29.6.16

Review Buku: Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis


Judul buku  :  DI TEPI SUNGAI PIEDRA AKU DUDUK DAN MENANGIS
                     NA MARGEM DO RIO PIEDRA EU SENTEI E CHOREI
Penulis       :   Paulo Coelho
Penerbit     :   Gramedia Pustaka Utama
Tebal         :    224 halaman

Hiduplah. Mengenang hanya untuk orang-orang tua.  

Mungkin cinta membuat kita menua sebelum waktunya -atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis---mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi jadi kenangan. Sehingga ketika aku selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke Piedra. [h. 14]

***
Paulo Coelho. Nama yang mengingatkan saya, atas jasa besarnya yang tak terduga, untuk Sonia adiknya. Sonia memenangkan lomba esai hanya dengan bermodalkan tulisan kakaknya, yang sudah dibuang ke tong sampah. Namanya sejak lama, digandeng dengan Sang Alchemist. Buku yang banyak dibaca di seluruh dunia.

Ada legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke Sungai Piedra ini seperti dedaunan, serangga, ataupun bulu burung akan berubah menjadi batu yang membentuk dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke arus, maka kepedihan dan rinduku akan berakhir, dan akhirnya aku melupakan semuanya. Demikian ditulis Paulo Coelho di bagian awal novel ini. 

Ditepi sungai Piedra aku duduk dan menangs ini, berkisah tentang Pilar dan  teman lelaki masa kecilnya, yang mengikuti perjalanan takdir. Mempertemukan, lalu menyatukan. Memberi konflik, lalu mengikhlaskan. Memahami makna cinta yang lebih agung, daripada hasrat dan nafsu manusiawi.

Latar belakang Coelho bertemu dengan Christina Oiticica, seorang teman lama yang kemudian menjadi istrinya, barangkali menjadi ide utama kisah ini. Sastrawan Brasil ini, melalui novel-novelnya begitu piawai merangkai kata memberi definisi dan makna rasa. Baik rasa indah bagi orang yang tengah jatuh cinta, maupun kepedihan yang dirasakan orang yang sedang patah hati.

“Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.”

Seorang Pilar, sedang melanjutkan sekolahnya di Zaragosa. Dan, si Lelaki yang tak pernah disebutkan namanya, menyibukkan diri dengan kegiatan keagamaan Kristen dan seringkali memberi 'kuliah'. Pertemanan masa kecil mereka terus berlanjut, melalui surat-surat di antara mereka.

“Namun cinta itu mirip bendungan: jika kau membiarkan satu celah kecil yang hanya bisa dirembesi sepercik air, percikan itu akan segera meruntuhkan seluruh bendenungan, dan tak lama kemudian tak seorang pun bisa mengendalikan kekuatan arusnya. Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. mencintai berarti kehilangan kendali.” 
Pilar dan lelaki itu dihadapkan pada konflik. Pilar, menolak hatinya dan mengedepankan logika. Sedangkan si lelaki, diharuskan memilih, melanjutkan kehidupan religiusnya atau memilih hidup normal dengan wanita yang sejak lama ia cintai. Masing-masingnya hanya mencoba mengikuti, bagaimana takdir mengantarkan. 

Perjalanan pun dimulai. Ada banyak tempat-tempat suci dan ritual reliji yang disebutkan dalam bagian ini.

Akhir dari perjalanan mereka seperti memberi konklusi bahwa, si lelaki tak perlu meninggalkan 'tanggung jawab' yang diberikan Tuhan kepadanya, memberi pelayanan, dan memilih wanita itu. Atau sebaliknya, memilih aktifitas agamanya, dan melupakan cinta yang sejak lama ia simpan dan terus inginkan. Ia akhirnya diberi kesempatan, melayani Tuhan justru dengan mengikuti hatinya, yakni mencintai Pilar. Di sini terlihat begitu kental nuansa beragama si Penulis.
"Cintamu menyelamatkan aku dan mengembalikan aku ke mimpiku." 

