28.6.12

BUTA WARNA dan SOAL TAKDIR



Kenapa memilih SMK Teknologi Informasi ini? Kira-kira demikian pertanyaan yang diajukan pewawancara kepada salah satu siswa SMP yang melamar menjadi siswa di SMK tersebut. Ia kemudian menjawab, saya ingin belajar di sini. Kenapa tidak memilih SMA? Lagi-lagi ia menjawab, saya inginnya di sini. Dengan tegas ia menjawab. Berani sekali. 

Persoalan yang muncul kemudian adalah, ia tidak lengkap persyaratan administrasi. Surat keterangan dokter yang ia tunjukkan memberitahukan kekurangannya mengidap Buta Warna Parsial. Sementara ketentuan yang berlaku di SMK lebih lagi bidang kompetensi keahlian Teknologi Informatika, tidak bisa menerima penderita tersebut. Bukan persoalan mau atau tidak mau saja, masalahnya akan timbul ketika ia tidak bisa bekerja maksimal di bidang desain, Multi Media dan Teknik Komputer Jaringan.  
 
Buta Warna, seperti dikutip dari Wikipedia.org, adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu akibat faktor genetis.
Buta warna merupakan kelainan genetik / bawaan yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebaut sex linked, karena kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Artinya kromosom Y tidak membawa faktor buta warna. Hal inilah yang membedakan antara penderita buta warna pada laki dan wanita. Seorang wanita terdapat istilah 'pembawa sifat' hal ini menujukkan ada satu kromosom X yang membawa sifat buta warna. Wanita dengan pembawa sifat, secara fisik tidak mengalami kelalinan buta warna sebagaimana wanita normal pada umumnya. Tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor buta warna kepada anaknya kelak. Apabila pada kedua kromosom X mengandung faktor buta warna maka seorang wanita tsb menderita buta warna.
Saraf sel di retina terdiri atas sel batang yang peka terhadap hitam dan putih, serta sel kerucut yang peka terhadap warna lainnya. Buta warna terjadi ketika syaraf reseptor cahaya di retina mengalami perubahan, terutama sel kerucut.



“H” misalnya, mana tahu kalau dirinya menderita buta warna. Jauh-jauh hari sebelum ia tahu tentang penghambat masa depannya itu, ia telah lebih dulu suka dan tertarik dengan dunia teknik-otak-atik komputer. Saya dan sejumlah guru kemudian menyarankan agar ia memilih sekolah lain. SMK jurusan lain. Atau SMA sekalian. Tapi ia berkeras tidak mau. Kekeuh ingin bersekolah di SMK teknologi informasi. 

Awalnya saya biasa saja, memperlakukan seperti anak lainnya. Jika tidak memenuhi persyaratan, tidak bisa diberikan hal istimewa. Kemudian ia memperlihatkan piagam MTQ nya. Hafal quran 10 juz.  

Saya tersentak. Anak hafal 10 juz ingin di SMK? Lalu, saya mengetes bacaannya. Beberapa potongan ayat disambungnya lancar, beberapa lagi tidak. Saya mencari tahu, adakah jurusan yang bisa untuk anak ini? Bertanya ke sana ke mari, kepada guru-guru kejuruan. Kendala apa dan bagaimana yang akan dialami anak itu nantinya. Dampak terhadap nilai dan pendidikan ke depannya. 

Tidak mudah pula rupanya. Mencoba mencari celah ‘istimewa’ untuk anak ‘istimewa’, menembus dinding benton “ATURAN dan ADAT yang berlaku”. Saya ditentang oleh tidak sedikit ‘orang’. Seperti ia terus berharap, saya pun begitu. Mencoba mencairkan kebekuan aturan itu, kalau saja ada yang bisa, kenapa tidak dicoba. Ini berbeda. Anak ini penuh kesungguhan belajar. 

“Dari dulu tidak ada menerima siswa yang buta warna”. Omong kosong. Bukankah tes buta warna baru terselenggara di sekolah ini beberapa tahun terakhir? Yang lain membantah argumen seseorang itu.

