17.2.13

In memoriam Arif Adi Putra



****
Belum lagi setengah jam dia meninggalkan rumahnya pagi Jumat itu. Berpamitan dengan ibu. Berangkat, berniat mencari ilmu. Ia lekas menuju sekolah. 

Di perjalanan menuju sekolah, yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu, dia teringat akan ‘sesuatu’ yang tertinggal di rumah. Diputarnya motor, melaju kembali ke rumah. 

Sesampai di rumah, segera diambilnya apa yang dimaksudkannya menjemput tadi. Lalu bergegas lagi. Menstarter motor, memacu kendaraan itu melaju lebih cepat. Berharap ia tidak terlambat sampai di sekolah. Karena pagi ini ada kegiatan muhadarah. Ia tak mau berbaris terpisah. 

Belum lagi satu kilometer dari rumahnya. Si dia itu terjatuh sendirinya. Kata orang sekitar, dia jatuh, bukan tertabrak. 

Kadang memang benar kata orang tua dulu, “air tenang menghanyutkan”. Juga pada lirik lagu Minang tempo dulu, “Usah takuik Nak, di ombak gadang. Aia nan tanang, oi Nak kanduang, mambaok karam”. Barangkali, juga demikian berlakunya dalam urusan jalan. Jalan datar itu membahayakan. 

Kata masyarakat sekitar lagi, dulu, ketika jalan masih berbatu, tak banyak kecelakaan di daerah itu. Justru sekarang, setelah jalan itu diaspal, ada saja kecelakaan. 

Memang banyak orang ‘kena’ justru pada hal yang tidak dikhawatirkannya. Ia barangkali menganggap pada posisi aman. Padahal, apa saja, pada siapa saja, waspada mesti selalu ada. Kalau bukan akan disebut curiga atau ekstra cemas. 

Dia terjatuh sendirinya. Memang di jalan menurun. Meski bagus, mungkin jalannya licin.
Di sana dia sedang berdebat dengan malaikat maut. Bahwa ia masih ingin sampai ke sekolah. Ingin belajar. Ingin menuntut ilmu. Tapi tidak, kata malaikat itu.

Sesaat, ketika kepalanya retak, dan mengucurkan darah yang super hebat, mengaliri jalanan menurun itu, ia terus mencoba mendebat malaikat. Tunggulah. Ia hanya hendak berpamitan dengan sanak saudaranya. Ia hanya ingin pesta perpisahan kecil dengan sahabat-sahabatnya. Ia lalu juga ingin bersalaman, mencium punggung tangan yang selama ini mendidik dan mengasuhnya. Ia hanya ingin meminta tenggang waktu. Tunggulah. Tapi, lagi-lagi, tidak demikian kehendak malaikat.

Tidak, tidak. Itu bukan kehendak malaikat. Itu aturanNya. Hal itu sudah disiapkanNya dan menjadi ketetapan yang malaikat hanya menjalankan. Si dia bisa apa. Semua itu sudah baku. Sudah tertulis di alam sana, sejak ia ditiupkan ke dalam perut ibunya. Lalu siapa yang bisa mencegah dan menghentikan? Siapa yang mampu menolak permintaanNya?

Darah pekat kepalanya masih mengucur hebat. Pada aliran darah segar itu, barangkali turut mengalir rumus matematika yang diterimanya kemarin, lalu digunakannya menyelesaikan tugas tadi malam. Dalam kemerahan darah itu, ada klorofil –yang berwarna hijau-, beragam jenis tanaman obat keluarga, tanaman hias, dan tanaman lainnya yang ia turut tanam dan tata screen house sekolah sore kemarin. Bersama pekatnya darah itu, mengalir pula semangat. Semangat bahwa kelak, ia akan bahagiakan orang tuanya, mencapai cita-cita, dan hidup lebih baik. Itu saja, tak pula rumit. 

Darah terus mengucur deras. Tapi orang-orang sekitar hanya terpana dan bingung melihatnya terkapar di aspal itu. Mereka hanya berdiri mematung. Atau juga membiarkan. 