**
“Cinta sejati adalah penyerahan diri seutuhnya. Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan menemukan percikan Tuhan di dalam dirinya.” 
Novel ini secara umum bercerita tentang keikhlasan /penyerahan diri. Saya membaca buku ini tanpa jeda melakukan apa-apa selain ingin meneruskan ke halaman berikutnya, halaman berikutnya lagi. Bukan karena penasaran bagaimana ending kisahnya. Tapi karena merasa ikut hadir bersama, mendengarkan percakapan-percakapan. Ditambah lagi dengan perlunya membaca berulang. Disebabkan banyaknya kutipan dan quote tentang makna, dengan bahasa sastrawi yang perlu dibaca lagi, agar tak rancu memahami. Ya, seperti novel terjemahan lainnya. (*)


Resensi Kumpulan Puisi: Pesta Bulan Air Karya Ade Faulina


Judul buku      : Pesta Bulan Air
Pengarang       : Ade Faulina
Penerbit           : Kabarita
Tahun terbit     : Cetakan I, Mei 2016
Tebal buku      : 118 hlm
           
         Puisi menjadi gambaran pikiran seorang penciptanya. Penyair melalui puisinya kadang kala menyampaikan gagasan, kritikan, kenangan, atau impian lewat kata-kata yang indah. Demikian juga dengan, penyair perempuan Ade Faulina.         
            Buku yang berjudul Pesta Bulan Air ini hadir sebagai bentuk pembicaraan panjang seorang Ade Faulina. Rentang penciptaan puisi dari tahun 2007 hingga 2014, menggambarkan kompleksitas hal yang tengah dibicarakannya. Ia berbicara kepada dirinya, kepada sahabatnya, kepada alam. Puisi-puisi inilah yang menjadi cerita perjalanan dan rasa yang mengalir di kehidupannya.
            Sebagai buku pertama, mengenali dan menyelami puisi-puisi Ade Faulina bisa dilakukan pembaca lewat 111 puisi pilihannya. Seperti halnya kutipan puisi yang berjudul Menjelma Air, Ade menyampaikan keyakinan dan kemampuannya melalui episode hidup.

Menjelma Air

Aku datang dengan gelombang kuasa rampas segala
Riak debur gelombang mendera rasa
Manusia-manusia lugu yang bernyanyi tanpa suara
aku datang dengan kuasa membuang segala
mengembalikan arus-arus congkak
dalam tubuh beku tak tertahankan
hingga ruh-ruh itu menjauh
aku datang dengan kuasa mengubah diri menjadi segala
cair ataukah beku dalam waktu yang tiada diketahui
menggenangkan mimpi menghanyutkan nasib
masa silam akan datang
yang tiada bertepi hingga jelma
sebuah rahasia abadi
aku datang dengan kuasa atas segala
selalu menjelma air
padang, 18/1/2010 
            
          Ade mengibaratkan dirinya menjadi air lewat puisi Menjelma Air. Ada warna emosional yang berbeda dalam setiap bait yang tertulis. Puisi menjadi sebenarnya Ade, mengaliri kehidupan.
            Pada puisi-puisi lain, Ade bercerita tentang rasa yang mengaliri jantungnya. Rasa cinta dengan makna yang jamak. Beberapa nama dengan sengaja disebut, menunjukkan betapa mereka memberi rasa yang dalam bagi Ade.
            Air, kesunyian, berkata-kata dengan alam, orang-orang tertentu, dan dengan dirinya sendiri adalah pilihan-pilihan di antara puisi Ade.

Cuaca

Tak ada yang bertanam di lading kata
Hanya ada tanah sunyi
dan desir angin
yang diam-diam menghilang
merapat dalam cuaca
yang sulit ditebak
entah hujan ataukah kemarau
yang akan bertandang

Padang, 8/4/2013
           
Melalui buku ini kita bisa melihat apa dan bagaimana aliran perjalanan hidup, dan rasa cinta seorang Ade. Tak hanya sekedar hiburan. Buku ini bisa menjadi cermin bagi mereka yang juga tengah mengaliri sungai kehidupan yang berliku dan bergelombang ini.


