29.9.17

Catatan Diskusi: Ego dan Individualitas Anak

Dalam sebuah forum yang difasilitasi P2TP2A Kota Bukittinggi, Bang Aad (Adrian Rusfi, seorang Psikolog dan Konsultan Pendidikan) menyampaikan materinya tentang bagaimana menguatkan ego dan individualitas Anak. Menurutnya, ada kesalahan istilah yang digunakan dalam lingkup keilmuan psikologi, yang tidak tepat dengan istilah Islam, yakni penggunaan kata remaja. Dalam Islam, tidak ditemukan istilah remaja. Yang ada, adalah pemuda (red. fataa atau syabab). Penggunaan istilah ini berdampak pada pola pendidikan yang diterapkan kemudian. Banyak dikenal istilah, Remaja Mesjid, Remaja Muslim, dan lain sebagainya.

***
Benar juga. Saya teringat, tidak ada hadis yang menggunakan istilah remaja. Yang ada, adalah pemuda. Yaa ma'syaras syabaab...man istathaa'a minkum.. (wahai pemuda.. dst) --Siswa kelas 3 MAPK pasti sudah populer dengan hadis ini. Hadis yang menyarankan agar para pemuda yang belum mampu untuk menikah, agar berpuasa.

Iya, betul. Barulah sekarang terpikir, bahwa Islam tidak menempatkan usia kelas 3 setara SMA itu sebagai seorang remaja lagi. Melainkan sudah pemuda. Siswa angkatan kami saat itu, termasuk yang berani menikah di usia muda. Dua teman kami yang akan melanjutkan pendidikan ke Cairo, saat itu memutuskan menikah setamat sekolah, dan bersama-sama melanjutkan pendidikannya. Kita akui, itu langkah berani. Tapi, di sana terlihat jelas, bahwa mereka siap menjadi seorang dewasa. Di saat remaja seusianya (seperti kebanyakan--dan termasuk saya) yang masih ingin kesana-kemari, wara wiri, main ini itu, membiarkan waktu berlalu sia-sia, menunggu kiriman orang tua, dan mungkin belum punya mimpi yang sangat ingin untuk diwujudkan.

Pemuda dan remaja, tentu dapat kita bedakan, sekalipun tanpa menggunakan kamus bahasa indonesia. Apa jadinya, jika dulu Presiden Soekarno berkata: "Berikan saya 10 remaja..." Masihkah mampu bapak presiden mengguncang dunia? Yang ada adalah, sepuluh remaja itu dikarantina dulu, disiapkan intelektual, mental dan spiritualnya, baru mungkin sekian tahunsetelah itu, ia mengguncang dunia.

Pemuda dan remaja, boleh jadi secara usia biologisnya mereka sama. Mungkin sama-sama 17 atau 18 tahun. Tapi akan berbeda dari kematangan, kedewasaan dan konsep dirinya.

Atau, dalam hadis lain, laisal fataa man qala hadza abi, walakin al fataa man qaala, ha-ana -dza. Bukanlah seorang pemuda, yang mengatakan ini Bapakku, melainkan seorang pemuda itu, adalah yang berkata: Inilah Aku. Dari sini tergambar, bahwa pemuda adalah seorang yang sudah bisa membanggakan dirinya kepada masyarakat luas. Bahwa ia telah bisa menentukan sikap, memilih sesuai pertimbangannya, atau menolak apa yang tidak sependapat dengannya.

Berbeda dengan istilah remaja. Remaja -bagi saya- agak identik dengan kegalauan, kelabilan, ketidak percayaan diri dan persoalan lainnya. Remaja seperti berada dalam posisi tanggung. Diajak berpendapat, belum matang. Ditinggalkan, usianya hampir dewasa. Akhirnya, jika sudah punya KTP, datanglah para politisi itu kepada mereka. Pilih Bapak ya. Sudah berhak memilih, tapi apakah sudah matang menentukan pilihan. Entahlah.

Maka, fenomena-fenomena hari ini, kasus sodomi, pelecehan seksual, LGBT, dan lain sebagainya, tidak lagi bisa diselesaikan pada usia remaja. Semua itu harus dari usia anak-anak. Di sinilah perlunya ego dan individualitas anak, agar saat ia tumbuh menjadi pemuda, lalu dewasa, ia sudah matang baik secara fisiologis maupun psikologis.

Realita hari ini, kita temukan anak-anak usia 10 tahun, tapi cara pandang, cerita dan sikapnya sudah seperti orang dewasa. Diantara sebabnya adalah, anak-anak itu terlalu cepat terjadi padanya aktifasi hormon seksualitas, baik dengan tontonan yang tidak pantas, bacaan, atau pengetahuan-pengetahuan yang berseliweran di antara mereka. Bisa juga karena ransangan, over protein/gizi. Mereka baligh dini.

Secara fisik, anak usia itu sudah baligh, tapi belum 'akil. Data Bang Aad menyebutkan, bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 25 tahun, belum bisa memilah dan memilih yang terbaik untuknya. Mereka belum bisa matang dan dewasa. Baik secara sikap maupun finansial. Pada usia itu, masih tersibuk kuliah-kuliah, tapi belum bisa merasakan mencari dan menghasilkan uang dengan tangan sendiri. Secara finansial masih sangat tergantung dengan orang lain/orang tuanya. Jadilah, nafsu dengan kedewasaan mentalnya tidak sejalan.

Itulah kenapa dalam Islam, usia kita dipilah menjadi tiga. Pertama, usia 0-15 tahun, adalah character building. Ini dibagi lagi, usia 2-7 tahun anak diajarkan kebaikan-kebaikan. Usia 7-15 tahun diajarkan sanksi atas kesalahan. 

Kedua, usia 15-40 tahun adalah capacity building. Seseorang pada usia ini, dipersilakan untuk mengisi kapasitas dirinya. Bahwa intelektualitas seseorang itu puncaknya berada pada usia 25 tahun. Maka belajarlah banyak hal. Sebagian orang berkata, latihlah banyak hal, namun fokuslah pada satu saja, agar bisa sukses. Tapi menurut Bang Aad lagi, ia justru tidak bisa fokus pada satu hal pada usia mudanya. (Sama seperti saya nih.. hihii). Katanya, memang ada sebagian orang yang justru tidak bisa fokus pada satu hal, hingga mencapai usia kematangan.

Dan, ketiga, adalah usia 40 tahun, semacam waktu unjuk gigi lah. Kata orang, Life begin at 40. Di sinilah puncak keseimbangan. Bahwa dalam Islam, usia kematangan seorang Nabi Muhammad itu adalah 40 tahun, dilihat dari usia beliau diangkat menjadi Rasul.

Nah, persoalan kita hari ini adalah kita mesti peduli, anak-anak kita perlu dididik dengan baik, agar ego dan individualitasnya tepat dan bermanfaat. Lho, ego? Individualitas? Ya. Saya juga sempat berpikir, bahwa di TK dan Paud kita, anak-anak diajarkan berbagi. Bahkan di lingkungan rumah. Ayah akan berkata: "Kak,,bagi sama adeknya." Padahal, pada usia kanak-kanaklah kita perlu bekali si anak dengan: apa yang dia punya, apa yang harus dia jaga, hingga ia berani katakan "tidak" untuk hal-hal yang menurutnya beresiko untuk dirinya.

Kenapa anak-anak TK bisa menjadi korban pelecehan? Bisa jadi karena mereka tidak siap katakan 'tidak', atau bersikap lebih berani untuk menjaga dirinya sendiri. Atau karena kebaikan telah terpupuk dengan baik, mereka biasa berbagi.

Usia kanak-kanak juga adalah usia kebebasan. Anak dibentuk konsep dirinya. Saya ini seperti apa ya, bukan seperti yang maunya papa. Biarkan anak menari, karena dalam Islam sendiri tidak ada larangan bagi anak-anak untuk menari. Biarkan rambutnya dikepang, dipakaikan bando dan pita-pita, toh jika kelak disampaikan kepadanya ajaran, ia sudah siap menerima. Biarkan anak bermain. Play yang bukan game. Saat play, mereka melakukan sesukanya, sedangkan game, mereka harus sudah ikut aturan. Dan itu akan membosankan.

Betul juga. Saya ingat, ada seorang siswa TK yang enggan ke sekolah, karena bosan. Ia lebih suka melakukan apapun sekehendaknya, tanpa aturan. Kalau di TK sudah banyak aturan, selayaknya TK dan PAUD itu diganti nama saja dengan Game Group, bukan play group. Bahwa usia ini, anak-anak tidak suka kalah. Mau main apa saja, maunya menang. Dan menangnya bukan dia seorang. Mereka akan senang, jika semuanya menang. Tidak ada yang kalah. Karena kalah artinya kesedihan.

Maka untuk membekali anak dengan perlindungan dirinya, bekalilah dengan individualitas. Bahwa setiap individu berbeda, ia bisa menerima perbedaan itu. Tidak ingin menjadi orang lain, dan menerima keadaan dirinya. Bisa tampil percaya diri, dan menunjukkan eksistensinya. Bila di satu sisi ia memiliki kekurangan, oh, ia masih punya sisi lain yang bisa diunjuk aksikan. Ia bisa bilang "Ini kan punya saya" pada hal-hal yang ia rasa miliki, dan harus dia jaga. Tapi ya, tidak keterusan. Nanti bisa egois juga. Batasnya adalah usia 7 tahun. Setelah itu, tentu si anak perlu dikenalkan dengan berbagi, dan berbagai kebaikan lainnya.

