18.2.15

Tentang Ayahnya

Bukankah setiap kita memiliki kenangan bersama Ayah? 

**
Sore itu, saya mendapati rumahnya tampak sepi. Setelah dua kali mengucap salam, sambil sedikit menjulurkan kepala ke dalam rumah kayu sangat sederhana itu, terdengar jawaban dari dalam.
Seorang remaja laki-laki muncul dari bagian dalam rumah. Ia tengah memegang telinga periuk nasi. Lalu ditaruhnya di meja. Mengelap tangannya dan bersegera menuju pintu. Saya berdiri di pintu, ibu gurunya.

Sebagai wali kelasnya, saya merasa perlu melakukan kunjungan rumah siswa, untuk mengetahui perihal apa yang menyebabkan si siswa di sekolah "bermasalah".
Kita sebut saja "R". R adalah anak tunggal di keluarganya. Ayahnya, kira-kira berusia di atas enam puluh tahun. Dulu, ayahnya bekerja sebagai karyawan sebuah tempat pangkas rambut. Saat saya ke rumah R ketika itu, ayahnya terlihat berbaring di kamar yang hanya pas untuk satu dipan tempat tidur. Sambil batuk-batuk, ia masih menyempatkan menyapa saya, guru anaknya.
Si ayah, mencoba keluar kamar, menemui saya. Mencoba bergabung dalam pembicaraan. Saya jongkok di pintu. Bukan karena tak dipersilahkan masuk, tapi memang tak ada tempat untuk duduk di dalam ruang  kecil yang disebut "rumah" itu.
Dari sisi meja dekat kamar, keluar pula si Ibu. Ibu R kira-kira berusia 50 tahunan. Perempuan itu duduk di lantai. Lalu beringsut ke arah saya. Ia bersuara. Seperti menggumam, tak jelas. Tapi tampak dari wajahnya kesedihan. 

Keadaan itu, telah 'menceritakan' banyak hal kepada saya. Wajar, R yang baru kelas dua SMK, harus sekolah dan bekerja bersamaan. Di saat pagi harus pergi sekolah, sore pulang, lalu mengurus kedua ayah dan ibunya. Malam hari ia harus pergi ke pasar sayur, bekerja menjadi tukang parkir hingga menjelang pagi lagi. Demikian hari-harinya.

Kapan ia tidur? Itulah kenapa saya katakan wajar. Wajar ia seringkali tertidur di kelas. Wajar ia sering tak masuk jam pelajaran pertama pada hari-hari tertentu setiap minggunya. 
Namun tak wajar, dengan kesulitan itu, ia tetap peduli penampilan. Tak kurang gagahnya, dengan wajah bersih dan baju rapinya. 


***
Tengah hari Jumat itu, saya mendatangi rumah sakit. Entah kenapa, saat pertama mendengar kabar kawan-kawan sekelasnya, -tentu saja bersama wali kelas barunya-, mengumpulkan dana untuk membantu biaya perawatan Ayahnya, saya merasa harus membesuk mereka siang itu juga.

Sepertinya hari kesedihan itu tak mampu diberi warna. Mungkin saja kelabu, mungkin ungu, atau juga biru. Baginya, Jumat itu jelas saja memberikan nilai kedewasaan yang tak dimiliki remaja lain seusianya.

Saya masuk ruang itu. Dia kaget. Heran dan barangkali tak menduga kedatangan saya. Ada dua tempat tidur di ruang itu. Tempat tidur ayahnya, tepat bersebelahan dengan jendela. Mestinya tak akan terasa gerah di siang yang tak terlalu panas itu. Namun, Ayahnya terlihat begitu gelisah.

Saya tersenyum, menyapa beberapa laki-laki muda yang berada di sekitarnya. Dia menyalami saya, sedikit tersenyum.
"Sudah makan?" saya bertanya.
"Sudah Buk." ujarnya.
"Tadi pagi kah?" saya menebak.
"Hehe..iya buk".
Saya melihatnya mencoba santai dengan senyuman itu. Namun, terlihat jelas kecemasannya.

Murattal Yasin, sayup-sayup terdengar dalam pembicaraan kami.
"Ingatkan Ayahmu syahadat. Bisikkan ke telinganya."
Dia lalu membacakan syahadat sedikit berbisik di telinga Ayahnya. Sekali-dua kali, diulanginya. Lalu, ia matikan murattal, dan membungkuk selama beberapa menit, membacakan syahadat. Dia tampak terisak. Air matanya menetes jatuh ke sisi kanan Ayahnya.
Tuhan, akan Engkau jadikan apa anak ini.. Sungguh hebat kehidupannya. Berikanlah ia keikhlasan Ya Rabb..

Hampir seperempat jam saya di tempat itu. Memperhatikan gelagat-gelagat malaikat yang tampaknya kian dekat. Orang tua yang terbaring di tempat itu, berusaha menyingkap perutnya, membuka selimut. Dia masih dengan sabar membisikkan kata "Allah". Sedang laki-laki yang katanya saudara tirinya itu, hanya mematung, memperhatikan saja. Entah apa yang dipikirkannya.

Saya lalu pamit, mengajak dia berbicara di luar ruangan sebentar. Mengingatkan dia, bahwa kita tak pernah tau, kapan akan dipanggil olehNya. Anak laki-laki itu menangis. Terisak. 


***
Saya dalam perjalanan pulang. Sebuah pesan singkat masuk. 
"Buk, ayah wak lah pai salamo-lamonyo buk..."
(13.10)

Selang waktu tak sampai satu jam. Malaikat benar-benar bekerja untuk TuhanNya. Mengantar hamba menemui Rabb-nya. 


Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...