29.9.17

Catatan Diskusi: Ego dan Individualitas Anak

Dalam sebuah forum yang difasilitasi P2TP2A Kota Bukittinggi, Bang Aad (Adrian Rusfi, seorang Psikolog dan Konsultan Pendidikan) menyampaikan materinya tentang bagaimana menguatkan ego dan individualitas Anak. Menurutnya, ada kesalahan istilah yang digunakan dalam lingkup keilmuan psikologi, yang tidak tepat dengan istilah Islam, yakni penggunaan kata remaja. Dalam Islam, tidak ditemukan istilah remaja. Yang ada, adalah pemuda (red. fataa atau syabab). Penggunaan istilah ini berdampak pada pola pendidikan yang diterapkan kemudian. Banyak dikenal istilah, Remaja Mesjid, Remaja Muslim, dan lain sebagainya.

***
Benar juga. Saya teringat, tidak ada hadis yang menggunakan istilah remaja. Yang ada, adalah pemuda. Yaa ma'syaras syabaab...man istathaa'a minkum.. (wahai pemuda.. dst) --Siswa kelas 3 MAPK pasti sudah populer dengan hadis ini. Hadis yang menyarankan agar para pemuda yang belum mampu untuk menikah, agar berpuasa.

Iya, betul. Barulah sekarang terpikir, bahwa Islam tidak menempatkan usia kelas 3 setara SMA itu sebagai seorang remaja lagi. Melainkan sudah pemuda. Siswa angkatan kami saat itu, termasuk yang berani menikah di usia muda. Dua teman kami yang akan melanjutkan pendidikan ke Cairo, saat itu memutuskan menikah setamat sekolah, dan bersama-sama melanjutkan pendidikannya. Kita akui, itu langkah berani. Tapi, di sana terlihat jelas, bahwa mereka siap menjadi seorang dewasa. Di saat remaja seusianya (seperti kebanyakan--dan termasuk saya) yang masih ingin kesana-kemari, wara wiri, main ini itu, membiarkan waktu berlalu sia-sia, menunggu kiriman orang tua, dan mungkin belum punya mimpi yang sangat ingin untuk diwujudkan.

Pemuda dan remaja, tentu dapat kita bedakan, sekalipun tanpa menggunakan kamus bahasa indonesia. Apa jadinya, jika dulu Presiden Soekarno berkata: "Berikan saya 10 remaja..." Masihkah mampu bapak presiden mengguncang dunia? Yang ada adalah, sepuluh remaja itu dikarantina dulu, disiapkan intelektual, mental dan spiritualnya, baru mungkin sekian tahunsetelah itu, ia mengguncang dunia.

Pemuda dan remaja, boleh jadi secara usia biologisnya mereka sama. Mungkin sama-sama 17 atau 18 tahun. Tapi akan berbeda dari kematangan, kedewasaan dan konsep dirinya.

Atau, dalam hadis lain, laisal fataa man qala hadza abi, walakin al fataa man qaala, ha-ana -dza. Bukanlah seorang pemuda, yang mengatakan ini Bapakku, melainkan seorang pemuda itu, adalah yang berkata: Inilah Aku. Dari sini tergambar, bahwa pemuda adalah seorang yang sudah bisa membanggakan dirinya kepada masyarakat luas. Bahwa ia telah bisa menentukan sikap, memilih sesuai pertimbangannya, atau menolak apa yang tidak sependapat dengannya.

Berbeda dengan istilah remaja. Remaja -bagi saya- agak identik dengan kegalauan, kelabilan, ketidak percayaan diri dan persoalan lainnya. Remaja seperti berada dalam posisi tanggung. Diajak berpendapat, belum matang. Ditinggalkan, usianya hampir dewasa. Akhirnya, jika sudah punya KTP, datanglah para politisi itu kepada mereka. Pilih Bapak ya. Sudah berhak memilih, tapi apakah sudah matang menentukan pilihan. Entahlah.