Seberapalah kita mampu menjaga anak-anak, jika mereka tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Dan, yang perlu kita sadari, kita akan terus menua, menjadi tua, dan mereka akan tumbuh menjadi dewasa. Bila individualitas itu tak tertanam baik pada dirinya, jadi pribadi yang lemahlah mereka. Menjadi remaja-remaja galau, labil, latah, mudah terpengaruh dan tidak percaya diri.



Sosok: Ayah-nya SMA 1 Padang Panjang


Suatu hari, di sela-sela perkuliahan, saya dan beberapa teman terlibat pembicaraan tentang guru masa kini. Bahwa guru, adalah sosok panutan, yang digugu dan ditiru, agaknya mulai ternodai dengan oknum-oknum yang menciderai makna itu. Namun begitu, setiap sekolah tentu memiliki seorang atau bahkan lebih sosok guru panutan, idola, favorit yang dinanti-nanti siswa di kelas. Tersebutlah nama seorang 'Pak Yamin SMAN 1 Padang Panjang". Seorang guru legend, humoris, yang mengajar penuh hikmah. 

Saya lalu berkesempatan bertemu langsung, dan bercerita sedikit dengan "Ayah-nya" anak-anak SMA unggulan Sumatera Barat ini.

**
Kita harus mendidik dari hati.

Demikian beliau mulai becerita. Namanya bapak M Yamin. Anak-anak asrama, semenjak generasi ke 3 SMAN 1 Padang Panjang memanggilnya, Ayah. Pria kelahiran Tanjung (Sarolangun) 3 April 1958 ini, sejak semula memang mencintai profesinya sebagai guru.  Menurut beliau, kenapa guru-guru hari ini tak lagi begitu disegani oleh siswa, salah satunya tentu disebabkan oleh sikap guru itu sendiri.   
"Guru harus menjadi idola" tuturnya. Guru idola bukan juga yang membiarkan kesalahan ada pada siswa. Guru idola tetap menegur jika itu adalah suatu kesalahan. Hanya saja, cara menegur itulah yang membedakan rasa segan, hormat dan patuhnya siswa. 
Sebagian siswa memang memiliki kecendrungan 'pesan lebih sampai bila disentuh". Maksudnya, anak-anak yang masih main, kumpul-kumpul ketika azan sudah dikumandangkan, tidak ada efek apa-apa jika arahan disampaikan guru lewat mikrofon saja. 
"Pada situasi itu, hendaknya si guru, mendatangi siswa, lalu menyentuh bahunya dan merangkulnya -langsung- ke mesjid. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk mengelak."      

"Ada lagi kesalahan umum yang terjadi di kelas, oleh seorang guru," sambung beliau.
Sebagian kita mengungkap hal-hal rahasia si anak, di dekat orang banyak. 
"Ini tidak etis." tegasnya.
Misalkan, si guru memarahi siswa untuk kesalahan yang telah diperbuatnya di depan kelas, di hadapan teman-temannya. Atau, guru memanggil siswa ke depan kelas, meskipun sudah secara personal, tetap saja siswa lain akan ikut nimbrung ingin tahu. Ada lagi, guru memanggil siswa bersalah itu, ke ruang majelis guru, yang guru lain ikut dalam kasus tersebut. Ini tentu tidak adil bagi siswa. 

Dalam proses pembelajaran, Ayah terbiasa dengan cerita/kisah penuh hikmah. Menurutnya, mengajar itu, jangan hanya sebatas transfer materi ajar semata. Harus ada nilai-nilai, yang akan terpakai di sepanjang hidup si anak hendaknya.
"Lewat kisah, kita ajarkan tanggung jawab sebagai hamba Allah, kegigihan selayaknya manusia ingin mencapai mimpi-mimpinya, dan etika-etika dalam hubungan sosial lainnya. Bukan dari teori yang dibaca di buku, tapi kisahkan dari hati, agar sampainya juga ke hati." 

Sebagai seorang guru, idealnya guru mengajar dengan passionnya. Mengajar dari hati, itulah passion yang dituntut. Guru perlu menyiapkan diri sebelum masuk kelas. Sebagian siswa lebih kritis, dan guru tidak perlu malu untuk mengakui jika memang masih ragu dengan jawaban pertanyaan siswa. Guru yang sok tahu  akan menunggu waktu untuk tidak lagi dihormati. Karena itu, salah satu kesalahan fatal sebagian guru adalah mengganggap dirinya paling pandai, selalu benar, dan segala tahu. 
**
Dari dua kali cerita saya dengan beliau, setidaknya poin-poin di atas sudah memberi wawasan dan bekal bagaimana menjadi guru yang disegani siswa. Meskipun, lain lubuk lain ikannya ya, eh, maksudnya,, lain sekolah lain siswanya. Beda SMA beda SMK, *perlakuannya. Hehehee.

Rendang Kini Tak Cuma Padang


Siapa yang tak suka rendang?

Makanan khas Ranah Minang ini tak hanya digemari oleh lidah-lidah asli Minangkabau. Tetapi juga menjadi favorit bagi yang sama sekali tidak berdarah Minang.
Rendang kini tak hanya menjadi nama bagi olahan daging, yang dimasak lama, dibuat enak dengan santan, dicampur dengan bumbu-bumbu dan rempah khas. Rendang kini, adalah cita rasa. Apapun yang diolah, diberikan cita rasa rendang, meskipun bahan utamanya bukanlah daging. 

Ada banyak masakan siap saji yang melabeli dengan rasa rendang, misalnya mie goreng rasa rendang. Ada juga bakso, yang aslinya berasal dari Jawa ini kini diolah dengan campuran daging rendang di dalamnya. Nampaknya rendang kini tak cuma Padang ya.

Jadi ceritanya si rendang itu dalam bahasa Minang adalah randang. Proses ma-randang secara umum adalah memasak seperti disangrai, berlama-lama untuk mendapatkan hasil maksimal. Misalnya, kopi yang direndang, disangrai berlama-lama agar dapat ekstrak kopi yang terbaik. Atau, orang tua kita juga menyebut ma-randang kacang, untuk aktifitas sangrai kacang di kuali, sampai benar-benar matang.

doc. pribadi


Istilah rendang menjadi lebih spesifik untuk sebuah nama masakan Minang, olahan dari daging, dengan bumbu-bumbu khas Minangkabau. Soal bumbu khas ini, sedikit kita tilik sejarah Minang. Masuknya Islam ke nusantara dan juga daerah Minangkabau pada abad-abad dulu tidak terlepas dari kedatangan pedagang dari Arab/Yaman dan Gujarat India. Diketahui, masakan dari daerah tersebut kaya akan bumbu dan rempah-rempah. terlepas dari benar atau tidaknya, kesamaan masakan Minang denga dua daerah itu, adalah kekuatan bumbu dan rempahnya. Hal ini pulalah yang menjadikan kuliner Minang ini tetap berada di posisi satu, masakan paling enak versi CNN dan Unesco.

Rendang adalah samba adat. Setiap ada acara adat di Minangkabau, mesti ada rendang. Walaupun akan ada perbedaaan rendang di suatu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya, rendang di Agam Barat/ Maninjau yang masih basah seperti kalio, sedangkan untuk Agam Timur, seperti daerah Ampek Angkek, rendang mestilah kering, bahkan sebagiannya hitam. Itu baru satu kabupaten yang sama, Agam. Tentu saja ada berbagai ragam rendang di daerah lain di Ranah Minang. 

Di daerah pesisir misalnya, rendang tak lagi olahan daging saja. Ada yang namanya Rendang Lokan (daging kerang). Di Payakumbuh lebih beragam lagi. Mulai dari Rendang Talua (telur), Rendang Ayam, Rendang Baluik/belut. Di daerah lain, salah satunya Tanah Datar, dikenal Randang Cubadak/ nangka dan Rendang Paku/pakis. Di sejumlah daerah darek/daratan lainnya bahkan Jengkol/jariang  tak hanya dimasak kalio saja tapi juga jadi Randang Jariang. Berbagai jenis olahan rendang ini sesuai dengan kearifan lokal daerah masing-masing. Yang sama dari semuanya adalah proses masaknya adalah direndang, dengan bumbu-bumbu khas seperti rendang daging. 

Selain itu, rendang juga dinamakan sesuai dengan jenis/bagian daging sapi yang diolah dan proses pengolahannya. Rendang Paru misalnya. Atau Rendang Jagung, Rendang Ati, Rendang Itiak. Dari segi pengolahannya, ada yang namanya Rendang Suir (dagingnya disuri-suir, dan kering) juga Rendang Tumbuak. Atau rendang dengan campuran teri dan karupuak cancang. Atau, masih ada rendang lainnya? 

Kalau di luar sana yang populer adalah Padang, sebetulnya kita lebih enak mendengar Rendang dengan spesifikasi jenis dan olahannya itu sendiri. Karena tak pernah kita dengar Rendang Batusangka, meskipun asal mula orang Minangkabau, dan daerah tuo  itu dikenal adalah Pariangan, Tanah Datar. 
Oke, terlepas dari semuanya, rendang apa favoritmu?  
Rendang Lokan? 

Mantan Perempuan Inspiratif

Aung San Suu Kyi. Penerima hadiah nobel perdamaian itu beberapa waktu lalu sempat ramai dibincangkan dunia. Pasalnya, sikap politis tokoh demokrasi Myanmar itu, dinilai tidak berpihak pada kemanusiaan. Ia diam di saat salah satu etnis minoritas di negaranya mendapat penindasan sistematis oleh etnis lainnya. Padahal, tahun 90-an justru ketika berada dalam penjara, ia menggaunggkan dan mendesak pemerintah Myanmar agar menerapkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia.

