Melihat
dan mendengar berbagai kabar buruk terkait anak seringkali membuat hati kita
miris. Di antara anak-anak itu, adalah mereka yang mengalami kekerasan verbal, kekerasan
fisik, maupun kekerasan mental. Yang lebih memilukan lagi, adalah mereka yang
menjadi korban pelecehan seksual. Setiap hari, media kita tak luput memberitakan
hal itu.
Ironisnya
pelaku kekerasan terhadap anak, biasanya adalah orang yang memiliki hubungan
dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya. Itu
artinya, perlakuan buruk yang diterima si anak, terjadi di lingkungan
kesehariannya berada. Di rumah, di lingkungan keluarga, di sekolah, di tempat
belajar lainnya, dan di perjalanan menuju semua aktivitasnya itu.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1,“Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.” Di antara rentang usia tersebut, yang paling kecil ruang lingkupnya
adalah anak pada usia 1-7 tahun. Mereka rata-rata baru berada di lingkungan
keluarga, atau tempat penitipan anak, atau di tempat pendidikan anak usia dini
(PAUD).
Sebagai masyarakat, kita memang
wajib peduli kepada anak yang berada di mana saja lingkungannya. Karena semua anak adalah anak kita. Anak merupakan
titipan masa depan. Dan, kita semua bertanggung jawab memberi rasa aman dan
perlindungan demi masa depannya.
Sekalipun,
pada kenyataannya, masih ditemukan kesulitan dalam pembinaan anak yang
mengalami perlakuan buruk di lingkungan keluarga, oleh orang tua atau keluarga
intinya sendiri. Sebagiannya akan enggan melaporkan, karena menganggap itu adalah
aib keluarga. Tidak perlu diperluas, dan keluarga akan menyelesaikan dengan
caranya sendiri.
Hal
seperti inilah yang membuat proses hukum oleh pihak kepolisian menjadi lebih
sulit. Lembaga-lembaga sosial peduli anak pun akan kesulitan karena informasi yang
diberikan tidak maksimal. Atau bahkan ada yang ditutup-tutupi. Jika memang
demikian, siapapun tentu tak banyak bisa berbuat. Kecuali, masyarakat setempat
peduli, pemerintah lingkup terkecil daerah itu juga pro aktif menangani jika
terjadi sesuatu. Kita hanya khawatir, ketidak amanan di lingkup keluarga itu,
merembes dan memberi dampak yang lebih luas kepada masyarakat lainnya.
Lain
halnya dengan perlakuan buruk anak yang diterima di lingkungan PAUD atau tempat
penitipan anak. Tidak sedikit berita tentang kelalaian pengasuh di tempat
penitipan anak dan bayi, yang berefek merugikan anak, membahayakan anak, dan
mengorbankan anak.
Misalnya
bayi yang tiba-tiba di rumahnya diketahui sudah ada bagian melepuh di jari
kakinya. Seperti tersiram air panas. Ketika si ibu mengonfirmasi ke pihak TPA,
semua berkilah, kalau itu tidak terjadi di tempat mereka. Atau, yang baru-baru
ini saya dengar. Salah satu bayi di TPA “X”, ditemukan kejang, meninggal di
tempat. Didapati ibunya, bayi di ruangan khusus bayi itu, tersungkur, jatuh dari
ayunan, yang bayi itu ditinggal sendirian. Belum lagi, hal-hal yang merugikan
lainnya seperti anak-anak yang digigit ulat, bayi-bayi dan anak-anak yang
mendapat penyakit ‘seragam’ sepulangnya dari tempat itu. Menyedihkan.