Maka, fenomena-fenomena hari ini, kasus sodomi, pelecehan seksual, LGBT, dan lain sebagainya, tidak lagi bisa diselesaikan pada usia remaja. Semua itu harus dari usia anak-anak. Di sinilah perlunya ego dan individualitas anak, agar saat ia tumbuh menjadi pemuda, lalu dewasa, ia sudah matang baik secara fisiologis maupun psikologis.

Realita hari ini, kita temukan anak-anak usia 10 tahun, tapi cara pandang, cerita dan sikapnya sudah seperti orang dewasa. Diantara sebabnya adalah, anak-anak itu terlalu cepat terjadi padanya aktifasi hormon seksualitas, baik dengan tontonan yang tidak pantas, bacaan, atau pengetahuan-pengetahuan yang berseliweran di antara mereka. Bisa juga karena ransangan, over protein/gizi. Mereka baligh dini.

Secara fisik, anak usia itu sudah baligh, tapi belum 'akil. Data Bang Aad menyebutkan, bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 25 tahun, belum bisa memilah dan memilih yang terbaik untuknya. Mereka belum bisa matang dan dewasa. Baik secara sikap maupun finansial. Pada usia itu, masih tersibuk kuliah-kuliah, tapi belum bisa merasakan mencari dan menghasilkan uang dengan tangan sendiri. Secara finansial masih sangat tergantung dengan orang lain/orang tuanya. Jadilah, nafsu dengan kedewasaan mentalnya tidak sejalan.

Itulah kenapa dalam Islam, usia kita dipilah menjadi tiga. Pertama, usia 0-15 tahun, adalah character building. Ini dibagi lagi, usia 2-7 tahun anak diajarkan kebaikan-kebaikan. Usia 7-15 tahun diajarkan sanksi atas kesalahan. 

Kedua, usia 15-40 tahun adalah capacity building. Seseorang pada usia ini, dipersilakan untuk mengisi kapasitas dirinya. Bahwa intelektualitas seseorang itu puncaknya berada pada usia 25 tahun. Maka belajarlah banyak hal. Sebagian orang berkata, latihlah banyak hal, namun fokuslah pada satu saja, agar bisa sukses. Tapi menurut Bang Aad lagi, ia justru tidak bisa fokus pada satu hal pada usia mudanya. (Sama seperti saya nih.. hihii). Katanya, memang ada sebagian orang yang justru tidak bisa fokus pada satu hal, hingga mencapai usia kematangan.

Dan, ketiga, adalah usia 40 tahun, semacam waktu unjuk gigi lah. Kata orang, Life begin at 40. Di sinilah puncak keseimbangan. Bahwa dalam Islam, usia kematangan seorang Nabi Muhammad itu adalah 40 tahun, dilihat dari usia beliau diangkat menjadi Rasul.

Nah, persoalan kita hari ini adalah kita mesti peduli, anak-anak kita perlu dididik dengan baik, agar ego dan individualitasnya tepat dan bermanfaat. Lho, ego? Individualitas? Ya. Saya juga sempat berpikir, bahwa di TK dan Paud kita, anak-anak diajarkan berbagi. Bahkan di lingkungan rumah. Ayah akan berkata: "Kak,,bagi sama adeknya." Padahal, pada usia kanak-kanaklah kita perlu bekali si anak dengan: apa yang dia punya, apa yang harus dia jaga, hingga ia berani katakan "tidak" untuk hal-hal yang menurutnya beresiko untuk dirinya.

Kenapa anak-anak TK bisa menjadi korban pelecehan? Bisa jadi karena mereka tidak siap katakan 'tidak', atau bersikap lebih berani untuk menjaga dirinya sendiri. Atau karena kebaikan telah terpupuk dengan baik, mereka biasa berbagi.

Usia kanak-kanak juga adalah usia kebebasan. Anak dibentuk konsep dirinya. Saya ini seperti apa ya, bukan seperti yang maunya papa. Biarkan anak menari, karena dalam Islam sendiri tidak ada larangan bagi anak-anak untuk menari. Biarkan rambutnya dikepang, dipakaikan bando dan pita-pita, toh jika kelak disampaikan kepadanya ajaran, ia sudah siap menerima. Biarkan anak bermain. Play yang bukan game. Saat play, mereka melakukan sesukanya, sedangkan game, mereka harus sudah ikut aturan. Dan itu akan membosankan.

