26.8.12

Selamat Jalan Senior


Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..
saya terkejut pagi ini.. 

Ucapan selamat jalan kak Rizka untuk bang Jhon Maski, melintas di wall fb. Karena tak yakin, saya kemudian membuka wallnya. Dan, banyaklah orang-orang mengucapkan hal serupa.

Rupanya, Ramadhan itu waktu terakhir saya berbincang dengan senior Bahasa Arab yang dikenal ramah ini. Saat itu, saya berurusan di bagian umum Pasca Sarjana IAIN IB. Menyelesaikan surat-surat kelengkapan permohonan izin belajar yang dibutuhkan Pemko tempat saya bekerja. Saya bertemu dengan sang senior pagi menjelang siang itu.

Saat mengisi formulir daftar ulang, ia sempat bertanya tentang urusan saya. Karena sejak awal  urusan saya itu cukup rumit, saya merasa dapat kesempatan ‘curhat’. Apalagi selaku senior, mana tau dia juga punya solusi. Ia lalu mendengarkan, menyimak baik-baik. Kadang-kadang ber-O. Selesai cerita saya, beliau menyarankan : “Coba ditanya baik-baik ke bagian akademik..mana tau suratnya masih di sana. Bisa jadi kan?”

Saya kembali menjelaskan. Beliau kembali membri saran, “ya sudah, sabar saja dulu..”
Saya kemudian duduk di luar ruangan itu. Duduk. Duduk. Berifkir. Berfikir. Melamun. Si Senior lewat lagi. Tampaknya urusannya sudah selesai. Dia menanyai saya berempati, “belum selesai juga ya?”  saya jawab, belum.  Ia menanggapi dengan tersenyum lagi, “sabar dulu..” katanya.  

Tak mau menghabiskan waktu menunggu lama, saya kemudian memutuskan untuk ke Toko Buku dulu. Nanti siang saja kembali menjemput surat itu, pikir saya. Sesampai di parkiran saya dapati ia duduk di batu-batu taman, sendiri. Bermenung pula. Saya menyapanya, -sengaja membuatnya sedikit terkejut-.
“kemana?” ia bertanya.
“ke gramed bang. Sabarnya udah pergi. :D “ saya bercanda.
“oohh..” ia tersenyum.
“ha, bang Jhon masih ada urusan ya? Kenapa duduk di sana? Seperti.... hehehehe” saya bicara santai, sambil berlalu meninggalkannya.

Seperti biasa, ia hanya tersenyum.

Tapi, belum lagi saya meninggalkan area parkiran, Uni bagian akademik memanggil-manggil nama saya. Saya langsung berbalik. Mendekat. Surat itu selesai. Si Uni meminta saya mengfotokopi terlebih dahulu. Saya tersenyum girangnya. Alhamdulillah. Dengan semangat saya menerima surat itu. Dan, semua itu terjadi di depan senior itu. Ia melihat semuanya.

Sampai urusan saya selesai, lalu pulang, meninggalkan kampus, saya berpamitan padanya, berterima kasih. Ia masih duduk di batu itu. Entah menunggu apa atau siapa. Katanya saat ditanya, hanya ‘ada urusan yang belum selesai’.

selamat jalan senior..
Terima kasih untuk pelajaran senyum dan sabarnya..
Semoga amalnya diterima di sisi Allah.. Amiin ya Rabb..

-_-
Nimiasata


22.8.12

Tujuh Puisi


PUISI
           
#1
Aku teringat saat-saat indah
Kau hadir di depanku
Ada fantasi sesaat
Laksana raga polos yang indah

Di dalam siksaan yang tiada harapan
Terusik oleh imajinasi yang mengganggu
Terngiang-ngiang suaramu yang lembut di telingaku
Aku masih bermimpi melihat wajahmu yang manis

Bertahun-tahun telah berlalu
Badai dan bencana silih berganti
Membuyarkan kenangan masa lalu
Aku pun melupakan suaramu yang lembut
Juga bayangan dirimu

Di dalam kehidupan yang berliku-liku
Umurku pun bergulir secara perlahan
Tiada orang yang peduli, tiada naluri bersyair
Tiada air mata, tiada kehidupan dan tiada cinta

