Dalam sebuah forum yang difasilitasi P2TP2A Kota Bukittinggi, Bang Aad (Adrian Rusfi, seorang Psikolog dan Konsultan Pendidikan) menyampaikan materinya tentang bagaimana menguatkan ego dan individualitas Anak. Menurutnya, ada kesalahan istilah yang digunakan dalam lingkup keilmuan psikologi, yang tidak tepat dengan istilah Islam, yakni penggunaan kata remaja. Dalam Islam, tidak ditemukan istilah remaja. Yang ada, adalah pemuda (red. fataa atau syabab). Penggunaan istilah ini berdampak pada pola pendidikan yang diterapkan kemudian. Banyak dikenal istilah, Remaja Mesjid, Remaja Muslim, dan lain sebagainya.
***
Benar juga. Saya teringat, tidak ada hadis yang menggunakan istilah remaja. Yang ada, adalah pemuda. Yaa ma'syaras syabaab...man istathaa'a minkum.. (wahai pemuda.. dst) --Siswa kelas 3 MAPK pasti sudah populer dengan hadis ini. Hadis yang menyarankan agar para pemuda yang belum mampu untuk menikah, agar berpuasa.
Iya, betul. Barulah sekarang terpikir, bahwa Islam tidak menempatkan usia kelas 3 setara SMA itu sebagai seorang remaja lagi. Melainkan sudah pemuda. Siswa angkatan kami saat itu, termasuk yang berani menikah di usia muda. Dua teman kami yang akan melanjutkan pendidikan ke Cairo, saat itu memutuskan menikah setamat sekolah, dan bersama-sama melanjutkan pendidikannya. Kita akui, itu langkah berani. Tapi, di sana terlihat jelas, bahwa mereka siap menjadi seorang dewasa. Di saat remaja seusianya (seperti kebanyakan--dan termasuk saya) yang masih ingin kesana-kemari, wara wiri, main ini itu, membiarkan waktu berlalu sia-sia, menunggu kiriman orang tua, dan mungkin belum punya mimpi yang sangat ingin untuk diwujudkan.
Pemuda dan remaja, tentu dapat kita bedakan, sekalipun tanpa menggunakan kamus bahasa indonesia. Apa jadinya, jika dulu Presiden Soekarno berkata: "Berikan saya 10 remaja..." Masihkah mampu bapak presiden mengguncang dunia? Yang ada adalah, sepuluh remaja itu dikarantina dulu, disiapkan intelektual, mental dan spiritualnya, baru mungkin sekian tahunsetelah itu, ia mengguncang dunia.
Pemuda dan remaja, boleh jadi secara usia biologisnya mereka sama. Mungkin sama-sama 17 atau 18 tahun. Tapi akan berbeda dari kematangan, kedewasaan dan konsep dirinya.
Atau, dalam hadis lain, laisal fataa man qala hadza abi, walakin al fataa man qaala, ha-ana -dza. Bukanlah seorang pemuda, yang mengatakan ini Bapakku, melainkan seorang pemuda itu, adalah yang berkata: Inilah Aku. Dari sini tergambar, bahwa pemuda adalah seorang yang sudah bisa membanggakan dirinya kepada masyarakat luas. Bahwa ia telah bisa menentukan sikap, memilih sesuai pertimbangannya, atau menolak apa yang tidak sependapat dengannya.
Berbeda dengan istilah remaja. Remaja -bagi saya- agak identik dengan kegalauan, kelabilan, ketidak percayaan diri dan persoalan lainnya. Remaja seperti berada dalam posisi tanggung. Diajak berpendapat, belum matang. Ditinggalkan, usianya hampir dewasa. Akhirnya, jika sudah punya KTP, datanglah para politisi itu kepada mereka. Pilih Bapak ya. Sudah berhak memilih, tapi apakah sudah matang menentukan pilihan. Entahlah.
Maka, fenomena-fenomena hari ini, kasus sodomi, pelecehan seksual, LGBT, dan lain sebagainya, tidak lagi bisa diselesaikan pada usia remaja. Semua itu harus dari usia anak-anak. Di sinilah perlunya ego dan individualitas anak, agar saat ia tumbuh menjadi pemuda, lalu dewasa, ia sudah matang baik secara fisiologis maupun psikologis.
Realita hari ini, kita temukan anak-anak usia 10 tahun, tapi cara pandang, cerita dan sikapnya sudah seperti orang dewasa. Diantara sebabnya adalah, anak-anak itu terlalu cepat terjadi padanya aktifasi hormon seksualitas, baik dengan tontonan yang tidak pantas, bacaan, atau pengetahuan-pengetahuan yang berseliweran di antara mereka. Bisa juga karena ransangan, over protein/gizi. Mereka baligh dini.