Apa yang ada di kepala mereka? Tidakkah ada lagi kemanusiaan itu hari ini? Kenapa dia dibiarkan begitu saja? Bukankah yang dilihat mereka itu adalah manusia? Dia bukan kucing, yang setelah tertabrak saja masih dicoba mengemasinya, menggulung dengan kain, lalu menguburnya jika mati. 

Tidakkah mereka tahu, bahwa dia adalah anak manusia? Dia anak sekolah, sama seperti anak-anak mereka. Dia bujang dari kampung mereka juga. Dia anak tetangga mereka. Bahkan boleh jadi, dia adalah kemenakan mereka. Dia masih dibiarkan begitu saja. Mungkin di pikiran mereka ada takut. Takut menjadi saksi. Takut dengan yang namanya darah. Mungkin saja.
Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. 

Untung saja, diantara yang membiarkan itu, masih ada yang ‘berotak’ untuk memberitahukan pada keluarga si dia. Memanggilkan saudara dan keluarganya. 

Sekonyong-konyong datang keluarga. Tidak pula langsung membawa si dia ke rumah sakit yang jaraknya tak berapa kilometer itu. Tak ada kendaraan. Mungkin lebih tepatnya, tak ada kendaraan yang mau. 

Si dia masih terbaring. Kepalanya masih mengucurkan darah. Darah yang mengalir, bersamaan dengan jiwanya yang ia relakan dibawa malaikat. Ia menyerah. Bawalah. Pergilah.

Tubuhnya dibawa ke rumah sakit. Turut bersamanya si ibu, si kakek, si uda dan juga beberapa tetangga. Di sana rupanya sudah menanti, si Dayat, sahabat kentalnya. Konco bermain bola. Semua menangis melihat tubuhnya. 

Dia lalu diperiksa dokter. Dokter meminta ada pihak keluarga yang menyaksikan. Tak ada. Kenapa tak ada? Si nenek, sudah terjatuh, pingsan di luar sana. Si ibu, berdiri saja tak kuasa, menangis menahan pilu, tak sanggup mencerna kata-kata dokter. Hanya terduduk lemas tak bertenaga, dipegangi tetangga di kursi luar sana. 

Hanya Dayat, yang sedari tadi menangis di balik kaca, menjawab tegas. “Saya”. Lalu masuk bersama dokter itu. Menyaksikan si dokter mengancah kepala sahabatnya. Melihat langsung retak dan rengkah kepala kawannya. Hanya bisa terisak dan mengucap doa.

Tapi, sungguh, doa kadang tak berperan apa-apa pada takdir. Doa yang bisa untuknya, adalah kerelaan. Merelakan si dia pergi, lalu diterima di sisiNya. Dokter pun menyerah. Kita hanya bisa berusaha. Ketetapan jua di tanganNya. 

Kepergiannya, lalu disadari. Semua yang diluar kembali menangis. Dia ditutup dengan kain putih. Mukanya memucat. Tubuhnya dingin. Tak ada lagi rona kehidupan di jasad itu. Dia benar-benar telah berada di dimensi yang berbeda. Di alam sana. Entah di mana.

***
Dia. Arif Adi Putra. Siswa kelas X jurusan Rekayasa Perangkat Lunak, SMK Teknologi Informasi yang bercita-cita menjadi Polisi. Ia dikenal santun oleh guru-guru. Baik pula bergaulannya dengan teman-teman. 

Saya pribadi, tepat dua hari menjelang kepergiannya, ada pengalaman yang berkesan.
Saat kegiatan kerja bakti, Arif duduk di kelasnya sambil memegang gitar. Seperti sebelum-sebelumnya, saya mengontrol siswa untuk membersihkan ruangan kelas. Jika ada yang tak bekerja, saya pikir mereka tak ada inisiatif, dan perlu diberitahukan pekerjaan yang bisa mengasah jiwa sosial, kerja sama, dan tanggung jawabnya. 

Saya lalu memintanya mengantarkan bunga ke bagian screen house yang berdekatan dengan toga. Di sana telah ada guru lain. Saya lalu hubungi guru yang di bagian toga. Bahwa saya sudah menyuruh siswa ke sana. Berikan ia pekerjaan lanjutan. Karena tampaknya ia tak tahu apa yang akan dikerjakannya. 