Jika sekarang aku mulai sadar
Saat ini muncul dirimu di hadapanku
Laksana fantasi sesaat
Laksana raga polos yang indah

Hatiku melompat-lompat kegirangan
Demi dia segalanya terdasarkan kembali
Ada orang yang peduli, air mata, juga ada cinta
___pushkin, Kuingat Saat indah itu


#2
Aku pernah terdiam, tiada berharap mencintaimu.
Aku bahkan menahan siksaan malu dan cemburu.
Aku pernah setulus hati dengan lembutnya mencintaimu, kuharap Yang Kuasa menganugerahi kekokohan laksana besi.
___pushkin, Aku Pernah Mencintaimu

#3
Di hutan yang sepi dan gelap,
pernahkah kau bertemu seseorang yang menyanyikan cinta dan patah hatinya?
Pernahkah kau melihat senyumnya,
bekas air matanya,
juga sinar matanya yang penuh dengan kesusahan hati?
___Pushkin, Sang Penyanyi

#4
Besok,
aku akan duduk di perapian dan melupakan segalanya,
hanya menatap orang yang kucintai tanpa berhenti.
Kami akan menunggu waktu bergulir,
dari pagi sampai malam,
menunggu sampai malam mengusir orang-orang yang ribut,
saat itu kita tidak akan terpisahkan.
__pushkin, Jalan Raya di Musim Dingin

#5
Hari demi hari bergulir bagaikan terbang,
Setiap menit membawa pergi bagian hidup,
Yang kita harapkan adalah kehidupan,
Tetapi kau lihat, ajal malah menjelang.
Di dunia ini tiada kebahagiaan,
Yang ada hanyalah kebebasan dan kesunyian.
__pushkin, Sudah Waktunya Pergi, Sayangku

#6
Cinta yang terpecah tiada henti,
karena tidak sabar menahan langkah kaki
sehingga menjadi hancur
Lupakanlah dia,
air matamu hanya akan membasahi sayapmu,
hanya jika kau mau berbesar hati,
sebenarnya kapan pun kau terbang,
hati ini sudah lama terluka.
__pushkin, Di Penghujung Cinta

#7
Segalanya telah berakhir,
Tiada lagi mengenang hubungan yang telah lalu,
Terakhir kali aku memeluk kedua lututmu,
Kuucapkan kalimat yang memilukan hati.
Segalanya telah berakhir,
Jawabanmu telah kudengar.
Aku tak mau membiarkan diriku tertipu lagi.
Barangkali masa lalu pasti dapat kulupakan,
Aku tiada lagi berjodoh dengan cinta di kehidupan ini


Ternyata mencintai seseorang bergantung pada takdir langit, dan tak bisa ditentukan oleh diri sendiri.
Semuanya telah ditentukan sejak awal. Aku menerima takdirku. Seperti apapun caraku menjalani hidup ini, semuanya adalah kisah hidupku.

#
Apalah artinya namaku bagimu?
Nama itu tak berjiwa
Dia akan menghilang, seperti raungan kecil
Dari gelombang yang menghantam tepian di kejauhan
Seperti suara riuh malam di hutan lebat

Nama itu akan tertulis di kertas memo, dengan kesedihan.
Cetakannya akan terlihat kusam
Seperti tulisan di batu nisan,
Tertinggal dalam bahasa asing.

Apalah artinya nama itu?
Sudah lama terlupakan
Dalam amukan gelombang dan angin baru yang menggelegak
Dia akan membawakan kenangan yang lembut dan murni
Di dalam lubuk jiwamu.

Namun, di dalam hari-harimu yang sunyi dan sedih,
Kumohon sebutkan namamu denga lirih,
Katakan bahwa “ada yang sedang merindukanmu”
Di dunia ini aku hidup di dalam hati seseorang yang merindukanku.
__pushkin, Namaku


#dikutip dari sebuah Novel terjemahan Cina

14.8.12

Dari Kota X ke kota Y [Part II]




Hari itu saya harus kembali ke kota X, menyerahkan kelengkapan bahan. Maka berangkatlah saya menjelang siang itu dengan travel X berwarna putih. Ketika travel itu berhenti di depan saya, hanya ada beberapa mahasiswa yang mengikut naik. Entah kenapa, mereka yang jadi duluan naik, lalu memilih tempat duduk sesukanya. Jadilah saya duduk di tengah, sampai ada penumpang (yang akan saya ceritakan) duduk di samping menggantikan agen.