Benar,
bila semua itu bukanlah keinginan siapapun. Tapi kelalaian yang terjadi
tersebab siapapun, tentu harus diantisipasi. Salah satunya adalah dengan adanya
standar kelayakan bagi pihak pengelola tempat penitipan anak di mana saja
adanya. PAUD/ tempat penitipan anak yang terstandar pun perlu dilakukan
pembinaan berkala dan pengawasan oleh pemerintah. Perlu juga adanya sanksi yang
jelas terhadap kelalaian tersebut. Berapa persen di antara pengelola dan
bunda-bunda pengasuh PAUD itu, yang telah tersertifikasi untuk profesinya, atau
telah lolos uji kompetensi, pengetahuan dan skil dalam pengasuhan anak. Apakah
sudah dipublis? Bagaimana seorang ibu akan merasa aman menitipkan bayi dan
anaknya?
Semuanya
seperti upaya saling berkait dalam mewujudkan kesejahteraan sosial kita. Untuk
membentuk bangsa yang kuat, perlu dipersiapkan generasi-generasi yang kuat
pula. Generasi yang kuat memang bermula dari keluarga, tapi lingkungan kita jelas
berperan pula dalam perlindungan dan penjagaan tumbuh kembang si anak.
Orang
tua dan keluarga adalah pihak yang bertanggung jawab penuh untuk anak-anaknya. Mungkin
hal inilah yang menjadi alasan bagi mereka yang memilih menjadi pendidik full
di rumahnya, bagi anak-anaknya (saja). Ini jelas lebih baik.
Namun
kita tidak bisa menafikan kondisi sosial setiap orang yang berbeda satu dan
lainnya. Pada keadaan ibu-ibu yang bekerja, tentu butuh orang lain. Menyikapi
hal ini, pemerintah melalui kementrian PPPA telah berupaya dengan menganjurkan
adanya ruang laktasi di setiap SKPD. Bahkan tahun 2014 lalu, mentri PAN-RB juga
meminta setiap instansi pemerintah memiliki tempat penitipan anak.
Data di
sebuah kota menyebutkan, PNS perempuan berjumlah 1523 orang dari 2490
pegawainya. Jelas lebih banyak perempuan. Kita lihat pula di sekolah-sekolah,
semakin nampak perbandingan lebih banyaknya perempuan dibanding laki-laki.
Di BUMN
atau swasta pun hendaknya diperlakukan sama. Perlu ada yang memberi pengawasan
ketersediaan ruang laktasi, atau tempat penitipan anak untuk kesejahteraan
karyawan perempuannya. Ber(t)apa banyak perempuan yang hari ini bekerja dan
menghabiskan hari dan waktunya di bank, misalnya. Apakah kita akan tutup
mata untuk semua kebutuhan itu.
Karena
kita tidak bisa menutup peran perempuan di ruang publik, maka kita butuh
kepedulian bersama untuk menselaraskan hak dan kewajiban yang diterimanya. Ketika
bicara tentang anak, kita juga akan bicara tentang perempuan.
Pada
mereka –para perempuan kepala keluarga- yang harus bekerja menaflkahi
anak-anaknya, pengasuhan layaknya keluarga normal akan jauh dari sempurna. Atau
anak yang hidup di tengah keluarga yang tidak harmonis, korban perceraian orang
tua. Anak-anak yang bahkan ditelantarkan orang tuanya, dan diasuh di
panti-panti asuhan. Anak-anak yang tertakdir hidup dalam kondisi itu, jelas
tetap memiliki hak yang sama dengan anak lainnya.
Akhirnya,
semua kita harus peduli pada generasi masa depan yang hanya 20% dari populasi
manusia hari ini. Mereka adalah 100% kehidupan hari esok. Anak dan bayi dalam
lingkungan tempat penitipan anak ini, harus dijaga bersama, diawasi
pengasuhannya, dikontrol pengelolaannya, disiapkan sanksi kelalaian yang
diterimanya dari pengelola itu. Oleh kita semua. Semua unsur masyarakat,
lembaga-lembaga perlindungan anak dan pemerintah mesti bersinergi untuk itu. Ya,
kita, siapa lagi?
No comments:
Post a Comment