31.10.16

Resep Kue Bolu Koja

Kali ini saya mau share resep Kue Bolu Koja khas Rang Agam, khususnya dari daerah Koto Gadang. Berhubung ini resep turun temurun, maka takaran dan langkah yang dilakukan juga se-adanya, tanpa saya modifikasi. *demi menjaga orisinalitas.. Hehehe.

Siapkan dulu bahan - bahannya, sbb:

Bahan-bahan
santan 4 gelas (ukuran standar)
1/2  kg gula
1/2 kg tepung terigu
2 butir telur
2 sdm margarin/ mentega, lelehkan
daun pandan
essen pandan
1 sdt garam

Cara :
1. Potong cincang dan blender daun pandan, tambah sedikit air. Ambil sarinya.
2. Campurkan sari pandan dengan santan, jadikan 4 gelas saja.
3. Kocok telur, -tanpa menggunakan mixer- diamkan
4. Siapkan di wadah lain, campuran gula, tepung (yang sudah diayak), dan garam
5. Sirami bahan tepung tadi dengan campuran santan+ pandan. (*bahan tepung yang disiramkan santan ya, bukan sebaliknya. Tujuannya agar tepung tidak menggumpal.) Aduk rata. Tambahkan essen (pewarna pandan, sedikit saja)
6. Tambahkan mentega yang sudah dilelehkan. Tambahkan telur. Aduk.
7. Pindahkan ke loyang yang sudah diolesi mentega. Panggang. 

Kue Bolu Koja Versi saya, tanpa kulit

* Jika mau buat lapisan kulit lebih tebal dan renyah, tambahkan sedikit tepung pada loyang
** Kalo saya, memanggangnya ga pakai oven. Yang praktis saja, pakai hakashima. Trus waktunya disesuaikan saja.. sampai lidi buat nge-cek kematangan udah ga basah, ya udah, matang berarti. hihi
Ini kue favorit saya. Dari dulu, taunya ini namanya Kue Bolu Koja, Khas dari Koto Gadang. Eh tapi kemudian malah jadi oleh-oleh dari kampung tetanggaa... kok bisa ya. Hehee.

25.10.16

Si Aku Siswaku (3)

Ini adalah bagian terakhir cerita 'Si Aku Siswaku', sepertinya. Di sini saya tak lagi dengan rasa yang bercampur aduk, mimpi dan harapan untuk membina, upaya-upaya mengajaknya sekolah lagi.

Sehari sebelum Selasa, minggu ini, si Aku tiba-tiba datang ke sekolah. Ia menemui kami, dan menyampaikan kebutuhannya, Rapor. Buku Laporan semester dan mid semester itu ia butuhkan untuk mendaftar di sekolahnya yang baru.

Saya lalu menyiapkan apa yang dimintanya. Meski ia terlihat gugup, sedikit khawatir, dan menjaga kata-kata yang terucap, tapi ada sesuatu yang sedang ia tahan-tahan. Semoga tak terucap, mungkin begitu.

Dari siswa lain, tetangganya, dan seorang guru yang masih di lingkungan rumahnya, saya dengar kabar, bahwa ia telah bersekolah di tempat yang baru. Itu adalah pilihannya. Sedikit kecewa tentu saja. Saya seperti tengah dikhianati. Masih ingat rasanya, bagaimana si nenek bercerita. Masih terbayang pula bagaimana "mendewasakannya' lewat pertemuan-pertemuan. Juga upaya menemuinya ke rumah, yang tak berujung pertemuan. Ya sudah. Sampai di sini rupanya.

Si Aku telah memilih, dengan begitu ia tetap memikirkan masa depannya. Syukurlah. Meski bukan di sini. Dan, bukankah tak hanya di sini ia akan sukses. Barangkali proses ini menjadikannya momen untuk berubah lebih baik. Meskipun, harus berkorban uang lebih.

Satu lagi kabar yang membahagiakan. Ayahnya yang tak kunjung bersua, setelah 17 tahun itu, kini bersedia membiayainya sekolah. Entah di kota lain, entah masih di sini. Informasinya masih belum pasti. Kabar ini langsung saya dengan darinya. Bukan dari tetangga. Tentu ini lebih valid ya.

Mari fokus pada yang dua puluh dua lainnya, bukan pada satu yang telah meninggalkan.
Selamat pada pilihannya, siswaku. Sampai jumpa pada sesi berikutnya kehidupan ini. Semoga telah lebih baik.

16.10.16

Efek Sebuah Diskusi

Keresahan seorang kawan dalam sebuah diskusi suatu kali, membuat saya penasaran dan membaca lebih tentang tema-tema ekonomi, politik, dan hubungannya dengan persoalan pemerintahan hari-hari ini. 

Dari kawan lain saya diberi link ke sebuah blog.. Pustaka Pohon Bodhi.
  http://pohonbodhi.blogspot.co.id/

Apakah semua yang tercantum di sana hanyalah teori konspirasi, atau tidak. Merujuk ekonomi kapitalis atau apa. Menyimpulkan peran negara menjadi korporatisme atau ko***isme. Entahlah. Membaca jelas, lebih baik. Masing-masing kita berhak atas kesimpulan pribadi. 

Ini saya copy, salah satu tulisan dari blog tersebut..

Hasil Akhir

Hasil dari kredit-sebagai-uang dan gabungannya dengan sistem fractional reserve banking memastikan terjadinya kemiskinan di sebuah populasi.

Tak ada ilmuan / genius manapun yang bisa mengingkari hukum matematika. Filosofi berpikir positif, bertindak positif, dan positif-positif lain apapun juga takkan bisa membatalkan hasil matematika ini.

Setiap tahun, sedikit demi sedikit jumlah orang miskin bertambah, sedikit demi sedikit masalah yang harus diambilalih pemerintah pun ikut bertambah.

Pemerintah berada di tengah-tengah antara rakyat dan masalah yang ingin diselesaikan.

"Rakyat ------ Pemerintah -------- Masalah"

Untuk menyelesaikan masalah, rakyat "membayar" pemerintah (dalam bentuk pajak). Semakin banyak masalah yang harus diselesaikan, semakin banyak pajak yang harus "dibayar" rakyat.