Setelah kami (saya dan adik-adik mahasiswa) duduk nyaman, naiklah seorang bapak dan anaknya, lalu seorang ibu dan anaknya. Pertama, si Bapak dan anak lelaki kira-kira usia lima tahunnya naik. Bapak ini, ada kekurangan di bagian mata. Jadi agak kesulitan melihat dengan tatapan lurus dan melirik selayaknya orang normal. Saat itu si Agen menyuruh mereka berdua langsung duduk di belakang. Tapi si Bapak menolak.
“Wah, anak saya susah duduk di belakang, nanti mabuk.” Si Bapak berkata.
“Ahh..naik aja. Langsung ke belakang ya! Cepat..cepat..” si agen mendesak balik.

Akhirnya si Bapak naik, langsung ambil posisi di belakang. Meski berat, ia tetap ikuti aturan agen itu.
Saya tidak suka ‘adegan’ ini! Si Agen sok banget. Mentang-mentang apa, ia suruh se-enaknya begitu. Kalau saya jadi si Bapak, saya tak akan jadi naik itu travel. Emang dia aja yang punya travel? Beuuhh!!!

Kedua, seorang ibu agak gemuk naik dengan anaknya. Semula mereka terlihat ragu-ragu akan naik ini travel. Tapi si agen ngotot,
“Muat kok... masih bisa...! “

Padahal di bangku tengah itu, sudah ada saya dan si mahasiswa keriting yang sudah ambil posisi wueenak tidur di pinggir. Masa mau ditambah dua lagi??! Ya, gak jadi travel dunk!! Malah jadi tak nyaman.
Si Agen masih membujuk si Ibu. Saya lalu berkata pada si sopir,
“Uda, kalau berdua gak akan muat. Sempit... mau duduk dimana coba?” saya juga ‘membujuk’.

Akhirnya, berkat rayuan si Agen, ibu dan anak ‘gadis’ nya ini naik. Duduk tepat di samping saya. Menggantikan si agen. Mau apa? Si Sopir hanya bisa menerima. Tak menolak keras. Mungkin ia juga takut, besok-besok si agen itu tak mau lagi ‘meng-agen-i’nya. Karena ia terlalu banyak pilihan dan aturan.

Kalau menurut saya sih ya, si sopir ini harus tegas juga. Biar. Biar saja si agen songong itu tak mau jadi agen nya lagi. Emang dia pikir dia satu-satunya agen di dunia ini?? Ya, dia juga harus diajari tentang ‘tahu diri’.

Ya sudah. Saya pikir, itu takdir. Duduk bersempit-sempit. Di kanan, mahasiswa yang mengingatkan saya pada Nobi Nobita. Belum lima menit sudah tertidur. Di kiri, anak ‘gadis’ si ibu yang mengingatkan saya pada ‘seorang adik’. Lalu, mesti ikhlas, suasana nyaman berganti ribut, oleh celotehan-ribut khas bahasa daerah si Ibu.

Belum jalan berapa jauh, apa yang dikatakan si Bapak yang duduk di belakang tadi benar kejadian. Bocah lelaki – anaknya itu bilang mau muntah. Si Bapak tanya ke saya, ada kantong plastik. Saya ya, tak punya, lalu tanya pada sopir.

“Uda, ada kantong plastik?” Si sopir tampak menepi, lalu mencari-cari.
“Coba tanya atau beli di sana saja Uda..” saya menyarankan. Sopir muda itupun langsung turun dan menuju ke sebuah kedai di pinggir jalan. Belum lagi si Uda Sopir kembali, bocah itu seperti sudah tak tahan akan mengeluarkan isi perutnya.
Si bapak bingung.
“Pak, turun saja. Di luar saja. Buk.. buka pintunya buk. Ibu keluar dulu.. “ Saya panik. *Lho, kok jadi saya yang panik ya?!*

“Ha. Saya tak bisa buka pintunya!!” Si ibu tak kalah panik. Berkata volume tingkat berapa ke saya. Hahaha. Itu sih emang aslinya volume segitu kali ya. :D

Saya lalu membukakan pintu, sedikit mendorong ibu itu agar turun. Mendorong kursi lagi, agar bocah itu juga dapat turun. Keluar sudah. Aman.. dan lega.

