26.4.09

Hmh...

Aq lupa, menggagai langit tangan tak sampai
mengakar ke bumi diri tak kuat
duhai angin yang berhembus mengitari, hembuskan sesal jauh dariku
asaq telah penat, cita telah rapuh olehnya
tiupkan hawa sejukmu, tinggalkan saja gerahnya di sahara
ku tak harap gersang itu

jangan aniaya dengan kulum senyummu,
jua gaung hebat menaramu
pupus

Duhai diri, dengan apalagi aq mengukurmu
aq lupa!
menggagai langit tangan tak sampai
hingga kembali kesadaranku
aq sudah seribu wajah
ketika tersadar akan sekitarku,
meski satu kepingan masih tersisa
tuk menatap diri dan asa esok hari.

24.4.09

Cinta untuk Rigel

Rigel, izinkan aku bicara cinta. Cinta, entah kosa kata yang diperkosa. Kukira, biruku dan birumu Rigel, pun kan berada dalam fatamorgana. Rigel, bagiku cinta bukan budi, bukan kesetiaan disisi, atau pandangan semu. Ah, aku masih belum bisa definisikan kata itu.
Dan Vega yang senantiasa menyisakan putih untukku, ya, putih pelambang kesucian kata orang, yang kan temani aku hingga jingga menerpa senja. Biarkan Capella redup kekuningannya. Bagai pelita yang terang dan tulus sinariku. Temani malamku yang kian sunyi. Menginspirasi. Betelgusa, merah yang kian membara. Andaikan Sirius tetap bersama, putih yang kebiruan. Tentu akan kuajak mengitari taman Azure.

Hey, kata legenda, taman langit itu ada bidadari. Tapi ku tau itu hayalan! Egois memang jika aku mengata AKU. Atau Actrurus merah jingga yang berpadu. Indahnya senja. Pilunya hati ketika mentari pergi kelam menjelang. Denganmu disisi memadu kaki langit dan batas pandang.

Yakinku, cinta untuk Rigel. Menantimu yang padukanku biru, dari diri yang menyepi, semakin jauh, birumu semakin cantik.

Purnama

Purnama cantik terang mengukir emas di cincin diri
Malam sunyi hanya ada bebisik jengkrik
ingin memeluk diri yang sendiri
mencari-cari kehangatan yang masih menjala di nadi
Sesaat beku.
Purnama kini tertutup awan
Cincinnya kian pudar
Perlahan menghilang,
Lalu, pucat diterpa mentari

coretan

Kidung diri yang mendung
Hari belum petang
Namun alam sudah kelam
Aku ada diantaranya
Yang menanti satu yang pasti
Bersamaku ada nama
Ada cinta
Ada cerita
Tentang masa lalu
Yang mengajarkan hari ini
Tentang asa yang menggebu, cita esok hari
ku rela lilin ini padam bukan karena angin
Atau sebagainya
Tapi karena tiupan sudah didekatkan-Nya
Tuhan, meski lilin tak lagi jadi pelita
Sisakan bagiku nama, cinta dan cerita
Petunjuk dari petunjukmu

20.4.09

Bukan Salah Kartini: Antara Emansipasi dan Kemerosotan Akhlak

Sejarah Indonesia telah mengukir nama Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh penggagas pergerakan perempuan Indonesia pertama yang berjuang untuk mempertinggi kedudukan social. Emansipasi perempuan digaungkannya melalui tuntutan kesetaraan hak untuk memperoleh pendidikan dengan kaum laki-laki. Tidak lain emansipasi ini muncul sebagai respon terhadap ketidakadilan budaya dan adat yang memposisikan perempuan sebagai korban hak kemanusiaan dalam perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Sebutlah kawin paksa, kekuasaan dan kepemimpinan mutlak lelaki dalam rumah tangga, ‘gadis pingitan’ yang baru menganjak waktu dewasa dan lain sebagainya. Inilah barangkali yang dianggap Kartini disebabkan karena kurangnya pendidikan perempuan.

Setelah bibit awal emansipasi perempuan disemai Kartini, maka bermunculan pula pergerakan perempuan lainnya. Meskipun sebelumnya memang telah ada sederetan nama yang menjadi Srikandi dalam legenda perjuangan rakyat Indonesia. Cut Nya Dien telah lebih dulu bergerak dengan raganya di Tanah Rencong, ada Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus serta banyak lagi Kartini-Kartini lainnya yang barangkali belum sempat terekam sejarah.

