Suatu malam di pertengahan Ramadhan ini, saya
dan kawan-kawan Suara Kampus terlibat pembicaraan hangat seputar ijab dan qabul
dalam pernikahan. Diantara yang hadir, ada yang berpendapat bahwa lafaz ijab
qabul di negeri ini, -sebagiannya- perlu ditinjau ulang, ia juga sampaikan lafaz
ijab yang sah menurutnya, yang lain bahkan ada yang berpendapat, tidak ada
lafaz ijab qabul yang sah.
Para fuqaha sepakat bahwa boleh menggunakan
kata zawwajtuka, juga boleh ankahtuka, yang meskipun secara
detail berbeda, namun keduanya menunjukkan makna kawin/nikah. Sedangkan
perbedaan pendapat para pakar fiqih itu pada pembolehan menggunakan kata lain,
seperti saya sedekahkan, saya milikkan, dan sebagainya. Pembolehan itu terdapat
pada golongan Hanafi, Tsauri, dan Abu Daud. Mereka beralasan bahwa, ijab yang
utama adalah niatnya, dan tidak disyaratkan menggunakan kata-kata khusus.
Menurut kelompok ini, bahkan segala lafaz yang dianggap cocok asalkan maknannya
secara hukum dapat dimengerti, maka hukum ijab qabul itu sah.
Saya lalu tertarik untuk menuliskan hal
berkaitan tema tersebut, di blog ini.
Ijab qabul merupakan syarat nikah yang telah menjadi ketetapan
dalam Islam. Ijab secara bahasa merupakan keharusan/kewajiban, adapula
diartikan dengan penetapan. Ijab juga dipahami sebagai pemberian
tawaran. Sementara kata Qabul secara makna disepadankan dengan ridha dan muwaafaqah,
yaitu perelaan, penerimaan dan persetujuan.
Rukun pokok dalam pernikahan adalah ridhanya
laki-laki dan perempuan, serta setuju untuk mengikat hidup dalam hubungan
berkeluarga. Keridhaan –yang bersifat kejiawaan- tersebut perlu diperjelas
lagi, yakni melalui lafaz ijab dan qabul.
Pada pelaksanaannya, ijab yaitu pernyataan tentang kemauan untuk
membentuk hubungan suami-istri, sedangkan qabul yaitu pernyataan pihak yang
secara ridha menerima dan menyetujui tawaran tersebut.
Lafas yang digunakan dalam ijab dan qabul
tentunya adalah bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Orang Arab
tentu akan menggunakan bahasanya dalam melakukan ijab qabul. Orang Indonesia
juga dibolehkan menggunakan bahasa indonesia dalam ijab dan qabul. Dengan
demikian, orang Indonesia yang memahami bahasa arab, tentu saja dibolehkan
menggunakan bahasa tersebut, selama kedua belah pihak yang berakad, sama-sama
memahami maksud dari lafaz yang diucapkannya.
Muslim Indonesia, yang mayoritas bermazhab
Syafii, lebih memilih menggunakan lafas zawwajtuka dan ankahtuka.
Sementara pada mazhab Hanafi, jika kata dalam ijab qabul dapat diganti dengan
kiasan, maka hukumnya tetap sah. Sama halnya dengan sahnya kiasan dalam
menyatakan cerai. Juga ijab qabul orang bisu yang dibolehkan dengan isyarat,
yang sama-sama dapat dimengerti.
Terlepas dari persoalan, mengerti bahasa arab
dan kewajiban mengucapkan ijab oleh orang yang paham bahasa arab –dengan bahasa
arab-, tulisan ini, hanya ditujukan untuk membantah pendapat akad menjadi tidak
perlu, kalau akad nikah kebanyakan itu menjadi tidak sah.
Kenapa tidak sah? Ada yang berpendapat, pada
alquran surat Annisa ayat 3 digunakan kata fankihuu yang merupakan fiil
amar yang ditujukan kepada laki-laki. Laki-laki yang mengawini perempuan,
sedangkan wali adalah pihak perempuan.
Sementara lafaz ijab qabul di indonesia ada
yang menggunakan, “aku nikahkan engkau dengan anak kandungku...dst” yang
diucapkan oleh wali. Sehingga, dipahami bahwa yang dinikahkan wali (pihak
perempuan) adalah laki-laki dengan anaknya. Kesalahan struktur kata ini, dalam
bahasa indonesia menyebabkan perbedaan makna. Lafaz lainnya, “aku nikahkan
... anak kandungku, dengan engkau...dst”, ini lebih sesuai dengan pemahaman
bahasa indonesia.
Dan, agama Allah itu mudah dan tidak untuk
dimudah-mudahkan. Yang pokok dalam
pernikahan/ijab qabul itu adalah kerelaan. Bahasa/lafaz yang diucapkan dalam
ijab qabul itu adalah perlambangnya. Sama dengan akad lain, seperti jual beli
misalnya, selama ada kerelaan, akad dapat dipahami, boleh jadi sah, tapi tentu
harus mengikut pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Mari rujuk
kembali, peraturan-peraturan itu, Kawan. :)
No comments:
Post a Comment