Di negara manapun juga, akan tiba suatu waktu di mana rakyat yang terus membayar akan kelelahan...

Dari seorang kapitalis yang bekerja mencari nafkah dan membayar pajak...
berubah mentalnya menjadi "jadi pegawai pemerintah saja," bekerja setelah meminta pajak...

Pemerintah, yang awalnya eksis sebagai sebuah institusi sederhana untuk melayani rakyat, perlahan-lahan menjadi kambing hitam dan "tukang cuci piring" atas masalah ekonomi dan sosial yang terjadi.

Semakin banyak masalah, semakin besar skala pemerintah.. sampai suatu saat...

Pemerintah berubah sepenuhnya sebagai parasit, sebagai penodong rakyatnya sendiri. Rakyat eksis untuk membayar pajak, itulah yang terjadi.

Perusahaan yang tersisa, yang sekarang menjadi tulang punggung negara tersebut, menjadi kelompok "pemberi makan" satu-satunya. Pegawai perusahaan tergantung pada mereka... Pajak untuk membiayai pemerintahan pun tergantung pada mereka...

Hasil akhir cuma ada 2:
1. Perusahaan / korporasi mengambil alih negara (KORPORATISME). Perusahaan akan menyusupkan orang-orangnya ke pemerintahan, keseluruhan peraturan dan keputusan pemerintah adalah untuk membela kepentingan kelompoknya...

atau....

2. Negara mengambil alih semua perusahaan tersisa (KOMUNISME). Negara menolak untuk "meminta makan" kepada pengusaha, dan memutuskan agar Negara = Pengusaha itu sendiri.

Tidak ada ilmuan / genius manapun yang bisa membatalkan hasil akhir ini. Tidak ada.
Usaha terbaik yang mungkin dilakukan hanyalah menunda hasil akhir...

Tanpa mereformasi sistem penciptaan uang, tanpa pelarangan terhadap fractional reserve banking, tak ada usaha perbaikan kesejahteraan rakyat apapun yang perlu dibicarakan. Semuanya sia-sia belaka.

15.10.16

Anak Usia Dini Hari Ini



 Melihat dan mendengar berbagai kabar buruk terkait anak seringkali membuat hati kita miris. Di antara anak-anak itu, adalah mereka yang mengalami kekerasan verbal, kekerasan fisik, maupun kekerasan mental. Yang lebih memilukan lagi, adalah mereka yang menjadi korban pelecehan seksual. Setiap hari, media kita tak luput memberitakan hal itu. 

Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak, biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya. Itu artinya, perlakuan buruk yang diterima si anak, terjadi di lingkungan kesehariannya berada. Di rumah, di lingkungan keluarga, di sekolah, di tempat belajar lainnya, dan di perjalanan menuju semua aktivitasnya itu. 

Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1,“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Di antara rentang usia tersebut, yang paling kecil ruang lingkupnya adalah anak pada usia 1-7 tahun. Mereka rata-rata baru berada di lingkungan keluarga, atau tempat penitipan anak, atau di tempat pendidikan anak usia dini (PAUD).

Sebagai masyarakat, kita memang wajib peduli kepada anak yang berada di mana saja lingkungannya. Karena semua anak adalah anak kita. Anak merupakan titipan masa depan. Dan, kita semua bertanggung jawab memberi rasa aman dan perlindungan demi masa depannya. 

Sekalipun, pada kenyataannya, masih ditemukan kesulitan dalam pembinaan anak yang mengalami perlakuan buruk di lingkungan keluarga, oleh orang tua atau keluarga intinya sendiri. Sebagiannya akan enggan melaporkan, karena menganggap itu adalah aib keluarga. Tidak perlu diperluas, dan keluarga akan menyelesaikan dengan caranya sendiri. 

Hal seperti inilah yang membuat proses hukum oleh pihak kepolisian menjadi lebih sulit. Lembaga-lembaga sosial peduli anak pun akan kesulitan karena informasi yang diberikan tidak maksimal. Atau bahkan ada yang ditutup-tutupi. Jika memang demikian, siapapun tentu tak banyak bisa berbuat. Kecuali, masyarakat setempat peduli, pemerintah lingkup terkecil daerah itu juga pro aktif menangani jika terjadi sesuatu. Kita hanya khawatir, ketidak amanan di lingkup keluarga itu, merembes dan memberi dampak yang lebih luas kepada masyarakat lainnya. 

Lain halnya dengan perlakuan buruk anak yang diterima di lingkungan PAUD atau tempat penitipan anak. Tidak sedikit berita tentang kelalaian pengasuh di tempat penitipan anak dan bayi, yang berefek merugikan anak, membahayakan anak, dan mengorbankan anak. 

Misalnya bayi yang tiba-tiba di rumahnya diketahui sudah ada bagian melepuh di jari kakinya. Seperti tersiram air panas. Ketika si ibu mengonfirmasi ke pihak TPA, semua berkilah, kalau itu tidak terjadi di tempat mereka. Atau, yang baru-baru ini saya dengar. Salah satu bayi di TPA “X”, ditemukan kejang, meninggal di tempat. Didapati ibunya, bayi di ruangan khusus bayi itu, tersungkur, jatuh dari ayunan, yang bayi itu ditinggal sendirian. Belum lagi, hal-hal yang merugikan lainnya seperti anak-anak yang digigit ulat, bayi-bayi dan anak-anak yang mendapat penyakit ‘seragam’ sepulangnya dari tempat itu. Menyedihkan.

Benar, bila semua itu bukanlah keinginan siapapun. Tapi kelalaian yang terjadi tersebab siapapun, tentu harus diantisipasi. Salah satunya adalah dengan adanya standar kelayakan bagi pihak pengelola tempat penitipan anak di mana saja adanya. PAUD/ tempat penitipan anak yang terstandar pun perlu dilakukan pembinaan berkala dan pengawasan oleh pemerintah. Perlu juga adanya sanksi yang jelas terhadap kelalaian tersebut. Berapa persen di antara pengelola dan bunda-bunda pengasuh PAUD itu, yang telah tersertifikasi untuk profesinya, atau telah lolos uji kompetensi, pengetahuan dan skil dalam pengasuhan anak. Apakah sudah dipublis? Bagaimana seorang ibu akan merasa aman menitipkan bayi dan anaknya?

