21.4.12

Membicarakan IMMawati Bersama Sembilan IMMawan



Bukittinggi—Pertengahan April lalu saya diminta Immawan Boy Fitra untuk menyampaikan materi Keimmawatian di sebuah pengkaderan kepemimpinan mahasiswa tingkat dasar di Bukittinggi. Semula, saya merasa tak pas memberi materi lagi. Karena saya sudah cukup lama tak berada di dalam organisasi, tak mengetahui dinamika dan pergolakannya lagi. Kedua, jika saja tak berbicara perempuan, saya akan menolaknya. Rasanya, ini bukan bidang dan ‘hobi’ saya lagi. 

Saat itu, dalam pikiran saya, pesertanya tak akan kurang dari 20 orang. Tentu saja, persentase terbesarnya adalah peserta perempuan. Ternyata, hanya ada sembilan orang peserta. Awalnya sepuluh; delapan orang laki-laki dan dua lainnya perempuan. Satu orang perempuan itu akhirnya mengundurkan diri tanpa sepengetahuan panitia. Informasi terakhir menyebutkan bahwa ia dilarang teman dekat laki-lakinya untuk mengikuti acara tersebut. Halaah! Saya geleng-geleng kepala mendengar cerita ini.

Bersama mereka,  mahasiswa fakultas Hukum salah satu universitas swasta di Bukittinggi, maka jadilah pembicaraan tentang perempuan sore itu berlangsung hangat sampai ke menit ke seratus. Ya, akhirnya diskusi yang dimulai pukul 16.50 tersebut berakhir saat magrib.

Baiklah. Meskipun kita sedikit,  delapan dari sembilan orang diantara kita pun adalah laki-laki, kita tetap akan bicara tentang Immawati. Ibarat mempergunjingkan diri sendiri,  ujar saya mengawali. Mereka tertawa.  
Kita tidak sedang menyalahkan dan menyudutkan IMM dengan kondisi tersebut. Tapi perlu menjadi catatan bersama, dan barangkali pertanyaan mendasar untuk kita. Kenapa IMM tak menjadi organisasi inti dan favorit di rumahnya sendiri? Sempat hanya mengkader 9 orang saja? Mana yang lainnya? Atau kita memang belum mampu bersaing dengan tetangga sebelah untuk bisa memberikan ‘pesona intelektual’ pada mahasiswa secara umum. Untuk kita renungkan, seperti kata Bung Ebit G Ade.

Saya kemudian memberikan beberapa kata kunci dalam diskusi. Immawati, Perempuan, Gender, Feminis, Emansipasi, Kodrati, dan kepemimpinan. Untuk tiga kata pertama, mereka bisa menjelaskan dengan ringkas. Ya, tentu saja, immawati adalah sapaan untuk anggota perempuan dalam IMM. Perempuan, semua juga tau makhluk berjenis kelamin ini. Saya lalu tekankan pada peserta yang menyebutkan jenis kelamin itu dengan kata wanita, agar menggantinya dengan perempuan. Sayangnya tak ada yang bertanya kenapa saya buat aturan semacam itu. (Nb;Mahasiswa kita masih belum kritis, atau terlalu plegmatis?)

Pembicaraan tentang beberapa kata seterusnya menjadikan diskusi kian hangat. Saya bercerita tentang kelompok feminis yang mulai ada pada organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan sebagainya. Tentang pendapat dan tuntutan yang digemborkan kaum feminis.Sempat pula saya menyinggung tentang contoh gerakan feminis kelas dunia. Baik yang terkait Islam maupun tidak. Sayangnya, mereka hanya merespon dengan kesimpulan bahwa feminis yang saya maksud adalah feminine (kelembutan, keperempuanan). Perempuan yang feminine artinya mereka yang tidak berlagak ke laki-lakian atau tomboy, jelas salah seorang peserta. (Aiihh..sesederhana itukah? Saya kembali tergelak dibuatnya)

Kata kunci selanjutnya, adalah emansipasi dan kodrati. Saya balik bertanya pada mereka, apa yang menjadi tugas dan kewajiban seorang perempuan? Silakan berdalil aqli/rasional, dan lebih baik lagi jika ada yang berdalil naqli/teoritis dari sumber/pedoman umat islam; Alquran dan hadis.

