Dont judge the book by its cover, kalimat tersebut sudah biasa
kita dengar atau baca kan?
Nah,
tulisan saya ini bukan bercerita tentang buku, tapi tentang pengamen.
Persamaannya adalah, kesimpulan agar kita tidak kita menilai seorang pengamen
dari penampilannya saja. Dengar dulu suara dan lagunya, baru tutup mata, atau
pura-pura tidur, pura-pura sibuk nelpon, atau sms-an, atau..atau..lainnya. Jika
Anda terhibur apalagi terkesima dengan penampilannya, sisihkanlah barang
seberapa rupiah untuk harga suara dan kocokan gitarnya untuk Anda.
#edisi-membela-pengamen! :D
**
Baru
kali ini saya mendengar seorang pengamen bus menyanyikan nasyid (makna umum,
lagu islami). Maksudnya, bukan lagu-lagu pop indonesia biasa, dari grup band
umum. Kali ini dari grup nasyid yang menurut saya tidak dikenal banyak orang
(kalangan umum). Wah, susah menggambarkan sesuatu untuk menghindari
bahasa-bahasa khusus ya! :D
Sederhananya,
saya menyimak lagu islami -yang tidak populer di kalangan umum- itu dari
pengamen yang gaul secara penampilan. Pengamen itu adalah seorang lelaki
penyandang gitar.. (terinspirasi : Gadis penjual korek api). J
Biasa
saja penampilannya. Memakai celana jins kucol lagi belel, kantong di sana-sini,
kedodoran. Atasannya kaos oblong berwarna merah. Walaupun saya suka kaos warna
merah, tapi sungguh yang dipakai pengamen itu sangat tidak menarik bagi saya.
Karena warna merah darahnya itu menakutkan, apalagi ada gambar entah wajah siapa
di bagian depan. Entah tokoh –pemberontakan- apa, saya tak kenal.
Saya
kemudian tak memperhatikan bagian wajah si pengamen, karena ia sudah memulai
aksinya. Gejreng-gejreng..-Selamat siang bapak ibu sodara sodari penumpang
bus XX jurusan xx.. ; prolog-.
Yang
jelas, ia memakai topi pet. Ya, biasalah. Sama seperti gaya anak muda lainnya. *eh!*
“Ia ibarat kaca yang berdebu...”
ia memulai.
Dug!
Saya terkejut. Lalu, mematut-matut pengamen itu lagi.
“Masak sih, pengamen segini “keren”, mau-maunya laguin nasyid itu?
Tau darimana juga?” Saya membatin. *Lha, saya apa pula? Heran-heran begitu! Suka-suka
pengamen dunk!
“Ia ibarat kaca yang berdebu/jangan terlalu
keras membersihkannya/Karena ia mudah retak dan pecah/”
Waw!
Keren! Hebat pula mungkin ya, kalau pengamen ini diberikan pendidikan mengamen
ya. Wah, tentunya pendidikan itu akan berguna sekali buat para pengamen. Bisa
dilihat keprofesionalannya dalam mengamen. Nanti, bisa-bisa pengamen ini juga disertifikasi. Pengamen yang
tersertifikasi adalah yang jam mengamennya sesuai standar. Atau, jumlah peminat
yang mendengarkan ia mengamen sesuai standar. Pelayanan primanya sesuai
standar. Dan standar-standar lainnya. *ngawur!*
“Dia ibarat kaca yang berdebu/jangan
terlalu lembut membersihkannya/nanti ia mudah keruh dan ternoda/”
Bukankah
begitu lebih baik, daripada asal-asalan. Setiap pekerjaan jika dilakukan secara
profesional; bekerja se-terbaik mungkin, tentu akan menjadikan kita berbeda
dengan yang lainnya. Beda inilah nilai jualnya Bung!
Mengamen
ibaratnya berdagang, kan tidak cuma : saya jual anda beli, tapi lebih dari itu.
