20.10.12

Dari PNS, Partai ke Marah Istri




Siang itu, saya pulang menumpang sebuah minibus jurusan Padang-Payakumbuh. Duduk di sese –kata orang- pula. Bersebelahan dengan saya seorang bapak kira-kira di atas 50 tahun usianya. Tubuhnya sedikit besar, tidak terlalu tinggi, dari wajahnya terlihat agak ramah. Ramahnya itu terbukti ketika ia langsung menggeser duduknya, mempersilakan saya duduk dengan nyaman. Lalu menyapa. 

Dima dinas Buk?”[1]

Saya lalu menjawab biasa. Sedikit basa basi. Maklumlah, di kampung kami masih berlaku tradisi basa basi untuk silaturahim seperti itu.

Siang itu pembicaraan kami, -lebih tepatnya- cerita si Bapak bermula. Dari PNS sampai ke marah istrinya. Saya dengan khidmat kemudian mendengarkan. Tak berminat banyak komentar. Bisa benar apa yang disampaikannya, boleh jadi juga jauh panggang dari api. Ota-ota lapau[2] saja kata orang.

Si Bapak tak segan, terus antusias berbagi argumen dengan saya. Walau hanya dibalas “o” atau “iya”, dan kata singkat lainnya, tampaknya khafilah tetap berlalu, cerita terus berlanjut.

“Owh. Berarti sudah SK ya?”

“Sudah pak.”

“owh, ya, baguslah.”

“Saya heran, anak muda jaman sekarang, apalah yang dimimpikannya. Terus menerus berharap pada PNS. Padahal, apalah yang bisa diharapkan,” ia melanjutkan.

“Kalau dihitung-hitung, beribu orang hendak ikut dalam tes CPNS itu. Sarjana-sarjana kita ini, ikut pula. Nah, yang akan diterimanya, berapalah. Sedikit sekali. Berapa kali berapa itu peluangnya.”

“Apalagi nanti, sekitar 2018, mana ada tes PNS lagi. Paling juga orang-orang honor itulah yang diangkat.”

“Hmm.” Saya tersenyum simpul.

Masa sih? Kayaknya ga deh. Trus kalau begitu, pensiunan mau digantikan siapa? Formasi-formasi baru dalam aparatur negara mau diisi siapa? Ah, sotoy juga nih Bapak.

“Saya ya, ada anak muda di kampung saya. Sarjana-sarjana itulah, saya sampaikan kepada mereka. ‘Kalian, kalau mau berharap pada tes PNS, kapan mau jadi orang. Kita itu hebat bukan karena enaknya kerja. Tapi pengalaman dan susah payah itu yang menjadikan kita hebat. Pemerintah itu, hanya ndak mau saja bilang ke rakyat, kalau tak cukup anggaran untuk menggaji orang lebih banyak lagi. Nah, gaji itu kan dari pajak, dari retribusi, dari rakyat. Kan susah nanti pemerintah.” Si Bapak menjelaskan.

“Pemerintah itu berharap pada sarjana agar membuka lapangan pekerjaan baru, bukan malah hanya jadi pekerja, pekerja, pekerja.”

“Saya sarankan mereka agar ikut dalam partai politik Buk. Kan, 2014 tidak lama lagi. Coba dihitung-hitung Buk, setidaknya satu partai itu harus ada 14 orang sarjana. Tapi banyak yang tidak termakan kaji saya ini oleh mereka. Haha.”

“Coba Buk! Sebenarnya tidak sulit. Kalau satu partai itu butuh 14 orang sarjana, suara yang perlu dicari masing-masingnya anggaplah 150 suara. Nanti dalam partai, alihkanlah suara yang lain pada suara terbanyak dalam partai itu. Sudah dapat itu dua kursi. Mudah kan?”

“Nanti, kalau sudah pasti, sudah bekerja, kan bisa itu pinjam uang. Pinjamlah 150 juta. Kembalikan lagi ‘bantuan’ kawan-kawan separtai tadi. Kita kan ndak mengantar uang ke rumah-rumah. Ndak ada sogokan. Hanya kepercayaan. Kalau sudah begitu, tidak mungkinlah kalau ia seorang tokoh berpengaruh di kampungnya, tak bisa kumpulkan 150 suara.”

