****
Belum
lagi setengah jam dia meninggalkan rumahnya pagi Jumat itu. Berpamitan dengan
ibu. Berangkat, berniat mencari ilmu. Ia lekas menuju sekolah.
Di
perjalanan menuju sekolah, yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu, dia
teringat akan ‘sesuatu’ yang tertinggal di rumah. Diputarnya motor, melaju
kembali ke rumah.
Sesampai
di rumah, segera diambilnya apa yang dimaksudkannya menjemput tadi. Lalu bergegas
lagi. Menstarter motor, memacu kendaraan itu melaju lebih cepat. Berharap ia
tidak terlambat sampai di sekolah. Karena pagi ini ada kegiatan muhadarah. Ia
tak mau berbaris terpisah.
Belum
lagi satu kilometer dari rumahnya. Si dia itu terjatuh sendirinya. Kata orang
sekitar, dia jatuh, bukan tertabrak.
Kadang
memang benar kata orang tua dulu, “air tenang menghanyutkan”. Juga pada lirik
lagu Minang tempo dulu, “Usah takuik Nak, di ombak gadang. Aia nan tanang, oi
Nak kanduang, mambaok karam”. Barangkali, juga demikian berlakunya dalam urusan
jalan. Jalan datar itu membahayakan.
Kata
masyarakat sekitar lagi, dulu, ketika jalan masih berbatu, tak banyak
kecelakaan di daerah itu. Justru sekarang, setelah jalan itu diaspal, ada saja
kecelakaan.
Memang
banyak orang ‘kena’ justru pada hal yang tidak dikhawatirkannya. Ia barangkali
menganggap pada posisi aman. Padahal, apa saja, pada siapa saja, waspada mesti
selalu ada. Kalau bukan akan disebut curiga atau ekstra cemas.
Dia
terjatuh sendirinya. Memang di jalan menurun. Meski bagus, mungkin jalannya
licin.
Di
sana dia sedang berdebat dengan malaikat maut. Bahwa ia masih ingin sampai ke
sekolah. Ingin belajar. Ingin menuntut ilmu. Tapi tidak, kata malaikat itu.
Sesaat,
ketika kepalanya retak, dan mengucurkan darah yang super hebat, mengaliri
jalanan menurun itu, ia terus mencoba mendebat malaikat. Tunggulah. Ia hanya
hendak berpamitan dengan sanak saudaranya. Ia hanya ingin pesta perpisahan
kecil dengan sahabat-sahabatnya. Ia lalu juga ingin bersalaman, mencium
punggung tangan yang selama ini mendidik dan mengasuhnya. Ia hanya ingin
meminta tenggang waktu. Tunggulah. Tapi, lagi-lagi, tidak demikian kehendak
malaikat.
Tidak,
tidak. Itu bukan kehendak malaikat. Itu aturanNya. Hal itu sudah disiapkanNya
dan menjadi ketetapan yang malaikat hanya menjalankan. Si dia bisa apa. Semua
itu sudah baku. Sudah tertulis di alam sana, sejak ia ditiupkan ke dalam perut
ibunya. Lalu siapa yang bisa mencegah dan menghentikan? Siapa yang mampu
menolak permintaanNya?
Darah
pekat kepalanya masih mengucur hebat. Pada aliran darah segar itu, barangkali
turut mengalir rumus matematika yang diterimanya kemarin, lalu digunakannya
menyelesaikan tugas tadi malam. Dalam kemerahan darah itu, ada klorofil –yang
berwarna hijau-, beragam jenis tanaman obat keluarga, tanaman hias, dan tanaman
lainnya yang ia turut tanam dan tata screen house sekolah sore kemarin.
Bersama pekatnya darah itu, mengalir pula semangat. Semangat bahwa kelak, ia
akan bahagiakan orang tuanya, mencapai cita-cita, dan hidup lebih baik. Itu
saja, tak pula rumit.
Darah
terus mengucur deras. Tapi orang-orang sekitar hanya terpana dan bingung
melihatnya terkapar di aspal itu. Mereka hanya berdiri mematung. Atau juga
membiarkan.
Apa
yang ada di kepala mereka? Tidakkah ada lagi kemanusiaan itu hari ini? Kenapa
dia dibiarkan begitu saja? Bukankah yang dilihat mereka itu adalah manusia? Dia
bukan kucing, yang setelah tertabrak saja masih dicoba mengemasinya, menggulung
dengan kain, lalu menguburnya jika mati.
Tidakkah
mereka tahu, bahwa dia adalah anak manusia? Dia anak sekolah, sama seperti
anak-anak mereka. Dia bujang dari kampung mereka juga. Dia anak tetangga
mereka. Bahkan boleh jadi, dia adalah kemenakan mereka. Dia masih
dibiarkan begitu saja. Mungkin di pikiran mereka ada takut. Takut menjadi
saksi. Takut dengan yang namanya darah. Mungkin saja.
Lima
menit. Sepuluh menit. Lima belas menit.
Untung
saja, diantara yang membiarkan itu, masih ada yang ‘berotak’ untuk
memberitahukan pada keluarga si dia. Memanggilkan saudara dan keluarganya.
Sekonyong-konyong
datang keluarga. Tidak pula langsung membawa si dia ke rumah sakit yang
jaraknya tak berapa kilometer itu. Tak ada kendaraan. Mungkin lebih tepatnya,
tak ada kendaraan yang mau.