 

28.6.16

Kembali




Kembara ini kemudian berakhir

Engkau mungkin berpikir, air akan berhenti pada lubuk-lubuk sepanjang aliran sungai.
Burung akan membuat sarang, dan menetap di sana, menetaskan telurnya.
manusia, akan mengingat di bumi mana ia lahir
tapi, tidak untuk selamanya

air akan terus mencari tempat yang lebih rendah, hingga ke muara
menyatu tawar dan asinnya laut
burung-burung kecil akan ditinggalkan induknya, lalu memulai kembaranya
dan manusia, manusia akan mencari belahan lain bumi, selain tanah kelahirannya

ada yang tak berubah dari kembara itu
perjalanan yang mesti punya akhir
pergi yang harus ada pulang
seperti ingin, yang tak pernah puas memenuhi
garis-garis takdir yang kemudian bersua pangkal dengan ujung
berhenti.

kembara itu pun kembali,
kepada ibu yang terus menanti.









22.6.16

Nagari Wisata Balimbiang

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sedikitnya 13 ribu pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Ada lima pulau besar, yang mempunyai keragaman suku bangsa serta kebudayaannya. Bahkan, untuk satu propinsi saja, ada perbedaan adat istiadat satu daerah dengan yang lainnya. Keragaman inilah yang menjadi keunggulan pariwisata negeri ini.

Demikian juga dengan wisata Sumatera barat. Saat ini yang menjadi ikon wisata Sumbar dikenal pada beberapa objek wisatanya, seperti Rumah Gadang Pagaruyung Batusangkar, Jam Gadang di Bukittinggi, Lembah Harau Payakumbuh, sejumlah danau, pulau-pulau dan wisata bahari di pesisirnya. Selain tempat-tempat kenamaan itu, sebetulnya Sumbar juga mempunyai konsep wisata seperti yang sedang digalakkan beberapa daerah wisata lainnya, seperti Bali, yaitu desa wisata.

Sumbar sendiri sudah punya desa wisata Rantih, dengan mengedepankan keindahan alam, air terjun dan pemandangan yang menarik di Kota Sawahlunto. Atau kawasan wisata kuliner di beberapa kelurahan di Kota Payakumbuh. Sayangnya, tak banyak yang muncul ketika kita lakukan pencarian google, dengan kata kunci desa wisata di Sumbar.

Wisata didefinisikan dengan bepergian bersama-sama baik untuk memperluas pengetahuan, atau bersenang-senang/bertamasya. Sedangkan desa wisata, merupakan  kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus yang layak untuk menjadi daerah tujuan wisata. Jika daerah-daerah di Sumbar dikelompokkan menjadi nagari-nagari, tentu tidak salah pula istilah tepatnya kemudian menjadi Nagari Wisata.

Adapun yang menjadikan desa wisata/nagari wisata itu berbeda dengan objek wisata, salah satunya adalah tentang pengelolaannya. Nagari wisata, dikelola oleh, untuk dan milik nagari. Secara bersama-sama desa itu dihidupkan budayanya, kulinernya, kendahan alamnya, dan hal-hal lain yang tak dimiliki daerah lain. Dilakukan oleh masyarakat setempat. Dinas pariwisata tentu juga terbantu dengan sistem terpadu tersebut.

Di antara ragam wisata yang dapat dikembangkan nagari, selain objek wisata alam dan sejarah yang telah ada, adalah dengan meningkatkan kreatifitas masyarakat setempat. Seperti wisata petualangan, wisata agro, wisata kuliner, wisata budaya, dan wisata kreatif. Dapat pula dikelompokkan kepada bentuk wisata sejarah, wisata edukatif, dan wisata kreatif. Selain itu, nagari juga bisa menciptakan sendiri /menemukan konsep wisata sesuai kebutuhan dengan pertimbangan potensi dimiliki.

Sekedar mengambil perbandingan, seperti dikutip dari Kompas.com, pemerintah provinsi Bali berupaya membangun 100 desa wisata sejak 2013 hingga 2018. Saat ini sudah terbentuk 56 desa wisata.
Bagi mereka, pembentukan desa wisata menjadi model terbaik di industri pariwisata. Budaya, adat, lingkungan, dan keterlibatan masyarakat lokal mampu terjaga dalam pengelolaan desa wisata ini.

Salah satu daerah yang telah dicanangkan menjadi kawasan wisata terpadu, adalah Nagari Balimbiang, kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Hal ini dapat dilihat melalui, masterplan yang terdapat di Rumah Gadang Kampai Nan Panjang, Balimbiang.

