18.9.16

Bunga

Dia yang Mekar di Saat Terik
Bulan di Atas Bunga Kala Senja
Menunduklah.

14.9.16

Kenapa Puasa Daud?

Kenapa Puasa Daud?

Pertanyaan ini mengantarkan saya pada buku-buku hadis yang pernah dipelajari ketika di madrasah dulu. Masalahnya, sebetulnya bukan dengan orang yang saya ajukan pertanyaan tersebut. Melainkan dengan pribadi saya sendiri, yang merasa 'kosong' tentang hal ini. 

Seingat saya, dalam bab Ash-Shiyam, terkait Shiyam at-Tathawu' kitab Fiqh Sunnah, benar ada disebutkan beberapa puasa sunnah lengkap dengan dalilnya. Di antaranya adalah puasa enam hari di bulan Syawal, Puasa hari Arafah dan sepuluh hari di bulan Zulhijjah, puasa Senin -Kamis, dan lain sebagainya, yang tidak terdapat hadis tentang Puasa Nabi Daud. 

Puasa Daud, yaitu puasa yang dilakukan secara berseling hari, atau sehari puasa sehari tidak, secara istiqomah tanpa ada batasan waktu. Hal ini telah dilakukan oleh Abdullah bin Amru, yang merasa tidak puas jika hanya konsisten berpuasa Senin-kamis saja. Ia merasa mampu berpuasa, menahan diri lebih dari sekedar Senin dan Kamis setiap minggunya. 

Lalu Rasulullah saw menyarankan puasa Daud, seperti dalam hadis Bukhari nomor 1840.
“Maka berpuasalah engkau sehari dan berbuka sehari, inilah (yang dinamakan) puasa Daud ‘alaihissalam dan ini adalah puasa yang paling afdhal. Lalu aku (Abdullah bin Amru radhialahu ‘anhu) berkata sesungguhnya aku mampu untuk puasa lebih dari itu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak ada puasa yang lebih afdhal daripada itu. ” (HR. Bukhari No : 1840)

Dalam sebuah hadis juga disebutkan :   
“Berpuasalah dengan puasa yang terbaik, yaitu puasa Nabi Daud yaitu puasa sehari dan berbuka satu hari”. (HR. Nasa’I).


Dan dalam hadis lainnya : 
“Puasa terbaik adalah puasa Daud, adalah ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Dalam riwayat Imam Bukhari dengan tambahan : “Tidak ada (puasa sunnah) yang lebih baik darinya.” (Mutafaqqun ‘Alaih)

Pertanyaan tadi dijawab dengan alasan yang tidak jelas.  
Kenapa Puasa Daud? Karena hobby, katanya. Seorang alumni SMA, alumni jurusan manajemen, kuliah di kampus umum pula, berkata hobby.  *helloo...saya lagi ada di mana?! Katanya, yang belajar agama di semua tingkatan pendidikannya, tapi tak pernah menganggap puasa berada dalam list hobby, atau sesuatu yang disukai. Semua seperti hanya rutinitas, bagian dari ibadah wajib, itu saja. Malu, tentu saja. Kepada diri sendiri, saya hanya bisa menertawakan. Betapa, betapa selama ini merasa puasa sunnah Senin Kamis saja -belum pula maksimal-, adalah hal yang hebat. Ada banyak orang, ternyata telah melakukan lebih, bukan atas dasar kewajiban. Bukan.

 Hobby itu, barangkali mengantarkan ketenangan dalam hidupnya. Benarlah, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 1761 dan Muslim nomor 1946, tentang amalan puasa. 
 Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alai wasallam bersabda, "Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya."  

Dan, Allah-lah yang berhak melimpahkan ketenangan ke dalam dada hamba yang dipilihNya. Allah memberi lebih, kepada hambaNya yang menghamba lebih pula kepadaNya. 

Ada pula sebuah hadis dari Sofyan bin Uyainah rahimahullah, tentang keistimewaan yang akan terlihat nanti di hari kiamat, bagi mereka yang menyukai ibadah puasa,
"Ketika hari kiamat, Allah akan menghisab hamba-Nya. Dan mengembalikan tanggungan dari kezalimannya dari seluruh amalnya. Sampai ketika tidak tersisa kecuali puasa, maka Allah yang akan menanggung sisa kezaliman dan dia dimasukkan surga karena puasanya." 
 Demikianlah, Abdullah bin Amru. Merasa mampu melakukan yang lebih, dan tidak berpuas diri dengan yang sudah lazim. Meskipun dalam sebuah kitab disebutkan, Abdullah bin Amru di akhir hayatnya dengan alasan kesehatan, sedikit menyesalkan pilihannya melakukan puasa Daud. Wallahu a'lam.
 
Memilih puasa daud, memperbaiki ibadah, atau setidaknya konsisten dengan ibadah sunnah yang telah dijalankan (?)


4.9.16

Review Buku: Singgah



Komentar buku      : Singgah (antologi cerpen)
Penulis                   : Jia Effendie, dkk


“Karena hidup adalah persinggahan.”