Saya hanya prihatin, ketika ada dispensasi dan kebijakan pihak kota untuk membantu siswa 'kota' untuk masuk ke sekolah negeri, mereka yang masuk melalui jalur itu jelas tidak terpantau apakah bebas buta warna ; parsial atau tidak. Mereka terbebas dari jaring seleksi administrasi lain tersebut. Dengan satu alasan : mereka warga kita; berhak mendapat pendidikan di sekolah negeri. Lantas bagaimana dengan anak yang jelas-jelas mau belajar ini, bukankah ia juga ‘warga kita’?
 
Tidak adakah? Anak yang memiliki kemudahan menghafal quran ini? Dengan kemauannya, ia telah menyimpan sepertiga ayat Tuhan dalam ingatannya.  Apa tidak ada dispensasi untuk urusan kecil ini? 

Siapa yang menjamin, mereka yang belajar, mengikuti proses dan prosedur di sekolah ini akan lebih baik daripada mereka yang menempuh jalan berliku untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan? DAN, yang mereka inginkan adalah belajar di bidang “ini”. 

Jika kemudian saya dianggap membesar-besarkan urusan itu, saya kira tidak tepat. Saya hanya tidak rela dengan prestasi-prestasi yang menjadi embel-embel sejumlah anak, lalu dipertahankan dan dibebas-administrasian pada beberapa hal. Naik kelas. Lulus, dan lain sebagainya. 

Jika kita sportif dan mau jujur, kiranya prestasi lain juga (berhak) perlu dihargai dan diberikan posisi istimewa untuk mereka. 

Saya hanya tak rela, jika anak-anak berbakat dan mau belajar ini akhirnya harus mengubur mimpi, meredam cita, tersebab keterbatasan yang menjadi bagian takdir dan mesti diterimanya dengan lapang dada. Karena bagi saya, segala keterbatasan itu bahkan bisa menjadi cambuk pelecut semangatnya dibanding mereka yang diberikan berbagai kemudahan dan fasilitas, serta jalan aman. 

Semoga kehidupan berbaik kepada kalian, dimudahkan Tuhan.


26.6.12

Plis Deh!!


Saya tak ingin lebay untuk menuliskan kalimat-kalimat menusuk yang saya terima siang ini dari seorang yang dianggap DEWASA.

Ini blog saya!

Undang-undang mengatur kebebasan berpendapat. Saya tak terkena pasal dan aturan itu. Saya tak akan menyebut nama -siapalahhh- untuk sebuah PENCEMARAN NAMA BAIK dan PENGKERDILAN KARAKTER siang ini.


14.6.12

RESENSI: Cerita Galau yang Berjuta Rasanya


Resensi

Judul Buku          : Berjuta Rasanya
Penulis                 : Tere Liye
Penerbit              : Mahaka Publishing, Republika, Jakarta
Cetakan              : Pertama, Mei  2012
Tebal                   : vi + 205 hlm




Satu lagi karya Tere Liye tentang cinta, bukan berkisah tentang anak-anak ataupun keluarga seperti novel-novel sebelumnya. Buku edisi pertama Mei ini, bukan sebuah novel, namun sekumpulan cerita singkat. Cerita tentang kehidupan percintaan manusia, dengan akhir dan proses yang beragam. Baik yang berakhir happy ending, sad ending, atau sekedar gokil dan lucu-lucuan saja. 

Bahasa yang lebih santai menjadikan buku ini pas buat remaja dan –siapa saja-  yang dirundung kegalauan gara-gara cinta. Atau mereka yang ingin menemukan makna kata cinta, takdir, nasib, jodoh, dan patah hati. Seperti karya lainnya, buku ini bercerita  cinta namun dalam kerangka bahasa yang tidak vulgar.  Salah satu nilai berbeda milik Tere Liye.

Berjuta Rasanya memuat cerita-cerita galau, dengan tetap menyampaikan makna dan pelajaran kehidupan. Tak seperti ketika menikmati alur novel, yang setelah dibaca satu bab, membuat penasaran pembaca untuk terus melanjutkan ke bab berikutnya. Kenikmatan membaca novel adalah tentang kelanjutan cerita  dan mengetahui akhirnya secepat mungkin. Maka kumpulan cerita ini menuntut sedikit ‘perenungan’ atau pembenaran atas makna dan pelajaran yang ditawarkan lewat kisah singkat tersebut.   

