Kurikulum 2013 telah memasuki tahun kedua implementasinya.
Menurut teori evaluasi, kurikulum baru bisa diselenggarakan secara
rutin dan bergiliran setelah semua perencanaannya dijalankan. Jenis evaluasi
formatif dapat dilaksanakan setiap tahunnya sampai dengan tahun ajar 2015/2016.
Sedangkan evaluasi sumatif dapat dilaksanakan pada tahun 2016 mendatang. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan, ide, dokumen dan implementasi
kurikulum tersebut.
Maka sepanjang evaluasi secara menyeluruh itu belum
terlaksana, tentu tak dapat ditetapkan bahwa kurikulum yang tidak lagi baru ini
bagi sejumlah Negara (Finlandia, Jerman, dan Prancis) dapat mewujudkan
cita-cita pendidikan nasional Indonesia. Hal ini dapat pula dilihat dari terlaksana
atau tidaknya proses pembelajaran serta penilaian sebagaimana dikonsep oleh
penggagas kurikulum ini.
Di antara keunggulan yang digadang-gadang dalam proses
pembelejarana berbasis kurikulum 2013 ini adalah integrasi tiga komponen
mendasar output belajar itu sendiri. Pertama, attitude atau
tingkah polah pembelajar yang terpola, yang mestinya sudah lebih baik daripada
sebelum belajar. Kedua, Skill. Keahlian dan kompetensi adalah modal yang
diberikan kepada pembelajar selama masa pendidikan. Diharapkan dengan skill
tersebut, output kegiatan belajar itu dapat menghadapi tantang dunia yang serba
canggih dan global ini. Dan ketiga, knowledge. Tanpa dasar pengetahuan
yang cukup, tentunya pembelajar ibaratkan ksatria yang kehilangan jurus. Modal
berani menantang saja tak cukup.
Melalui ketiga komponen ASK (attitude, skill dan knowledge)
ini, secara aktif pembelajar diharapkan mampu mengamati, bertanya dan menalar
materi/tema yang diberikan guru di kelas. Sehingga, guru tak hanya sebagai
seseorang yang “digugu dan ditiru” saja, melainkan guru dituntut mampu
mengarahkan, mengajarkan dan menjelaskan materi yang dikonsep dan disiapkan
oleh pembuat kurikulum. Di sini, bisa pula berlaku pepatah guru pintar
semalam.
Selain itu, tugas guru adalah melakukan penilaian terhadap
personal siswa, mengukur ketercapaian masing-masing siswa terkait kompetensi
yang ditetapkan. Guru harus tahu sedalam apa pemikiran siswa berkenaan dengan
tema. Lalu, menilai portofolio dan mengecek tugas-tugas kelompok dan mandiri
siswa.
Tugas ini menjadi tidak enteng begitu saja manakala kelas
rata-rata diisi dengan jumlah ‘gemuk’ siswa, mencapai 38 orang. Ditambah lagi
dengan tuntutan kreatif guru menyiapkan format dan bentuk penilaian sendiri
bagi siswa.
Selama dua tahun berjalan, sudah adakah penilaian ‘sederhana’
seperti yang diharapkan kurikulum 2013 itu terlaksana di sekolah-sekolah?
Katakanlah, secara teori sudah dilaksanakan. Lalu, mari
dipantau lagi, bagaimana akhirnya nilai didapatkan pada akhir proses
pembelajaran. Akan sangat memprihatinkan sekali jika siswa dengan kemampuan
rata-rata, tidak bersungguh –sungguh dalam proses mendapatkan nilai tuntas,
tersebab kekhawatiran guru akan tuntutan remediasi siswa.
Rasionalnya, 2/3 dari kelas adalah siswa yang dapat
mengikuti pembelajaran dengan baik. Seperti adanya asumsi bahwa dalam setiap
populasi yang heterogen, terdapat sepertiga kelompok yang baik, sepertiga
sedang dan sepertiga lainnya yang memiliki nilai kurang. Sebutlah nilai kurang
ini dengan mereka yang mendapat nilai tidak melewati standar ketuntasan.
Jika jam tatap muka guru sesuai Pedoman Pelaksanaan
Penilaian Kinerja guru (PK guru) adalah 24 jam, maka untuk dua jam pelajaran
per-minggu, guru tersebut akan mengajar di dua belas kelas. Jika masing-masing
kelas terdiri dari 36 orang siswa, sepertiganya adalah siswa yang butuh
remediasi/pengulangan kembali, maka tugas guru selanjutnya adalah membina siswa
sejumlah 12 kelas x 12 siswa. Maka, setidaknya sebanyak 144 siswa butuh
remedial satu materi pelajaran tersebut.
Pertanyaannya, remedial macam apakah yang dapat dilakukan
dengan keterbatasan waktu dan kemampuan
si guru seperti itu? Terlebih lagi, mengutip tulisan Husamah dan Yanur S
dalam bukunya Desain Pembelajaran Berbasis Pencapaian Kompetensi, bahwa “jika
kualitas guru seburuk saat ini, sekolah justru semakin menggerogoti kemandirian
dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata
sehari-hari”.
Maka akhirnya gurulah yang akan terasing dari kehidupan
nyata bilamana, satu; guru perlu belajar kembali, menguasai, mencari dan
mencerdaskan dirinya sebelum mencerdaskan siswanya. Dua, guru perlu merancang
proses penilaian siswa secara personal dengan kelas “gemuk”, melakukan evaluasi
terhadap pengamatan, penalaran, pertanyaan dan pengayaan masing-masing siswa. Tiga,
manakala tuntutan guide, teach dan explain juga disertai
dengan tugas-tugas tambahan lain, adakah masanya menulis penelitian sederhana
dan melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan diri. Empat, Kebutuhan pencerdasan
guru masa kini, yang tidak dibarengi dengan pendidikan-pendidikan, pelatihan,
arahan dan bimbingan dari pembuat kebijakan, penggagas kurikulum baru,
menjadikan kurikulum ini terlihat ringan di pusat terasa berat di daerah.
Perubahan kurikulum ini, nyatanya belum menjadi perubahan
budaya belajar. Budaya pengoptimalan kinerja guru, juga pencerdasan siswa. Inilah
evaluasi dini kurikulum baru, sebelum penilaiannya secara menyeluruh
dilaksanakan tahun 2016 mendatang.