Rumah Gadang Kampai Nan Panjang

Seorang warga, Hitler, menyebutkan masterplan itu telah sejak lama berada di sana. Turis-turis juga sudah sering datang dan berkunjung ke Balimbiang. Namun, belum sepertinya belum terberdayakan secara maksimal. Pertunjukan kebudayaan belum dikelola dengan apik, kulinernya juga belum begitu populer. Turi yang datang, hanya sebatas datang, mampir saja. Katanya, kita masyarakat sebetulnya bisa memberi lebih. Namun itu belum terlaksana.

Untuk menjadikannya sebagai kawasan nagari wisata terpadu, tentu tak cukup dengan menghadirkan cagar budaya Rumah Gadang 'hitam' itu saja. Beberapa kawan dari karambia.tour, melihat adanya potensi wisata petualangan/ adventure di sungai Batang Ombilin, yang melintas sampai ke Balimbiang.



Daerah ini juga memiliki masakan khas, yang tidak terdapat di daerah lain. Gulai Pucuak Palangeh, misalnya. Bahkan, Balimbiang diketahui sebagai daerah produsen Lamang Tapai yang dijual di pasar Batusangkar. Karena mengusung konsep tak perlu datang ke seluruh pelosok negeri, jika di satu tempat sudah menyediakan seluruhnya, Balimbiang bisa dimunculkan menjadi nagari wisata terpadu.


Pemandangan bukit dari sisi Sungai Ombilin

Wisata budaya juga ada, melalui pertunjukan-pertunjukan seni. Tak banyak daerah yang masih secara rutin melakukan pengkaderan, dan mengembangkan kegiatan seni untuk generasi muda daerahnya. Balimbiang adalah salah satunya yang masih melakukan acara pertunjukan Randai, Pidato Adat, Pencak Silat dan Tarian Minang yang digelar secara rutin.

Selain keuntungan finansial atas kunjungan wisatawan, daerah akan memperoleh keuntungan lainnya, seperti rumah, jalan, sarana MCK dan lingkungan yang menjadi bersih dan tertata. Kegiatan seni di daerah itu menjadi terpelihara. Ini juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat daerah tersebut. Dan yang pasti, meningkatnya kesadaran dan perhatian warga terhadap lingkungan sekitar, serta wawasan/sumber daya manusia setempat.

Seoang pemerhati pariwisata menjelaskan, pengelolaan kawasan wisata terpadu itu sesuai dengan 11 asas yang diamanatkan undang-undang ( UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan).  Asas itu adalah asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan. Uang yang masuk dari wisatawan kemudian dikelola masyarakat, diputar dalam lingkup itu lagi.
Sunset di Balimbiang
Kita tentunya juga ingin berbagai tradisi, budaya dan kesenian asli daerah sendiri diketahui dan dilestarikan oleh generasi muda. Ingin pula, keunggulan daerah itu dikenal banyak orang, didatangi wisatawan luar daerah, luar nagari, dan luar negeri. Wisata yang kreatif, bukan latah ikut-ikutan yang sedang tren. Wisata yang mengedukasi, memberi nilai-nilai kemanusiaan, bagi sebagian kita akan lebih berarti daripada sekedar bersenang-senang. Bukankah berwisata adalah bepergian bersama-sama untuk memperluas pengetahuan?  (*)

Review Buku: Merantau Ke Deli




gambar : priceza.co
Inilah salah satu karya sastra Hamka yang akan kita bicarakan kali ini, Merantau ke Deli. 

***


Leman si pemuda Minang, pergi merantau ke tanah Deli. Dalam perjalanan berniaganya, Leman bertemu dengan Poniem. Poniem seorang perempuan jawa, yang sudah lebih banyak mengalami sisi pahit kehidupan. Leman, menyukai Poniem. Mereka lalu menikah. 

Konflik muncul. Alasan adat, posisi dan porsi Leman sebagai laki-laki Minang yang merantau menjadi pemicu keretakan rumah tangganya. Klimaksnya terjadi pada tahun ke sepuluh mereka bersama. Poniem, saat itu juga belum memberinya keturunan. Campur tangan “orang kampung” turut mempengaruhi kehidupan rumah tangga Leman. 