Semuanya seperti upaya saling berkait dalam mewujudkan kesejahteraan sosial kita. Untuk membentuk bangsa yang kuat, perlu dipersiapkan generasi-generasi yang kuat pula. Generasi yang kuat memang bermula dari keluarga, tapi lingkungan kita jelas berperan pula dalam perlindungan dan penjagaan tumbuh kembang si anak.
Orang tua dan keluarga adalah  pihak yang bertanggung jawab penuh untuk anak-anaknya. Mungkin hal inilah yang menjadi alasan bagi mereka yang memilih menjadi pendidik full di rumahnya, bagi anak-anaknya (saja). Ini jelas lebih baik. 

Namun kita tidak bisa menafikan kondisi sosial setiap orang yang berbeda satu dan lainnya. Pada keadaan ibu-ibu yang bekerja, tentu butuh orang lain. Menyikapi hal ini, pemerintah melalui kementrian PPPA telah berupaya dengan menganjurkan adanya ruang laktasi di setiap SKPD. Bahkan tahun 2014 lalu, mentri PAN-RB juga meminta setiap instansi pemerintah memiliki tempat penitipan anak.

Data di sebuah kota menyebutkan, PNS perempuan berjumlah 1523 orang dari 2490 pegawainya. Jelas lebih banyak perempuan. Kita lihat pula di sekolah-sekolah, semakin nampak perbandingan lebih banyaknya perempuan dibanding laki-laki. 

Di BUMN atau swasta pun hendaknya diperlakukan sama. Perlu ada yang memberi pengawasan ketersediaan ruang laktasi, atau tempat penitipan anak untuk kesejahteraan karyawan perempuannya. Ber(t)apa banyak perempuan yang hari ini bekerja dan menghabiskan hari dan waktunya di bank, misalnya. Apakah kita akan tutup mata untuk semua kebutuhan itu. 

Karena kita tidak bisa menutup peran perempuan di ruang publik, maka kita butuh kepedulian bersama untuk menselaraskan hak dan kewajiban yang diterimanya. Ketika bicara tentang anak, kita juga akan bicara tentang perempuan.

Pada mereka –para perempuan kepala keluarga- yang harus bekerja menaflkahi anak-anaknya, pengasuhan layaknya keluarga normal akan jauh dari sempurna. Atau anak yang hidup di tengah keluarga yang tidak harmonis, korban perceraian orang tua. Anak-anak yang bahkan ditelantarkan orang tuanya, dan diasuh di panti-panti asuhan. Anak-anak yang tertakdir hidup dalam kondisi itu, jelas tetap memiliki hak yang sama dengan anak lainnya. 

Akhirnya, semua kita harus peduli pada generasi masa depan yang hanya 20% dari populasi manusia hari ini. Mereka adalah 100%  kehidupan hari esok. Anak dan bayi dalam lingkungan tempat penitipan anak ini, harus dijaga bersama, diawasi pengasuhannya, dikontrol pengelolaannya, disiapkan sanksi kelalaian yang diterimanya dari pengelola itu. Oleh kita semua. Semua unsur masyarakat, lembaga-lembaga perlindungan anak dan pemerintah mesti bersinergi untuk itu. Ya, kita, siapa lagi?

14.10.16

Apakah

Manusia dalam hidupnya, jelas memiliki tujuan. Tapi tak semua manusia yang 'hidup' memiliki tujuan yang jelas.
Apakah tujuan hidup manusia.
Apakah tujuan manusia hidup adalah kaya.
Apakah tujuan manusia hidup adalah kerja.
Atau, uang.

Apakah manusia inginkan dampak baik setelah hidupnya.
Apakah manusia inginkan hidupnya hari ini, ya hari ini. Kenapa memikirkan dampak.
Mari kita ganti, manusia dengan kita.
Apakah kita memiliki tujuan yang jelas.
Apakah tujuan kita adalah bahagia.
Apakah tujuan kita adalah surga.
Bukankah bahagia dan surga, adalah dampak dari kehidupan manusia.
Bagaimana sekiranya tak ada surga kelak.
Bagaimana jika, bahagia tidak bertemu simpulnya.
Apakah kita inginkan ternama.
Apakah kita ingin, dampak kehidupan kita berjasa bagi sesama.
Bukankah,, manusia mati meninggalkan nama, tersebab jasanya pada sesama.
Apakah setiap hela nafas dan semua aktifitas kita bermuara pada kehendak sang Pencipta.
Apakah Sang Pencipta memudahkan harapan-harapan dan mimpi-mimpi kebaikan kita.
Bukankah, Dia tak pernah sia-sia pada usaha hambaNya.
Tutuplah mata, jika melihat justru membuat kita buta.
Tutup telinga, biar tak mendengar apa yang menyisakan gelisah di dada.
Berhenti, peduli. Pada siapa yang hanya akan menertawakan.
Apakah itu sebabnya Rabiah, memilih satu-satunya alasan kehidupan adalah cinta kepada Tuhan.
Bukan kewajiban. Bukan kaya. Bukan kerja. Bukan bahagia. Bukan surga.

11.10.16

Belajar Kepada Air

Baru beberapa hari lalu saya melihat postingan seorang pejabat daerah, yang melakukan serah terima dengan pihak propinsi, terkait pemindahan guru SLTA dari kabupaten kota ke propinsi. Saat itu, saya langsung berpikir, kapan akan melanjutkan perjuangan yang tengah terhenti ini. Rencana demi rencana pun disusun ulang. Saya akan datangi kantor X propinsi, pada hari itu, lalu menunggu kabar lagi, apakah bahan tersebut diteruskan ke pusat atau bagaimana. Sudah terbayang jalan-jalan dan pos-posnya.

Tapi, dalam bayang itu yang belum terlaksana, sudah keluar lagi aturan baru. Tentang Ali*fungsi. Katanya, semua guru yang terdampak K-13 direkomendasikan untuk ikut program itu. Dan saya, -yang entah terdampak k-13 atau terdampak sistem yang lahir prematur/ tak sempurna kelahirannya-, mencari lebih banyak referensi tentang program al*h f*ngsi itu.

