DILAN
Dia Adalah Dilanku tahun 1990
Tak ada yang disampaikan buku ini, selain kebanggaan si Aku
kepada laki-laki nakal, usil, tapi asik
bernama Dilan. Si Aku bangga, karena Dilan selain sebagai penggemarnya, juga
merupakan anggota geng motor yang juara kelas.
Dilan suka bersosial. Jago menggambar. Suka bermain gitar
dan cuek terhadap anak perempuan. (lho, jangan-jangan itu karakter penulis pas
SMA. hehe)
Dilan dan Melia, dalam buku Dilan (I), mestinya dibaca para
guru, pengajar SMA sekarang. Dengan demikian, terlihat perbandingan, bahwa
“anak jaman 90-an” saja, “unik”nya sudah minta ampun. Maka, tak perlu
menyalahkan diri, mengutuk zaman, “anak sekarang begini dan begitu”.
Bahwa, “setiap zaman ada anaknya atau setiap anak ada zamannya” mesti kita terima. Karena saya juga guru SLTA, khususnya Kejuruan, dengan perbandingan anak perempuan dan laki-laki adalah 70 banding 30. Artinya, tidak sedikit kisah romantis anak se-usia Dilan yang dihadapi. Apalagi kisah “heroik”, pertarungan antar geng, kelompok, komunitas dan lain sebagainya.
Dan, novel Dilan hadir sebagai jalan tengah, solusi menenangkan diri, dan membuat tawa dan senyum-senyum sendiri sampai akhir cerita. Dilan yang nakal tapi asik, Melia dengan gaya “anak Jakarta”nya, pertemanan dan dunia saling naksir zaman SMA yang kocak.
Penulisnya, Pidi Baiq pantas berbangga, Dilan yang ia ciptakan benar-benar membuat jatuh cinta para gadis remaja usia SMA. Barangkali, penulisnya ingin menyampaikan, “gini loh..cowo keren itu. Bukan yang kayak zaman sekarang, si cowo pemberi harapan palsu, nah si cewe-cewenya mudah digombalin”.
Over all, buku Dilan menjadi buku ringan, enak dibaca, seru dan cukup sekali baca. Hehehe. Karena, sebagai generasi 90an, saya cukup kenal dengan beberapa dialog Dilan dan Melia. Ya, memang begitulah anak 90-an. Meskipun ada beberapa bagian dari dialag yang membuat bingung, dan bertanya, apa zaman itu sudah biasa begini, atau begitu?
Pidi Baiq bercerita sebagai Melia. Penulis laki-laki yang menjadikan “Aku” si tokoh utamanya adalah perempuan, itu hebat menurut saya. Sama hebatnya seperti penulis favo saya, Dee Lestari yang bisa menjadi laki-laki dalam tokoh-tokoh “aku” di ceritanya.
Buku yang anak SMA banget. Mengajarkan cara-cara elegan mendapatkan yang ditaksir, cara unik dan asik dalam berkawan. Dan, terlalu banyak ha ha ha dan he he he nya.
Katanya, setelah Dilan (1991) mau ada cerita versinya Dilan
ya? Kita tunggu saja, gimana seniman Pidi Baiq cerita dari sisi Dilan-nya.