Disebutkan Salam, salah seorang peserta bahwa area kerja perempuan yang biasa itu adalah  di rumahnya , di sumur, dapur dan kasur. Kalau sudah mampu (menyelesaikan kerja rumahan dengan baik) baru bisa bergabung dengan dunia luar. Seorang peserta lainnya (masih laki-laki) menyebutkan bahwa perempuan di Indonesia sudah disamakan haknya untuk bekerja seperti laki-laki. Bagi saya, cukuplah mereka memiliki gambaran sendiri tentang area kerja perempuan ini. Percuma berbicara panjang lebar, memberi motivasi dan sebagainya, toh mereka tetaplah laki-laki.

Terakhir saya meminta mereka memberikan argument tentang realita perempuan Indonesia hari ini. Sebelumnya saya gambarkan tentang over career perempuan dalam dunia kerja, tentang perempuan-perempuan hebat bidang keilmuan dan bisnis, tentang kepemimpinan kaum hawa ini dalam bidang social politik.

Nah, disini baru mulai bergolak. Mereka menilai, perempuan mesti berada di bawah kepemimpinan laki-laki. Bukankah ayat sudah katakan, ar rijaalu qawwaamu alan nisa’?  JIka perempuan menjadi pemimpin, ia akan melalaikan tugasnya sebagai pengurus di tiga area (domestic) tadi. Demikian pendapat peserta.
Baik. Kita bahas yang pertama. Kata-kata Qawwaam dalam ayat tersebut memang diterjemahkan sebagai ‘pemimpin’.  Namun pendapat mufasir berbeda beda menyebutkan area pimpin laki-laki terhadap perempuan tersebut. Okelah, saya juga sepakat jika yang dimaksud ayat itu adalah dalam kehidupan rumah tangga. Saya mutlak sepakat. Tapi tentu tidak demikian dengan urusan sosial dan lainnya bukan?

Kita tak perlu bicara panjang lebar untuk urusan ini, demikian saya sampaikan. Jika dulu Kartini –yang disebut-sebut sebagai founding feminis Indonesia-, menyuarakan persamaan hak dan kesetaraan gender, setidaknya perempuan saat itu telah menguasai area domestiknya. Mereka telah mengerjakan tugas pokok sebagai anak gadis, istri dan ibu bagi keluarga mereka. Ranah kecil yang sudah menjadi prioritas.

Di sini kiranya kita, Immawati dan aktivis perempuan yang masih rasional (waras) perlu menetapkan nilai beda dari yang lain. Kita perlu menetapkan prioritas dengan tetap mengutamakan keluarga.
Perempuan jangan salah konsep. Isu penyetaraan gender, persamaan hak, dan lain sebagainya secara manusiawi sudah diatur oleh undang-undang. Bukankah secara umum, perempuan Indonesia sudah dianggap dan diamankan?  Pun secara hak dan kebebasan juga sudah terlampau. Berkarir dan berkarya, hanya urusan kemampuan dan kemauan. Jika ranah domestic sudah kokoh, tak ada salahnya berperan serta untuk kebaikan yang lebih luas.

Kita tak sedang memikirkan sejarah, tapi kita telah mulai menggoreskan pena, lalu menjadikannya sejarah kelak suatu hari. Kita tentu tak ingin generasi setelah kita akan bobrok dikarenakan pendidikan yang mereka peroleh tak sebaik yang kita dapatkan hari ini. Karena hulu dari pendidikan itu adalah keluarga. Sedangkan pancang-pancang yang mengokohkan keluarga itu ada di tangan ibu (perempuan). Inilah barangkali kenapa baiknya perempuan suatu negeri menjadi cerminan baiknya negeri itu secara general.

 Dan pembicaraan pun berakhir seiring dengan berkumandangnya azan magrib. :)

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...