Leman dijodohkan dengan gadis asal kampungnya, Mariatun. Meski sulit mendapat izin Poniem, Leman akhirnya bisa menikahi Mariatun. Dengan satu permintaan, agar Leman tidak akan menceraikan Poniem. Lalu Leman bersumpah untuk itu.

Tentu saja kehidupan “dua kapal, satu nahkoda” tak berjalan sebaik yang diinginkan. Konflik pecah. Persaingan mendapatkan perhatian Leman, terjadi antara Poniem dan Mariatun. Selain perang kata, mulai ada keributan fisik. Istri muda vs istri tua. Poniem ditalak tiga, diceraikan Leman. Lemang tak sadar telah mengingkari sumpahnya. 

Poniem pergi. Suyono, pembantu di toko Leman, yang telah lama ikut dengannya berdagang, turut serta, “mengikut kemana Mbak Yu pergi “, katanya. Dalam kehidupan bersama, yang memiliki pengalaman masa lalu yang sulit, dan cita-cita kebahagiaan masa depan, Poniem dan Yono yang sudah menemukan rasa nyaman satu sama lain pun menikah. Kehidupan mereka membaik. Terniat bagi mereka untuk kembali ke kota yang sama dengan Leman. 

Kontra sekali dengan kehidupan Leman. Setelah ditinggal istri tua dan pembantu setianya, usaha Leman jatuh bangkrut. Kongsi pun pecah. Ia miskin. Bersamanya tetap ada tanggung jawab membesarkan anak perempuannya dengan Mariatun. 

Poniem dan Yono, setelah bertemu kembali dengan Leman tetap saja tulus dan kasihan kepada Leman. Sudahlah mengkaji masa lalu, katanya. Leman meminta maaf kepada Poniem. Leman, telah beroleh pelajaran dari apa yang dilakukannya di saat kaya, gagah, muda dan beristri dua. Ia yang telah melanggar sumpahnya. Leman pulang kampung bersama Mariatun dengan kemiskinannya.

**
Karya sastra penuh ibrah. Tentang kritik terhadap adat Minang. Benturan adat budaya asli dengan kehidupan rantau. Tentang ketulusan dan kesetiaan. Tentang orang kedua dalam rumah tangga. Kecurangan, iri hati dan dengki. Tentang perjalanan nasib/takdir.


1.6.16

Perempuan Kepala Keluarga

Namanya Kak Del. Sore itu, Kak Del terlihat begitu aktif jepret-jepret pengunjung Kelok Sembilan, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Dengan hormat dan santun, ia mengatur posisi pengunjung, memunggungi jalan atau jembatan baru yang bergelung macam ular. Sesekali, ia mengarahkan agar sedikit bergeser ke kanan atau kiri.

Jepret! Kak Del memperlihatkan hasil jepretannya kepada beberapa orang ibu-ibu muda. Tidak terdengar jelas apa yang dibicarakan Kak Del dengan ibu-ibu itu. Yang jelas, setelah berbicara mereka terlihat mengangguk. Kak Del berjalan ke arah bahu jalan, sedikit memanjat batas besi pinggir jalan. Di jalan itu, telah berjejer beberapa motor dengan box di bagian belakangnya. Itulah motor, dengan fungsi stan cetak foto milik para fotografer Kelok Sembilan itu.

 
***

Box printer milik Kak Del
Kak Del adalah salah satu perempuan yang menjadi kepala keluarga di dalam rumah tangganya. Saya tidak tahu pasti, apa sebab, bagaimana kronologisnya ia kemudian menjadi kepala keluarga hari ini. Barangkali itu adalah privasi yang tabu ia ungkap, kepada saya yang baru ia kenali beberapa menit sebelumnya.

Kak Del memiliki seorang anak perempuan. Usianya kira-kira tujuh tahun, katanya. Anak semata wayang inilah yang menjadi kekuatannya melakukan apa saja demi kehidupan mereka berdua. Di samping ia tetap harus mengabdi kepada ibunya yang mulai tua.

Setiap pagi Kak Del berangkat dari rumahnya, yang berjarak lebih kurang setengah jam perjalanan motor, ke lokasi Kelok Sembilan itu. Rutinintas ini ia jalani baru sekitar dua bulan lalu. Bersama lima orang kawan lainnya, ia membentuk kelompok fotografer Kelok Sembilan. Meskipun belum berbentuk oganisasi resmi, saat ini para fotografer itu telah terlihat kompak dengan baju seragam Hitam-merah yang mereka gunakan.

