Pernahkah Anda merasa sangat bosan dan
jenuh dengan pekerjaan?
Setiap manusia dibekali akal dan nafsu.
Akal berguna untuk menuntunnya terus berpikir dan berpikir. Sedang nafsu dalam
standar positif memacu akal untuk terus mencari, memenuhi rasa ingin tahu, dan
terus seperti itu. Jika akal dan nafsu tidak berjalan seiring, di situlah
munculnya bosan/jenuh.
Bosan terhadap pelajaran ataupun pekerjaan
adalah hal yang wajar. Sebab bosan dan jenuh adalah bentuk respon dari ketidak
seimbangan jalan kedua bekal manusia tadi. Jika akal berpikir tentang sesuatu,
dan sudah menemukan jawaban, pengertian dan makna, maka akan muncul bosan. Jika
nafsu tidak mampu mendorong akal untuk terus berpikir dan mencari tahu, di sana
muncul kejenuhan.
Beberapa hari ini, penyakit inilah yang
membuat saya begitu menderita. Saya bosan dengan semua aktifitas dan rutinitas
pekerjaan. Meski ada berbagai factor pemicu, saya kira yang utama dari semua
ini adalah mengeringnya rasa ingin tahu di dalam pikiran saya saat ini.
Sebagai seorang guru, mestinya hal itu
tidak terjadi. Karena sejatinya guru ibarat mata air yang tak boleh kering.
Dengan tugas mulia –medidik- itu, guru berkewajiban mentransfer tidak saja
pengetahuan kepada siswa, tetapi juga membangun pola pikir, mengajak terus
berpikir dan mengerti, tidak saja tentang cakupan kecil pelajarannya, melainkan
lebih luas dalam kehidupannya.
Saya juga tahu, bahwa haram hukumnya bagi
guru melalaikan tugas dan tanggung jawab mengajarnya. Haram bagi dirinya untuk
meninggalkan anak-anak antusias itu tanpa bimbingannya.
Dan, klimaks kejenuhan saya itu agaknya
adalah hari ini. Hari ini saya putuskan untuk meninggalkan semuanya. Saya tak
datang ke sekolah. Mencoba mencari kerinduan pada profesi mulia itu. Sekedar
ingin tahu, bagaimana rasanya jika tanggung jawab tidak ditunaikan. Bagaimana
jadinya hati dan pikiran jika anak-anak diabaikan.
Barangkali hal seperti ini tidak hanya
terjadi pada diri saya sendiri. Saya yakin, -sungguh-, ada sekian guru lain
yang juga sedang merasakan kegalauan seperti ini. Apa sebetulnya yang bermasalah? Rasa tanggung jawab guru yang
menurunkah? Atau kontrol dan kebijakan yang melonggar? Beban yang terlalu
memberatkan?
Jika didasarkan pada PERATURAN
BERSAMA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR
14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL GURU DAN ANGKA
KREDITNYA maka guru didefinisikan sebagai berikut:
Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dari pengertian ini, dapat
diklasifikasikan tugas guru menjadi (1) mendidik, (2) mengajar, (3) membimbing,
(4) mengarahkan, (5) melatih, (6) menilai dan (7) mengevaluasi. Masing-masing
kegiatan itu mesti dijalankan sepenuhnya oleh guru.
Selain itu, Permenpan ini juga mengatur
tentang beban kerja guru;
Beban kerja Guru untuk mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, dan/atau melatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam
tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
Perlu
digarisbawahi, bahwa jam tatap muka guru paling sedikit adalah 24 jam, dan
paling banyak adalah 40 jam. Di sekolah-sekolah negeri, proses belajar mengajar
rata-rata berlangsung sebanyak 8 jam per harinya. Maka sesuai dengan peraturan
tersebut, setidaknya guru mesti mengadakan tatap muka sebanyak tiga hari non-stop.
Ini baru untuk tugas mengajar dan mendidik.
