Siang
itu, saya pulang menumpang sebuah minibus jurusan Padang-Payakumbuh. Duduk di sese
–kata orang- pula. Bersebelahan dengan saya seorang bapak kira-kira di atas
50 tahun usianya. Tubuhnya sedikit besar, tidak terlalu tinggi, dari wajahnya
terlihat agak ramah. Ramahnya itu terbukti ketika ia langsung menggeser
duduknya, mempersilakan saya duduk dengan nyaman. Lalu menyapa.
“Dima
dinas Buk?”[1]
Saya
lalu menjawab biasa. Sedikit basa basi. Maklumlah, di kampung kami masih berlaku
tradisi basa basi untuk silaturahim seperti itu.
Siang
itu pembicaraan kami, -lebih tepatnya- cerita si Bapak bermula. Dari PNS sampai
ke marah istrinya. Saya dengan khidmat kemudian mendengarkan. Tak berminat
banyak komentar. Bisa benar apa yang disampaikannya, boleh jadi juga jauh
panggang dari api. Ota-ota lapau[2]
saja kata orang.
Si
Bapak tak segan, terus antusias berbagi argumen dengan saya. Walau hanya
dibalas “o” atau “iya”, dan kata singkat lainnya, tampaknya khafilah tetap
berlalu, cerita terus berlanjut.
“Owh.
Berarti sudah SK ya?”
“Sudah
pak.”
“owh,
ya, baguslah.”
“Saya
heran, anak muda jaman sekarang, apalah yang dimimpikannya. Terus menerus
berharap pada PNS. Padahal, apalah yang bisa diharapkan,” ia melanjutkan.
“Kalau
dihitung-hitung, beribu orang hendak ikut dalam tes CPNS itu. Sarjana-sarjana
kita ini, ikut pula. Nah, yang akan diterimanya, berapalah. Sedikit sekali.
Berapa kali berapa itu peluangnya.”
“Apalagi
nanti, sekitar 2018, mana ada tes PNS lagi. Paling juga orang-orang honor itulah
yang diangkat.”
“Hmm.”
Saya tersenyum simpul.
Masa sih? Kayaknya ga deh. Trus kalau begitu,
pensiunan mau digantikan siapa? Formasi-formasi baru dalam aparatur negara mau
diisi siapa? Ah, sotoy juga nih Bapak.
“Saya
ya, ada anak muda di kampung saya. Sarjana-sarjana itulah, saya sampaikan
kepada mereka. ‘Kalian, kalau mau berharap pada tes PNS, kapan mau jadi orang. Kita
itu hebat bukan karena enaknya kerja. Tapi pengalaman dan susah payah itu yang
menjadikan kita hebat. Pemerintah itu, hanya ndak mau saja bilang ke
rakyat, kalau tak cukup anggaran untuk menggaji orang lebih banyak lagi. Nah,
gaji itu kan dari pajak, dari retribusi, dari rakyat. Kan susah
nanti pemerintah.” Si Bapak menjelaskan.
“Pemerintah
itu berharap pada sarjana agar membuka lapangan pekerjaan baru, bukan malah
hanya jadi pekerja, pekerja, pekerja.”
“Saya
sarankan mereka agar ikut dalam partai politik Buk. Kan, 2014 tidak lama
lagi. Coba dihitung-hitung Buk, setidaknya satu partai itu harus ada 14 orang
sarjana. Tapi banyak yang tidak termakan kaji saya ini oleh mereka.
Haha.”
“Coba
Buk! Sebenarnya tidak sulit. Kalau satu partai itu butuh 14 orang sarjana,
suara yang perlu dicari masing-masingnya anggaplah 150 suara. Nanti dalam
partai, alihkanlah suara yang lain pada suara terbanyak dalam partai itu. Sudah
dapat itu dua kursi. Mudah kan?”
“Nanti,
kalau sudah pasti, sudah bekerja, kan bisa itu pinjam uang. Pinjamlah
150 juta. Kembalikan lagi ‘bantuan’ kawan-kawan separtai tadi. Kita kan
ndak mengantar uang ke rumah-rumah. Ndak ada sogokan. Hanya kepercayaan.
