyai Putri,
akhirnya gadis itu sekolah, dan diasramakan.
Satu
tahun berlalu. Ini liburan Putri. Ia akan dititipkan pada kakaknya yang juga
berjualan sate di kota lain. Itulah, ia menumpang travel ini. Satu tahun yang
sangat berarti bagi Putri dan Ibunya. Putri sudha bisa mengurus dirinya
sendiri. Tahu mana yang rapi mana yang berantakan. Ia mandi dua kali sehari.
Dulunya, ia malas mandi. Bahkan, ia sudah bisa membaca dan menulis. Walau masih
dalam tahap dasar. Sangat dasar. Tapi, ia sudah mampu menulis namanya, nama Ibu
dan Ajo-nya.
Liburan
ini Putri pulang dengan baju baru yang diberikan sekolah. Baju lebaran. Lengkap
dengan makanan dan uang saku ia dibekali. Ia memang harus dijemput. Sekolah tak
sembarangan membiarkan anak-anak special itu pulang sendirinya. Dan, Ibunya
menjemput Putri, lalu mengantarnya ‘berlibur’.
Tak
ada kesedihan di wajah Putri, meski sejak saya memperhatikan dua beranak itu,
si anak selalu ‘dimarahi’ ibunya. Ah,,mungkin ia sudah paham, ibunya bukan
bermaksud marah, tapi, ya begitulah logat aslinya. Sesekali ia bersandar pada
Ibunya. Tidak. Bukan seperti kejadian seorang Bunda yang kemudian memeluk anaknya.
Si Ibu malah berkata, “Ha..duduk yang benar..”. Hehehe. Saya berlinang air mata
menyaksikan itu.
Kenapa
kemudian harus gengsi dengan kasih sayang?? Kalau sayang ya, katakan sayang.
Kenapa segan mengungkapkannya. Sayang memang tak selalu berbalas. Tapi, yang
namanya sayang, tak pudar terus dipancarkan. Putri tak bosan. Meski ibunya
begitu, ia terkekeh, tertawa, lalu duduk lurus dan benar –menurut ibunya-
sebentar, tak lama, ia merengek dan kembali memeluk ibunya.
Si
Ibu itu sebenarnya sangatlah sayang pada Putri. Kalau tak sayang, kenapa pula
ia tega berpisah dengan bungsunya itu. Membiarkan Putri belajar dengan orang
lain. Hari-hari pertama berpisah, -menurut ceritanya yang tak henti- susahlah
tidur dibuatnya. Siang teringat malam terbayang. Bapak si Putri sudah sepuluh
tahun meninggal. Ia tidur dengan gadis autis kesayangannya itu.
Tapi,
Si Ibu bersikap tegas (kasar) kepada Putri agar ia terbiasa dengan perlakuan
orang lain yang tak akan pernah sama –sayang dan peduli- kepadanya. Suatu saat,
ia akan belajar dan hidup dengan orang lain. Sampai kapanlah si Ibu itu akan
terus bersamanya. Usia yang sudah kepala lima itu, tak menjamin bisa selamanya
bersama Putri.
Jika
kelak, si Ibu pergi, -katanya-, ia pasrahkan. Ia yakin, anak seperti Putri itu
Tuhan tak akan sia-siakan. Ada Ajo yang selalu sayang kepadanya. Dan, pastinya,
ada jalannya yang sudah digariskan Yang Kuasa.
Haru.
Walau semua cerita itu diceritakan dengan volume “WOW”, saya tetap saja
terharu. Sepertinya, ini hanya masalah kebiasaan. Ketika satu, dua, dan tiga
kali saya risih dengan volume dan logat itu, Empat, lima, dan enam, saya
kemudian terbiasa. *Nah, sekarang ceritanya sampai bilangan tiga puluh
sekian...gimana tak terbiasa?? Hahaha.
**
Hampir
satu setengah jam dari kota X, saya kemudian sampai di kota Y. Urusan ini mesti
dilanjutkan. Putri saja, selalu semangat dalam hidupnya yang tak biasa, kenapa
lantas saya yang tak semangat dalam kehidupan normal yang alhamdulillah biasa
ini? J Putri dan ibunya, si bocah dan bapaknya telah
menginspirasi saya siang itu.
Sebelum
saya sampai di kantor tujuan di kota Y, seorang mahasiswa yang saya sebut autis
itu, lebih dulu turun. Pantas saja, autis. Dia turun di komplek elit. Kadang
bisa dipahami, anak-anak elit emang kurang sosialnya.
*Ehh,,,gak
juga kali ya?! Kita salah beranggapan. Justru karena dia mampu, ia harus
melatih sense of belonging-nya itu. Tapi, kalo dia emang sebutlah tajir,
ngapain juga naik travel murahan begini? Kenapa gak bawa kendaraan sendiri? Gak
diantar sopir? Gak naik Heli? Kok kuliahnya dalam propinsi aja? Gak di luar
negeri?? Hahaha. Ngawurrr deh.. :p
Okkay..thats
all my story. Saya kira ini bisa sedikit mengingatkan kita tentang kehidupan di
‘luar’ sana. Bahwa, ada yang berbeda dari kita. Lebih kaya, atau lebih miskin.
Lebih pintar, atau lebih bodoh. Yang pasti, kita akan bertemu semua itu. Kita
cukup sadari saja, jika kita berada di salah satu posisi itu, bagaimana
pantasnya kita menjadi hamba yang bersyukur. Karena kehidupan ini jelas, sudah
sangat jelas, ada yang mengatur.
Dan,
alhamdulillah..tak sampai sepuluh menit, urusan saya selesai
–Beresss..res..ress..- di kantor tujuan
kota Y itu. Alhamdulillah yaa...tidak seburuk yang dikhawatirkan. “Karena
kehidupan ini sudah ada yang mengatur Jenk..jalani saja se-terbaik dirimu
mampu..lalu bertawakkallah.” ^__^
(*)