Ada beberapa hal yang saya pahami, pertama, saya termasuk dalam kategori guru bahasa asing, kedua, saya mengampu mata pelajaran yang termasuk dalam program itu, dan ketiga, usia saya pun masih dalam batasan yang ditentukan. Saya berpikir, baiklah.. jalan ini mungkin bisa ditempuh. Saya bertanya kepada pengawas, beliau memberi nomor kontak yang lain yang dinilai lebih mengerti hal itu. Setelah dihubungi, saya dan seorang kawan disarankan untuk menunggu dan mengikuti pembicaraan tentang hal itu pada hari Selasa depan. Baiklah, kami bersabar.

Dan, inilah hari Selasa itu. Baru saja saya kembali dari ruang pertemuan singkat terkait a-f itu. Tahukah, kesimpulannya? Kesimpulan itu tidak berdampak lebih baik ke pikiran saya. Pihak dns *dk katakan, mereka merekomendasikan orang-orang yang diundang untuk memilih program tersebut. Sedangkan saya yang tidak termasuk dalam kelompok itu, diminta bersabar. Mungkin akan tiba gilirannya tahun depan, katanya. Oh Tuhan, ini kata 'baiklaahh' ke berapa yang harus dikeluarkan. 

Lalu, saya berpikir-pikir saja. Katanya, setahun lalu juga begitu. Bersabar saja dulu, akan ada kebijakan ini itu. Kata dia hari ini, nanti persoalan nasib yang akan menjawab. hmm.

Jadi, apa yang harus dilakukan sementara itu? Harus mengantarkan bahan dan audiensi lagi, untuk jalan penyeberangan? Atau, mengikuti 'belajar' lagi ke kampung sebelah. Atau, menjalani kegiatan hari-hari yang -sesungguhnya dijalani hanya sebagai kewajiban semata, bukan bidang saya, tak cukup ilmu-, ituu..hingga tahun depan? Sementara, mereka yang 'mengajak' memasuki bidang itu, terus mensejajarkan profesionalisme saya dengan mereka.

Kita mungkin kembali belajar kepada alam. Belajar kepada air. Mengalir, mengalir dan mengalir. Kita harus menempatkan diri, dalam keadaan yang tak perlu disesali lagi. Toh kita telah berada di anak sungai kehidupan itu.

Apa saya memilih jalan ini sejak 2010 lalu, dengan sepenuh hati? Tidak. Tapi ya dijalani, disyukuri pada banyak hal. Jika beberapa tahun belakangan, keadaannya menjadi seperti tikungan yang bertubi-tubi, tentu jalan satu-satunya, ya tetap dijalani. Apa yang saya syukuri? Syukurnya, saya bisa melakukan berbagai hal selain 'di situ' saja. Jadi lebih banyak 'dunia'. Meski setiap kali kembali ke dunia itu, rasanya ingin menutup buku saja. Air mengalir sampai jauh ya..bahan saya mengalir sampai mana (?)

Mereka yang berkata, tunggulah, setahun lalu itu, ada dimana kini. Mereka yang mengembalikan bahan, mengundur dan mengundur. Membuat menunggu dan bersabar hingga Oktober. Saat oktober tiba, kita dimana. Bukan lagi bersama mereka. Lepas sudah urusannya. Dikatakan jalan lain, dan jalan itu,,tak pula bapak berikan saya hak untuk melewati. Baiklah..

Bolehkah, mengangkat tangan pada kamera. Atau memilih keluar dari permainan ini. 

** ini sebuah c*rh*tan (?) hm..

Si Aku, Siswaku (2)

Masih ingat kisah si Aku, siswa saya yang bermasalah dengan hari Selasa? Ya, mari kita lanjutkan ceritanya.

Perkara si Aku, sampai ke pejabat sekolah. Laporan para guru, -khususnya guru hari Selasa- memberi peringatan 'keras' kepada si Aku pasca mid semester ini. Ia juga terancam tidak dapat mengikuti kegiatan praktek kerja industri awal tahun depan. Itu sama halnya dengan ia tidak dapat naik ke kelas dua belas.

Saya dan guru kejuruan yang waktu itu ke rumahnya, memanggil lagi si Aku. Bergantian kami bertanya. Berbagai cara. Dari seperti berbicara dengan orang dewasa, serius, dan to the point sampai ke yang paling lembut dan langsung TAP ke hati. Semua jurus dikeluarkan. Dari emosi marah sampai hampir-hampir menyerah menunggu tanggapannya. Aduh... beginilah. Berhadapan dengan anak terlanjur dewasa oleh masalah, tapi tetap saja butuh,,butuh keadaan dia diterima sebagaimana seorang anak.  

Saya terpikir, dalam aturan sistem saat ini, ia sudah sepatutnya menandatangani surat perjanjian tingkat tiga. Dimana pada surat itu tertera materai 6000, dekat tanda tangannya. Juga diketahui oleh wali kelasnya, guru konselingnya, kepala sekolah dan tentunya orang tua atau walinya. Nah, siapa yang akan menjadi wali? Dirinya sendirikah? Nenek, hmm, entahlah.

Kalau hal itu terjadi, maka dalam rapat penentuan nanti, ia akan terkendala untuk bisa prakerin. Kehadiran dan syarat-syarat lain tak terpenuhi. Konsekuensinya adalah tak naik kelas. Seterusnya? Akan kecil sekali kemungkinan ia akan bersekolah sebagaimana hari ini. Kalau ia tak sekolah lagi, bagaimana. Akankah ia jadi preman simpang, tak tau kerjaan. Padahal, komplain dari guru-guru lain tak ada berkaitan dengan kenakalan yang diperbuatnya. Juga masalah kemampuan, ia tak begitu 'payah' untuk standar sekolah kami. Si Aku tak boleh berhenti sekolah.

Kepala sekolah didatangkan. Setelah memahami keadaan si Aku, didapat kesepakatan. Surat perjanjian tingkat tiga dipending dulu. Ia tetap membuat pernyataan, yang tetap berjanji, tapi di buku bimbingan walas saja.