Arif lalu sendirian ke kebun itu. Bahkan, sampai saya datangi kebun itu, ia masih di sana. Ia tengah mengangkat pot besar berisi bunga panah asmara. Masih di sana? Setelah sekian lama? Saya berubah pikiran. Tersenyum menyapanya. Ia bilang, kalau ia menyukai tanaman.
Itulah benarnya, dont judge the book by its cover. Dia hanya tak tahu apa yang akan dilakukannya. Dan memberitahu itulah tugas guru. Lalu mengenali karakter, selanjutnya mendidiknya menjadi pribadi yang lebih baik. Itu saja.

Ia adalah anak yang bertanggung jawab. Hanya kurang ide dan inisiatif untuk mengerjakan apa. Namun, jika diminta, ia akan patuhi dan laksanakan semampunya. Cukup bertanggung jawab.

**

Sayang, kita pantas bersyukur, karena kita masih beruntung. Kita dikehendaki hadir di dunia ini oleh ibu dan keluarga sederhana kita. Lalu, di saat kita pergi, lihatlah, betapa menyedihkannya kehidupan bagi mereka, yang meski berat harus diterima. Mereka menangisi jenazah kita. Kita tak seperti bayi-bayi tak beruntung itu. Mereka tak dikehendaki hadir di dunia ini, justru oleh ibu mereka sendiri. Mereka ‘disuruh’ dan diusir agar pergi. 

Kita masih beruntung. Diberinya kesempatan untuk menikmati kehidupan yang singkat ini. Menikmati siang bersama teman-teman. Berprestasi dan berkompetisi. Mengisi malam yang dingin di tengah-tengah keluarga sederhana yang menghangatkan. Mengisi kekosongan jiwa dengan nikmat iman. Itu yang utama. 

Apakah hanya sampai di sana? Tidak Sayang. Tak hanya sampai di sana. Bahkan, ketika kita pergi, berpisah nyawa dan badan, berbeda alam, kita masih saja beruntung. Beruntung hidup di lingkungan baik, yang terus mengalirkan doa untuk kehidupan kita di alam sana kepadaNya. Selalu, mengalir doa untuk kita.


*
Selamat jalan Arif. Selamat memasuki alam jeda-sementara untuk kehidupan baru kelak. Semoga, di sana baik-baik saja. Kita hanya bisa kirimkan doa. Dan suatu masa, mungkin nanti, besok, lusa atau kapan saja, kami juga ke sana.



#inisoalrasa- A Great Notes By Tere Liye

*Urusan perasaan, perasaan dan perasaan

Saya akhirnya menulis tentang ini, sebenarnya akan lebih baik jika kalian berproses menemukan pemahaman ini, proses yg kelok-kelok, terjaga, penuh kehormatan, selamat tiba di ujungnya. Itu akan lebih spesial, membekas, lantas mengenang semuanya sambil tertawa, ah, dulu ternyata semua itu lucu ya.

Tapi baiklah, karena page sy ini persentase anggota remaja hingga usia 22-nya tinggi sekali, dan jika sy tdk hati2, malah bisa salah paham, ada yg seolah2 mendapatkan pembenaran, maka akan sy rangkum beberapa poin penting urusan perasaan menurut versi tere liye (yg akan kalian jumpai paralel konsepnya dgn di novel, buku2).

1. Jatuh cinta itu manusiawi. Urusan perasaan, urusan membolak-balik hati itu adalah milik Allah. Boleh jatuh cinta? Ya boleh, tidak ada ulama dari mazhab manapun yg melarang jatuh cinta lawan jenis, mengharamkannya. Apalagi, duhai, seperti terjatuh, kita tdk pernah tahu kapan jatuh cinta itu terjadi. Tiba2 perasaan itu sudah mekar tak berbilang.