Betul juga. Saya ingat, ada seorang siswa TK yang enggan ke sekolah, karena bosan. Ia lebih suka melakukan apapun sekehendaknya, tanpa aturan. Kalau di TK sudah banyak aturan, selayaknya TK dan PAUD itu diganti nama saja dengan Game Group, bukan play group. Bahwa usia ini, anak-anak tidak suka kalah. Mau main apa saja, maunya menang. Dan menangnya bukan dia seorang. Mereka akan senang, jika semuanya menang. Tidak ada yang kalah. Karena kalah artinya kesedihan.

Maka untuk membekali anak dengan perlindungan dirinya, bekalilah dengan individualitas. Bahwa setiap individu berbeda, ia bisa menerima perbedaan itu. Tidak ingin menjadi orang lain, dan menerima keadaan dirinya. Bisa tampil percaya diri, dan menunjukkan eksistensinya. Bila di satu sisi ia memiliki kekurangan, oh, ia masih punya sisi lain yang bisa diunjuk aksikan. Ia bisa bilang "Ini kan punya saya" pada hal-hal yang ia rasa miliki, dan harus dia jaga. Tapi ya, tidak keterusan. Nanti bisa egois juga. Batasnya adalah usia 7 tahun. Setelah itu, tentu si anak perlu dikenalkan dengan berbagi, dan berbagai kebaikan lainnya.

Seberapalah kita mampu menjaga anak-anak, jika mereka tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Dan, yang perlu kita sadari, kita akan terus menua, menjadi tua, dan mereka akan tumbuh menjadi dewasa. Bila individualitas itu tak tertanam baik pada dirinya, jadi pribadi yang lemahlah mereka. Menjadi remaja-remaja galau, labil, latah, mudah terpengaruh dan tidak percaya diri.



Sosok: Ayah-nya SMA 1 Padang Panjang


Suatu hari, di sela-sela perkuliahan, saya dan beberapa teman terlibat pembicaraan tentang guru masa kini. Bahwa guru, adalah sosok panutan, yang digugu dan ditiru, agaknya mulai ternodai dengan oknum-oknum yang menciderai makna itu. Namun begitu, setiap sekolah tentu memiliki seorang atau bahkan lebih sosok guru panutan, idola, favorit yang dinanti-nanti siswa di kelas. Tersebutlah nama seorang 'Pak Yamin SMAN 1 Padang Panjang". Seorang guru legend, humoris, yang mengajar penuh hikmah. 

Saya lalu berkesempatan bertemu langsung, dan bercerita sedikit dengan "Ayah-nya" anak-anak SMA unggulan Sumatera Barat ini.

**
Kita harus mendidik dari hati.

Demikian beliau mulai becerita. Namanya bapak M Yamin. Anak-anak asrama, semenjak generasi ke 3 SMAN 1 Padang Panjang memanggilnya, Ayah. Pria kelahiran Tanjung (Sarolangun) 3 April 1958 ini, sejak semula memang mencintai profesinya sebagai guru.  Menurut beliau, kenapa guru-guru hari ini tak lagi begitu disegani oleh siswa, salah satunya tentu disebabkan oleh sikap guru itu sendiri.   
"Guru harus menjadi idola" tuturnya. Guru idola bukan juga yang membiarkan kesalahan ada pada siswa. Guru idola tetap menegur jika itu adalah suatu kesalahan. Hanya saja, cara menegur itulah yang membedakan rasa segan, hormat dan patuhnya siswa. 
Sebagian siswa memang memiliki kecendrungan 'pesan lebih sampai bila disentuh". Maksudnya, anak-anak yang masih main, kumpul-kumpul ketika azan sudah dikumandangkan, tidak ada efek apa-apa jika arahan disampaikan guru lewat mikrofon saja. 
"Pada situasi itu, hendaknya si guru, mendatangi siswa, lalu menyentuh bahunya dan merangkulnya -langsung- ke mesjid. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk mengelak."      

