Salah satu mata
kuliah saya saat ini, adalah Masail Fiqhiyah. Saya lalu mendapat bagian
pembahasan makalah terkait pandangan fiqh klasik dan sistem perundang-undangan
Indonesia tentang kawin beda agama ini. Lebih khsususnya perkawinan antara
muslim dengan non muslim.
Setelah diskusi, saya
ingin menulis di sini dengan judul “bagaimana jika saya kawin dengan pasangan
beda agama?”, agar pembahasan ini menjadi sedikit sederhana.
Oke, mari kita
duduk-kan perkaranya satu per satu dulu.
- Beda agama dalam konteks ini, perlu dipahami terlebih dahulu. Dalam Alquran, term digunakan adalah:
- Musyrik; Dalilnya adalah al Baqarah ayat 221. Mengacu ke ayat ini, jelas pria dan wanita muslim haram hukumnya kawin dengan orang musyrik.
- Kafir; Dalam surat Al Mumtahanah ayat 10 disebutkan larangan kawin dengan orang kafir.
- Ahl kitab; Fiqh klasik berdasarkan surat Al Maidah ayat 51 disebutkan kebolehan kawinnya pria muslim dengan perempuan ahli kitab.
Ahl
kitab adalah umat yang memeluk agama yang telah diturunkan sebelum Al Quran.
Ahli kitab adalah Nasrani dan Yahudi.
Terdapat
perbedaan pendapat, apakah Nasrani dan Yahudi hari ini, tergolong
ahli kitab? Apakah keyakinan terhadap ‘tauhid’ masih bisa diukur dengan kitab
suci yang dijadikannya patokan sekarang? Apakah masih ada yang terjaga keimanannya, sebagaimana agama itu diturunkan dahulu? Baiklah, kita tak akan berlama-lama
dalam perdebatan siapa ahli kitab hari ini.
Kita
hanya akan bicarakan, ‘kalaupun, nasrani Indonesia hari ini adalah ahli kitab,
apa hukumnya pria muslim kawin dengan wanita Nasrani?’
- Dasar hukum Islam di Indonesia, salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam. Di dalam KHI dengan tegas disebutkan larangan menikahnya umat Islam dengan non Muslim.
Lalu,
apakah dengan begitu, KHI tidak sesuai dengan Al Quran? Kenapa KHI melarang,
sementara dalam fiqh klasik saja, boleh hukumnya pria muslim menikahi wanita
ahl kitab.
Yang
pertama, larangan kawin dalam KHI disebutkan dalam beberapa teks.
a.
“perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.”
b.
Pasal 40 point c, “dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.”
c. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
Ini
artinya, KHI benar-benar menutup peluang kawin dengan non muslim.
Jika
saya adalah seorang perempuan muslim, maka tak ada satu celah pun bagi saya
untuk menikah dengan/dinikahi oleh pria non muslim.
Jika
saya pria? Saya ingin menikah dengan seorang wanita baik-baik (muhshanat) dari
umat Nasrani (anggaplah ia ahl kitab). Bagaimana fiqh kontemporer memandangnya?
- Contoh kasus, dulu, ada kemungkinan kawinnya muslim dengan non muslim, melalui aturan ‘perkawinan campuran’, yang dianggap makna campuran itu, selain berbeda bangsa/kewarganegaraan, juga berbeda agama. Maka dengan alasan ini, ada yang berdalih untuk menikah beda agama.
Argumentasi
yang dipakai adalah, pasal 57 tentang perkawinan campuran, yang menitikberatkan
pada dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum berlainan. Artinya,
pasal ini juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama.
Jika
agamanya, Islam, hal ini lebih lanjut diatur dengan : Ditolaknya permohonan
kawin yang diajukan oleh pasangan beda agama (muslim dengan non muslim) di
Kantor Urusan Agama.
Sementara
pada pasal 10 Peraturan Pemerintah No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru
sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri dua orang
saksi.
“Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam,
dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.”
Maka, dengan teks ini, jika pasangan
beda agama yang salah satunya muslim, akan menikah, tak ada jalan selain salah
satunya mengikut untuk tunduk dinikahkan menurut ajaran salah satu agama.
Dari hal ini, dapat dilihat kualitas
keberagamaan pasangan tersebut. Islam melarang kawin dengan non muslim sesuai Al
quran surat Al baqarah 221. Sedangkan dalam ajaran Kristen juga ada larangan kawin
beda agama (II Korintus 6:
14-18).
Maka
pandangan fiqh kontemporer terhadap hal ini adalah:
1.
Kaidah fiqh
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
‘dar ul
mafaasid, muqaddamun ‘ala jalbil
mashaalih’
mencegah kerusakan lebih diutamakan
dari mencari kebaikan.
Tak dapat dipungkiri, kecendrungan setiap pemeluk agama, ingin berdakwah untuk agamanya masing-masing.
Dalam konteks pria muslim dengan wanita nasrani, kemungkinan dakwah memang ada.
Tapi tak ada jaminan bahwa benar yang didakwahi akan sampai hidayah
kepadanya. Sementara,
kemudharatan/kerusakan yang ditimbulkan oleh keputusan tersebut,
berefek/berdampak terhadap banyak hal.
Diantaranya adalah tujuan
menciptakan keluarga yang memberi ketenangan (sakinah) sulit terwujud dalam
rumah tangga yang memiliki tingkat perbedaan yang tinggi.
Apakah lagi, perbedaan keyakinan. Dampak psikologis dan pendidikan yang akan
dialami anak ke depannya, faktor sosial lingkungan keluarga, dll, adalah kerusakan-kerusakan yang mungkin
ditimbulkan.
Maka sesuai kaidah ushul ini, lebih
diutamakan mencegah kerusakan daripada mencari satu kebaikan saja.
Hal ini sejalan dengan Fatwa MUI
tanggal 1 Juni 1980, yang mengharamkan kawin beda agama. “setelah
mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, MUI
memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram”.
2.
Dalam Islam, ada namanya maqaashid syariah. Dalam
konteks nikah beda agama, dengan dikhawatirkannya kerusakan agama ini,
bertentangan dengan prinsip maqaashid syariah, yaitu Menjaga Agama.
3. Saad azzariah, sebagai
salah satu metode istinbath hukum dalam Islam, dengan menutup jalan yang
berpotensi menimbulkan kemudharatan. Hal ini dianggap sebagai tindakan
preventif dalam menjaga Islam, dan diri ummat dari berbagai kemungkinan
kemudharatan yang ada.
Maka, jika saya adalah penganut yang
taat pada agama saya, (dalam hal ini, Islam), tentu saya akan mempertimbangkan
segala kajian fiqh kontemporer ini. Saya tak mampu memikirkan dengan nalar
pribadi, memahami maksud ayat dengan penafsiran sendiri, atau menduga-duga,
‘kenapa ayat menjadi kontradiktif dalam penetapan hukum, di sini dibolehkan, di
ayat lain justru dilarang’.
Dan, sekalipun ada juga yang kemudian
menikah beda agama, baik dengan tunduk pada salah satu agama, --walaupun untuk
sementara--, atau, dilakukan juga menurut dengan agama masing-masing, atau
menikah di luar negeri, atau.. atau lainnya, maka jelas sudah.. telah tertutupnya pandangan keislaman –hati dan nalar- saya. Dan mengutamakan ‘sesuatu
yang tak berarti lebih abadi’ itu.
No comments:
Post a Comment