2. Lantas, kalau kalian jatuh cinta, so what? Nah, ini bagian yg menariknya. Kalian mau menyatakan perasaan itu? Lantas so what? Kalian mau dekat2 dgn seseorang itu? Kalian mau telpon2an, tahu dia sedang apa, apakah bisulnya sudah sembuh, apakah panunya tidak melebar, apakah konstipasinya sudah hilang, sudah bisa ke belakang? Kebanyakan di usia remaja, hingga 20-an something, lantas kemudiannya ini yg tidak jelas. Pacaran? Tidak pacaran? Langsung menikah?

3. Ketahuilah, kita hidup dalam norma2, nilai2, batasan2 yg harus dihormati. Kecuali kalau kalian menolak norma2, nilai2, batasan2 tersebut, silahkan (dan berhenti sudah meneruskan membaca notes ini, karena kalian sudah tdk se-zona waktu lg dgn tulisan ini). Itu benar, memiliki perasaan itu kadang serba salah, makan tak enak, tidur tak enak. Itu benar, ada keinginan utk tahu apakah seseorang itu balik menyukai, keinginan utk bilang, cemas nanti dia digaet orang. Tapi kalau hanya ini argumen kalian, oh dear, orang2 sakau, ngobat, lebih tersiksa lagi saat dipisahkan dr hobinya tersebut. Mereka bisa mencakar2, bahkan melukai diri sendiri hingga begitu mengenaskan dan (maaf) is dead. Sy rasa, seingin apapun kalian jumpa dia, paling cuma nangis, tidak akan mati. Itulah kenapa hidup kita ini punya peraturan, agar semua orang bisa punya pegangan, selamat dr merusak dirinya sendiri. Sy tdk akan menggunakan dalil2 agama dalam notes ini--karena orang2 yg pacaran, kadang risih mendengarnya. Jadi kita sama2 kuat, sy pakai logika kalian sj.

4. Tapi saya harus bilang agar lega, bagaimana dong? Ya silahkan saja kalau mau bilang. Tapi camkan ini baik2, cinta sejati adalah melepaskan. Catat itu baik2, tanyakan pd pujangga kelas dunia, hingga pujangga amatiran narsis tere liye, semua bersepakat, cinta sejati adalah melepaskan, lepaskan dia jauh2, maka kalau memang berjodoh, skenario menakjubkan akan terjadi. Jadi? Kalau kalian belum jelas so what-nya, lantas kemudian mau apa setelah bilang, maka mending ditahan, disimpan dalam hati. Tuhan itu mendengar, bahkan desah tersembunyi anak manusia di pojok kamar paling gelap, paling sudut, di salah-satu kampung paling terpencil, paling jauh dari peradaban, paling tdk ada aksesnya. Jodoh itu misteri. Kalau nggak pakai usaha, nanti nggak dapat, gimana dong? Tentu saja usaha, tapi bukan dengan pacaran. Usaha terbaik mencari jodoh adalah: dgn terus memperbaiki diri. Nggak paham, kok malah aneh, malah disuruh memperbaiki diri. Ya itulah, dalam banyak hal, kalau kita nggak nyambung, memang nggak ngerti. Misalnya, banyak orang yg mikir kalau mau dapat ikan itu harus mancing di sungai. Padahal sebenarnya sih, kalau mau ikan, ya tinggal pergi ke pasar ikan. Lebih tinggi kemungkinan dapat ikannya--asumsinya punya uang.

5. Tapi apa salahnya pacaran? Boleh2 saja dong? Saya justeru merasa lebih semangat, lebih kreatif, lebih apa gitu setelah pacaran? Nah itu dia, kalian benar2 menyimpan bom waktu jika meyakini pacaran itu memberikan energi positif. Pacaran itu bentuk hubungan, dan sebagaimana sebuah bentuk hubungan antar manusia, posisinya rentan rusak, gagal, dan binasa. Boleh jadi betul, riset canggih akademik membuktikan orang2 pacaran bisa memperoleh motivasi baik, tapi saya, tidak akan memilih menggunakan 'pacaran' sbg sumber energi, mengingat sifatnya yg temporer sekali. Mending sy milih kekuatan bulan, jelas2 bulan itu sudah ada milyaran tahun, pacaran paling mentok hitungan jari tangan bertahannya.