Berselang beberapa waktu sebelumnya lagi, Anniesa Hasibuan seorang desainer muslimah yang telah membawa nama Indonesia di panggung fesyen internasional, harus menerima status tersangka pada usianya yang masih 31 tahun ini. Sekian bilangan rupiah ia gelontorkan agar Indonesia turut serta dalam ajang bergengsi itu. Tentu bukan tindakan mudah, murahan atau bodoh yang ia lakukan demi persiapan semua  mimpinya tersebut. Namun sayangnya, kebijakan perusahaannya untuk menggunakan dana jamaah umroh untuk kepentingan pribadi itu, sangat tidak 'perempuan'.

Dari dunia politik, baru-baru ini kita dengar nama Rita Widyasari, bupati perempuan di daerah terkaya Indonesia -menurut salah satu media-, yang ditetapkan sebagai tersangka penerima gratifikasi oleh KPK. Sebelumnya, Rita adalah penerima penghargaan dari presiden karena dinilai berkomitmen tinggi atas pembangunan kesejahteraan keluarga dan kependudukan di daerahnya. Rita juga mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagai tokoh inovatif dalam menciptakan kreativitas maupun usaha pembangunan, bidang pendidikan, sosial, kreativitas, hingga tercipta kesetaraan dalam gender. Ia menerima penghargaan sebagai wanita berpengaruh di Indonesia, yaitu kategori penghargaan Spesial Mention as Best Influential Women of The Year 2017.

Kalaulah bukan karena seorang yang 'inspiratif', tentu perempuan cantik ini tak akan menjadi bupati, lalu menerima berbagai penghargaan. Dan entah karena godaan setan yang bagaimana kita tak pernah tahu, ia melepaskan nama 'inspiratif'nya kini. 

Nama-nama ini adalah perempuan-perempuan hebat, pada masanya. Waktu dan keadaan membuktikan seberapa lama kehebatan itu bertahan. Dan media lah yang berperan melambungkan namanya, atau menjatuhkan lagi, dan menghapus mereka dari catatan sejarah.

Betapa  usaha dan kerja keraslah yang  telah dilakukan demi memperjuangkan apa yang mereka impikan. San Suu Kyi, melanjutkan mimpi ayahnya, Aung San. Dengan idealisme ia rela dipenjara. Tapi kasus Rohingya, memperlihatkan kepada dunia, 'masihkah' pantas ia tercatat sebagai penerima nobel perdamaian.


Sedangkan Anniesa, merintis karirnya dari titik nol. Tidak mudah baginya merintis bisnis travel dan desain pakaian hingga mencapai puncaknya, tercatat sebagai perempuan inspiratif, tak hanya Indonesia tapi dunia internasional. Lalu nama cemerlangnya kian pudar. Kesuksesannya sebagai desainer harus terhenti. (Terhenti: bukan berakhir. Karena kita tak pernah tahu, apakah musibah ini adalah akhir, atau ujian dan peringatan Tuhan terhadapnya.) Tapi doa dan kekecewaan 35.000 jemaah umroh yang belum diberangkatkannya, lebih menyedihkan.

Inspiratif
Jika kita runut lagi, tidak sedikit pula nama perempuan inspiratif, yang kemudian menjadi mantan. Saat mengikuti kasus Anggelina Sondakh, saya terpikir bagaimana anak-anaknya menjalani hidup. Ibu dalam penjara, dan ayahnya baru saja berpulang. Seperti apa kesedihan yang akan mewarnai hari-hari tumbuh dan berkembang mereka.
Aniesa Hasibuan, saat berpindah ruang dari istananya ke penjara, anaknya masih berusia tiga minggu. Tiga minggu! Hak apalah yang mungkin ia terima kemudian?
Lalu kita berpikir, apalah artinya sebuah label inspiratif, jika orang-orang terdekatnya tidak merasakan efek dari label itu.
Kalau begitu, setiap ibu yang melahirkan, mendidik, membesarkan dan memenuhi hak-hak keluarganya, itulah selayaknya mendapat label inspiratif. Dan, tentu saja jumlahnya banyak! Di setiap rumah, ada ibu yang berjuang untuk semua itu. Ada yang bahkan, dalam kesendiriannya, memerankan dua peran utama rumah tangga, menjadi ibu, sekaligus kepala keluarga.
Kalau begitu lagi, masihkah perlu ada ajang-ajang bergengsi pemilihan perempuan inspiratif itu? Logika kita tetap menjawab: Tentu saja. Jangan karena "marah ke tikus, lumbung dibakar". Tapi,, bukankah karena "nila setitik ini, telah rusak susu sebelanga."


Hhh.. Membincang perempuan itu, memang tak ada habisnya. Membaca realita, mencari idealnya, dan menemukan ketidakharmonisan semuanya. Bahkan, nama inspiratif pun kini telah menjadi mantan. Perempuan.

27.8.17

Keluarga Lebay (?)

11.46

Hingga pukul 11 malam ini si mata masih enggan tidur. Pasalnya ini tentang 'menjaga rahasia'. Iya, rahasia yang membuat saya berpikir-pikir, apakah keluarga saya yang lebay, atau keluarga yang terbiasa merahasiakan banyak hal ini begitu 'dingin'?

Jika di keluarga saya, Imel batuk sedikit saja, laporannya sudah sampai kemana-mana. Atau jika ada keluarga yang sakit, lagi di dokter, atau dirawat di rumah sakit, keluarga besar (khususnya keluarga pihak ibu), sudah berbondong-bondong pula datang. Bagi kami yang sudah terbiasa dengan hal itu, menganggap bahwa kedatangan saudara-saudara itu adalah sebentuk keberkahan.

 Dari selepas zuhur, saya memastikan: "Apakah semua baik-baik saja? Lalu kenapa diteruskan ke rumah sakit lain, di kota lain? Apakah benar-benar tak diberitahu?"

Mungkin bagi sebagian keluarga, memberi tahu anggota keluarga tentang hal yang terjadi di 'rumah' adalah tindakan yang tidak perlu. Dalam cerita "Sabtu Bersama Bapak" juga saya temukan demikian. Bahwa, si ibu, bahkan akan operasi kanker, sudah di ruang rawat, tidak memberitahu anaknya yang jauh darinya. Alasannya adalah, jika ia beritahu, anaknya pasti akan pulang. Mau yang di Denmark, apalagi yang di Jakarta. Dan itu, si ibu khawatir akan mengganggu kehidupan anak-anaknya.

Oke. Itu mungkin cuma cerita. Tapi realitanya memang demikian. Ada keluarga yang berprinsip, setiap anggota keluarga harus mandiri. Menyelesaikan urusannya masing-masing, tanpa meminta bantuan dan pertolongan kepada saudara lainnya, juga ayah dan ibu. Alasannya, "ga enakan". Di saat yang terjadi adalah, keadaan ayah dan ibu yang dicemaskan, selama masih bisa diatasi orang-orang di rumah, anak-anaknya yang terbilang jauh, tidak perlu diberitahu.

Nah, inilah rahasia yang mengganggu pikiran saya, hingga betah-betahnya begadang sampai kini.

Saya mungkin mengukur keadaan itu, dengan timbangan yang terbiasa berlaku di rumah kami. Keluarga yang terbiasa keramaian. Setiap minggu ada saja alasan bertemu dan bertamu. Beberapa bulan sekali, ibu dan para saudaranya berkumpul, sekedar bercerita atau bepergian, bersilaturahim ke sanak famili yang lain.

Kebiasaan lain di rumah adalah makan bersama. Sejak kecil kami dibiasakan makan bersama selepas magrib. Konsekuensinya adalah, apapun kegiatan di luar rumah, jam 6 tentu sudah harus pulang. Mau pramuka, mau main, mau apa saja. Saat makan itu pula informasi beredar, apa kejadian seharian, adakah yang terlihat kurang sehat, atau besok mau apa. Sekedar begitu saja. Hal-hal lebih serius akan dibicarakan usai makan. Terbiasa seperti itu.  


Ke-lebay-an lainnya adalah komunikasi. Ibu harus menelpon saudara yang di Padang dan Bogor, mungkin nyaris tiap hari. Jika setelah beberapa hari ibu tak menelpon, mereka pasti akan bilang: "orang di rumah sombong".  Padahal yang dibicarakan ya itu-itu saja. Bercerita. Apa kegiatannya, gimana ketemu dosennya. Sebaliknya, mereka akan bertanya Imel lagi apa, ayah mana. Tentunya selain hal-hal wajib perkara kesehatan. Bahkan, sekedar bertukar, masak apa hari ini, dengan si Uni. Satu atau dua menit pun jadi. 

Ya sih, kadang-kadang saya berpikir, tidakkah cara itu sedikit lebay? Mungkin juga.

Kita melihat ada dua pola berbeda yang diterapkan dalam keluarga.
Pertama, keluarga yang beranggapan bahwa kehangatan keluarga diciptakan dari pentingnya komunikasi. Kedua, keluarga yang menciptakan kehangatan saat kumpul bersama. Secara fisik mereka dekat dulu, pasti ada kehangatan setelah itu. Masing-masingnya enggan merepotkan yang lain. Selama masih bisa diatasi, ya, bisa diselesaikan sendiri.

Pada kondisi kedua itu, tidakkah kita melihat ada sikap tertutup, atau ditutup tutupi? Benar, akan mandiri. Tapi bisa juga si anak malah menutup diri. Hingga tak ada bedanya, ia sedang memikirkan suatu masalah atau tidak. Ya, memang biasanya begitu. Selalu terlihat tanpa masalah, dan baik baik saja.