Si bocah pasti lega, sedikit ketidaknyamanannya itu tersingkir sudah. Aman. Saya aman dari semburan ‘lahar’ itu. Karena posisi saya tepat di depan mereka. Ya... menakutkan dan menyeramkan memang. Si sopir sudah kembali? Ya. Sama seperti adegan polisi datang saat pencuri sudah terlanjur menghilang, berlari. Si Sopir datang membawa kantong kresek itu setelah semua berubah lega dan aman.

Oke. Kita PAUSE dulu di sini ceritanya. Ibarat film, semua pemeran diam di tempat, suasana diam dan kaku. Narator akan bicara.


...Baik, kita pelajari satu per satu. Si Bapak sedari awal sudah mengingatkan agen dan sopir, tapi mereka tak mengindahkan. Kejadian juga kan?! Si Bapak memang mengaku, ini kali pertama ia membawa anaknya naik mobil. Plis deh!! Hari gini, ternyata masih ada orang yang sebegitu susahnya naik mobil. Jangan berpikir ia akan membawa anaknya tour, liburan, dan berkunjung ke rumah sanak famili di luar kota. Mungkin, sekedar pulang kampung saja jarang ia lakukan.

Lha. Ibu anak ini mana?? Biasanya yang telaten mengurus anak itu kan Ibunya. Yang tidak berlepas tangan membiarkan bocah lima tahun itu turun sendiri. Tidak mengusap punggung anaknya saat mengeluarkan isi perutnya. Yang mengoles semacam minyak penghangat perut, lalu memberi minum dan membuat anaknya nyaman. Tidak ada. Ibunya tak ikut, mungkin sedang ada kerja lain. Atau sudah lebih dulu pulang kampung. Entahlah.

Ini juga aneh. Masa membuka pintu saja, tidak tahu caranya. Halllooo...ibu itu hidup di jaman apa sih ya?? Dan...begitulah realitanya Sayang.. Kita tidak tahu bagaimana mereka menjalani hari-hari. Mungkin ada kendaraan, motor yang tak perlu pembuka seperti Avanza ini. Mungkin aktifitasnya cukup dengan berjalan kaki setiap hari. Atau, kalaupun keluar kota, ia tak perlu membuka mobil lagi, karena angkot dan bus di kotanya itu, sudah terbuka pintunya. Jarang ada yang menutup.

Kita juga tak pernah peduli, sebegitu ‘parah’nya kehidupan di sekitar kita. Kita banyak tak tahu. Itulah kenapa kita diprintahkan “Siiruuu fil ardh..” “berjalanlah..” kita akan banyak belajar dari kehidupan orang-orang di sekitar kita.

Nah, kalian akan bertanya tentang empat mahasiswa yang naik bersamaan dengan saya bukan? Ya, mereka masih ada. Belum turun. Yang satu di samping saya, sudah tidur. Lelap. Kadang-kadang hampir mengenai bahu saya. Seett. Saya langsung gesit, “Maaf..dek.. ini, maaf..” saya sedikit tega untuk memukul-mukul bahunya. Ih..siapa suruh juga, tidurnya itu mengganggu kenyamanan saya. Emangnya dia siapa hah? Adik saya bukan, tetangga bukan, suami bukan. Enak aja, rebah begitu. Hadehh! Ini kan bukan lagi adegan romantis. Toh kalau seperti romantisan begitu, si cewek yang sandaran ke cowok. Bukan sebaliknya. Cemeenn.. ;P

Tiga lagi? Yang dua di belakang, sejak awal sudah sadar kalau posisi wueeenak buat mereka tidur itu adalah di bangku belakang. Ya, mereka dari awal sudah tidur. Lelap. Entah sekalian pura-pura tidak tahu dengan kejadian Bapak dan bocah di samping mereka. Biar tidak ketularan mual. Hahaha.