Hari ini, menurut Ade- fotografer lainnya, ada sekitar 10 orang fotografer yang mangkal di sana. Karena hari sudah menjelang senja, "mereka sudah pada pulang," kata Ade. Dari 10 orang itu, ada tiga orang fotografer perempuan. Salah satunya adalah Kak Del.

"Saya termasuk yang awal-awal berdiri di sini," kata Kak Del.
"Saya mementingkan hasil", lanjut dia. Saya tak ingin nama fotografer Kelok Sembilan ini buruk, setelah pengunjung melihat foto-fotonya tak bagus, dan mereka bawa pulang sebagai kenang-kenangan.

Dalam sehari, Kak Del bisa mendapatkan lebih kurang sepuluh pelanggan foto, artinya sepuluh kali cetak. Biaya cetak foto ukuran besar (kertas A4), adalah 15ribu rupiah. Sedangkan ukuran kecil, harganya 10rb rupiah.

"Ini harga yang murah! Kawan-kawan fotografer di tempat wisata lain sampai marah ke kami", kata Kak Del lagi.

Menurut pengakuannya, ia pulalah yang mengajak kawan-kawannya untuk membuat baju seragam itu. Ia juga bertekad membentuk kesatuan, semacam organisasi. Dengan kelompok itu, mereka akan lebih terorganisir lagi. Ada asuransi, jaminan keselamatan kerja juga. Demikian ia berharap.

 ***
Sejak tahun 2000, Indonesia mulai memperhatikan keberadaan Perempuan sebagai kepala keluarga. Data dari Komnas Perempuan menyebutkan, alasan dibentuknya Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) adalah sebagai upaya mendokumentasikan kehidupan para janda di wilayah konflik, seperti Aceh.

Perempuan yang ditinggal mati suaminya di wilayah konflik jelas membutuhkan kepedulian bersama, khususnya negara.  Dalam PEKKA sendiri, selain janda yang ditinggal mati suaminya, juga termasuk istri yang memiliki pasangan hidup cacat tetap, atau perempuan yang menikah, dengan status tidak jelas, setelah ditelantarkan suaminya. Inilah fenomena yang ada saat ini. Mereka, adalah perempuan yang dititipi amanah menghidupi keluarganya. Dibebankan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, dan pengambil keputusan.

Menurut data Sekretariat Nasional PEKKA, perempuan kepala keluarga umumnya berada di usia 20–60 tahun. Mereka menghidupi antara 1-6 orang tanggungan. Sebagian dari mereka mengalami trauma karena tindak kekerasan dalam rumah tangga. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai buruh tani, keryawan, dan sektor informal lainnya. Dan, Kak Del adalah salah satunya.


Apa yang bisa kita lakukan?
Membaca data tertulis dan melihat realitanya, tidak sedikit perempuan yang menjadi kepala keluarga di lingkungan sekitar kita. Mereka lebih memilih bekerja, -apa saja- agar tetap menjaga martabat keluarganya.
Apa jadinya, jika pilihan pekerjaannya adalah dunia tak baik?!

Membantu secara materi, mungkin bukan solusi bijak. Tapi membukakan lapangan kerja yang layak, atau ikut membantu mengembangkan usaha yang telah dirintisnya, bisa kita lakukan. Atau, memberikan pendidikan soft skill, keterampilan, agar ia mau berwirausaha. Bisa pula dengan berteman dan berbagi wawasan tentang hukum. Agar mereka tetap percaya diri pada peran dan posisinya di tengah masyarakat.

Keadaan menjadi kepala keluarga, tentu bukan keinginan mereka. Tapi bagaimana hendak menghadang takdir? Sedang mereka juga berhak sejahtera. 

Tubing Bareng Karambia, Mau?