Namun perempuan mulai dalam kesatuan organisasi, pergerakan yang tidak lagi sendiri-sendiri baru ada pada tahun 1912 di Jakarta dengan berdirinya perkumpulan “Putri Madika” yang memang terlahir melalui campur tangan Budi Utomo –organisasi yang didominasi laki-laki-, dimana yang menjadi perhatiannya adalah kemajuan pengajaran anak-anak perempuan. Berikutnya, perkumpulan “Keutamaan Istri” yaitu rumah sekolah untuk perempuan, lainnya Sekolah Kartini (1913) di Jakarta dan disusul di berbagai kota, dan lain sebagainya.

Pergerakan dan perhatian terhadap perempuan tidak semata bermunculan dari perempuan. Piet H. Khaidir (laki-laki) dalam bukunya Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial menyebutkan, di Indonesia, terjadinya pelecehan perempuan dikarenakan tradisi melestarikan asumsi bahwa perempuan secara konservatif adalah di bawah laki-laki dalam akses komunikasi maupun pendidikan. Sehingga tidak terpikirkan bagaimana perempuan mendapatklan kelayakan pendidikan dan bebas dari kekerasan serta pelecehan yang sejajar dengan lelaki.

Barangkali argument Piet H. Khaidir tidak lagi mutlak dibenarkan jika kita bicara dalam konteks kekinian. Jika dalam aliran filsafat dikenal adanya aliran dualisme, maka perempuan termasuk objek di dalamnya. Perempuan berada pada dua sisi mata uang. Sisi pergerakan emansipasi, dimana perempuan telah mendapat tempat di dunia politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Tentunya berbeda dengan emansipasi Kartini yang hanya berbicara pada ranah domestic, bagaimana perempuan memiliki skill wajib semacam menjahit, baca-tulis, membatik dan lain sebgainya.

Ditambah lagi ekslusifisme emansipasi Kartini, dalam artian ketika itu emansipasi hanya menjadi ‘garapan’ kalangan tertentu (elit dan bangsawan Jawa) tidak merata dan mencakup berbagai ranah. Kedua, perempuan -disadari atau tidak- terjebak eksploitasi hak-haknya sebagai manusia. Dipertontonkan, dipekerjakan bahkan jauh dari pemeliharaan harga diri dan martabat perempuan timur yang berbudaya.

Di belahan dunia lain pada saat berdekatan dengan emansipasi Kartini juga tengah terjadi bentuk emansipasi perempuan. Pasca revolusi industry di Inggris (1760-1830 M) tanpa disengaja telah terjadi penghancuran akhlak dan tradisi perempuan Inggris saat itu. Perempuan yang bekerja sebagai buruh, mendapatkan hak yang tidak sama dengan laki-laki, mereka menuntut kesetaraan upah. Diupayakan sedemikian rupa dengan berbagai aliran feminism. Akibatnya, perempuan semakin banyak berkecimpung dalam dunia perburuhan. Kesalahan emansipasikah ini?

Ada dua hal menurut Muhammad Quthub yang menjadi akibat emansipasi tersebut, diantaranya longgarnya tali ikatan kekeluargaan yang tadinya dipegang oleh wanita. Sikap dasar femininnya sudah jauh berubah, juga kelembutan sentimentilnya yang dinilai merupakan satu eksistensi hidup perempuan. Kedua, rusaknya akhlak.
Dua sisi mata uang kepribadian perempuan yang terlahir dari bentuk emansipasi yang menurut rakyat Indonesia disuarakan perdana oleh RA Kartini. Adalah suatu konsekuensi dari aksi emansipasi tersebut.

Maka kesalahan Kartinikah jika perempuan hari ini begitu mengagungkan kemolekan dirinya sebagai wujud eksistensi? “Andakah Miss … itu?” atau, “Jika Anda berpenampilan menarik…” dan lain sebagainya, yang kebanyakan hanya sebatas kompetisi semu. Jika pemudi Indonesia disibukkan dengan cita-cita semu tersebut, kapan lagi waktunya memikirkan anak bangsa ini. Layaknya Kartini, 24 tahun jatahnya telah mampu menjalin pertemanan dan ‘diskusi pena’ dengan perempuan belahan Eropa sana, lalu mengukir nama sebagai emansipator.

Memang berbicara Kartini sama halnya membicarakan perempuan secara umum, yang tidak akan pernah tuntas sampai akhir masa. Namun, jika bukan perempuan itu sendiri siapa lagi yang akan membangunkannya dari lamunan panjang itu. Yang penting bukan salahnya Kartini memancing kemunculan emansipasi hingga apa yang terjadi hari ini tentang akhlak perempuan.