Si
dia masih terbaring. Kepalanya masih mengucurkan darah. Darah yang mengalir,
bersamaan dengan jiwanya yang ia relakan dibawa malaikat. Ia menyerah. Bawalah.
Pergilah.
Tubuhnya
dibawa ke rumah sakit. Turut bersamanya si ibu, si kakek, si uda dan juga
beberapa tetangga. Di sana rupanya sudah menanti, si Dayat, sahabat kentalnya.
Konco bermain bola. Semua menangis melihat tubuhnya.
Dia
lalu diperiksa dokter. Dokter meminta ada pihak keluarga yang menyaksikan. Tak
ada. Kenapa tak ada? Si nenek, sudah terjatuh, pingsan di luar sana. Si ibu,
berdiri saja tak kuasa, menangis menahan pilu, tak sanggup mencerna kata-kata
dokter. Hanya terduduk lemas tak bertenaga, dipegangi tetangga di kursi luar
sana.
Hanya
Dayat, yang sedari tadi menangis di balik kaca, menjawab tegas. “Saya”. Lalu
masuk bersama dokter itu. Menyaksikan si dokter mengancah kepala sahabatnya.
Melihat langsung retak dan rengkah kepala kawannya. Hanya bisa terisak dan
mengucap doa.
Tapi,
sungguh, doa kadang tak berperan apa-apa pada takdir. Doa yang bisa untuknya,
adalah kerelaan. Merelakan si dia pergi, lalu diterima di sisiNya. Dokter pun
menyerah. Kita hanya bisa berusaha. Ketetapan jua di tanganNya.
Kepergiannya,
lalu disadari. Semua yang diluar kembali menangis. Dia ditutup dengan kain
putih. Mukanya memucat. Tubuhnya dingin. Tak ada lagi rona kehidupan di jasad
itu. Dia benar-benar telah berada di dimensi yang berbeda. Di alam sana. Entah
di mana.
***
Dia.
Arif Adi Putra. Siswa kelas X jurusan Rekayasa Perangkat Lunak, SMK Teknologi
Informasi yang bercita-cita menjadi Polisi. Ia dikenal santun oleh guru-guru.
Baik pula bergaulannya dengan teman-teman.
Saya
pribadi, tepat dua hari menjelang kepergiannya, ada pengalaman yang berkesan.
Saat
kegiatan kerja bakti, Arif duduk di kelasnya sambil memegang gitar. Seperti
sebelum-sebelumnya, saya mengontrol siswa untuk membersihkan ruangan kelas.
Jika ada yang tak bekerja, saya pikir mereka tak ada inisiatif, dan perlu
diberitahukan pekerjaan yang bisa mengasah jiwa sosial, kerja sama, dan
tanggung jawabnya.
Saya
lalu memintanya mengantarkan bunga ke bagian screen house yang
berdekatan dengan toga. Di sana telah ada guru lain. Saya lalu hubungi
guru yang di bagian toga. Bahwa saya sudah menyuruh siswa ke sana.
Berikan ia pekerjaan lanjutan. Karena tampaknya ia tak tahu apa yang akan
dikerjakannya.
Arif
lalu sendirian ke kebun itu. Bahkan, sampai saya datangi kebun itu, ia masih di
sana. Ia tengah mengangkat pot besar berisi bunga panah asmara. Masih di sana?
Setelah sekian lama? Saya berubah pikiran. Tersenyum menyapanya. Ia bilang,
kalau ia menyukai tanaman.
Itulah
benarnya, dont judge the book by its cover. Dia hanya tak tahu apa yang akan
dilakukannya. Dan memberitahu itulah tugas guru. Lalu mengenali karakter,
selanjutnya mendidiknya menjadi pribadi yang lebih baik. Itu saja.
Ia
adalah anak yang bertanggung jawab. Hanya kurang ide dan inisiatif untuk
mengerjakan apa. Namun, jika diminta, ia akan patuhi dan laksanakan semampunya.
Cukup bertanggung jawab.
**
Sayang,
kita pantas bersyukur, karena kita masih beruntung. Kita dikehendaki hadir di dunia ini oleh ibu dan keluarga
sederhana kita. Lalu, di saat kita pergi, lihatlah, betapa menyedihkannya
kehidupan bagi mereka, yang meski berat harus diterima. Mereka menangisi
jenazah kita. Kita tak seperti bayi-bayi tak beruntung itu. Mereka tak
dikehendaki hadir di dunia ini, justru oleh ibu mereka sendiri. Mereka
‘disuruh’ dan diusir agar pergi.
Kita
masih beruntung. Diberinya kesempatan untuk menikmati kehidupan yang singkat
ini. Menikmati siang bersama teman-teman. Berprestasi dan berkompetisi. Mengisi
malam yang dingin di tengah-tengah keluarga sederhana yang menghangatkan.
Mengisi kekosongan jiwa dengan nikmat iman. Itu yang utama.
Apakah
hanya sampai di sana? Tidak Sayang. Tak hanya sampai di sana. Bahkan, ketika
kita pergi, berpisah nyawa dan badan, berbeda alam, kita masih saja beruntung.
Beruntung hidup di lingkungan baik, yang terus mengalirkan doa untuk kehidupan
kita di alam sana kepadaNya. Selalu, mengalir doa untuk kita.
*
Selamat
jalan Arif. Selamat memasuki alam jeda-sementara untuk kehidupan baru kelak.
Semoga, di sana baik-baik saja. Kita hanya bisa kirimkan doa. Dan suatu masa,
mungkin nanti, besok, lusa atau kapan saja, kami juga ke sana.