"Ada lagi kesalahan umum yang terjadi di kelas, oleh seorang guru," sambung beliau.
Sebagian kita mengungkap hal-hal rahasia si anak, di dekat orang banyak. 
"Ini tidak etis." tegasnya.
Misalkan, si guru memarahi siswa untuk kesalahan yang telah diperbuatnya di depan kelas, di hadapan teman-temannya. Atau, guru memanggil siswa ke depan kelas, meskipun sudah secara personal, tetap saja siswa lain akan ikut nimbrung ingin tahu. Ada lagi, guru memanggil siswa bersalah itu, ke ruang majelis guru, yang guru lain ikut dalam kasus tersebut. Ini tentu tidak adil bagi siswa. 

Dalam proses pembelajaran, Ayah terbiasa dengan cerita/kisah penuh hikmah. Menurutnya, mengajar itu, jangan hanya sebatas transfer materi ajar semata. Harus ada nilai-nilai, yang akan terpakai di sepanjang hidup si anak hendaknya.
"Lewat kisah, kita ajarkan tanggung jawab sebagai hamba Allah, kegigihan selayaknya manusia ingin mencapai mimpi-mimpinya, dan etika-etika dalam hubungan sosial lainnya. Bukan dari teori yang dibaca di buku, tapi kisahkan dari hati, agar sampainya juga ke hati." 

Sebagai seorang guru, idealnya guru mengajar dengan passionnya. Mengajar dari hati, itulah passion yang dituntut. Guru perlu menyiapkan diri sebelum masuk kelas. Sebagian siswa lebih kritis, dan guru tidak perlu malu untuk mengakui jika memang masih ragu dengan jawaban pertanyaan siswa. Guru yang sok tahu  akan menunggu waktu untuk tidak lagi dihormati. Karena itu, salah satu kesalahan fatal sebagian guru adalah mengganggap dirinya paling pandai, selalu benar, dan segala tahu. 
**
Dari dua kali cerita saya dengan beliau, setidaknya poin-poin di atas sudah memberi wawasan dan bekal bagaimana menjadi guru yang disegani siswa. Meskipun, lain lubuk lain ikannya ya, eh, maksudnya,, lain sekolah lain siswanya. Beda SMA beda SMK, *perlakuannya. Hehehee.

Rendang Kini Tak Cuma Padang


Siapa yang tak suka rendang?

Makanan khas Ranah Minang ini tak hanya digemari oleh lidah-lidah asli Minangkabau. Tetapi juga menjadi favorit bagi yang sama sekali tidak berdarah Minang.
Rendang kini tak hanya menjadi nama bagi olahan daging, yang dimasak lama, dibuat enak dengan santan, dicampur dengan bumbu-bumbu dan rempah khas. Rendang kini, adalah cita rasa. Apapun yang diolah, diberikan cita rasa rendang, meskipun bahan utamanya bukanlah daging. 

Ada banyak masakan siap saji yang melabeli dengan rasa rendang, misalnya mie goreng rasa rendang. Ada juga bakso, yang aslinya berasal dari Jawa ini kini diolah dengan campuran daging rendang di dalamnya. Nampaknya rendang kini tak cuma Padang ya.

Jadi ceritanya si rendang itu dalam bahasa Minang adalah randang. Proses ma-randang secara umum adalah memasak seperti disangrai, berlama-lama untuk mendapatkan hasil maksimal. Misalnya, kopi yang direndang, disangrai berlama-lama agar dapat ekstrak kopi yang terbaik. Atau, orang tua kita juga menyebut ma-randang kacang, untuk aktifitas sangrai kacang di kuali, sampai benar-benar matang.

doc. pribadi


Istilah rendang menjadi lebih spesifik untuk sebuah nama masakan Minang, olahan dari daging, dengan bumbu-bumbu khas Minangkabau. Soal bumbu khas ini, sedikit kita tilik sejarah Minang. Masuknya Islam ke nusantara dan juga daerah Minangkabau pada abad-abad dulu tidak terlepas dari kedatangan pedagang dari Arab/Yaman dan Gujarat India. Diketahui, masakan dari daerah tersebut kaya akan bumbu dan rempah-rempah. terlepas dari benar atau tidaknya, kesamaan masakan Minang denga dua daerah itu, adalah kekuatan bumbu dan rempahnya. Hal ini pulalah yang menjadikan kuliner Minang ini tetap berada di posisi satu, masakan paling enak versi CNN dan Unesco.