6. Baik, baik, lantas kalau tidak boleh pacaran, gimana dong? Kongkretnya apa yg harus sy lakukan? jawabannya mudah: Tidak ada yg perlu dilakukan. jatuh cinta, alhamdulillah, itu berarti tanda kita normal. lantas? Biarkan saja. Sibukkan diri sendiri dgn hal2 positif, isi waktu bersama teman2, keluarga. Belajar banyak hal, mempersiapkan banyak hal. Hanya itu. Nggak seru, dong? Lah, memangnya kalau pacaran seru? Paling juga cuma nonton ke manalah, pergi kemanalah. Pacaran itu seolah seru, karena dunia telah menjadi etalase industri entertainment. Pesohor2 menjadi teladan--padahal akal sehat siapapun tahu itu bahkan rendah sekali nilainya. Dari jaman batu, hingga kelak dunia ini game over, pegang kata2 saya: menghabiskan waktu bersama orang tua, kakak, adik, teman2 terbaik selalu paling seru. Apalagi jika ditambah dgn terus belajar, produktif, dsbgnya.

7. Lantas bagaimana sy melewati masa2 galau ini? Lewati seperti kebanyakan remaja lainnya. Lurus. Boleh kalau kalian mau menulis diary tentang perasaan2 kalian. Boleh galau menatap langit2 kamar. Boleh cerita2 curhat sama teman dekat dan orang tua. Boleh, tapi ingatlah selalu perasaan itu punya kehormatan. Kalian pasti sebal kan lihat teman sekelas yg tiba2 datang ke sebuah pesta ultah (padahal dia tidak diundang), sudah tdk diundang, makannya paling banyak, teriakannya paling kencang, paling gaya, norak, tidak tahu malu. Nah, ada loh--bahkan banyak-- orang2 yg tdk sadar kalau dia sebenarnya juga norak dan tidak tahu malu dalam urusan perasaan. Ya, kita sih kadang tdk merasa kalau sudah genit, ganjen, lebay. Sy tahu, istilah menjaga kehormatan perasaan ini boleh jd susah dipahami, tapi itu nyata, orang2 yg bisa menjaga perasaannya, maka se galau apapun dia, sesengsara apapun dia menanggung semua perasaan, besok lusa, kemungkinan untuk tiba di ujungnya dgn selamat akan lebih besar. Jangan coba2 berdua2an, jangan coba2 pergi kemanalah hanya berdua, bergandengan tangan, dsbgnya. Itu benar2 menghabisi kehormatan kalian.

8. Nah, bersabarlah. Tunggu hingga kalian memang telah siap. Jika sudah yakin, silahkan kirim sinyal2, menyatakan perasaan, lantas silahkan libatkan orang tua. Btw (masih ngeyel), tapi banyak juga orang2 yg menikah tanpa pacaran bercerai, kok. Dan sebaliknya, orang2 yg pacaran malah langgeng? Itu benar. Sama benarnya dgn banyak orang2 yg mabuk2an, ngobat, tetap saja umurnya panjang. Eh, ada tetangga, alimnya ampun2an, malah meninggal lebih dulu. Harusnya kan kalau mereka melanggar peraturan, langsung ada petir menyambar. Menikah, membina keluarga, langgeng atau tdk, bahagia atau tidak, boleh jadi tdk ada korelasinya dgn pacaran atau tidak. Kita mungkin tdk pernah tahu misteri ini, tapi dengan menjalani prosesnya dgn baik, mengakhirinya dgn baik, semoga fase berikutnya berjalan dgn baik.

Sy konsen sekali masalah pacaran ini, karena sy tdk ingin kalian menghabiskan masa2 penting kalian utk urusan perasaan yg sebenarnya di usia kalian tdk penting2 amat. Dan sy harus bilang, orang2 yg paham, mengerti benar bahwa pacaran adalah pintu gerbang pergaulan bebas. Itu mengerikan. Masa' kalian mau dekat2 dengan pintu yg ada tandanya 'pergaulan bebas'. Saya bisa menjaga diri kok, tenang saja. Well, rasa2nya tidak ada orang di muka bumi ini, di zaman sekarang, yg bisa bilang dia sempurna bisa menjaga dirinya. Kalau bisa, maka setan akan gigit jari.