Hmm. Bagusnya seperti apa ya?! 
Inilah pertanyaan pengantar tidur malam ini.
Saya ingin bagi tahu, tapi...kalau tidak.. 
Nanti jika.. 
Tapi saya juga ingin tahu. 
Hahaa. 

*Tidakkah saya termasuk orang-orang lebay??

***

Oke. oke. Kita harus istirahat dulu. 
Semoga semua baik-baik saja. Thahuurun Insya Allah!

24.7.17

Kepada Mei

Jika Mei tidak ada, tentu kita sengsara. Padahal aku ingin Mei tak ada.

***

Suatu kali ia hadir ke mimpiku.
"Perkenalkan, aku Mei," katanya.
"Ohya." Aku menjawab biasa, tersenyum dan memandangnya sepintas. Aku hanya menghindari bersitatap dengannya. Walaupun, sebenarnya aku ingin berlama-lama melihatnya. Memastikan, benarkah ini Mei? Sosok yang ingin aku kenali berbulan-bulan lalu.
 "Terima kasih untuk waktumu."
"Tak apa. Tak perlu ada terima kasih." ujarku.
Sekian bulan lalu, kami dipertemukan dalam sebuah bahasan. Salahkah keadaan yang terlanjur ada sekarang ini?
Salah bagi siapa? Bukankah Tuhan telah menciptakan manusia disertai cinta? Dan, aku mencintainya.
Seingatku, itulah secuplik cerita yang ia bagi kepadaku. Aku memang tak punya solusi lain. Hanya ada satu. Dan satu-satunya itu yang kemudian aku sampaikan padanya.

Cinta dan takdir itu berbeda. Dan dua kata ini tak layak dipersandingkan.
Jika kini kita terlahir berbeda keyakinan. Itulah takdir. Aku meyakini, takdir ini telah tepat untukku. Inilah jalan panjangku. Sedangkan cinta. Aku tak yakin bila cinta itu mutlah juga sebentuk takdir. Mencintai sesuatu atau seseorang dalam pandangan takdir, pastilah ada usaha yang dilakukan/diupayakan si subjek. Dan, soal usaha itu, itulah pilihan. Kau mengusahakan atau tidak.

Menurutku, cinta hanya sebentuk kerikil yang menggelinding di dinding gunung yang tengah aku daki.
Benar, aku ingin sampai ke puncak. Aku yakin di puncak akan ada indah. Dan, masalahnya hanyalah: puncak yang kita tuju tidaklah sama. Bahkan gunungnya pun berbeda. Kita tak akan sama, dan tak akan bersama. Keyakinan perkaranya.

"Aku lapar" Mei berkata pelan.
Wahai, wajah cantiknya tak pudar. Benar seperti Mei yang aku duga sebelumnya. Tersirat pula kecerdasan serta sikap santunnya. Sayang saja, ya hanya satu itu.

"Mari. Aku antar kau ke suatu tempat. Kau akan kenal masyarakat di sini dari cita rasa masakan mereka."
Kami berlalu.

"Terima kasih" katanya lagi. "Untuk semua ini."
"Maksudmu? Atas traktiran makan siang ini?" Aku bertanya.
"Tidak. Maksudku, terima kasih telah menjaganya. Kami telah berjanji hari ini akan bertemu, di kota ini."
"Oh ya. Tapi aku tak menjaga apa-apa."
"Kau merawatnya, bahkan. Merawat hatinya untukku."

***
Pukul 12.07, tengah malam. Kenapa aku terbangun secepat ini, dan telah bermimpi seperti ini. Waktu bisa terasa lebih lama untuk keresahan, kesedihan dan ketakutan. Dan, juga di kala rindu. Mungkin di mimpi itu aku telah membantu Mei, menanggungkan sedih, atas kerinduan Mei kepadanya.  
Ya sudah. Jangan lagi ada Mei! 

7.7.17

Review Buku: Hakikat Harta Karun Santiago (Sang Alkemis; Paulo Coelho)

Judul       : Sang Alkemis // The Alchemist
Penulis    : Paulo Coelho
Penerbit  : Gramedia
Tahun terbit: 2005
Cetakan  : XX, 2016
Tebal      : 216 hlm
Sang Alkemis


Santiago adalah bocah penggembala domba  yang terus membaca. Ia menceritakan apa yang dibacanya kepada domba-domba yang selalu ia panggil dengan nama-nama mereka. Suatu kali, Santiago bercerita tentang seorang gadis, anak saudagar di suatu desa, yang setahun lebih telah ia lewati dan temui. Si gadis menjadi istimewa, karena ia bisa menjadi kawan bercerita Santiago.

Layaknya kehidupan seorang penggembala, hidup seseorang terus berjalan seiring bergulirnya waktu. Dari novel ini, pembaca menyadari, bahwa hidup jangan hanya membiarkan waktu berlalu. Hidup harus ada tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan hidup seorang Santiago adalah berkelana. Untuk mencapai tujuannya itu, setiap hari ia menempuh jalan baru demi mendapatkan pengalaman baru. Manusia jelas berbeda dengan domba gembalaan. Domba tak peduli apapun, tentang perjalanan baru, selain dari ketersediaan makanan dan air.

Santiago teringat akan dirinya, yang tak ubahnya domba itu. Semenjak berjumpa dengan gadis anak saudagar itu, dirinya tak pernah memikirkan perempuan lain. Tak ada tujuan lain baginya, selain meminang gadis itu. "Bisa saja si gadis itu menikah dengan seorang penjual roti yang mempunyai rumah", pikirnya. Lalu ia kembalikan kepada takdir, bahwa tujuannya adalah berkelana.
"Yang membuat hidup menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan"-- Santiago, h. 19
Suatu kali Santiago bermimpi tentang domba-domba dan seorang anak kecil yang menarik tangannya ke Piramida-piramida Mesir. Si anak kecil dalam mimpi itu, mengatakan bahwa kalau Santiago datang ke sana, maka ia akan menemukan harta karun. Demi memecahkan tafsir mimpi itu, Santiago datang ke perempuan tua, Gipsi, si tukang ramal.

"Sudah kukatakan mimpimu sulit. Dalam hidup ini, justru hal-hal sederhanala yang paling luar biasa; hanya orang-orang yang bijak yang dapat memahaminya." -- Perempuan Gipsi,

Dalam perjalanannya menuju Mesir, tidak sedikit rintangan yang harus dilalui Santiago. Ia dipertemukan dengan Raja Salem, yang mengajarkan banyak hal tentang takdir dan kehidupan.

"Takdir adalah apa yang selalu ingin kau capai. Semua orang, ketika masih muda, tahu takdir mereka" : "Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya." --Raja Salem. h. 32-33

Santiago sempat ditipu oleh seorang pemuda, yang kemudian mengantarkannya untuk bekerja dengan salah satu pedagang kristal. Manusia perlu menerima segala yang kemudian terjadi padanya, bahwa semua itu adalah 'yang telah tertulis' atau "maktub". Ia juga bertemu dan menjadi teman perjalanan dengan seorang peneliti asal Inggris.

"Segala sesuatu dalam hidup ini adalah pertanda" -- Orang Inggris, h. 92

"Dalam alkimia, itu namanya Jiwa Dunia. Kalau kau menginginkan sesuatu sepenuh hatimu, saat itulah kau berada amat sangat dekat dengan Jiwa Dunia. Dan ini selalu merupakan daya positif."

Pembahasan dengan Orang Inggris inilah ditemukan kata-kata Alkemis/Alkimia. Tujuan mereka adalah bertemu dengan Sang Alkemis yang terkenal bijak dan memiliki ilmu yang tinggi. Santiago juga belajar bahwa dunia ini memiliki jiwa, dan siapa pun yang memahami jiwa ini juga bisa memahami bahasa benda-benda."Aku belajar bahwa banyak alkemis berhasil mewujudkan takdir mereka, dan pada akhirnya menemukan Jiwa Dunia, Batu Filsuf, dan ramuan Kehidupan."

Di Al-Fayoum, dalam perjalannya menuju Piramida, Santiago bertemu dengan Fatima. Tak lengkap bila novel Paulo Coelho, tak dibarengi dengan kisah cinta. Santiago jatuh hati kepada gadis itu. Setelah perjalanan panjangnya sampai di Piramida, lalu menemukan harta karun, ia mewujudkan takdirnya. Ia kembali, menemui Fatima. Harta karunnya yang paling berharga.



Secara umum, novel terjemahan dengan judul asli O Alguimista (Spanyol, 1988) ini, diterjemahkan dengan baik oleh Tanti Lesmana. Kalimat-kalimatnya ringan, dan nyaman dibaca. 

Meskipun kesimpulan kisah ada di halaman 214, "Memang benar, hidup ini sangat murah hati pada orang-orang yang mau mengejar takdir mereka", tapi tak akan semenarik mengikuti kisah petualangan Santiago ini.

Novel petualangan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Tentang Takdir dan usaha manusia, tentang kebijaksanaan, tentang cinta dan kesetiaan. Bacalah, mungkin akan mengubah pikiran Anda tentang hidup!

***
Berikut kutipan-kutipan menarik dalam novel ini:

"Kalau kau memulai dengan menjanjikan sesuatu yang belum kau miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk berusaha memperolehnya." Raja Salem.

"Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal yang menakjubkan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes-tetes air di sendokmu." Orang Bijak. h. 45

"Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita, harta benda kita, ataupun tanah kita. Tapi rasa takut ini menguap begitu kita memahami abhwa kisah-kisah hidup kita dan sejarah dunia ini ditulis oleh tangan yang sama." Pemandu Karavan, h. 101

"Setiap orang punya cara masing-masing untuk mempelajari sesuatu" Orang Inggris.