Rendang adalah samba adat. Setiap ada acara adat di Minangkabau, mesti ada rendang. Walaupun akan ada perbedaaan rendang di suatu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya, rendang di Agam Barat/ Maninjau yang masih basah seperti kalio, sedangkan untuk Agam Timur, seperti daerah Ampek Angkek, rendang mestilah kering, bahkan sebagiannya hitam. Itu baru satu kabupaten yang sama, Agam. Tentu saja ada berbagai ragam rendang di daerah lain di Ranah Minang. 

Di daerah pesisir misalnya, rendang tak lagi olahan daging saja. Ada yang namanya Rendang Lokan (daging kerang). Di Payakumbuh lebih beragam lagi. Mulai dari Rendang Talua (telur), Rendang Ayam, Rendang Baluik/belut. Di daerah lain, salah satunya Tanah Datar, dikenal Randang Cubadak/ nangka dan Rendang Paku/pakis. Di sejumlah daerah darek/daratan lainnya bahkan Jengkol/jariang  tak hanya dimasak kalio saja tapi juga jadi Randang Jariang. Berbagai jenis olahan rendang ini sesuai dengan kearifan lokal daerah masing-masing. Yang sama dari semuanya adalah proses masaknya adalah direndang, dengan bumbu-bumbu khas seperti rendang daging. 

Selain itu, rendang juga dinamakan sesuai dengan jenis/bagian daging sapi yang diolah dan proses pengolahannya. Rendang Paru misalnya. Atau Rendang Jagung, Rendang Ati, Rendang Itiak. Dari segi pengolahannya, ada yang namanya Rendang Suir (dagingnya disuri-suir, dan kering) juga Rendang Tumbuak. Atau rendang dengan campuran teri dan karupuak cancang. Atau, masih ada rendang lainnya? 

Kalau di luar sana yang populer adalah Padang, sebetulnya kita lebih enak mendengar Rendang dengan spesifikasi jenis dan olahannya itu sendiri. Karena tak pernah kita dengar Rendang Batusangka, meskipun asal mula orang Minangkabau, dan daerah tuo  itu dikenal adalah Pariangan, Tanah Datar. 
Oke, terlepas dari semuanya, rendang apa favoritmu?  
Rendang Lokan? 

Mantan Perempuan Inspiratif

Aung San Suu Kyi. Penerima hadiah nobel perdamaian itu beberapa waktu lalu sempat ramai dibincangkan dunia. Pasalnya, sikap politis tokoh demokrasi Myanmar itu, dinilai tidak berpihak pada kemanusiaan. Ia diam di saat salah satu etnis minoritas di negaranya mendapat penindasan sistematis oleh etnis lainnya. Padahal, tahun 90-an justru ketika berada dalam penjara, ia menggaunggkan dan mendesak pemerintah Myanmar agar menerapkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia.

Berselang beberapa waktu sebelumnya lagi, Anniesa Hasibuan seorang desainer muslimah yang telah membawa nama Indonesia di panggung fesyen internasional, harus menerima status tersangka pada usianya yang masih 31 tahun ini. Sekian bilangan rupiah ia gelontorkan agar Indonesia turut serta dalam ajang bergengsi itu. Tentu bukan tindakan mudah, murahan atau bodoh yang ia lakukan demi persiapan semua  mimpinya tersebut. Namun sayangnya, kebijakan perusahaannya untuk menggunakan dana jamaah umroh untuk kepentingan pribadi itu, sangat tidak 'perempuan'.