Sy membuat beberapa novel tentang perasaan, semoga itu bisa menjadi salah-satu alternatif kalian memahami beberapa poin di atas, hidup ini memiliki batasan2 yg tdk bisa dilanggar, bahkan sekuat apapun cinta tsb. Selalu ambil sisi positif dlm cerita2 tsb, lihat dr sudut pandang berbeda, maka boleh jd kalian akan menemukan pemahaman baru yg baik. Bukan sebaliknya, mengambil yg bisa memberikan argumen buat kalian--karena namanya novel, tentu sj sy harus memasukkan tokoh2 buruk, jahat. Sy juga menumpahkan banyak postingan soal ini, konsen saya.

Sy benar2 tdk bisa melakukan hal yg lebih kongkret dalam urusan ini, selain dgn tulisan2. Tapi itu hanya tulisan2. Itulah kenapa sy sangat menghormati guru2, orang2 dewasa, orang tua di sekitar remaja yg lebih kongkret, secara terus menerus menanamkan pemahaman itu ke remaja2 mereka. Dan di atas segalanya, yg akan membuat itu berhasil atau tidak, adalah kalian sendiri.

Mari kita janjian, yuks, hari ini, 13 September 2012, maka dua puluh tahun lagi, 2032, kalau umur kita panjang, dan kalian masih ingat postingan ini, kenanglah kembali masa remaja, masa usia 20-an something kalian. Rasa2nya sy bisa menebak, kalian akan nyengir mengingatnya. Boleh, nanti tiba2 mengirimkan email ke saya, Bang tere, sy masih ingat postingan 20 tahun lalu itu--asumsi sy masih ber narsis ria di mana2. Dan Bang tere ternyata salah. Boleh. Atau kalau sebaliknya, tentu saja boleh, kirim email, bilang, ternyata Bang tere benar.


***
Saya juga perlu forward pemahaman ini kepada siapa saja yang berada di sekitar saya. Siapa saja yang mau belajar dan memahaminya. Thanks banget buat great notesnya Bang Tere. Superb!

Coz I luv U all! :))
#keep spirit!

Nimiasata_2013

15.2.13

Fenomena Bahasa Indonesia #1



Ada berbagai fenomena bahasa yang nyata terjadi di lingkungan berbahasa Indonesia kita. Salah satunya adalah yang muncul lewat dialog antara saya dengan Fachry di awal bulan Februari ini. Fachry adalah adik sepupu saya yang masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar di kampung kami.

***
--terdengar lirik lagu : kulihat ibu pertiwi/sedang bersusah hati/ air matanya berlinang/....dst
Fachry   : Uni, si pertiwi itu adiknya Kartini ya?
Saya       : ha? –Terkejut. Melihat ke arah Fachry. Lalu tertawa.-
Fachry   : iya ni?
Saya       : Bukan Ai. Tidak ada hubungannya antara Pertiwi dengan Kartini. Ai mungkin beranggapan begitu karena ada TK Pertiwi, juga ada TK Kartini ya?
Fachry   : iya. –mengangguk-
Saya       : Baiklah. Pertiwi itu bukan nama orang, bukan nama perempuan hebat, bukan nama ibu-ibu seperti halnya Kartini. Pertiwi itu istilah yang digunakan sebagai pengganti nusantara-Indonesia ini. Ibu pertiwi berarti wilayah nusantara kita.
Fachry   : oo. –meng-o seadanya-.

***
Sumber gambar : google/wahyusiswaningrum.blogspot

Sungguh, saya cukup kesulitan menjelaskan hal itu. Mencari perbedaan kongkrit antara ibu kartini dengan ibu pertiwi, yang secara bahasa -nyata- sama-sama menggunakan kata IBU. Sementara pengertiannya sangat jauh berbeda. 