14.6.17

Pantun Manyerak Bareh Kunik #2

Bagian kedua Pantun Manyerak Bareh Kunik

..
Janjirak buah janjuri
Tiradah daun jilatang
Tumbuah di batang baringin sonsang
Siriah galak pinang manari
Mananti alek nan lah datang
Duduak basimpuah di rumah gadang

Kayu talatak daam rimbo
Bari baaukie batarawang
Lapiak takambang alek tibo
Cabiak siriah gatoklah pinang

Lah masak rambai nan manih
Sataun tupai mamanjeknyo
Anak daro rancak marapulai manih
Anak mandeh kaduonyo

Lah buliah suto pitalah
Diambiak pangarang bungo
Kito basyurkur kapado Allah
Anak surang lah jadi baduo

Balayia kapa ka taluak cino
Balabuah tantang limau manih
Juduan subang ka talingo
Jalinan cincin ka jari manih

Kaluak paku kacang balimbiang
Tampuruang lenggang lenggangkan
DIbaok urang ka saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso

Camaik padang siamuah
Ka baruah ka padang sarai
Lah tamaik kain bakabuang
Lah lusuah bacarai

Abang daulu mako ka kamaik
Takabia daulu mako sumbayang
Bacarai Allah jo Muhammad
Mako bacarai kasiah jo sayang

Laguah lagah bunyi padati
Padati urang dari padang
Ganto kabau tadanga juo
Walau sapiriang dapek pagi
Sapiriang dapek patang
Rumah tangga dibina juo

Anak niniak mandi ka sungai
Tabang malayok ka subarang
Usah diniaik nak bacarai
Antah kok mati salah surang

Rumah gadang ba atok ijuak
Baukia bamego-mego
Di suduik talatak takaik
Kok lai elok iduik isuak
Urang tuo jan sampai lupo
Bautang dunia akhirat

Buruang gareja tabang ka halaman
Hinggok mancotok-cotok rimah
Bantuaklah keluarga jo tuntunan iman
Nak manjadi keluarga nan sakinah

(.......) namo anak daro
(.......) namo marapulai
Coiko carito ka dimulo
Usah diniaik ka maungkai

Kalau ado jarum nan patah
Usah disimpan di dalam peti
Dibuang sajo ka pamatang
Kok ado kato nan salah
Usah disimpan di dalam hati
Dibuang sajo kabalakang

Kacimpuang pamenan mandi
Rasian pamenan lalok
Kok indak tajajak lalok
Sambah jo maaf kami arok

Cubadak di tangah halaman
Diambiak jo ampu kaki
Digulai jo lado kutu
Usah lamo tagak di laman
Elok ka rumah kito sakali
Duduak di tampek nan lah tatantu

|| Padang Panjang, Juni 2017 |||

Pantun Manyerak Bareh Kunik #1

Tradisi Manyerak Bareh Kunik, merupakan salah satu bagian upacara adat pernikahan di Nagari Gunung, Padang Panjang.


Berikut pantun yang dibacakan saat Bundo Kanduang manyerak bareh kunik kepada dua orang penganten. (Mohon izin publikasi kepada bu Asnimar, Bundo Kanduang Nagari Gunuang, Padang Panjang)

Assalamualaikum mulo di sabuik
dimintak maaf sarato reda
kapado hadirin nan rami nangko

Kok indak tapuji ka nan patuik
Maklumlah sifat si manusia
Salah jo khilaf sarato lupo

Asyhadu alla ilaaha illallah
wa asyhadu anna muhammadar Rasulullah

Adat basandi syarak
Syarak basandi kitabullah
Hutang di kito mamakaikan

Batu sangka balantai batu
Batu diambiak ka asahan
Niaik lah lamo nak batamu
Kini lah baru kasampaian

Lai bana baparak dasun
Dasun satambo duo tambo
Bukan pantun sumbarang pantun
Pantun bareh kunik payerak i marapulai jo anak daro

Lah kambang bungo kinango
Tumbuah sabatang di halaman
Kambangnyo di hari sanjo
Alah mah datang anak daro
Tagak sabanta di halaman
Salamo babincang jo babicaro

Ramilah urang di dapue
Rami sarato jo janangnyo
Janang nan tau jo padapuran
Ambo lah tagak ka manabue
Barilah izin di nan tuo
Barilah maaf handai jo tolan

Aso duo tigo jo ampek
Ampek limo anam jo tujuah
Turun naiak babilangan
Raso ka hilang hilang dapek
Bak marabuik di tangan musuah
Katiko sadang batunangan

Manangih mangadu-dudu
Karano pisang satandan
Sajak ketek di kasuah ibu
Lah gadang nyo carikan junjungan

Rumah gadang di Batipuah
Tiangnyo batang Silundang
Baukia bamego mego
Hujan labek nantian taduah
Ribuik rayo nantian tanang
Nan mukasuik sampaian juo

Daun jirak buah janjuri
Bungonyo bungo kasumbo
Lah panek kami mananti
Anak daro talambek tibo

Anak daro di gajah tanang
Ka baruah jalan ka tiku
Mako anak daro talambek datang
Jalan bakelok bakeh lalu

Kandakuik di ateh tubo
Kanikie di ateh pambatang
Nan dijapuik alah tabao
Nan dinanti alah mah datang




7.6.17

Hujan Bulan Juni

Karya: Sapardi Djoko Damono

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

20.5.17

Tidak Ada Matahari Senja di Sini

Tidak ada matahari senja di sini, 
kecuali yang terbit menjelang malam dari jendela
gedung-gedung menjulang. Bersinar seperti senyum
tiruan merahasiakan derita manusia ribuan tahun.

Di jalan-jalan, orang gegas tak berani menatap
langit.Takut mengakui kemalangan sendiri.
Mereka tidak paham kesengsaraan seseorang:
kolam paling bening untuk memandang kesetiaan
orang lain

Aku berhenti di depan kafe. Menonton film bisu
di kaca jendelanya. Tidak ada orang bicara. bahasa
melarikan diri dari lidah manusia pada jam-jam 
pulang kerja.

Aku menunggu malam menghapus separuh 
diriku.

Aku ingin menyelusuri jalan-jalan kota New York.
Akan kubiarkan semua orang melewatiku. Aku tidak
mau ada orang menoleh kepadaku. Aku tidak butuh
wajah-wajah asing itu. Anak kecil dalam diriku ingin
bermain tebak-tebakan. Punggung dan pinggang
siapa paling menyerupai milikmu.

Tidak ada yang peduli, jika aku salah dan kalah
berkali-kali. Tidak ada yang peduli. Termasuk malam
dan aku sendiri. 


#Tidak Ada New York Hari Ini
#Aan Mansyur
#hal 69

16.5.17

On-The Mandeh!

Mungkin sedikit terlambat, di Nimiasata ada tulisan On The Mandeh ya. Tak apa,, kata orang biar terlambat, daripada tidak sama sekali. 
Awal Mei ini saya bersama kawan di sekolah, jalan ke Mandeh. 
Kawasan Mandeh merupakan paket komplit penyuka wisata bahari. 
View yang tampak dari Puncak Mandeh sungguh memanjakan mata. Tak heran, bila ia disebut-sebut sebagai Raja Ampat-nya Sumatera Barat. 

Dari Kota Padang, kita menempuh perjalanan sekitar 1 jam perjalanan. 
Tak jauh dari gerbang masuknya, akan banyak ditemui agen-agen sewa perahu. 
Dari tempat sewa perahu itu, butuh waktu sekitar 10-15 menit melalui jalur sungai untuk sampai laut. 
Di sisi kiri dan kanan anak sungai itu, ada tanaman bakau dan tanaman pesisir lainnya. 

Ada banyak pulau yang bisa dilihat, atau bahkan didatangi pengunjung ke Kawasan Mandeh ini. 
Di anataranya adalah Pulau Sironjong, Pulau Pagang, Pulau Sulthan/Setan, dan Pulau Marak. 
Ada juga Pulau Sikuai, dan beberapa pulau lain yang sepertinya akses ke sana cukup terbatas. 

Kami sempat mendaki puncak di Pulau Setan itu. Namanya Puncak Puvy. Barangkali sudah disiapkan sebagai salah satu spot berfoto bagi pengunjung. Dari pulau ini, perjalanan dilanjutkan ke pulau lain, yang air disekitarnya tidak terlalu dalam. Lumayan banyak ikan, terumbu karang dan biota laut lainnya. 
Sebagian teman saya snorkeling di pulau ini. Sayangnya, saya belum coba. Mungkin lain waktu ke sana lagi. Hehehe.

Karena cuaca yang kurang bersahabat, tak banyak yang bisa dilakukan, juga tak begitu 'rancak' diabadikan. 
:)

5.4.17

Review Buku: For One More Day (Satu Hari Bersamamu)

For One More Day



Judul buku   : For One More Day
Penulis         : Mitch Albom
Alih bahasa  : Olivia G
Penerbit       : Gramedia Pustaka Utama
Tahun          : 2006
Hlm             : 248 hlm


"Biar kutebak, Kau ingin tahu kenapa aku mencoba bunuh diri." --kata-kata pertama Chick Benneto untukku.