Sudah tidak diragukan lagi, kalau Sumatera Barat memiliki alam yang indah sebagai potensi wisatanya. Selain keindahan pesisir pantai, serta pulau-pulau kecil yang menawan, Sumatera Barat juga mempunyai sejumlah sungai yang bisa dikembangkan menjadi objek wisata air.
Diantaranya yaitu sungai Batang Ombilin. Batang Ombilin terletak di kabupaten Tanah Datar, berjarak 24 km dari kota Padang Panjang. Selain pemandangannya yang menyejukkan mata, sungai-sungai ini bisa dijadikan wisata adventure juga. Misalnya, river tubing, river rafting, dan lain sebagainya.
Salah satu agen wisata Sumbar yang menyediakan fasilitas dan jasa sewa tubing rafting adalah Karambia Tours. Saya juga coba mengikuti mereka tubing beberapa waktu lalu.

Rute yang disiapkan Karambia, mulai dari Siturah sampai Balimbiang, kira-kira totalnya berjarak 5 km yang akan ditempuh sekitar tiga jam perjalanan air. Jarak dari Kota Padang Panjang menuju titik akhir tubing, Balimbiang, lebih kurang 31 km. Atau, dapat ditempuh dengan waktu lebih kurang 45 menit perjalanan.
Saat itu, saya memilih rute indah. *ehm! Maksudnya, yaitu jalur yang cukup aman, nyaman, dan 'ramah' buat perempuan. Jalur lain sih ada, namun cukup terbilang ekstreme.  Meskipun airnya tidak terlalu dalam, tantangannya pada jalur ini adalah bebatuan. Jika merasa tidak aman menghanyutkan diri, saya kemudian lebih memilih berjalan, di sisi sungai. :D :D

Sepanjang perjalanan rute satu itu, kita dapat menyaksikan pemandangan alam yang tidak kalah indahnya. Selain sawah-sawah yang menguning,  berjenjang ke sisi bukit, kita juga bisa menyaksikan beberapa kincir air.
tubing 3.JPG 
Kincir Air. View yang bisa kita nikmati pada rute satu.
Sebagai 'pemain baru', saya harus mencari posisi duduk paling nyaman se-alam raya. Mencoba merasakan keseimbangan. Sambil terus menikmati pemandangan. Dan yang paling seru adalah, membiarkan diri diseret hanyut oleh derasnya aliran air.
Mungkin itulah yang dimaksud orang-orang dengan, "biarkan mengalir seperti air". Ya, yang bisa dilakukan adalah membiarkan. Karena kita tak cukup kuat untuk menahan. Tak ada jalan lain, selain membiarkan air yang mengantarkan. Itu lebih baik.
Kita juga akan mengikuti arus jeram-jeram kecil. Mungkin juga didorong ke tengah sungai. Dan, sesekali terbalik, jatuh, lalu membentur 'sesuatu'. Hahaha. *ini justru ditunggu! Tak perlu khawatir, kita dibekali dengan life jacket dan helm kok!

Menuju ke titik kedua, dibutuhkan waktu sekitar 40 menit.  Saya butuh sekitar lima sampai sepuluh menit di awal, sebagai waktu perkenalan dengan alam dan alat tubing. Dan pada rute kedua, mestinya sudah tak butuh menit-menit perkenalan lagi. Ibarat jalan raya, ya inilah tol-nya.

Rute kedua ini cocok banget buat yang ingin merasakan tantangan lebih. *lebih...dan lebihhh.. Jarak dari start poin kedua ke Balimbiang adalah 3.8 km. Normalnya ini dapat dicapai dalam waktu lebih kurang dua jam perjalanan air (jika arus stabil).

Ada air terjun di sisi kiri sungai yang bisa kita saksikan. Ada juga beberapa titik jeram, yang tidak bisa dikatakan rendah yang *kamu pikir bisa* dilalui dengan berjalan saja. Karena air di jalur ini cukup dalam. Mengalirlah saja!

Ok. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum tubing. Dan, biasanya persiapan-persiapan semacam briefing, stretching ringan, diberikan langsung oleh pemandu yang sudah berpengalaman*. (Om Op@y dan Om Agriel mungkin adalah orang yang saya maksud, haha.)  Tidak lupa, perjalanan akan didokumentasikan oleh tim fotografer andalan Karambia Tours, Om Dani! Ya, tinggal urusan hitung-hitungannya di akhir. hehehe

tubing om taufik.JPG

       River tubing bareng Karambia yukk! ;) -- Om Tovik siap menemani.
---------- More information, bisa ke sini :http://www.karambia.id/ . --------

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...