Dari dunia politik, baru-baru ini kita dengar nama Rita Widyasari, bupati perempuan di daerah terkaya Indonesia -menurut salah satu media-, yang ditetapkan sebagai tersangka penerima gratifikasi oleh KPK. Sebelumnya, Rita adalah penerima penghargaan dari presiden karena dinilai berkomitmen tinggi atas pembangunan kesejahteraan keluarga dan kependudukan di daerahnya. Rita juga mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebagai tokoh inovatif dalam menciptakan kreativitas maupun usaha pembangunan, bidang pendidikan, sosial, kreativitas, hingga tercipta kesetaraan dalam gender. Ia menerima penghargaan sebagai wanita berpengaruh di Indonesia, yaitu kategori penghargaan Spesial Mention as Best Influential Women of The Year 2017.

Kalaulah bukan karena seorang yang 'inspiratif', tentu perempuan cantik ini tak akan menjadi bupati, lalu menerima berbagai penghargaan. Dan entah karena godaan setan yang bagaimana kita tak pernah tahu, ia melepaskan nama 'inspiratif'nya kini. 

Nama-nama ini adalah perempuan-perempuan hebat, pada masanya. Waktu dan keadaan membuktikan seberapa lama kehebatan itu bertahan. Dan media lah yang berperan melambungkan namanya, atau menjatuhkan lagi, dan menghapus mereka dari catatan sejarah.

Betapa  usaha dan kerja keraslah yang  telah dilakukan demi memperjuangkan apa yang mereka impikan. San Suu Kyi, melanjutkan mimpi ayahnya, Aung San. Dengan idealisme ia rela dipenjara. Tapi kasus Rohingya, memperlihatkan kepada dunia, 'masihkah' pantas ia tercatat sebagai penerima nobel perdamaian.


Sedangkan Anniesa, merintis karirnya dari titik nol. Tidak mudah baginya merintis bisnis travel dan desain pakaian hingga mencapai puncaknya, tercatat sebagai perempuan inspiratif, tak hanya Indonesia tapi dunia internasional. Lalu nama cemerlangnya kian pudar. Kesuksesannya sebagai desainer harus terhenti. (Terhenti: bukan berakhir. Karena kita tak pernah tahu, apakah musibah ini adalah akhir, atau ujian dan peringatan Tuhan terhadapnya.) Tapi doa dan kekecewaan 35.000 jemaah umroh yang belum diberangkatkannya, lebih menyedihkan.

Inspiratif
Jika kita runut lagi, tidak sedikit pula nama perempuan inspiratif, yang kemudian menjadi mantan. Saat mengikuti kasus Anggelina Sondakh, saya terpikir bagaimana anak-anaknya menjalani hidup. Ibu dalam penjara, dan ayahnya baru saja berpulang. Seperti apa kesedihan yang akan mewarnai hari-hari tumbuh dan berkembang mereka.
Aniesa Hasibuan, saat berpindah ruang dari istananya ke penjara, anaknya masih berusia tiga minggu. Tiga minggu! Hak apalah yang mungkin ia terima kemudian?
Lalu kita berpikir, apalah artinya sebuah label inspiratif, jika orang-orang terdekatnya tidak merasakan efek dari label itu.
Kalau begitu, setiap ibu yang melahirkan, mendidik, membesarkan dan memenuhi hak-hak keluarganya, itulah selayaknya mendapat label inspiratif. Dan, tentu saja jumlahnya banyak! Di setiap rumah, ada ibu yang berjuang untuk semua itu. Ada yang bahkan, dalam kesendiriannya, memerankan dua peran utama rumah tangga, menjadi ibu, sekaligus kepala keluarga.
Kalau begitu lagi, masihkah perlu ada ajang-ajang bergengsi pemilihan perempuan inspiratif itu? Logika kita tetap menjawab: Tentu saja. Jangan karena "marah ke tikus, lumbung dibakar". Tapi,, bukankah karena "nila setitik ini, telah rusak susu sebelanga."


Hhh.. Membincang perempuan itu, memang tak ada habisnya. Membaca realita, mencari idealnya, dan menemukan ketidakharmonisan semuanya. Bahkan, nama inspiratif pun kini telah menjadi mantan. Perempuan.

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...