Kalau sudah begitu, tidak mungkinlah kalau ia seorang tokoh berpengaruh di
kampungnya, tak bisa kumpulkan 150 suara.”
“Lain
halnya kalau beda daerah. Dia orang Payakumbuh, men-calon pula di
Bukittinggi, jauh itu. Iyalah nanti tak dapat suara.”
“Saya
Buk, memang baru dua bulan ini di partai. Tapi saya terus menyemangati anak
muda agar masuk bergabung di partai. Kapan lagi? Siapa lagi yang akan jadi
wakil rakyat? Syaratnya juga tak sulit-sulit. Sudah 21 tahun. Setidaknya tamat
SMA. Bisa itu. Ah, saya saja yang tamat SMA ini berani. Kenapa sarjana-sarjana
kita ini tak berani. Padahal kan sekolah atau kuliah itu ya, untuk
mengembangkan pikiran kan. Kalau pintar itu sudah dasar, pikiran itu
yang dibangun di kuliahan. Nah, soal sosial ini kurangnya. Banyak sarjana kita
tak bisa terjun langsung dengan ilmunya ke masyarakat. Tidak aktif sosial.
Kurang peduli. Apa jadinya nanti, oi, pintar-pintar sajalah sendiri. Tak
ada pula pedulinya pada negeri.”
“Ada
benarlah S2, kadang tiba di masyarakat itu kesulitannya Buk.”
“Ada
juga, sudah susah-susah disekolahkan orang tuanya, bukan lapangan kerja yang
dibuatnya, beternak ayam saja kerjanya di rumah. Apalah itu. Kalau akan
beternak ayam juga, kenapa akan tinggi-tinggi sekolah. Baguslah tamat SMA langsung
beternak. Toh, kalau sekedar menyuntik dan memvaksin ayam tak perlu
ijazah S1 kan. Haha.”
“Oh..iya..ya”
“Istri
saya juga guru loh Buk.” Si Bapak mengalihkan tema.
“O, iya pak?”
“Iya.
Guru SD tapi. Dia terus-terusan jadi guru di kelas satu. Hahaha.”
“Heran
pula. Tampaknya berbeda cara kalau jadi guru kelas satu ini dengan guru kelas
lain. Kalau guru kelas satu, mereka mengajar lebih, bagaimana ya, istilahnya.
Agak parabo/pemarah di rumah. Ya, kadang-kadang suami yang jadi korban.”
“Saya
sering kanai Buk. Kadang, ya laki-laki ini, lelah pulang bekerja, ingin
pula berkumpul dengan teman-teman di lapau. Tapi ya, itu tadi. Istri
saya marah. Hahaha.”
“Kadang,
kata teman saya, ‘Ha. Baa. Lah Megawati pulo
kini tu nan di ateh?’ –hahaha.”
“Dia
ada ditawarkan jadi kepala sekolah. Tapi saya sarankan, berapalah tambahannya
kalau jadi kepala sekolah. Apa sudah siap, jika nanti lebih banyak masalahnya.
Prestasi sekolah yang akan dipikirkan. Kerja lembur, pulang sore. Belum lagi
urusan guru-guru yang bermacam itu. Nah, tekanan-tekanan itu sajalah, tidak
sebanding dengan uang ganti lelah pikiran tadi. Nanti, ujung-ujungnya, marabo
saja kerjanya. Suami pula sasarannya. Hahaha.”
“Itulah
Buk, susah juga ya. Mau PNS, mau anggota dewan. Susah. Hehe.”
“hmm. “ Tersenyum.
Saya
lalu pamit, turun duluan. Berterima kasih.
Tentu
saja saya harus berterima kasih pada Bapak itu. Persepsi saya jadi lebih
terbuka tentang profesi dan pekerjaan, khususnya perempuan. Sebagian apa yang
disampaikannya jelas jadi pelajaran, sedang sebagian lain, mari dibuang saja.
Kadang persepsi salah itu muncul dari orang yang tak mengerti ‘lebih’ baik. :)