Sabtu itu, perjanjian ditulis. Setelah beberapa hari tak datang, ia datang ke sekolah hari Sabtu. Hari Senin, kelasnya belajar dengan saya. Si Aku tak datang. Sebuah surat bertanda tangankan dia dan neneknya diberikan siswa lain. Ia sakit.

Si Aku pernah bercerita, di telinganya tumbuh semacam benjolan. Setelah diobati bagian kanan, benjolan itu tumbuh lagi di sebelah kiri. Katanya lagi, keadaan serupa telah terjadi beberapa kali. Waktu kelas sepuluh, penyakit itu sempat singgah pula. Karena menurutnya, pelayanan puskesmas dan dokter yang kurang bersahabat, ia malas datang lagi ke dokter. Jadilah, ia menahan sakit, dan meminta 'pencet' benjolan itu, kepada temannya saja. Bagaimana bila anak lain seusianya sakit? Pastilah merengek kepada ibu. Ditemani berobat, disiapkan makanan lebih baik tentunya. 

Minggu ini jadwal pelajaran berganti. Mata pelajaran saya dijadwalkan hari Selasa di kelas si Aku. Maka jadilah saya masuk kelasnya lagi hari itu, Selasa. Dan si Aku, masih tak datang.

Saya mengajar di kelasnya, Hari Selasa. Tapi saya menunggu kabarnya setiap hari, tak hanya Selasa. 
Apa kabar dia hari ini..

9.10.16

Limit

"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Q.S. Al-A’raf: 34).

Setiap umat ada masanya. Setiap alat ada expirenya. Setiap anak ada zamannya. Setiap zaman ada anak zamannya.
Dan kita, tak akan berada pada keadaan serupa, tempat yang sama, posisi yang tetap, peran yang sama, selamanya.
Mesti ada yang berganti. Tentang perubahan itu, ya wajarlah..
Hm.hm.
Yang lalu, ya akan berlalu. Dan tak  akan kembali siapa yang telah mati.
Itulah limitnya. 

6.10.16

Makna Kata

Tadinya mau nulis makna kata اولياء dengan merujuk kamus dan alquran fathur rahman begitu... Bukan karena ada yang lagi viral di medsos ya. Tapi, karena memang baru beberapa hari lalu lagi baca al quran ketemu ayat tentang larangan menjadikam orang kepercayaan dari selain se-kalangan. Saya bacanya ali imran 118.

Sekarang, ga jadi lah..*ga terlalu serius maksudnya*, udah terlalu banyak yang membahas dan menerjemahkan dengan keinginan akalnya. Dan, pastinya momen pilkada di *sana* saat ini semua jadi serba politis. -_-

Singkatnya, secara umum kita mungkin bisa kelompokkan kepada dua, makna kata itu. Pertama, secara teologis. Kedua, secara sosiologis. Ada ayat yang menggunakan kata اولياء untuk pembahasan teologis. Misalnya, qs 2: 257. Ada juga untuk hal-hal sosial..seperti qs 5:51.

Secara bahasa kata Auliya'/ اولياء berarti wali, wakil, penuntun, mursyid, pembimbing, pelaksana, caretaker, penolong, pemilik, sekutu, penanggung jawab, kepala/pimpinan.

Kalo raain/ راع :lebih kepada yang sifatnya memelihara. Pemelihara. Penjaga. Supervisor.

Sedang kata amri bermakna, urusan, masalah, isu, kasus, problem. Ulil amri ada yang mengartikan ulama (pemerintah/pemimpin dalam hal agama), ada pula yang mengartikan umara (pemimpin secara umum).

Ada lagi, qawwam : mungkin lebih dekat ke makna mitra, partner. *Eh, ini beda kasus n tema ding!

Dari makna etimologi itu, kita lihat auliya' lebih luas cakupannya. Dan, bagi saya semakin bagus pemahaman aqidah seseorang, ia akan memilih pemimpin dari sudut pandang imannya. Udah, gitu aja.  --- No politisasi. No. No.

Si Aku, Siswaku (1)

Siang itu waktu menunjukkan pukul 14.50 Wib. Saya bermaksud melakukan kunjungan rumah (home visit) ke rumah salah satu siswa. Ya, pada kasus-kasus tertentu, saya memang merasa butuh untuk melakukan kunjungan rumah siswa. Melihat langsung kehidupannya, mungkin juga merasakan, memberi makna dan mungkin juga kemudian mensyukuri banyak hal dari kunjungan tersebut. Dan, saya menyukai kegiatan ini. Bersama seorang guru kejuruan, kami berangkat menuju rumah si siswa.

Rumah itu, berjarak hanya beberapa kilometer dari sekolah kami. Nuansa desa yang damai begitu terasa saat saya sampai di rumah itu. Bayangkan saja, kita mendengar aliran gemericik air yang mengalir dari sawah, melintasi parit kecil tepat di depan rumah itu. Sisi kiri rumah itu dan bagian depan, dihadapkan dengan tanaman padi yang mulai menguning. Sisi kanan, selain bersebelahan dengan rumah tetangga, juga ada kolam ikan. Bagian samping rumah, adalah kandang ayam. Arah belakang rumah terdapat dapur kayu. Selain itu, rumah sederhana itu memiliki halaman yang dihampari oleh batu-batu kerikil. Aduhai, betapa ini benar-benar nuansa rumah nenek, saat saya mengarang cerita ketika SD dulu. Nyaman sekali untuk waktu siang yang tak begitu panas hari itu.

Suasana Depan Rumah si Aku
Perkenalkan, namanya adalah Aku. Atau, kita panggil saja dia si Aku. Dia adalah siswa laki-laki kelas dua sekolah menengah kejuruan. Si Aku, menurut wali kelas lamanya, bukan tergolong anak nakal. Dia juga bukan anak yang suka mencari perhatian dengan sikap usil terhadap kawan-kawannya. Ia hidup bersama seorang nenek. Ya, tepatnya mereka hidup berdua. Hanya berdua. 

Saya memperkenalkan diri. Saya bertanya, kemana si Aku. Si nenek menjelaskan, si Aku mengaku tidak sekolah, karena baru saja selesai ujian Mid semester. Jadi libur dulu, katanya. *wahai. saya menemukan satu kebohongan anak itu.

