23.4.14

Menilai Dini Kurikulum Baru



Kurikulum 2013 telah memasuki tahun kedua implementasinya. Menurut teori evaluasi, kurikulum baru bisa diselenggarakan secara rutin dan bergiliran setelah semua perencanaannya dijalankan. Jenis evaluasi formatif dapat dilaksanakan setiap tahunnya sampai dengan tahun ajar 2015/2016. Sedangkan evaluasi sumatif dapat dilaksanakan pada tahun 2016 mendatang. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan, ide, dokumen dan implementasi kurikulum tersebut. 

Maka sepanjang evaluasi secara menyeluruh itu belum terlaksana, tentu tak dapat ditetapkan bahwa kurikulum yang tidak lagi baru ini bagi sejumlah Negara (Finlandia, Jerman, dan Prancis) dapat mewujudkan cita-cita pendidikan nasional Indonesia. Hal ini dapat pula dilihat dari terlaksana atau tidaknya proses pembelajaran serta penilaian sebagaimana dikonsep oleh penggagas kurikulum ini. 

Di antara keunggulan yang digadang-gadang dalam proses pembelejarana berbasis kurikulum 2013 ini adalah integrasi tiga komponen mendasar output belajar itu sendiri. Pertama, attitude atau tingkah polah pembelajar yang terpola, yang mestinya sudah lebih baik daripada sebelum belajar. Kedua, Skill. Keahlian dan kompetensi adalah modal yang diberikan kepada pembelajar selama masa pendidikan. Diharapkan dengan skill tersebut, output kegiatan belajar itu dapat menghadapi tantang dunia yang serba canggih dan global ini. Dan ketiga, knowledge. Tanpa dasar pengetahuan yang cukup, tentunya pembelajar ibaratkan ksatria yang kehilangan jurus. Modal berani menantang saja tak cukup. 

Melalui ketiga komponen ASK (attitude, skill dan knowledge) ini, secara aktif pembelajar diharapkan mampu mengamati, bertanya dan menalar materi/tema yang diberikan guru di kelas. Sehingga, guru tak hanya sebagai seseorang yang “digugu dan ditiru” saja, melainkan guru dituntut mampu mengarahkan, mengajarkan dan menjelaskan materi yang dikonsep dan disiapkan oleh pembuat kurikulum. Di sini, bisa pula berlaku pepatah guru pintar semalam.
Selain itu, tugas guru adalah melakukan penilaian terhadap personal siswa, mengukur ketercapaian masing-masing siswa terkait kompetensi yang ditetapkan. Guru harus tahu sedalam apa pemikiran siswa berkenaan dengan tema. Lalu, menilai portofolio dan mengecek tugas-tugas kelompok dan mandiri siswa. 

Tugas ini menjadi tidak enteng begitu saja manakala kelas rata-rata diisi dengan jumlah ‘gemuk’ siswa, mencapai 38 orang. Ditambah lagi dengan tuntutan kreatif guru menyiapkan format dan bentuk penilaian sendiri bagi siswa. 

Selama dua tahun berjalan, sudah adakah penilaian ‘sederhana’ seperti yang diharapkan kurikulum 2013 itu terlaksana di sekolah-sekolah? 

Katakanlah, secara teori sudah dilaksanakan. Lalu, mari dipantau lagi, bagaimana akhirnya nilai didapatkan pada akhir proses pembelajaran. Akan sangat memprihatinkan sekali jika siswa dengan kemampuan rata-rata, tidak bersungguh –sungguh dalam proses mendapatkan nilai tuntas, tersebab kekhawatiran guru akan tuntutan remediasi siswa. 

Rasionalnya, 2/3 dari kelas adalah siswa yang dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Seperti adanya asumsi bahwa dalam setiap populasi yang heterogen, terdapat sepertiga kelompok yang baik, sepertiga sedang dan sepertiga lainnya yang memiliki nilai kurang. Sebutlah nilai kurang ini dengan mereka yang mendapat nilai tidak melewati standar ketuntasan. 

Jika jam tatap muka guru sesuai Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja guru (PK guru) adalah 24 jam, maka untuk dua jam pelajaran per-minggu, guru tersebut akan mengajar di dua belas kelas. Jika masing-masing kelas terdiri dari 36 orang siswa, sepertiganya adalah siswa yang butuh remediasi/pengulangan kembali, maka tugas guru selanjutnya adalah membina siswa sejumlah 12 kelas x 12 siswa. Maka, setidaknya sebanyak 144 siswa butuh remedial satu materi pelajaran tersebut.

Pertanyaannya, remedial macam apakah yang dapat dilakukan dengan keterbatasan waktu dan kemampuan  si guru seperti itu? Terlebih lagi, mengutip tulisan Husamah dan Yanur S dalam bukunya Desain Pembelajaran Berbasis Pencapaian Kompetensi, bahwa “jika kualitas guru seburuk saat ini, sekolah justru semakin menggerogoti kemandirian dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata sehari-hari”. 

Maka akhirnya gurulah yang akan terasing dari kehidupan nyata bilamana, satu; guru perlu belajar kembali, menguasai, mencari dan mencerdaskan dirinya sebelum mencerdaskan siswanya. Dua, guru perlu merancang proses penilaian siswa secara personal dengan kelas “gemuk”, melakukan evaluasi terhadap pengamatan, penalaran, pertanyaan dan pengayaan masing-masing siswa. Tiga, manakala tuntutan guide, teach dan explain juga disertai dengan tugas-tugas tambahan lain, adakah masanya menulis penelitian sederhana dan melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan diri. Empat, Kebutuhan pencerdasan guru masa kini, yang tidak dibarengi dengan pendidikan-pendidikan, pelatihan, arahan dan bimbingan dari pembuat kebijakan, penggagas kurikulum baru, menjadikan kurikulum ini terlihat ringan di pusat terasa berat di daerah. 

Perubahan kurikulum ini, nyatanya belum menjadi perubahan budaya belajar. Budaya pengoptimalan kinerja guru, juga pencerdasan siswa. Inilah evaluasi dini kurikulum baru, sebelum penilaiannya secara menyeluruh dilaksanakan tahun 2016 mendatang. 

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...