---
Demikian tertulis kalimat pertama dalam buku ini. Saat membelinya, saya tertarik dengan buku terjemahan ini, karena tertulis "Pemenang Penghargaan "La Pluma de Plata" Spanyol. Sebuah penghargaan terhadap karya sastra di Spanyol. Dengan judul versi terjemahan, Satu Hari Bersamamu, disertai gambar seorang ibu dengan anaknya, juga menjadi alasan awal memilih buku ini. Setelah begitu lama buku ini di tangan, baru dibaca tuntas dan direview kali ini. *telaat..

Mitch Allom, mengisahkan tentang Chick Benetto alias Charles benetto, ibunya memanggil Charley alias Chikadoo, panggilan khusus Miss Thelma kepada tokoh utama. Charley adalah ayah dari Maria, suami dari Catherine, saudara Roberta, dan anak laki-laki dari pasangan Posey atau Pauline Benetto dengan Leonard. Ia dibesarkan dengan pola asuh masa kecil yang berbeda antara ayah dan ibunya. Ayahnya dengan latar kehidupan dan jiwa keras mengajarkan bagaimana seharusnya laki-laki bersikap. Sedangkan ibunya, sebagaimana layaknya seorang ibu yang terus mengajarkan dan mendidik dengan kasih sayang, kemudian dianggap 'lebay- bahasa sekarang' olehnya.
 Ibu merusak hidupku! teriakku. --- hal.53
Kisah dalam buku merupakan waktu yang singkat. Yaitu ketika Chick tidak sadarkan diri, setelah upaya bunuh dirinya yang tidak berhasil. Chick merasa tak ada lagi orang yang akan mempedulikannya. Anaknya yang telah menikah, tanpa sepengetahuannya. Kehidupan kacau balau. Saat itu ia merindukan ibunya. Ia pun memilih bunuh diri.

"Dan menjadi tak terdengar adalah dasar bagi seseorang untuk menyerah, dan menyerah adalah titik awalmu melepaskan diri" --- h. 16
 
Dalam masa tidak sadar itulah, pikiran Chick berkelana dan bertemu dengan kehidupan masa lalunya. Ia seakan benar-benar hidup dengan ibunya, Posey untuk waktu yang cukup mengembalikan kerinduannya. Ia mengikuti kehidupan Posey yang selama ibunya hidup, tidak berarti apa-apa baginya. Ia menyesali keadaan -kehangatan itu tak sejak ibunya hidup disadarinya. Kalau saja sehari saja, seseorang yang engkau cintai itu telah pergi, bisa bersama denganmu kembali, apa yang akan kau lakukan?

Pelajaran berharga melalui kisah Chick adalah, bagaimana seorang anak dipahami dengan jiwa anak-anaknya, memiliki ingatan kuat dengan kehidupan masa kecilnya. Chick yang dibesarkan dengan kondisi single parent, seperti menolak keadaan tersebut. Psikologis anak yang dibesarkan orang tua tunggal, hanya menuntut bagaimana mestinya ia diperlakukan tanpa mencoba mengerti bagaimana yang dirasakan oleh orang tua tunggalnya itu.

Chick tak pernah mengetahui alasan berpisahnya ayah dan ibunya. Yang ia tahu, ia tidak menyukai keadaan itu. Tak pernah ingin memilih, harus menjadi anak siapa. (("Seorang anak tidak seharusnya memilih." ---Posey. h.234)) Ia ingin menjadi anak keduanya.
Beberapa kisah masa lalu, di saat Chick selalu dibela, diurus dengan baik oleh ibunya pun ada dalam cerita ini. Sebaliknya, bagaimana sejatinya, seorang ibu rela melakukan apa saja demi anaknya. Apalagi dalam kondisi single parent, dan ia bertahan untuk kondisi tersebut hingga membesarkan anak-anaknya. Tapi Chick punya kisah, ia tak membela ibunya.

Barulah ketika pikiran Chick kembali bersama dengan Posey, pasca upaya bunuh diri itu, ia mengetahui alasan perpisahan ibu dan ayahnya. Ayah Chick seorang Katolik dan ibunya Protestan. Ayahnya ikut pasukan militer ke Italy, ketika akan menikah dengan ibu Chick. Karena buruknya situasi, ayah Chick menikah di Italy dengan perempuan setempat. Dan, saat kembali ia menikahi Posey. Dalam perjalanan rumah tangganya, perempuan Italy itu mencari ayah Chick, dan mereka hidup di kota yang tak jauh dari kota keluarga Chick. Di sinilah bermula keretakan keluarga Chick.

Posey mengetahui suaminya memiliki istri yang lain, dan keluarga lain. Dalam ajaran mereka tidak dibenarkan seorang suami memiliki dua istri. Posey memilih berpisah. Ia tidak menceritakan keadaan dan keburukan situasi kepada anak-anaknya. Berbagai kesulitan hidup dijalani Posey demi mendidik anak-anaknya. Menguliahkan Chick juga.

Satu hal yang menyatukan Chick dengan ayahnya adalah baseball. Saat ia kuliah, ayah Chick menemuinya di asrama. Memberitahu dan memotivasi Chick untuk ikut pertandingan dan laga-laga. Akhirnya Chick meninggalkan bangku kuliah. Sebentuk kekecewaan mendalam bagi ibunya.

Kisah paling mengharukan bagi saya adalah, saat Chick pergi, berbohong pada orang-orang. Ia mengatakan ada urusan pekerjaan, padahal hanya untuk pertandingan reuni baseballnya di kota lain. Chick pergi tepat ketika ibunya sedang merayakan ulang tahun. Besoknya, Posey meninggal.

Buku ini sangat direkomendasikan. Siap-siap ya, meneteskan air mata, membandingkan dengan pengalaman pribadi bersama ibumu!

Seorang anak harus mensyukuri keadaan keluarganya, apapun dan bagaimanapun ibunya. Norak, lebay, dan alasan apapun, seorang ibu telah sepenuh jiwa melahirkan dan membesarkan sang anak. Bagi yang sudah kehilangan ibunya, pastilah merindukan saat-saat bersama ibu. Adalah waktu yang tak tergantikan dengan dan oleh siapapun. Bagi yang masih memiliki ibu, bersamanya dan terus membahagiakannya adalah hal yang tepat untuk dijadikan bagian kehidupan.



3.4.17

Orang Ketiga


-Di rumah biru, sebuah perumahan sudut kotaku-

Aku bukanlah seorang perempuan pengganggu rumah tangga orang. Apalah, mau menjadi orang ketiga di antara pasangan suami istri? Bukan, bukan aku! Justru rumah tanggaku tengah terancam seseorang, ya, orang ketiga itu. Kau mau mendengarkan? Baiklah, aku akan bercerita sedikit, kepadamu saja.  (Perempuan seringkali berkata demikian, -saja-, saat itu. Lain kali, ia bercerita kepada orang lain.) 

Perempuan itu. Dia telah hadir dalam kehidupan rumah tangga kami, kira-kira sekitar sebulan yang lalu. Waktu itu kami bertemu di sebuah acara, semacam arisan orang-orang tempat suamiku bekerja. Dia memang sepertinya perempuan baik-baik. Bekerja baik, berasal dari keluarga baik-baik. Aku tau itu, saat sekilas dia pernah menyebut saudara perempuannya, seorang dokter di kampungnya. Padahal orang tuanya hanyalah seorang petani. Dan aku menyimpulkan, keluarga 'anak ini' pastilah baik.

Setelah berkomunikasi, dan merasa akrab, aku lalu mengajaknya, beberapa kali main ke rumah. Satu kali, saat aku membuat kerajinan tangan. Aku mengajaknya melihat ke rumah. Saat itu hanya ada aku. Di kali yang lain, dia ke rumah mengantar oleh-oleh dari Solo. Ia baru saja ditugaskan ke sana. Dan, karena aku menagih oleh-oleh padanya lewat medsos, dia mampir mengantar oleh-oleh itu. Inilah, awal aku merasa curiga.

Kau tau 'kan, feeling perempuan itu terlalu kuat?! Sore itu, si perempuan itu datang ke rumahku. Aku sedang di lantai atas, suamiku di halaman depan, mengecek, mengotak-atik motornya, yang sudah cukup lama tak dipakai. Tiba-tiba aku menyaksikan mereka berbincang, dari lantai atas. Akrab sekali. Suamiku terlihat tertawa lepas. Saat si perempuan itu aku persilakan masuk, jujur, aku memang tidak begitu senang dengan kehadirannya. Aku menerima oleh-olehnya, dan tak sempat memberi minum, lalu ia pamit. Mungkin sadar, bahwa ia sedang berada pada situasi yang tidak tepat.

Aku pun gelisah. Aku sering bertanya pada suami. Kegiatan kantornya, apakah ada rapat gabungan, apakah bertemu dengan si perempuan itu. Memang dari kantor suami ke kantor perempuan itu tidak begitu jauh. Mereka masih satu atasan. Pastinya, kemungkinan bertemu, berpapasan dengan suamiku, ada.

Apakah ia tertarik dengan suamiku? Aku ragu. Dengan daya tariknya begitu, ia pasti dapatkan yang jauh-jauh lebih menarik daripada suamiku -yang biasa-biasa ini-. Selain pintar, tubuhnya masih ideal, ia juga supel. Mana mungkinlah, ia tertarik dengan suamiku. Aku menepis segala kemungkinan.

Sebaliknya, aku curiga, suamiku telah tertarik dengan perempuan itu. Ahh.. feeling perempuan begitu kuat 'kan? Aku yakin, mereka sering komunikasi. Atau, mereka sering jalan bersama? Kalau begitu, apakah menurutmu, perempuan itu masih perempuan baik-baik? Mau-maunya menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga orang, dimana baiknya, ya 'kan?! 

Hmm. Begitu kesimpulanmu?