Menurut pengakuan nenek itu, si Aku telah bersamanya sejak ia berumur empat hari. Hanya bermodal kompeng, dot dan susu botol-lah ia membesarkan si Aku. Sebagai seorang nenek, katanya lagi, ia sungguh menyayangi cucunya itu. Ia juga menceritakan bagaimana pengorbanan yang dilakukannya untuk beberapa cucunya yang lain.

Nenek itu, meskipun kadang tak memasak, tapi ia meminta bantuan tetangga untuk memasakkan makanan untuk mereka. Dengan uang pensiunnya, si nenek mencoba memenuhi kebutuhan si Aku. Memberi ongkos dan uang jajan untuk si Aku.

"Tapi buk, payah bana manjagoan nyo." cerita si nenek tentang susahnya ia menjaga dan mendidik anak laki-laki yang bertumbuh remaja itu. "Kadang ia pulang jam dua malam, kadang jam tiga. Kemana anak itu, entahlah." Tambahnya lagi, "Kok pai-pai juo Ang, mati se den di rumah ko sia nan ka tau?" Suara si nenek mulai serak, matanya pun berkaca-kaca. 

Nah! Kebohongan kedua. Pengakuan si Aku, ia selalu di rumah. Bahkan untuk sekedar main bola sore pun, ia jarang lakukan, karena khawatir neneknya yang tinggal sendirian. 

Masalah yang mengantarkan saya ke rumahnya bukan tentang kebohongan itu. Sebabnya adalah, si Aku sudah lebih lima kali hari Selasa tak datang ke sekolah. Dan, hanya hari Selasa. Ada apa dengan hari Selasa?

Bersama si nenek
Ada beberapa kemungkinan yang melintas di pikiran saya, pertama, mungkinkah si Aku bekerja pada hari Senin, lalu ia kelelahan dan tidak bisa datang sekolah hari Selasa. *Senin adalah hari 'balai' di kota kami. Atau, kemungkinan kedua, ia ikut seseorang yang mengantar barang-barang pada malam Selasa itu. *Seperti kasus siswa saya sebelumnya, yang menyetir truk mengantarkan seng/atap ke daerah (kabupaten) lain. Atau, kemungkinan lainnya, apakah neneknya sakit setiap hari Senin? Atau ia tak punya uang untuk berangkat sekolah setiap hari Selasa? Atau, atau yang lain?

Hari itu, memang belum ditemukan, apa sebab si Aku tak kunjung datang sekolah hari Selasa. Tapi, saya menyimpulkan beberapa hal, tentang kebohongannya, tentang cerita-cerita si nenek, tentang mulai menipisnya *mungkin* motivasi sekolah si Aku. Atau, ia sedang menghadapi persoalan lain, yang tak diceritakan kepada si nenek.

Lalu, kami membuat kesepakatan, saya dan si nenek. "Nenek jangan beri tahu si Aku dulu, tentang kedatangan saya hari ini. Besok, di sekolah saya akan panggil lagi, dan tanyakan kabarnya. Mana tau, ia bisa bercerita." Si nenek setuju. 

***
Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya home visit saat itu. 

Pertama, Ini hanyalah bagian perjalanan takdir. Maka adakah yang pantas disalahkan dengan keadaan semacam ini? Si Aku mungkin tak pernah menginginkan terlahir menjadi anak yang tak dibesarkan ibunya. Diurus oleh nenek, yang yaa..bagaimanalah kasih sayang si nenek, yang tak sanggup 'berang' karena terlalu sayang. Seberapa mengertikah si nenek tentang tugas-tugas yang dibebankan sekolah. Ah, diceritakan pun, mungkinkah si nenek mengerti tentang rumitnya hal-hal berkaitan jaringan, matematika, dan bahasa inggris? Saat remaja seusia itu sakit, masih ada ibu tempat mengadukan yang terasa. Si Aku? Tanggunglah saja sendiri. Ceritakan ke puskesmas, antarkan sendiri sakitmu, dan mintalah obat jika kamu memang mau sehat kembali. Bukankah hanya begitu yang mau tidak mau, rela tidak rela, harus dihadapinya?

Kedua, persoalan yang dihadapi si Aku, pastinya tak hanya perkara kasih sayang yang tak sempurna ia peroleh sejak masa kecil. Melainkan juga karena hitung-hitungan keuangan. Kebutuhan anak remaja, apakah terpenuhi dengan gaji pensiunan yang telah potong sana-sini, dan tentunya memenuhi kebutuhan mereka berdua? 

Ketiga, tekanan yang dihadapi si Aku di sekolah, kasus ini itu, mengantarnya bercerita atau mengadu kepada siapa? Ibu jauh, sibuk pula mencari uang. Ayah? Ayah tak tau dimana. Kawan? Seberapalah pedulinya kawan.. Ia memang menjadi korban. Efek keadaan keluarga yang tidak normal. Namun, ketidak beruntungan nasib hendaknya bukan alasan baginya kemudian menjadi lemah.

Keempat, Kalau saja ada lembaga atau yayasan yang peduli pada urusan finansial, juga kasih sayang. Kalau saja, ada banyak orang tua asuh, kalau saja mamak, sanak famili dan keluarga masih peduli. Sayangnya, kita terlanjur tak sabar. Sayangnya, keadaan itu hanya "kalau saja". 

Kelima, si Aku tak boleh berhenti sekolah. Ia harus punya modal keterampilan untuk masa depannya. Tapi yang lebih utama, ia harus tahu : "Berpikirlah Aku. Begini hidup mengajarkan kita..Ya, Beginilah."

4.10.16

Tips Tubing bagi Pemula

Petualangan menyusuri sungai, mengikuti alirannya dengan menggunakan ban karet, dikenal dengan river tubing. Ada banyak daerah di Indonesia yang sudah mengembangkan aktifitas ini sebagai bagian dari wisata daerahnya. Salah satunya, adalah Ombilin River Tubing yang ada di Ombilin, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. 

