Seminggu
yang lalu, saya menerima kabar duka tentang kepergian seorang sahabat. Boy
Fitra Ad namanya. Kabar duka itu saya dapat lewat pembicaraan kawan-kawan di
jejaring sosial, facebook. Meskipun saya tak berkesempatan langsung hadir saat
pemakaman jenazah, namun saya bisa turut merasakan suasana duka mendalam di
keluarga besar angkatan muda Muhammadiyah Sumatera Barat saat itu.
Boy [Tepat di samping kanan saya; sisi kanan], Foto : Dok. IMM, 2010 |
Boy,
demikian panggilan akrabnya, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di daeran
Pasaman, setelah menghadiri acara Musyawarah Cabang Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah Pasaman Barat. Kecelakaan itu terjadi pagi harinya, saat Boy
bermaksud kembali ke Padang.
Boy,
memang telah dulu berpindah alam. Ia –seperti kata Habibie-, telah berada di
dimensi lain, dimensi baru kehidupannya, yang kelak kita pun akan ke dimensi
itu. Tapi bagi saya, dan kawan-kawan lain, masih merasakan kehadiran Boy, lewat
semangatnya yang tertulis di majalah Lorong, atau status dan komen facebook,
atau kata-katanya yang sempat singgah dan menetap di memori kami masing-masing.
Sekarang, kami hanya bisa mengenang semua itu.
Bukan
saja tentang Boy, saya juga tengah mengenang semangat ber-IMM yang telah
berangsur pudur di diri saya. Barangkali bukan saja soal IMM nya. Lebih
tepatnya semangat berorganisasi.
Konon
kabarnya, semangat berorganinasi itu yang juga kian hambar di kalangan muda
Indonesia. Tak ada lagi aktivis. Tak ada gejolak. Yang ada hanya tudingan.
Saling tuding satu dan lainnya. Saling memojokkan. Saling mencela.
Boleh
jadi inilah pendidikan tidak langsung yang didapat kaum muda menjelang 2014
ini. Ya, kita tahu, tahun-tahun ini kita disibukkan dengan persiapan pilpres
mendatang. Jelas saja tidak mudah menghadapi semua itu. Yang namanya politik
tentu bermain taktik. Memilih atau menjaring kader. Bahkan sampai ke tingkat
ranting. Menata partai dan mengganti pemimpinnya. Boleh juga bermain-main
dengan internalnya. Guling menggulingkan. Menemu letak koalisi atau oposisi.
Inilah, setidaknya pendidikan politis kaum muda sekarang itu.
Lalu
senior mereka akan berkata, “Kalau tak busuk itu bukan politik Bung!”, ketika
salah seorang mereka kemudian ‘dikhianati’ atau mencoba bermain di sana.
Ada
juga yang akan menyemangati, “Teruslah! Ini belum akhir segalanya. Tujuan kita
belum sampai.” Saat kader mereka mulai putus asa dengan berbagai problema.
Mereka hanya menyemangati. Ya, sampai di sana, lalu berhenti. Yang mengalami
dan menanggung segala resiko, toh juga bukan mereka.
“Maaf
ya, resiko tanggung sendiri”, ujar mereka ketika hal yang dikhawatirkan itu
kemudian benar terjadi.
Persoalan
kendurnya semangat dan dinamika organisasi kaum muda, rupanya tidak hanya di
lingkungan saya saja. Ketika berbincang dengan seorang teman dari organisasi
lain, ia juga mengeluhkan hal serupa. Tidak ada lagi dinamika pergerakan. Tidak
ada debat yang hangat. Tidak ada perang pemikiran lewat tulisan yang pedas dan
tajam.
Oh
ya, soal tulisan itu, sudah lama saya dengar. Bahkan ketika saya masih
mahasiswa pun, para senior juga berujar demikian.
“Kalian
menang di retorika, kalah di tulisan. Lemah!” Begitu katanya. Tapi, setidaknya,
ada juga satu dan dua yang terus menulis di media. Menyampaikan pikiran dan ide
lewat cara ilmiah itu. Walaupun, realitanya memang lebih didominasi dengan
diskusi dan bicara semata.
Hari
ini, kita terkenang akan seorang teman yang masih menyisakan semangat
perubahan. Sama halnya terkenang akan semangat perubahan mahasiswa, kaum muda
kita yang kian melemah.
Sayang,
saya tidak lagi berada di jalur aktivis itu. Jalur yang dipilihkan takdir sekarang
ini tidak memungkinkan untuk terus bersama mereka –para aktivis-, yang masih
semangat berorganisasi. Jalur ini lebih banyak diam. “Nggeh..”, kata orang Jawa-nya.
Saya
hanya komentator. Hanya ingin berkomentar. Dan jika dilihat di dunia
persepakbolaan, komentator selalu merasa lebih hebat dari pemain, bahkan juga
pelatih. Maklum saja. Hahaha.
Kaum
muda, teruslah bersemangat. Biar hidup dalam dinamika, daripada mati pada
stagnasi ide, pikiran dan gerakan. Teruslah bersemangat. Sebelum ada
penyesalan, terlambat. Selagi masih ada kesempatan. Dan tentu saja, selagi
masih ada kehidupan.
*
Selamat jalan kawan. Jangan bawa serta semangatmu. Sisakan untuk kami, untuk mereka. :)
**
Nimiasata_2013