Ya. Kau sudah cukup dewasa untuk mengerti kehidupan berumah tangga. Suatu kali, kau akan mengerti kecemasan-kecemasan seorang istri, yang sudah sekian tahun menikah, tak kunjung dikaruniai anak. Suami sibuk bekerja. Kau juga tak punya banyak kawan lagi. Kadang-kadang aku berpikir, untuk bercerita kepada kawan lama. Lebih tepatnya, 'seseorang di masa lalu' itu. Dia pasti mau mendengarkanku, atau mungkin saja dia punya solusi. hmh. 

Jangan. Itu bukan solusi. Lalu, apa respon suamimu, saat kau bertanya macam-macam?


Awalnya biasa saja. Ia menjawab sebisanya. Tidak ada apa-apa antara dia dengan perempuan itu. Tapi, beberapa waktu lalu, aku bersikap dingin terhadapnya. Dia bertanya, aku menjawab datar (untuk tak menyebut: ketus), aku alasan saja, sedang 'M'. Setelah itu, ia seperti selalu menghindari ceritaku, tak banyak komentar, menjadi lebih sibuk dengan laptopnya, sering otak-atik motornya.

Oke, sekarang dengarkan aku. Aku punya beberapa analisa.

Pertama, Kau terlalu mengkhawatirkan hal-hal kecil, yang terkadang (akan) mengganggu kestabilan emosimu. Perempuan yang berada dalam tekanan perasaannya, akan berbicara lebih banyak; cerewet. Ketika kau merasa curiga dengan suamimu sendiri, artinya kau telah melupakan kepercayaan. Bagi laki-laki, kepercayaan terhadapnya, adalah satu jurus utama. Kau akan menjadi lebih posesif, dipenuhi rasa curiga, dan tanya ini itu, termasuk urusannya. Pikiranmu, menggiringmu pada dugaan-dugaan tak beralasan. Suamimu akan muak dengan semua itu.

Kedua, kau menuduh mereka selingkuh, begitu?! Ayolah.. si perempuan pintar, katamu itu, mana mau. Dia juga punya masa depan 'kan? Kau sendiri sudah punya penilaian baik terhadapnya. Jangan racuni pikiranmu dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa jadi menjadi mungkin.
Kau tau, selingkuh bisa saja terjadi, karena salah seorang itu tertuduh. Atau, mumpung sudah menjadi tertuduh, kenapa tidak sekalian, selingkuh? Dan, selingkuh tidak terjadi tiba-tiba, ia seperti bom waktu yang akan meledak, seketika. Suamimu bisa saja memendam, diam-diam, dan mengabaikan kicauanmu, ia lagi ke dalam 'gua', menjadi sebenarnya lelaki. Abai terhadap lingkungannya, terhadap cerita-ceritamu (biasanya). Tapi, suatu waktu, kalau ia meledak? Kau siap?

Ketiga, Orang ketiga -seperti tuduhanmu terhadap perempuan itu- jika benar menjadi penyebab keretakan rumah tanggamu, menurutku, orang ketiga bukanlah sebab. Ia hanya sebagai akibat. Akibat apa? Banyak!
Bisa jadi, akibat ketidak nyamanan suamimu denganmu. Akibat ketidak percayaanmu terhadap dirinya lagi. Akibat ini, itu, dan seterusnya, aku tak tau. Kau perlu introspeksi diri, Nyonya.

Ayolah, jangan menangis. Kau tidak sedang 'M' kan?
Oh ya, tentang 'M' itu, jangan bersandar pada teori-teori bahwa: perempuan merasa punya waktu untuk berkuasa. Saat 'M' adalah waktu paling 'hebat', untuk bersikap seperti apa, berkata bagaimana, atau menanggapi apapun sekehendaknya. Ini tidak tepat. Benar, bila kau perlu memahami suamimu mengotak-atik motornya, setelah lama tak digunakan. Tapi jika setiap hari? Kau harus menerima juga? Sebaliknya, haruskah perlakuan 'moody' itu menjadi kekuasaanmu pada saat-saat tertentu itu? Ah, aku harus menjelaskan sesuatu yang rumit, dan bisa-bisa diserang semua perempuan. Heheh. Yang pasti, kau cobalah, kendalikan emosi dan pikiran-pikiranmu pada saat-saat sensitif itu. Prinsipnya, jangan hanya ingin dipahami, cobalah memahami. Lebih tepatnya, saling.

Lalu,,,

Sudahlah. Kau bisa pulang. 
Wah?! Hahaha. Maafkan aku, aku terbawa suasana ini. Aku bermaksud menyampaikan pendapatku, teman. Maafkanlah, jika kau tak dapatkan seperti inginmu.


Aku juga, maafkan. 
Satu lagi, boleh? Sebelum aku pulang, kelima, kuharap kau cerna kata-kataku tadi. Pertahankan rumah tanggamu! Kabarnya, cekcok itu biasa, penyesuaian. Jangan berlama-lama, komunikasikan. Jangan lebih dulu bercerita kemana-mana, bicarakan dulu berdua. Hubungan yang saling menuntut bisa menjadi baik, bila saling menuntun. Hah, aku ini mengerti apa sih. Haha. Aku pulang ya? Semoga baik-baik saja.


Iya, Sudah sore. Hehehe. Kau memang mengerti apa?! Teorinya saja.. Cobalah! (Ia terlihat benar-benar tersenyum kini)

Haha. Betul juga. 


-Jalan pulang-
 ***
Betul juga. Kadang aku memang tak mengerti apa-apa. Mengerti hanya dari buku. Memperhatikan kasus-kasus dan problem rumah tangga orang. Mendengar cerita semacam ini juga. Mencoba? Takut. 
Hahaha. 
***

Lampu merah. Belok kiri jalan terus. Klakson mobil di belakang membuyarkan lamunan. Dicoba? "Buat anak kok coba-coba", Kata iklan sih begitu. "Hubungan begitu, kok coba-coba.."

29.3.17

Mendidik Anak Multibahasa

Menguasai multibahasa (banyak bahasa) adalah impian sebagian orang, penyuka bahasa. Di samping, menguasai berbagai bahasa sebagai sebuah tuntutan kehidupan, -misalnya orang yang hidup di luar negeri, berbaur dengan orang dari berbagai negara-. Dalam keadaan demikian, bahasa yang digunakan tentunya tak hanya satu, 'bahasa ibu' saja. Berbeda dengan orang yang hanya hidup di satu wilayah sosial, penguasaan bahasa yang diperlukan hanyalah satu bahasa ibu, yang disertai dengan sejumlah dialek-dialek.

Di masyarakat Indonesia sendiri, menguasai multibahasa mungkin adalah hal yang lumrah. Dengan begitu kayanya bangsa ini -beragam suku bangsa, budaya dan juga bahasa-. Saya adalah salah satu yang menginginkan penguasaan multibahasa itu.

Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw, menyuruh Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Yahudi, bahasa Suryani. Tujuan saat itu adalah untuk mengetahui beberapa kalimat yang terdapat dalam kitab umat Yahudi. Dalam riwayat lain kita masyhur pula mendengar, "siapa yang menguasai bahasa suatu kaum, maka ia selamat dari tipu daya kaum tersebut."

Sejarah juga telah mengajarkan kita, bagaimana pertukaran ilmu pengetahuan antara timur dan barat itu terjadi. Masing-masingnya menguasai bahasa tujuan ilmu itu dipelajari. Umat Islam mempelajari bahasa Yunani, lalu menerjemahkan kitab-kitab Yunani. Maka belajarlah orang Timur pendapat-pendapat Aristoteles, Socrates, Plato, Phytagoras dan sebagainya. Sebaliknya, zaman berganti, saat Barat dilanda masa kegelapan, mereka mempelajari bahasa arab, lalu menerjemahkan kitab-kitab yang lahir dari ilmuwan muslim abad itu, ke dalam bahasa mereka.

Terlepas dari semua itu, sebagai seorang muslim yang hidup di Indonesia, kita tentu 'terbiasa' dengan ibadah-ibadah yang hanya bisa dilaksanakan dengan bahasa Arab. Shalat misalnya. Ini tentu juga menjadi gambaran ke-multibahasa-an yang telah populer di kehidupan kita.

Lalu, bagaimana dengan mendidik anak multibahasa?

Sekolah RSBI, sekian tahun lalu telah menggunakan dua bahasa (bilingual) dalam pembelajarannya. Bagi saya, ini adalah salah satu perhatian pemerintah agar anak terbiasa menguasai bahasa selain bahasa ibu nya sejak dalam proses pembelajaran.

Sekolah-sekolah swasta bahkan, sejak usia kanak-kanak telah mengajarkab bahasa asing (kedua) secara intensif kepada anak-anaknya. Memang ada pro kontra terkait pendidikan multibahasa kepada anak. Ada yang berasumsi bahwa anak belum perlu belajar basaha selain bahasa ibu. Ada argumen lain yang menyatakan bahwa, semakin dini anak mengenal bahasa, semakin mudah penyerapannya. Menurut para ahli, masa paling ideal untuk mempelajari bahasa lain selain bahasa ibu adalah usia 6 – 12 tahun.

Dalam teori psikologi anak dikatakan bahwa, stimulasi awal pada usia perkembangan anak melalui pembelajaran bahasa akan memberikan keuntungan dalam perkembangan bernalarnya. Anak akan memiliki kesadaran sistem bahasa sebagai suatu gejala sosial.Tentunya semua ini baik, jika dilakukan dan dipelajari atas dasar kesukaan berbagai bahasa, bukan keterpaksaan.