Melihat kebutuhan pasar. Kesesuaian barang dengan harga yang ditawarkan. Jika
barang berkualitas, pembeli pun tak segan membeli dengan harga standarnya. Anda
butuh apa? Saya jual dengan harga segini. Anda jadi beli? Kalau tidak, tak apa.
Saya bisa jual pada yang lain. –tawar-menawar-. Berdagang, tak sekedar untung rugi. Tapi juga
mengerti peluang dan kebutuhan pasar.
“Ia bagai permata keindahan/Sentuhlah hatinya
dengan kelembutan/Ia sehalus sutera di awan/Jagalah hatinya dengan kesabaran.”
Begitu
juga dengan mengamen. Tidak sekedar nyanyi-nyanyi. Imej pengamen yang sudah
begitu hendaknya dikembalikan. Kembali menjadi : Pengamen adalah kerja/profesi
menghibur orang lain dengan membawakan sebuah lagu. Sederhananya ia adalah
pemusik jalanan.
Bukan
sekedar sandang gitar, asal gejreng-gejreng, lirik atau syair lagunya pun
sangat jauh dari yang namanya menghibur. Mana sebagiannya juga tak ‘menghibur’
dari segi penampilan. Okelah, kalau rapi dan wangi. Yang menyebalkan sekali
adalah bau tak sedap itu. Waduhh!
Bagi
penonton/pendengar, mau dibayar enggan, tak dibayar juga susah. Karena di
penutup kata-katanya, di pengujung penampilannya, tak sedikit pula pengamen
yang ‘mengutuk’ mereka yang tidak memberi sedikit uangnya. Huh.
Saya
lanjutkan mendengar Lelaki penyandang gitar...
“/Lemah
lembutlah kepadanya? Namun jangan terlalu memanjakannya/Tegurlah bila ia
tersalah/Tapi janganlah lukai hatinya/”
Satu
lagi, mengamen sebetulnya bisa juga berdakwah. Coba setiap pengamen bisa
menyampaikan beberapa hadis tentang adab ini – itu. Dengan catatan, ya, dia
sendiri juga lebih dulu beradab. Bisa ingatkan tentang kepedulian sosial. Kan
bermanfaat. Orang tak akan pura-pura tidur, atau bermuka masam padanya.
Hm..satu
lagi..(kedua), saya hanya menyarankan, kalau-kalau ada pengamen yang baca blog
saya ini. Masing-masing kita diberi kelebihan oleh Sang Pencipta. Nah, jika kelebihan
kita adalah suara yang merdu, indah dan menyenangkan, tak masalah jika menjadi
pengamen. Namun seandainya kelebihan itu bukanlah pada suara, mungkin pada otot
kawat tulang besi, dan tenaga sakti
mandraguna *lebay*, ada baiknya kita menyalurkan kelebihan tersebut untuk
profesi lain. Bertukang misalnya. Mengangkat di pasar misalnya. Dan profesi
lain yang memanfaatkan kekuatan.
Kalaupun
akan tetap menjadi pengamen, jadilah pengamen yang berbeda. Seperti pengamen
yang saya ceritakan di awal misalnya. Jadilah pengamen yang penuh sopan santun,
bersih, rapi, wangi, lagu-lagunya pun bermakna. Kan keren! Setidaknya, dengan
itu orang masih mendengarkan walau tak terhibur secara utuh. Dan, jika nanti
ada sertifikasi pengamen, mana tau itulah kriterianya.
“Bersabarlah menghadapinya/terimalah ia
dengan keikhlasan/karena ia kaca yang berdebu/semoga kau temukan dirinya/bercahayakan
iman/”
Saya
pun mengeluarkan selembar uang kertas untuk pengamen itu. Lelaki penyandang
gitar. Karena merasa terhibur dengan dendangan nasyid Kaca Yang Berdebu –
Maidany di siang yang terik itu. Ikhlas. *dan, akhirnya saya tidak menerima
kutukan pengamen*
^_*
No comments:
Post a Comment