Secara fisik, anak usia itu sudah baligh, tapi belum 'akil. Data Bang Aad menyebutkan, bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 25 tahun, belum bisa memilah dan memilih yang terbaik untuknya. Mereka belum bisa matang dan dewasa. Baik secara sikap maupun finansial. Pada usia itu, masih tersibuk kuliah-kuliah, tapi belum bisa merasakan mencari dan menghasilkan uang dengan tangan sendiri. Secara finansial masih sangat tergantung dengan orang lain/orang tuanya. Jadilah, nafsu dengan kedewasaan mentalnya tidak sejalan.
Itulah kenapa dalam Islam, usia kita dipilah menjadi tiga. Pertama, usia 0-15 tahun, adalah character building. Ini dibagi lagi, usia 2-7 tahun anak diajarkan kebaikan-kebaikan. Usia 7-15 tahun diajarkan sanksi atas kesalahan.
Kedua, usia 15-40 tahun adalah capacity building. Seseorang pada usia ini, dipersilakan untuk mengisi kapasitas dirinya. Bahwa intelektualitas seseorang itu puncaknya berada pada usia 25 tahun. Maka belajarlah banyak hal. Sebagian orang berkata, latihlah banyak hal, namun fokuslah pada satu saja, agar bisa sukses. Tapi menurut Bang Aad lagi, ia justru tidak bisa fokus pada satu hal pada usia mudanya. (Sama seperti saya nih.. hihii). Katanya, memang ada sebagian orang yang justru tidak bisa fokus pada satu hal, hingga mencapai usia kematangan.
Dan, ketiga, adalah usia 40 tahun, semacam waktu unjuk gigi lah. Kata orang, Life begin at 40. Di sinilah puncak keseimbangan. Bahwa dalam Islam, usia kematangan seorang Nabi Muhammad itu adalah 40 tahun, dilihat dari usia beliau diangkat menjadi Rasul.
Nah, persoalan kita hari ini adalah kita mesti peduli, anak-anak kita perlu dididik dengan baik, agar ego dan individualitasnya tepat dan bermanfaat. Lho, ego? Individualitas? Ya. Saya juga sempat berpikir, bahwa di TK dan Paud kita, anak-anak diajarkan berbagi. Bahkan di lingkungan rumah. Ayah akan berkata: "Kak,,bagi sama adeknya." Padahal, pada usia kanak-kanaklah kita perlu bekali si anak dengan: apa yang dia punya, apa yang harus dia jaga, hingga ia berani katakan "tidak" untuk hal-hal yang menurutnya beresiko untuk dirinya.
Kenapa anak-anak TK bisa menjadi korban pelecehan? Bisa jadi karena mereka tidak siap katakan 'tidak', atau bersikap lebih berani untuk menjaga dirinya sendiri. Atau karena kebaikan telah terpupuk dengan baik, mereka biasa berbagi.
Usia kanak-kanak juga adalah usia kebebasan. Anak dibentuk konsep dirinya. Saya ini seperti apa ya, bukan seperti yang maunya papa. Biarkan anak menari, karena dalam Islam sendiri tidak ada larangan bagi anak-anak untuk menari. Biarkan rambutnya dikepang, dipakaikan bando dan pita-pita, toh jika kelak disampaikan kepadanya ajaran, ia sudah siap menerima. Biarkan anak bermain. Play yang bukan game. Saat play, mereka melakukan sesukanya, sedangkan game, mereka harus sudah ikut aturan. Dan itu akan membosankan.
Betul juga. Saya ingat, ada seorang siswa TK yang enggan ke sekolah, karena bosan. Ia lebih suka melakukan apapun sekehendaknya, tanpa aturan. Kalau di TK sudah banyak aturan, selayaknya TK dan PAUD itu diganti nama saja dengan Game Group, bukan play group. Bahwa usia ini, anak-anak tidak suka kalah. Mau main apa saja, maunya menang. Dan menangnya bukan dia seorang. Mereka akan senang, jika semuanya menang. Tidak ada yang kalah. Karena kalah artinya kesedihan.
Maka untuk membekali anak dengan perlindungan dirinya, bekalilah dengan individualitas. Bahwa setiap individu berbeda, ia bisa menerima perbedaan itu. Tidak ingin menjadi orang lain, dan menerima keadaan dirinya. Bisa tampil percaya diri, dan menunjukkan eksistensinya. Bila di satu sisi ia memiliki kekurangan, oh, ia masih punya sisi lain yang bisa diunjuk aksikan. Ia bisa bilang "Ini kan punya saya" pada hal-hal yang ia rasa miliki, dan harus dia jaga. Tapi ya, tidak keterusan. Nanti bisa egois juga. Batasnya adalah usia 7 tahun. Setelah itu, tentu si anak perlu dikenalkan dengan berbagi, dan berbagai kebaikan lainnya.
Seberapalah kita mampu menjaga anak-anak, jika mereka tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Dan, yang perlu kita sadari, kita akan terus menua, menjadi tua, dan mereka akan tumbuh menjadi dewasa. Bila individualitas itu tak tertanam baik pada dirinya, jadi pribadi yang lemahlah mereka. Menjadi remaja-remaja galau, labil, latah, mudah terpengaruh dan tidak percaya diri.