Komentar buku : Singgah (antologi cerpen)
Penulis : Jia Effendie, dkk
“Karena hidup
adalah persinggahan.”
Kalimat yang
tertera di halaman awal buku dengan judul Singgah ini, menarik perhatian saya
untuk terus membalik ke daftar isi. Mencoba mengira-ngira, di judul manakah
terletaknya quote tersebut. Karena, buku ini merupakan kumpulan cerita
bertemakan tempat-tempat persinggahan yang ada. Baik stasiun kereta, terminal,
bandara, pelabuhan atau dermaga.
Di tempat-tempat
itu, banyak terukir kenangan, tercipta harapan. Sedih maupun senang. Orang-orang
datang dan pergi silih berganti. Disanalah tempat persinggahan, perhentian dan
keberangkatan.
Beberapa cerita
berkisah tentang imajinasi. Lainnya tentu seperti kisah nyata. Seakan ada, atau
pernah dirasakan banyak kita. Di antara kisah-kisah itu, yang berkesan bagi
saya adalah tulisan Anggun Prameswari, dengan judul Rumah Untuk Pulang.
Latar cerita
Rumah Untuk Pulang, adalah stasiun kereta. Seorang perempuan muda, senantiasa
duduk di peron stasiun, memikirkan kemana ia harus pulang. Arum namanya. Perempuan
yang terjebak dalam rasa bersalah, yang terus menghantui. Rumah, tempat
kebahagiaan dicipta bersama ibu dan ayahnya, bukan lagi menjadi tempat pulang.
Karena ia terlalu bersalah untuk kembali.
Rumah, tempat
ia, suami dan anak-anaknya berada, bagi Arum bukanlah tempat untuk pulang. Ia
terus diliputi rasa bersalah dan menyesal pada masa lalu. Ia ingin memutar
waktu. Menemukan dirinya, sebagaimana anak/gadis berkehidupan saat itu.
Meskipun
disisipi bagian-bagian imajinasi, namun cerita ini sarat makna. Bagaimana
pikiran bisa membentuk perilaku seseorang. Terjebak dengan penyesalan dan
pikiran-pikiran sendiri, membuatnya merasakan rumah dan tempat tinggal tak
pernah sama. Bisa saja, raganya kembali dan menetap di satu tempat. Tapi
pikiran dan harapannya menerawang, mencari-cari tempat yang nyaman dan aman.
Saya pernah
bertemu orang serupa itu. Lelaki, yang saat ini mungkin sudah berusia separuh
baya. Lelaki itu, setiap pagi menjelang, selalu berbenah. Ia berjalan dari
kampungnya ke kota. Sekedar entah mencari apa. Lalu, kira-kira dua jam
berikutnya ia kembali pulang. Kira-kira waktu dhuha.
Ia tidak
terlihat seperti seseorang yang sedang disibukkan mencari sesuatu. Bukan.
Melainkan, ia adalah seorang yang melakukan rutinitas perjalanan pagi. Dengan
rapi, mengenakan sarung ia berjalan. Sesekali ia juga menyandang tas.
Menurut
informasi yang didapat, lelaki itu terganggu dengan pikiran masa lalu. Ia lalu
berjalan sangan jauh. Dari ibukota proinsi lain, ke kampungnya. Masalahnya
adalah, ia tak cukup berani sampaikan penolakan yang diberikan kakaknya, atas
permintaannya. Ia hanya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dan,
terkendala biaya.
Ia hanya tak
bisa menerima keadaan tersebut. Terus menerus terjebak dengan pikiran dan
harapannya. Begitu juga dengan Arum. Menjebak dirinya dengan pikiran dan
harapan imajainasinya. Dan, mungkin juga banyak di antara kita saat ini yang hampir-hampir
juga terjebak dengan harapan-harapan dan mimpi yang belum tercapai. Atau tak
bisa keluar dari rasa bersalah yang
terus menghantui.
Hidup benarlah
sebuah persinggahan. Kalau bahasa Komaruddin Hidayat, Hidup adalah perjalanan.
Tak ada yang menetap, dan kita tak akan menetap.
Secara umum,
buku ini menarik. Kisah-kisah tentang kenangan dan rindu dikumpul jadi satu
buku, oleh sebelas orang penulis. Ke sebelas cerita itu, diawali dengan cerita horor Jia Effendie, "Jantung". Lalu, Dermaga Semesta, tulisan Taufan Gio. Alvin Agastia Zirtaf, menulis cerpen dengan judul Menunggu Dini. Moksha, karya Yuska Vonita. Kemenangan Apuk, oleh Bernard Batubara. Dian Harigelita dengan cerpennya Semanis Gendhis. Rumah Untuk Pulang. Memancing Bintang karya Aditia Yudis. Para Hantu dan Jejak-jejak di Atas Pasir, Koper, Persinggahan Janin di Pelabuhan Cerita, dan Pertemuan di Dermaga.
Dermaga, tempat
orang-orang menunggu yang datang, menjemput yang pergi.
Terminal, tempat
dimana pertemuan dan perpisahan harus terjadi.
Stasiun,
sayangnya bersedia memberi ruang untuk terus menanti, menanti. Meski yang
ditunggu entah akan kembali atau tak akan pernah lagi.
Dan, bandara
bisa menjadi tempat pertemuan tak terduga.
* Jadi, "Karena hidup
adalah persinggahan.”ada di halaman berapa.
No comments:
Post a Comment