Mempelajari Perjuangan Politik Bung Hatta
Judul
buku : Berjuang dan Dibuang
Penulis : Mohammad Hatta
Editor : Mulyawan Karim
Penerbit
: Kompas
Tahun : Februari 2011
Peresensi
:
Miftahul Hidayati
Mohammad Hatta adalah seorang tokoh
proklamator Indonesia. Sebagai wakil presiden pertama Republik Indonesia,
namanya sering bergandeng dengan nama presiden, Soekarno. Hatta, juga dikenal
sebagai Bapak Koperasi Indonesia, karena pemikiran ekonomisnya sudah ada sejak
awal.
Otobiografi adalah riwayat hidup seorang tokoh
yang ditulis sendiri oleh subjeknya. Sebuah otobiografi tidak hanya bermanfaat
bagi penulis dan keluarganya saja, melainkan juga bermanfaat bangsanya. Melalui
otobiografi, pemikiran-pemikiran penulis, pengalaman hebat, catatan dan opini
penulis dapat disampaikannya tentang berbagai bidang. Demikian juga dengan
otobiografi Mohammad Hatta, yang banyak bercerita tentang perjalanan politik
dalam hidupnya.
Semenjak pendidikan doktoralnya
tahun 1929 di Belanda, Hatta sudah mempersiapkan diri untuk organisasi politik.
Semula ia bermaksud menempuh ujian doktoral di bidang ilmu ekonomi pada tahun 1925.
Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum
administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu karena minatnya yang besar di
bidang politik.
Berkaitan dengan politik dan pemikirannya, Hatta bercerita melalui tulisan-tulisan
yang dikirimnya ke media daulat Ra’jat, Pemandangan, dan Nationale
Commentaren.
“Politik di negeri jajahan terutama berarti pendidikan. Politik
mengenai pengertian biasa tidak dapat dijalankan, kalau raykat tidak mempunyai
keinsafan dan pengertian. Sebab itu, didikan harus jalan dahulu. Dan didikan
tidak akan sempurna, kalau ia tidak memaki asas yang terang” (hal. 27)
Demikian sepenggal tulisan Hatta
yang disiapkannya untuk Harian Daulat Ra’jat No. 37 tanggal 20 September 1932.
Melalui tulisan itu Hatta menyampaikan alasannya kenapa setelah ia kembali dari pendidikan di Belanda, ia langsung memilih bergabung
dengan Pendidikan Nasional Indonesia. Melalui tulisan-tulisan itulah Hatta dikenal sebagai seorang tokoh pemuda
yang berani.
Sikap kritis dan berani seperti Hatta ini berbeda dengan realitas pemuda (mahasiswa) Indonesia hari ini. Jika diamati, semenjak
meletusnya gerakan reformasi tahun 1998 lalu, pemuda Indonesia lebih memilih untuk menyatakan pemikirannya melalui aksi (demo) di lapangan dibandingkan melalui tulisan. Aksi lapangan itu, menurut
sebagian kalangan tak berarti apa-apa. Seperti anekdot yang berkembang, tulisan kadang lebih
tajam dari pedang. Pada aksi lapangan, tenaga dan massa terbuang percuma, ide
dan tuntutan kadang tak dihiraukan.
Bahkan beberapa waktu lalu, Indonesia dikenalkan dengan tokoh kritis mahasiswa Universitas Bung Karno.
Sondang Hutagalung. Sondang lebih memilih
aksi bakar diri untuk mengungkapkan berbagai keresahan politis yang bergejolak pada pikirannya.
Terlepas dari pro dan kontra sikap itu, satu yang pasti, bahwa beragam aksi selain menulis kritikan (tajam) lebih dipilih pemuda
hari ini. Tapi, Hatta membuktikan, bahwa pikiran dan idenya sampai ke berbagai
kalangan lewat tulisan masa itu.
Setelah sampai
di Indonesia, Hatta dan Soekarno yang tetap
saling menghargai, meskipun berbeda aliran politik, terus berjuang menyiapkan konsep kemerdekaan
Indonesia. Melalui
pertemuan dan diskusi dengan sejumlah tokoh penting, Hatta menyampaikan pikiran-pikirannya. Ia juga
mendirikan organisasi-organisasi kepemu-daan di daerah.
Selain berjuang, Hatta juga siap dibuang.
Seperti Soekarno, Haji Mochtar, Bondan dan Sutan Sjahrir ia pernah
ditangkap. Hatta sendiri juga pernah
diasingkan ke Digul, Papua, saat ia
ditawari oleh kepala pemerintahan di sana agar ia mau bekerja untuk kolonial
dengan upah 40 sen sehari. Namun Hatta menolaknya. Ia lebih memilih dibuang, lalu hidup dari honorarium menulisnya di surat kabar Pemandangan. Pasca
perang pasifik, yang banyak mengubah keadaan dan suasana di seluruh Hindia
Belanda, pada tahun 1942 Hatta dipindahkan ke Sukabumi.
Menarik. Meskipun Hatta bercerita
detail dalam buku otobiografinya ini, namun tetap saja
tidak membosankan. Bahasa tulis yang dengan cara bertutur ini menjadikan persoalan persiapan
kemerdekaan yang dibahas menjadi
ringan dan jelas. Bahkan pada beberapa cerita perjalanan, ia
bertutur terlalu polos. Sehingga pembaca merasa seakan tidak sedang ‘dekat’
dengan Sang Proklamator Indonesia. Seperti pada bagian cerita berikut, yang mengisahkan bahwa seorang Bung Hatta juga mengalami masa-masa
sulit menjelang
ujian.
“Tiap-tiap hari aku minum Tonikum untuk memperkuat badan dan
pikiran.”Akhirnya, semua buku itu dibaca juga. Dan benar, Hatta sama halnya
dengan pelajar/mahasiswa sekarang, pusing berhadapan dengan buku. “karena
itu, kuhentikan belajar. Tiap-tiap hari aku berjalan-jalan saja dengan meminum
Tonikum. Ini rupanya menolong sangat. Kira-kira dua hari sebelum ujian kucoba
membalik-balik buku pelajaran, dan segala yang kupelajari sejak empat bulan itu
banyak yang teringat kembali dalam otakku.”
Alur cerita dalam buku ini adalah runut
kejadian, sehingga memudahkan pembaca memahami peristiwa secara historis. Namun,
sedikit kekurangannya adalah kurangnya gambar dan foto kejadian yang bisa
menguatkan cerita perjalanan sang penulis. Buku ini pantas menjadi bacaan
pemuda, pelajar dan mahasiswa Indonesia ini. Jika ingin mempelajari perjuangang
politik Bung Hatta, maka buku ini layak menjadi solusi.
Referensi
Ray Mungo. 1999 Pedoman Menulis Otobiografi. Jakarta :
Pustaka Tangga.
Mohammad Hatta. 2011 Berjuang dan Dibuang. Jakarta: Kompas Media
Nusantara
Yunita T. Winarto, Tatok Suhardiyanto, Ezra M. Choesin. 2007 Karya tulis Ilmiah Sosial. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia
No comments:
Post a Comment