Kalimat yang tertera di halaman awal buku dengan judul Singgah ini, menarik perhatian saya untuk terus membalik ke daftar isi. Mencoba mengira-ngira, di judul manakah terletaknya quote tersebut. Karena, buku ini merupakan kumpulan cerita bertemakan tempat-tempat persinggahan yang ada. Baik stasiun kereta, terminal, bandara, pelabuhan atau dermaga.

Di tempat-tempat itu, banyak terukir kenangan, tercipta harapan. Sedih maupun senang. Orang-orang datang dan pergi silih berganti. Disanalah tempat persinggahan, perhentian dan keberangkatan.

Beberapa cerita berkisah tentang imajinasi. Lainnya tentu seperti kisah nyata. Seakan ada, atau pernah dirasakan banyak kita. Di antara kisah-kisah itu, yang berkesan bagi saya adalah tulisan Anggun Prameswari, dengan judul Rumah Untuk Pulang.

Latar cerita Rumah Untuk Pulang, adalah stasiun kereta. Seorang perempuan muda, senantiasa duduk di peron stasiun, memikirkan kemana ia harus pulang. Arum namanya. Perempuan yang terjebak dalam rasa bersalah, yang terus menghantui. Rumah, tempat kebahagiaan dicipta bersama ibu dan ayahnya, bukan lagi menjadi tempat pulang. Karena ia terlalu bersalah untuk kembali.

Rumah, tempat ia, suami dan anak-anaknya berada, bagi Arum bukanlah tempat untuk pulang. Ia terus diliputi rasa bersalah dan menyesal pada masa lalu. Ia ingin memutar waktu. Menemukan dirinya, sebagaimana anak/gadis berkehidupan saat itu.

Meskipun disisipi bagian-bagian imajinasi, namun cerita ini sarat makna. Bagaimana pikiran bisa membentuk perilaku seseorang. Terjebak dengan penyesalan dan pikiran-pikiran sendiri, membuatnya merasakan rumah dan tempat tinggal tak pernah sama. Bisa saja, raganya kembali dan menetap di satu tempat. Tapi pikiran dan harapannya menerawang, mencari-cari tempat yang nyaman dan aman.

Saya pernah bertemu orang serupa itu. Lelaki, yang saat ini mungkin sudah berusia separuh baya. Lelaki itu, setiap pagi menjelang, selalu berbenah. Ia berjalan dari kampungnya ke kota. Sekedar entah mencari apa. Lalu, kira-kira dua jam berikutnya ia kembali pulang. Kira-kira waktu dhuha.

Ia tidak terlihat seperti seseorang yang sedang disibukkan mencari sesuatu. Bukan. Melainkan, ia adalah seorang yang melakukan rutinitas perjalanan pagi. Dengan rapi, mengenakan sarung ia berjalan. Sesekali ia juga menyandang tas.

Menurut informasi yang didapat, lelaki itu terganggu dengan pikiran masa lalu. Ia lalu berjalan sangan jauh. Dari ibukota proinsi lain, ke kampungnya. Masalahnya adalah, ia tak cukup berani sampaikan penolakan yang diberikan kakaknya, atas permintaannya. Ia hanya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dan, terkendala biaya.

Ia hanya tak bisa menerima keadaan tersebut. Terus menerus terjebak dengan pikiran dan harapannya. Begitu juga dengan Arum. Menjebak dirinya dengan pikiran dan harapan imajainasinya. Dan, mungkin juga banyak di antara kita saat ini yang hampir-hampir juga terjebak dengan harapan-harapan dan mimpi yang belum tercapai. Atau tak bisa keluar dari rasa bersalah  yang terus menghantui.

Hidup benarlah sebuah persinggahan. Kalau bahasa Komaruddin Hidayat, Hidup adalah perjalanan. Tak ada yang menetap, dan kita tak akan menetap.

Secara umum, buku ini menarik. Kisah-kisah tentang kenangan dan rindu dikumpul jadi satu buku, oleh sebelas orang penulis. Ke sebelas cerita itu, diawali dengan cerita horor Jia Effendie, "Jantung". Lalu, Dermaga Semesta, tulisan Taufan Gio. Alvin Agastia Zirtaf, menulis cerpen dengan judul Menunggu Dini. Moksha, karya Yuska Vonita. Kemenangan Apuk, oleh Bernard Batubara. Dian Harigelita dengan cerpennya Semanis Gendhis. Rumah Untuk Pulang. Memancing Bintang karya Aditia Yudis. Para Hantu dan Jejak-jejak di Atas Pasir, Koper, Persinggahan Janin di Pelabuhan Cerita, dan Pertemuan di Dermaga.

Dermaga, tempat orang-orang menunggu yang datang, menjemput yang pergi.
Terminal, tempat dimana pertemuan dan perpisahan harus terjadi.
Stasiun, sayangnya bersedia memberi ruang untuk terus menanti, menanti. Meski yang ditunggu entah akan kembali atau tak akan pernah lagi.
Dan, bandara bisa menjadi tempat pertemuan tak terduga. 

* Jadi, "Karena hidup adalah persinggahan.”ada di halaman berapa.

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...