Guru juga
diamanahkan menjadi seorang pembimbing. Kegiatan bimbingan ini, tidak mutlak
dilakukan di sekolah. Kemajuan teknologi dan informasi telah memudahkan
komunikasi guru dengan peserta didik. Bisa dengan tugas mandiri, tugas tidak
terstruktur yang diberikan, dan ditindak lanjuti dengan komunikasi via email,
atau sarana online lainnya.
Proses
bimbingan terhadap mata pelajaran yang diasuh, jelas menjadi bagian tugas pokok
dan fungsi guru. Juga bukan diragukan
lagi, membimbing mental peserta didik adalah bagian tugas guru. Mengarahkan
siswa kepada kecendrungan dan gaya belajarnya.
Proses
belajar mengajar agar berjalan maksimal tentu harus disiapkan dengan baik.
Perangkat mengajar ibarat cangkul para petani. Sekolah kiranya perlu memudahkan
urusan ini untuk guru.
Bagi mata
pelajaran tertentu, diperlukan bahan ajar yang disusun oleh guru melalui
melalui kegiatan MGMP. Modul perlu disiapkan. Soal serta analisis
validitasnya. Bagaimana bentuk evaluasi
yang akan dilakukan, dan lain
sebagainya.
Ada lagi tugas lainnya, menilai dan mengevaluasi
peserta didik. Penilaian tertulis tentang kemampuan kognitif siswa, afektif,
maupun psikomotorik harus disertakan.
Analisis-analisis, yang semua itu, hendaknya
tidak sekedar dibuat bukan? Tujuan umumnya analisis dilakukan adalah agar guru
dapat mengetahui segala kelemahannya dalam mengajar, lalu memperbaiki,
mengantisipasi agar tak terulang, menganalisa lagi, memperbaiki lagi. Demikian
seterusnya agar
dicapai pendidikan yang terbarukan.
Belum
lagi dengan segala urusan administrasi sekolah lainnya. Sekolah mau unggul di
suatu bidang, tak lain kepanitiaannya adalah guru. Kegiatan-kegiatan ekstra
yang disiapkan untuk memunculkan dan mengarahkan bakat dan minat anak, juga
menjadi area amanah guru. Lomba, olimpiade, dan pertandingan untuk mengharumkan
nama sekolah, jelas juga di bawah bimbingan guru. Ini semua bukankah di luar
yang 24 jam tadi?
Apapun
pekerjaan supaya menjadi tak jenuh, memang atas kesenangan. Saya tak banyak
melihat guru yang tidak senang/menyesal menjadi guru karena harus
berlarut-larut mengecek tugas dan latihan siswa. Memeriksa evaluasi berupa
ulangan harian, ujian blok, ulangan
tengah semester, dan ujian semester siswanya. Semua tetap dilaksanakan.
Memang
tidak mungkin peraturan -24 s/d 40
jam- ini dibuat tanpa pertimbangan. Hanya saja, mungkin pertimbangan pembuat
kebijakan tidak sesuai dengan harapan para pelaksana di sekolah. Kita belum
tahu, kurikulum baru yang sedang disiapkan itu apakah peduli pada guru atau
tidak.
Berprofesi
sebagai guru nyatanya memang harus karena panggilan hati. Sungguh
memprihatinkan sekali jika siswa yang ingin tahu, tidak mendapatkan apa yang
diinginkannya dari guru. Siswa tidak beroleh bimbingan yang maksimal, nilai
yang pantas, evaluasi yang benar dari gurunya. Lebih memprihatinkan lagi, jika guru jenuh
lalu tak bersemangat mengajar.
Jika
gampang jenuh, lebih baik tak usah menjadi guru. Atau kita perlu sedikit berdiplomasi dengan
pertanyaan; pantaskah kiranya guru kemudian jenuh? Jawaban sementara hanya: JANGAN JADI GURU JIKA MUDAH JENUH!