Kita juga tidak setuju dengan pewajiban belajar bahasa kedua (asing) bagi anak di sekolah-sekolah, khususnya dasar. Hal ini hanya akan menambah beban kurikulum. Di lain sisi, justru mencederai eksistensi bahasa ibu si anak, Bahasa Indonesia.

Maka, rumah dan pendidikan keluarga adalah sarana yang tepat untuk mengajarkan anak berbagai bahasa. Sekali lagi, tentu dengan memperhatikan kecendrungan belajar anak. Bahwa ia memang juga menyukai banyak bahasa. Karena, orang tua hanyalah fasilitator bukan eksekutor. Tak baik pula rasanya hanya tersebab keinginan ibunya, -untuk menguasai berbagai bahasa- anak harus menjadi korban, les bahasa ini itu.

Maksud tulisan ini hanya: jika ada yang sependapat, menyukai berbagai bahasa, ajarkanlah anak-anak sejak dini multibahasa, sekalipun hidupnya di Indonesia. Jika muslim, tentu terbaik adalah mengenalkan bahasa agamanya, bahasa arab. Seperti kata Umar bin Khattab, "Hendaklah kamu sekalian tamak mempelajari Bahasa Arab, karena bahasa Arab itu merupakan bagian dari agamamu." Selanjutnya tentu bahasa-bahasa internasional lainnya. 

* Tulisan ini adalah hasil pikir-pikir saya di jalan menuju sekolah tadi pagi, saat seorang bocah usia dua tahun (kira-kira), menyebut cat dan menunjuk kucing.

** Oya. Bahasa arabnya cat itu ada qith-tun (Ù‚ِØ·ٌّ ) lho. Mirip ya?! :D

28.3.17

Sudah Berpikir Benarkah Kita?

Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, apakah kita sudah berpikir benar. Salah satu instrumen yang bisa dipakai untuk mengukur ke-benar-an cara berpikir kita adalah dengan mencermati hal-hal berikut:


Pertama, Mencintai kebenaran.
Kita seringkali dihadapkan dengan berbagai soalan dan kenyataan yang menggiring kita pada prasangka-prasangka. Atau, justru berpikir dengan mengkotak-kotakkan. Untuk bisa berpikir benar, perlu diwaspadai kecendrungan manusia untuk selalu menerima sesuatu adalah benar, sebagai hal yang dikehendakinya benar. Bersikap mencintai kebenaran, termasuk seperti mematuhi kebenaran-kebenaran yang ditemukan orang lain.

Kedua, Ketahui (dengan sadar) apa yang sedang dikerjakan.
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Kita terus menerus mengejar kebenaran, diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi sifatnya parsial.

Ketiga, Ketahui apa yang tengah kita katakan.
Pikiran diungkapkan dengan kata-kata. Kalaulah, -seperti kata Ibnu Sina- pikiran itu bisa mengungkapkan dirinya sendiri langsung, tanpa lewat kata-kata, tentu tak perlu lagi kata-kata. Maka orang yang cermat pikirannya, terungkap lewat kecermatan kata-katanya. Terkadang menggunakan istilah (term) yang tidak tepat untuk penunjukan maknanya. Ketidaktertiban istilah yang digunakan itu akan berakibat pada penalaran.

Keempat, buatlah pembedaan dan pembagian.
Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda. Namun ada kalanya, dua hal yang sama bentuknya, tapi tidak identik. Di sini diperlukan pembedaan (distingsi). Hal yang satu secara eksplisit adalah bukan hal yang lain. Bukan justru dipukul rata, sama. Karena luasnya realitas itu, maka diperlukan klasifikasi/pembagian.

Kelima, cintailah definisi yang tepat.
Definisi ditujukan untuk membuat pembatasan. Mencintai definisi, artinya mencintai cara berpikir yang terang, jelas, dan tajam membeda-bedakan. Maka teranglah maksudnya.

Keenam, Ketahui alasan pilihan (mengapa menyimpulkan begini/begitu)
Kesimpulan itu diperlukan. Namun jika bahan yang ada tidak atau kurang cukup, sebaiknya menahan diri untuk menyimpulkan atau membuat pembatasan-pembatasan dalam kesimpulan.

Ketujuh, hindari kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, dan kenali sebab kesalahan pemikiran.
Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis.

Itulah tujuh kondisi yang dibutuhkan sebagai upaya berpikir baik, selain berpikir benar dan logis-dialektis.

(disarikan dari buku Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu)

Review Buku: Veronika Memutuskan Mati

Judul          : Veronika Memutuskan Mati 
                     Veronika Decides to Die
Penulis       : Paulo Coelho
Penerbit     : Gramedia 
Tebal buku : 236 hlm


"Gadis itu akan menganggap setiap hari sebagai keajaiban -dan sebenarnya memang demikian jika kita melihat betapa banyak hal tak terduga yang bisa terjadi setiap detik dalam hidup kita yang rapuh ini." -- Dr. Igor ; hlm. 236

Dr. Igor; psikiater yang menangani berbagai kasus kejiwaan di Vilette.
Mari; mantan pengacara yang bermasalah dengan kemampuan dirinya mengelola ketakutan. Gangguannya disebut panic attack.
Zedka Mendel; penderita depresi yang menjalani perjalanan astral, setelah diberi pengobatan insulin shock. Sebuah terapi terlarang (tahun 1930) di rumah sakit jiwa yang dipakai kembali, untuk menekan kapasitas mental pasien depresi.
Eduard; pemuda yang mengalami jenis kegilaan, skizofrenia. Ia ingin menjadi pelukis, ayah dan ibunya merencanakannya menjadi diplomat.

Dan, tentu saja ada si tokoh utama, Veronika.
Gadis 24 tahun, yang memiliki kehidupan normal, bekerja sebagai pegawai perpustakaan, memiliki orang tua yang lengkap dan sempurna. Ia menginginkan kebebasan. Menurutnya, segala sesuatu itu akan berakhir dengan kematian. Kebebasan itu bisa didapat hanya dengan mati. Ia memutuskan bunuh diri dengan menenggak empat bungkus pil tidur.

Apakah ia kemudian langsung mati? Tidak. Semua berproses. 

 Apa yang akan kita lakukan sembari menanti kamatian?

Inilah cerita 236 halaman karya Paulo Coelho yang memberikan banyak informasi, lintas ilmu pengetahuan, memberi inspirasi serta motivasi kehidupan dengan hikmah beragam.

***
Veronika memutuskan mati. Ia akan bunuh diri dengan cara elegan. Lalu mengirimkan surat ke koran, memberi tahu dunia, bahwa ia akan bunuh diri di Slovenia. Kota asing yang dijadikan seorang wartawan, sebagai judul tulisannya dalam sebuah majalah. Veronika membaca majalah itu, tersebab ia tak kunjung mati setelah menenggak pil tidur. 


Ia kemudian, harus melalui lima hari lebih untuk mengetahui, bahwa ternyata ia pun memiliki hidup yang bermakna, tak sia-sia. Semuanya justru diperoleh melalui banyak orang "gila", di rumah sakit jiwa. 

"Apakah sesuatu dianggap normal, melulu karena diikuti oleh mayoritas?" Pertanyaan ini diajukan Paulo Coelho lewat novel ini. Dia yang pernah menjadi bagian rumah sakit jiwa, tentu memahami betul bagaimana rasanya menjadi yang dianggap "tidak normal" itu. 

Orang-orang yang hidup di dunia mereka sendiri, kemudian disebut gila. 'Orang gila' dibebaskan dari hal-hal yang berkaitan dengan aturan, juga hukuman. Ketika diberi kesempatan menjadi bagian orang 'gila', tokoh utama melakukan hal-hal gila. Tidak harus patuh. Tidak mesti menyenangkan orang lain. Bebas menjadi yang dirinya mau. Mencoba hal-hal yang menurut selama ini terlarang.

Teori-teori berkaitan psikologi, kejiwaan, pengobatan medis terhadap penyakit jiwa dijelaskan di buku ini melalui penjelasan Dr. Igor. Si Dr. Igor bertekad menemukan obat untuk menyembuhkan kegilaan. Salah satu penelitiannya adalah terhadap Veronika.

"Diperkirakan, satu dari lima individu menderita beberapa gangguan psikiatri dan satu dari delapan warga Kanada akan mengalami perawatan, setidaknya sekali dalam seumur hidup akibat gangguan mental." ---h. 87

Pesan lain dalam buku ini adalah, pandangan penulis tentang hukum. Melalui pendapat Mari, dikatakan bahwa "keadaan sulit bukan akibat kekacauan atau anarki, melainkan akibat terlalu banyak aturan. Di masyarakat semakin banyak kaidah, hukum bertentangan dengan kaidah dan kaidah baru bertentangan dengan hukum. Orang takut keluar dari kaidah yang mengendalikan seluruh hidupnya." Salah satu keahlian pengacara, -katanya- adalah mengulu-ulur persoalan. 

Satu tema di akhir, tentang perkenalan Veronika dan Eduard. Masing-masingnya kemudian jatuh cinta. Bagi Veronika, meskipun ia kemudian mati, -setelah lima hari penantian kematian itu-, ia akan mati dengan penuh cinta. Ia tidak lagi menjadi : "Veronika yang bunuh diri karena merasa tak ada lagi artinya hidup. Yang merasa bahwa semua tugasnya sudah tuntas." 

**
Menyimak kisah-kisah orang yang dianggap gila, atau benar-benar menderita gangguan mental, sesekali perlu dilakukan. Agar kita sadar, betapa mahalnya anugerah akal dan kewarasan yang dimiliki saat ini. 



Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...