“Lain halnya kalau beda daerah. Dia orang Payakumbuh, men-calon pula di Bukittinggi, jauh itu. Iyalah nanti tak dapat suara.”

“Saya Buk, memang baru dua bulan ini di partai. Tapi saya terus menyemangati anak muda agar masuk bergabung di partai. Kapan lagi? Siapa lagi yang akan jadi wakil rakyat? Syaratnya juga tak sulit-sulit. Sudah 21 tahun. Setidaknya tamat SMA. Bisa itu. Ah, saya saja yang tamat SMA ini berani. Kenapa sarjana-sarjana kita ini tak berani. Padahal kan sekolah atau kuliah itu ya, untuk mengembangkan pikiran kan. Kalau pintar itu sudah dasar, pikiran itu yang dibangun di kuliahan. Nah, soal sosial ini kurangnya. Banyak sarjana kita tak bisa terjun langsung dengan ilmunya ke masyarakat. Tidak aktif sosial. Kurang peduli. Apa jadinya nanti, oi, pintar-pintar sajalah sendiri. Tak ada pula pedulinya pada negeri.”

“Ada benarlah S2, kadang tiba di masyarakat itu kesulitannya Buk.”

“Ada juga, sudah susah-susah disekolahkan orang tuanya, bukan lapangan kerja yang dibuatnya, beternak ayam saja kerjanya di rumah. Apalah itu. Kalau akan beternak ayam juga, kenapa akan tinggi-tinggi sekolah. Baguslah tamat SMA langsung beternak. Toh, kalau sekedar menyuntik dan memvaksin ayam tak perlu ijazah S1 kan. Haha.”

            “Oh..iya..ya”

“Istri saya juga guru loh Buk.” Si Bapak mengalihkan tema.

            “O, iya pak?”

“Iya. Guru SD tapi. Dia terus-terusan jadi guru di kelas satu. Hahaha.”

“Heran pula. Tampaknya berbeda cara kalau jadi guru kelas satu ini dengan guru kelas lain. Kalau guru kelas satu, mereka mengajar lebih, bagaimana ya, istilahnya. Agak parabo/pemarah di rumah. Ya, kadang-kadang suami yang jadi korban.”

“Saya sering kanai Buk. Kadang, ya laki-laki ini, lelah pulang bekerja, ingin pula berkumpul dengan teman-teman di lapau. Tapi ya, itu tadi. Istri saya marah. Hahaha.”

“Kadang, kata teman saya, ‘Ha. Baa. Lah Megawati pulo kini tu nan di ateh?’ –hahaha.”

“Dia ada ditawarkan jadi kepala sekolah. Tapi saya sarankan, berapalah tambahannya kalau jadi kepala sekolah. Apa sudah siap, jika nanti lebih banyak masalahnya. Prestasi sekolah yang akan dipikirkan. Kerja lembur, pulang sore. Belum lagi urusan guru-guru yang bermacam itu. Nah, tekanan-tekanan itu sajalah, tidak sebanding dengan uang ganti lelah pikiran tadi. Nanti, ujung-ujungnya, marabo saja kerjanya. Suami pula sasarannya. Hahaha.”

“Itulah Buk, susah juga ya. Mau PNS, mau anggota dewan. Susah. Hehe.”

            “hmm. “ Tersenyum.

Saya lalu pamit, turun duluan. Berterima kasih.

Tentu saja saya harus berterima kasih pada Bapak itu. Persepsi saya jadi lebih terbuka tentang profesi dan pekerjaan, khususnya perempuan. Sebagian apa yang disampaikannya jelas jadi pelajaran, sedang sebagian lain, mari dibuang saja. Kadang persepsi salah itu muncul dari orang yang tak mengerti ‘lebih’ baik. :)






[1] Dimana dinas/kerja
[2] Cerita di kedai (ringan)

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...