Satu lagi? Yang satu ini sibuuukk banget. Kayak dapat mainan baru. Kayak anak autis. Bebe-an. Senyum-senyum. Tak peduli dengan orang sekitarnya. Saya iseng ganggu dia.

“Dek, tolong ambilin tisu itu dunk” dia berikan.
Lalu saya minta dikembalikan lagi ke tempatnya, “Dek, taruh lagi aja di sana”.
Dia Bete mungkin ya. Hahaha. Loe juga sih, gak ngeh dengan lingkungan. Orang sudah panik dari tadi, masiiii aja sibuk sendiri. Padahal anak gadis yang beneran autis duduk di belakangnya itu sudah susah dari tadi. Dia mah cuek aja. Ihhh.. anak jaman sekarang...kurang bener sosialnya.
*lha emang saya idup di jaman apa?!*

Okee.. tombol PAUSE ditekan lagi...

Perjalanan dilanjutkan. Posisi saya sedikit nyaman. Si adik mahasiswa sudah sadar. Adik gadis autis juga nyaman duduknya. Si Ibu juga diam.

Saya tertarik bertanya pada si Ibu.
“Berapa umurnya Bu?”
“Tujuh belas tahun” jawab si Ibu.

Saya teringat ‘seorang adik’ yang saya sebutkan di awal. Usia yang sama. Bedanya, gadis autis ini, sakit karena demam panas yang sangat tinggi. Saya juga sudah menduga itu. Rata-rata anak idiot, kembar seribu dan sejenisnya memang karena panas yang terlalu tinggi. Sampai-sampai, menurut cerita si Ibu, anak gadisnya ini baru bisa berjalan saat berusia delapan tahun. Ada Ajo, -kakak laki-laki-nya yang dengan sabar terus melatih ia berjalan.

Sebut saja Putri, saya lupa bertanya namanya. Si Putri ini bisa sekolah pun juga lewat Ajo-nya. Suatu hari, Putri sedang ikut membantu Ajonya yang berjualan sate. Seorang pembeli sate, memberitahukan kalau ada sebuah sekolah yang mencari anak-anak spesial seperti Putri. Sekolah itu gartis. Maka datanglah Ajo mencari sekolah tersebut. Setelah menemui kepala sekolah, dan menanyai Putri, akhirnya gadis itu sekolah, dan diasramakan.

Satu tahun berlalu. Ini liburan Putri. Ia akan dititipkan pada kakaknya yang juga berjualan sate di kota lain. Itulah, ia menumpang travel ini. Satu tahun yang sangat berarti bagi Putri dan Ibunya. Putri sudha bisa mengurus dirinya sendiri. Tahu mana yang rapi mana yang berantakan. Ia mandi dua kali sehari. Dulunya, ia malas mandi. Bahkan, ia sudah bisa membaca dan menulis. Walau masih dalam tahap dasar. Sangat dasar. Tapi, ia sudah mampu menulis namanya, nama Ibu dan Ajo-nya.

Liburan ini Putri pulang dengan baju baru yang diberikan sekolah. Baju lebaran. Lengkap dengan makanan dan uang saku ia dibekali. Ia memang harus dijemput. Sekolah tak sembarangan membiarkan anak-anak special itu pulang sendirinya. Dan, Ibunya menjemput Putri, lalu mengantarnya ‘berlibur’.

Tak ada kesedihan di wajah Putri, meski sejak saya memperhatikan dua beranak itu, si anak selalu ‘dimarahi’ ibunya. Ah,,mungkin ia sudah paham, ibunya bukan bermaksud marah, tapi, ya begitulah logat aslinya. Sesekali ia bersandar pada Ibunya. Tidak. Bukan seperti kejadian seorang Bunda yang kemudian memeluk anaknya. Si Ibu malah berkata, “Ha..duduk yang benar..”. Hehehe. Saya berlinang air mata menyaksikan itu.