Kartini dan Kepentingan Masa

25 tahun agaknya jatah yang disediakan Allah untuk seorang pemikir dan pemerhati nasib perempuan Indonesia, RA Kartini belumlah cukup. Hanya dengan usia yang terbilang singkat itu, ia mampu mengukir prasasti sejarah dengan pena yang tajam, menggoreskan kesetaraan pendidikan kaum adam dan hawa di nusantara. Kepentingan perempuan Indonesia yang disuarakan oleh seorang gadis muda. Kalau saja jatah itu ditambah satu kali lipat lagi, maka tentu bisa kita bayangkan perubahan apa yang akan terjadi di negara ini atau bahkan sebaliknya, ‘perubahan’ macam apa yang yang akan menjangkiti perempuan Indonesia setelah masanya?

Mengawali pergerakannya, Kartini berkirim surat dengan sahabat-sahabatnya yang ada di Belanda. Pemikiran-pemikiran, gagasan dan idenya mengalir lewat surat-surat tersebut. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia katanya.

Berjawab, respon dan saran pun sampai kepada Kartini hingga akhirnya menetaslah “Door Duisternis tot Licht” Habis Gelap terbitlah Terang karangannya yang menurut penerjemah lainnya lebih tepat diterjemahkan menjadi ’minazh zhulumati ilan nur’ yakni menurut Ahmad Mansur Suryanegara, yang seorang Kartini kemudian populer sebagai awal kebangkitan perempuan Indonesia. Kali ini adalah kepentingan dakwah.
Kepopuleran seorang Kartini muda adalah tuntutan gender dalam pendidikan. Kalau sebelumnya perempuan adalah korban ketidakadilan dan penindasan terutama dalam tataran social, maka perempuan juga berhak mengecap pendidikan layaknya laki-laki, karena menurut Kartini berbagai kerugian yang dialami perempuan itu disebabkan kurangnya pengajaran dan pendidikan. Demi kepentingan perempuan.

Namun, beberapa hal yang diduga menjadi korban pengkaburan sejarah dari kisah ini adalah pertama, sosok Kartini merupakan seorang anak bangsawan Jawa yang turut prihatin dengan kondisi rakyat saat itu. Maka ia tidak pantas disebut pahlawan nasional. Kepentingan politis. Kedua, Kartini sangat akrab dengan ajaran Kristen dan ajaran ketuhanan lainnya sehingga tidak patut usahanya disebut dengan dakwah. Nilai-nilai ajaran agama pun disifatinya secara plural dalam artian mengakui adanya satu tuhan tapi membenarkan ajaran-ajaran yang terdapat pada berbagai agama sahabat-sahabatnya. Kartini dianggap tidak memeluk Islam secara utuh. Kepentingan religius.

Adanya berbagai kontroversi persepsi tentang Kartini dan keyakinannya (Sinkritisme, kristen, islam dan komunis), menggambarkan bahwa Kartini menyapa berbagai kelompok melalui lisan penanya. Semuanya disimpulkan dari versi kepentingan penerjemahan surat-surat yang dikirim Kartini ke berbagai sahabat penanya di Belanda.

''Segenap perempuan bumiputra diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidakhanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya''. (Surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)

''Ibu sangat gembira... beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!''.(Suratnya kepada Ny. van Kol tanggal 20 Agustus 1902.)

Siapapun itu yang berkepentingan dengan surat-surat Kartini, yang penting Kartini senantiasa menjadi pembicaraan Indonesia. Kartini dinilai adalah milik bersama, Islam, kejawen, Kristen dan sebagainya. Terlepas pula dari segala kontroversi, pantaskah Kartini disebut pahlawan, Kartini tidak konsisten dengan ajaran agama, Kartini ‘anak’ Budha dan lain sebagainya, yang utama adalah, Kartini mampu memberi warna perubahan status social perempuan Indonesia melalui tulisannya, qalamnya.

Bukankah sejalan dengan Al quran? Perempuan Indonesia tetap berhutang ‘doa’ untuk Kartini, agar dirinya tidak menjadi korban kepentingan kelompok lagi, tapi kepentingan masa, dimana hingga saat ini apa yang disampaikan melalui surat-surat Kartini masih relevan dengan konteks kekinian. Semoga Kartini senantiasa manjadi pelecut semangat juang perempuan.

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...