Tubing santai [sumber foto: JR]
Dengan pilihan jalur santai dan level ektrim yang disediakan oleh operator wisata, Karambia Tours, pengunjung dapat menyesuaikan estimasi biaya dan waktunya. Untuk jarak mencapai 6 km, dibutuhkan waktu lebih dari dua jam. Tidak demikian dengan jalur santai. Tingkat tantangan yang diperoleh tentunya juga tidak sama.

Bagi Anda, yang baru pertama kali akan melakukan kegiatan ini, hendaknya memperhatikan beberapa tips berikut. 
  1. Pastikan Anda membawa kelengkapan peralatan dan kebutuhan pribadi.
  2. Terapkan dan gunakan sunblock sebelum memulai. Saat tubing, mengalir bersama aliran sungai, kita akan langsung diterpa sinar matahari. Jadi bila perlu, gunakanlah kacamata hitam (yang murah aja..biar kalo nanti hanyut terbawa arus, jatuh atau pecah, tak perlu bersedih. Haha) 
  3. Gunakan sandal yang nyaman, untuk kondisi air dan tak mudah lepas. Atau pakailah sepatu air, mungkin juga sepatu tua Anda, karena kita tak pernah tau seberapa ramah dasar sungai terhadap kaki kita.
  4. Pastikan Anda memilih pakaian yang tepat, nyaman dan menutup tubuh. (Bagi muslim/muslimah tau lah ya, batasannya.) Bagi yang khawatir warna kulit berubah lebih gelap *mungkin lebih eksotis*, tapi tidak merata, saya sarankan pakailah man(g)set atau baju lengan panjang. 
  5. Sebelum melakukan kegiatan, berdoa dulu tentunya. 
  6. Saat tubing, jangan menentang arus. Jika coba-coba menantang atau melawan arus, bersiap saja badan pegal nantinya. Ya, kira-kira pepatah 'biarkan seperti air mengalir' tepat sekali untuk kita bisa menikmati perjalanan. Biarkan, air yang mengantarkan, kita tinggal duduk nyaman di atas ban.
  7. Luruskan posisi tubuh tepat di atas ban saat berada di jeram. 

8. Dan, jika Anda tubing secara berkelompok, akan lebih seru untuk membentuk berbagai formasi menarik. Untuk bisa melakukannya, kekompakan adalah modal utama. 
9. Tubing secara berkoloni juga baik pada aliran arus deras, jika Anda khawatir akan meluncur sendiri, atau tertinggal sendirian.

Berkoloni lebih asik
  Itulah sembilan tips tubing bagi pemula yang saya dapatkan setelah tubing bareng Karambia Tours di Sungai Batang Ombilin beberapa waktu lalu. 
Jika merasa sudah mahir, dan bosan dengan medan yang itu-itu saja, silakan dicoba tubing berbagai cara dan gaya versi kamu yang lebih menantang. Selamat tubing!

Sosok Perempuan Inspiratif (1)

Yessi Endriani Ramlan N.
  
Indonesia memiliki begitu banyak perempuan inspiratif. Perempuan inspiratif itu, tak hanya punya kepercayaan diri yang kuat tetapi juga mampu menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya. Kota Bukittinggi memiliki sosok perempuan inspiratif yang tak sekedar mandiri secara ekonomi, tetapi juga menjadi teladan dalam membina rumah tangganya. Dialah Yessi Endriani. Seorang perempuan kelahiran Bukik Kulirik, pada tanggal 24 Desember tahun 1967. Yesi merupakan anak dari bapak Y. Dt. Rajo Mogo.

Yessi berpandangan bahwa seorang perempuan tidak boleh melupakan kodratnya selaku istri dan juga ibu. Di samping itu, perempuan tentu saja boleh berkarir, berkarya dan berprofesi di bidang apapun. Tugas terberat dari seorang perempuan adalah menjadi ibu dan teladan bagi anak-anaknya. Perempuan sebagai pendamping suami, lebih bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya untuk menjadi generasi terbaik penerus bangsa.

Pandangan seperti itu, tidak terlepas dari proses pendidikan yang telah dilalui Yessi. Setelah melalui pendidikan Sekolah Dasar di SD Benteng Lamo, Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, pada tahun 1981, Yessi lalu melanjutkan ke SMP Pakan Kamih, tamat pada tahun 1985. Ia menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 1988 juga di SMAN Pakan Kamih, Kabupaten Agam.

Setelah lulus dari SMA, Yessi melanjutkan kuliahnya di Universitas Putra Indonesia (UPI YPTK) Padang. Semasa kuliah atas prestasi nilai tertinggi di kelas ia mendapat beasiswa berupa bebas uang kuliah untuk semester berikutnya. Hal itu menjadi motivasinya dari semester ke semester untuk tetap menjadi ‘juara kelas’ di kampusnya. Pengalaman lain yang diperoleh dengan juara itu adalah Yessi difasilitasi jalan-jalan ke Jakarta dan Bandung dari pihak kampus.  

Pada tahun 1990 ia memulai karirnya di Bank Bukopin Padang. Yessi terus belajar dalam tugas barunya saat itu. Tercatat ia mengikuti beberapa training yang diselenggarakan Bank Bukopin. Salah satunya basic credit training yang dilaksanakan di Ciloto Indah Permai, Puncak Bogor, pada tanggal 27 Mei sampai dengan 8 Juni 1996. 

Atas dedikasi dan kesungguhannya, ia kemudian dipercaya menjadi kepala bagian SDM di bank tersebut. Namun pada tahun 2004 ia memilih keluar, atas pertimbangan keluarga. Demi mengiringi perkembangan anak-anaknya yang saat itu masih kecil, Yessi meninggalkan karirnya.

Yessi dan Pola Mendidik Anak

Hal yang sempai saat ini masih diteruskan Yessi dalam mendidik anaknya adalah kegiatan magrib mengaji.  Sejak kecil Yesi sudah dibiasakan oleh orang tuanya untuk mengaji/membaca Al quran setiap selesai shalat magrib. Kebiasaan itu ia ‘wajibkan’ pula kepada anak-anaknya. Menurut Yessi, membaca Alqruan rutin selepas shalat maghrib tak hanya sebagai tradisi yang baik saja, melainkan juga berdampak positif pada perkembangan perilaku dan kecerdasan anak. Itulah salah satu bentuk teladan Yessi di tengah keluarganya.