Kenapa kemudian harus gengsi dengan kasih sayang?? Kalau sayang ya, katakan sayang. Kenapa segan mengungkapkannya. Sayang memang tak selalu berbalas. Tapi, yang namanya sayang, tak pudar terus dipancarkan. Putri tak bosan. Meski ibunya begitu, ia terkekeh, tertawa, lalu duduk lurus dan benar –menurut ibunya- sebentar, tak lama, ia merengek dan kembali memeluk ibunya.

Si Ibu itu sebenarnya sangatlah sayang pada Putri. Kalau tak sayang, kenapa pula ia tega berpisah dengan bungsunya itu. Membiarkan Putri belajar dengan orang lain. Hari-hari pertama berpisah, -menurut ceritanya yang tak henti- susahlah tidur dibuatnya. Siang teringat malam terbayang. Bapak si Putri sudah sepuluh tahun meninggal. Ia tidur dengan gadis autis kesayangannya itu.

Tapi, Si Ibu bersikap tegas (kasar) kepada Putri agar ia terbiasa dengan perlakuan orang lain yang tak akan pernah sama –sayang dan peduli- kepadanya. Suatu saat, ia akan belajar dan hidup dengan orang lain. Sampai kapanlah si Ibu itu akan terus bersamanya. Usia yang sudah kepala lima itu, tak menjamin bisa selamanya bersama Putri.

Jika kelak, si Ibu pergi, -katanya-, ia pasrahkan. Ia yakin, anak seperti Putri itu Tuhan tak akan sia-siakan. Ada Ajo yang selalu sayang kepadanya. Dan, pastinya, ada jalannya yang sudah digariskan Yang Kuasa.

Haru. Walau semua cerita itu diceritakan dengan volume “WOW”, saya tetap saja terharu. Sepertinya, ini hanya masalah kebiasaan. Ketika satu, dua, dan tiga kali saya risih dengan volume dan logat itu, Empat, lima, dan enam, saya kemudian terbiasa. *Nah, sekarang ceritanya sampai bilangan tiga puluh sekian...gimana tak terbiasa?? Hahaha.

**

Hampir satu setengah jam dari kota X, saya kemudian sampai di kota Y. Urusan ini mesti dilanjutkan. Putri saja, selalu semangat dalam hidupnya yang tak biasa, kenapa lantas saya yang tak semangat dalam kehidupan normal yang alhamdulillah biasa ini? J Putri  dan ibunya, si bocah dan bapaknya telah menginspirasi saya siang itu.

Sebelum saya sampai di kantor tujuan di kota Y, seorang mahasiswa yang saya sebut autis itu, lebih dulu turun. Pantas saja, autis. Dia turun di komplek elit. Kadang bisa dipahami, anak-anak elit emang kurang sosialnya.

*Ehh,,,gak juga kali ya?! Kita salah beranggapan. Justru karena dia mampu, ia harus melatih sense of belonging-nya itu. Tapi, kalo dia emang sebutlah tajir, ngapain juga naik travel murahan begini? Kenapa gak bawa kendaraan sendiri? Gak diantar sopir? Gak naik Heli? Kok kuliahnya dalam propinsi aja? Gak di luar negeri?? Hahaha. Ngawurrr deh.. :p

Okkay..thats all my story. Saya kira ini bisa sedikit mengingatkan kita tentang kehidupan di ‘luar’ sana. Bahwa, ada yang berbeda dari kita. Lebih kaya, atau lebih miskin. Lebih pintar, atau lebih bodoh. Yang pasti, kita akan bertemu semua itu. Kita cukup sadari saja, jika kita berada di salah satu posisi itu, bagaimana pantasnya kita menjadi hamba yang bersyukur. Karena kehidupan ini jelas, sudah sangat jelas, ada yang mengatur.

Dan, alhamdulillah..tak sampai sepuluh menit, urusan saya selesai –Beresss..res..ress..-  di kantor tujuan kota Y itu. Alhamdulillah yaa...tidak seburuk yang dikhawatirkan. “Karena kehidupan ini sudah ada yang mengatur Jenk..jalani saja se-terbaik dirimu mampu..lalu bertawakkallah.”  ^__^
(*)

 

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...