Ada banyak kosa kata lain dalam bahasa Indonesia yang juga sulit –bagi saya- dicarikan penjelasannya. Misalnya soal akronim dan singkatan. Bagaimana sebenarnya kaidah dalam bahasa indonesia mengatur? 
Ada kalanya singkatan itu diambil dari huruf pertama dari setiap katanya. Seperti, SD singkatan dari Sekolah Dasar. Atau BI : Bank Indonesia. Atau BPSNT : Badan Pusat Sejarah dan Nilai Tradisi. 

Ada kalanya singkatan itu diambil bukan dari satu huruf pertama, melainkan dari sembarang kata yang terdapat pada kata itu. Seperti Bawaslu: Badan Pengawas Pemilu. Sementara PEMILU  sendiri juga kata yang sudah disingkat Pemilihan Umum. 

Semakin hari singkatan itu semakin “keren” saja. Entah sengaja dibuat keren atau tren bahasa sekaranglah yang menuntun menjadi “ke-keren-keren-an”. Contohnya seperti lalin: lalu lintas.

Barangkali menyingkat-nyingkat kata itu sudah menjadi candu bagi pengguna bahasa saat ini. Katanya agar lebih efektif. Tapi menurut saya, tidak pula susah menyebut kata itu baik-baik. Menyelesaikan kata itu sebagaimana mestinya. Yang ada kini, biar terlihat keren (mungkin), disingkatlah kata-kata itu. Walau tanpa aturan tertentu. Sembarang(an) saja.

Ada pula singkatan dari bahasa asing yang tak jelas penggunaannya, seperti WC yaitu water-closet. Padahal ada padanan kata dalam bahasa Indonesia seperti jamban. Sayangnya kebanyakan masyarakat terbiasa menggunakan WC.
 

Contoh lain seperti (maaf) BH : bustehouder yang jika diterjemahkan menjadi penyangga payudara. Berbeda dengan jamban, yang bahasa Indonesia-nya terkesan lebih baik, untuk BH ini, masyarakat (menurut saya) tidak salah jika memilih menggunakan kata tersebut, daripada versi Indonesianya; kutang.  

Singkatan kata itu juga –kadang- tidak menghargai. Seperti singkatan MITA untuk Minyak Tanah. Apa alasannya coba? Padahal ada banyak orang bernama demikian bukan? Judul media pun kadang “main-main” dengan kata ini, seperti “Mita kembali bergejolak”, atau “Taslim: Tindak Penyelundup Mita”, atau “Mita langka, harga pun melambung di Dharmasraya”. Aih! Risih dengan judul berita usil seperti itu -kalau tidak akan disebut kreatif-. Hahaha.

Nah, baru-baru ini saya dengar di media istilah baru lagi, Sprindik. Kata yang cukup sulit mengejanya, sama seperti spritus. Sprindik adalah Surat perintah penyidikan. Kenapa bukan SPP saja? Bukankah ada banyak kata lain yang juga merupakan singkatan yang sama, tapi kepanjangannya berbeda. Kita bisa mengetahui maknanya dari konteks pembicaraan kata tersebut. Seperti LPM. Ada banyak LPM. Lembaga Pengabdian Masyarakat, atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, atau juga Lembaga Pers Mahasiswa. Mudah saja bukan?   

Kita tentu berbangga dengan keragaman bahasa yang dimiliki bangsa ini. Semakin hari semakin bertambah istilah yang muncul lewat media. Namun ada kekhawatiran, jika tidak ada aturan yang jelas tentang akronim dan singkatan itu. 

Barangkali jika para pakar bahasa dan pemerhati bahasa terus mengikuti perkembangan itu,  akan kesulitan meng-input (Bahasa Indonesianya: memasukkan) kosa kata baru tanpa aturan itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Atau, semua kata yang semakin begaram tak beraturan ini tak perlu saja dikumpulkan dalam KBBI? (eh? akhirnya, saya pakai singkatan juga nih!)

Dan, seperti itulah fenomena bahasa kita sehari-hari.  Ini baru satu soal akronim dan singkatan saja, belum lagi jika kita komentari tentang bahasa alay, lebay, dan gaul anak muda sekarang. (ceileee, berasa tua aja! :D) Akan semakin membingungkan. Saya juga. Selamat ber-bingung-bingung-lah kalau begitu. :)
                                                       

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...