Bagi Yessi, masing-masing anak memiliki keistimewaan yang tak bisa disamaratakan penilaiannya satu dengan lainnya. Perlakuan yang diberikannya terhadap anak-anaknya juga dengan memperhatikan keistimewaan masing-masing anak tersebut. Hal itu seperti yang pernah didapatkan oleh Yessi melalui Seminar Anak Nasional yang diikuti Yessi pada tahun 2000 lalu di Bukittinggi, dengan tema “Menemukan Pola Strategis Pengoptimalan Multi Potensi Anak Secara Dini Menuju Manusia Yang Utuh.”

Ibunda dari Sultan Fazbir dan Agung Farasky ini, tidak memaksakan anak-anaknya harus menjadi ‘Sang Juara’ di sekolahnya.  Tetapi ia terus mengajarkan anak-anaknya untuk terus berproses menjadi lebih baik. Kepada mereka, Yesi sering sampaikan bahwa berprestasi itu memang suatu keharusan. Untuk mencapainya diperlukan daya juang yang tinggi dan usaha yang maksimal. Sementara untuk bisa menerima hasil akhirnya, dibutuhkan rasa percaya pada ketetapan Allah. Setelah berusaha, hasil selanjutnya diserahkan kepada Allah, katanya.

Tentang kepintaran anak, baginya bukanlah selalu perkara nilai dan nilai, tetapi juga tentang bagaimana pintar bersosial dengan kawan. Saat ia bersekolah dulu, Yessi juga bukan anak yang selalu juara 1 di kelasnya. Katanya, ia hanyalah siswa biasa yang senang berteman. Namun demikian, ia terus belajar dan berusaha menjadi lebih baik. Usaha itu terbukti dengan pencapaiannya menjadi siswa dengan nilai Ebtanas Terbaik di sekolahnya saat itu. Cara seperti itu juga dia ajarkan kepada anak-anaknya.

Selain bimbingan dan perhatian yang senantiasa ia berikan, Yessi berprinsip untuk memberikan makanan yang halal lagi baik, demi kecerdasan dan perkembangan anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan tuntunan dalam Islam. Makanan yang baik merupakan awal bagi kebaikan seseorang.

Menurut Yessi, jika ingin anak-anak tumbuh dengan baik, berikan makanan yang halal dan baik untuk tumbuh kembang anak tersebut. Kita perlu memperhatikan apa yang dimakan oleh anak-anak kita, kehalalannya dan kebermanfaatannya bagi mereka.

Jika sudah memberikan perhatian penuh terhadap anak, membimbing dan mendidiknya secara baik, serta memperhatikan makanan mereka, kemungkinan anak akan tumbuh menjadi anak yang baik tentu lebih besar. Lebih jauh lagi, visi perlindungan anak, yakni menjadikan anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas-ceria, berkahlak mulia, terlindungi dan aktif berpartisipasi, bisa diwujudkan bersama. Di situlah menurut Yessi, peran besar  seorang ibu dalam rumah tangganya.

Memasuki Dunia Bisnis
Sumber foto : Bukittinggi info
Yessi kemudian memulai usaha mandirinya, dalam bidang konveksi di Pasar Aur Kuning Bukittinggi. Dalam perkembangannya, ia beralih membuka usaha jahit jilbab dan mukena mesin hitam, yang merupakan produk andalan khas ranah minang.

Bagi Yessi, tujuannya berwirausaha selain mengisi waktu luang dalam mendampingi suami, adalah memberi motivasi bagi perempuan di sekitarnya. Bahwa perempuan harus mandiri dan memiliki kepercayaan diri akan peran dan tanggung jawabnya di lingkungan keluarga dan juga masyarakat. Untuk mewujudkan mimpinya itu, Yessi juga membantu gadis-gadis di kampungnya, diajak berdagang di tokonya di Pasar Aur Kuning. 

Dalam hal keagamaan, Yessi tak ketinggalan untuk berpartisipasi aktif mengikuti kelompok pengajian dengan perempuan-perempuan yang berwirausaha. Ia juga membentuk kelompok arisan yang kemudian menggalang dana sosial, untuk disumbangkan ke panti asuhan, panti jompo, dan lingkungan masyarakat yang membutuhkan.

Sebagai wakil ketua di Ikatan Alumni SMA nya, Yessi bersama teman-temannya setiap sebulan sekali mengadakan kegiatan sosial, diantaranya membantu pembangunan mesjid, donator ke panti-panti sosial. Hal lain yang rutin dilakukan Yessi adalah melakukan pendampingan seorang pasien keterbelakangan mental ke psikiater. 

Sebagai seorang istri, Yessi berperan aktif mendampingi suami yang berprofesi sebagai pengusaha. Ketika suaminya diberi amanah sebagai Ketua KPU Kota Bukittinggi, Yessi ikut serta membantu dalam hal administrasinya. Selanjutnya terhitung bulan Februari tahun 2016, Yesi ikut mendampingi dan memberi dukungan penuh kepada suaminya, bapak Muhammad Ramlan Nurmatias, SH yang diamanahi menjadi Walikota Bukittinggi. 

Di antara konstribusi berarti dalam pembangunan bidang sosialnya, adalah keterlibatan langsung Yessi dalam mengelola, mengurus dan memimpin Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Bukittinggi. Ia juga mengetuai Gabungan Organisasi Wanita Kota Bukittinggi.

Mimpi Yessi terhadap perempuan di kota Bukittinggi tak muluk-muluk. Ia hanya ingin, perempuan bisa maksimal dengan peran yang dipilihnya. Bila posisinya sebagai istri dan ibu, tentu keluarga merupakan hal utama yang perlu diselamatkan perempuan itu. Karena bangsa yang kuat itu berawal dari keluarga bahagia. Dan perempuan memiliki peran besar untuk mewujudkannya. Di samping itu, dengan kelebihan dan kemampuan yang dimiliki perempuan, ia pantas dan perlu menyuarakan pendapat dan aspirasinya di ruang publik, melalui kegiatan-kegiatan sosial dan karirnya.

___
Berdasarkan wawancara, 26 Agustus 2016

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...