Jika mereka yang dimabuk asmara, yang sedih tak terkira tersebab patah hati, akan mencampurkan pikiran logis dengan ilusi, lantas berharap semua bisa terjadi sesuai harapan, maka Tere Liye lewat imajinasi dan cerita galaunya ‘akan’ mengembalikan pikiran rasional dan logis mereka itu ke tempat semula. Menerima dan memahami berbagai kemungkinan takdir atau nasibnya. Karena dengan pemahaman itu, dapat diterima begitulah yang terbaik. Hal-hal semacam ini yang terus disampaikan penulis lewat setiap ceritanya. Tak sekedar cerita galau yang berjuta rasanya, bukan?   

Pembenaran pada bagian yang berjudul Cintanometer misalnya. Cintanometer adalah sebuah alat deteksi cinta, membantu mereka yang sulit sekali mengungkapkan rasa cinta, tapi ingin mengetahui apakah orang yang ditaksir juga memiliki rasa yang serupa. Pembenarannya adalah, jika alat itu kemudian ada di dunia ini, apa jadinya cinta. Tak berarti dan menjadi ‘tak berjuta rasa’nya lagi.

“Jika cintanometer berkedip-kedip itu artinya cinta. Jika tidak berkedip-kedip maka tidak ada cinta. Lama-lama penduduk kota mulai lupa apa itu cinta, bagaimana sesungguhnya perasaan seseorang saat jatuh cinta. Mereka hanya mengerti soal berkedip atau tidak berkedip. Lama-lama, mereka kehilangan kosa kata cinta.” 

Pun pada  cerita Pandangan Pertama Zalaiva, “Cinta tidak membuat ia merasa memiliki dunia ini, ia justru merasa kehadirannya di dunia sia-sia belaka. Cinta memang lebih mirip hantu, semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benar-benar pernah melihatnya. Dan ketika kau berhasil melihatnya kau lari sungguh ketakutan.” (h. 189)

Ada 15 cerita singkat yang seperti seringkali pada karya lain Tere Liye, setting tempat cerita ini kebanyakan ada di negeri antah berantah. Sedikit saja yang menyebutkan detail lokasi. Nah, di buku ini, yang paling populer adalah nama-nama kafe. Kafe, sebuah tempat dimana kebanyakan kaum muda menghabiskan waktu, atau bahkan menyempatkan di sela-sela kesibukan mereka untuk sekedar mengurus ‘kegalauan hati’ karena cinta, jodoh, takdir dan patah hati. 

Konsep cerita memang sederhana. Cerita cinta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sekedar upaya mendapatkan orang yang ditaksir, mempertahankan dan menjaga cinta sejati, bangkit dari rasa patah hati, dan lain sebagainya. Namun, kekonyolan cerita cinta itu ditangkap dan dihadirkan kembali oleh penulis dengan tokoh yang beragam. Nama yang seringkali muncul di buku ini, mengingatkan kita pada karya Tere Liye “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, yaitu Tania. Barangkali nama itu menjadi ‘sesuatu’ bagi penulis?!
 
“Kehidupan ini tak selalu memberikan kita pilihan terbaik. Terkadang yang tersisa hanya pilihan-pilhan berikutnya.”(Kotak-Kotak Kehidupan Andrei)

 “Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. tapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.”

Bacaan ringan saat santai ini menghadirkan berjuta rasa ketika Anda membaca, kemudian merenungkan bagian-bagian pembenarannya. Bagi Anda penggemar karya-karya Tere Liye, jangan sampai ketinggalan untuk menambah koleksi Anda dengan buku bercover cantik yang satu ini.[]

Peresensi : Miftahul Hidayati

1.6.12

Tour de Java




Perjalanan singkat saya kali ini, mengunjungi beberapa kota di pulau Jawa. Mengapa memilih Jawa? Ya, karena saya belum pernah melakukan perjalanan sampai ke pantai selatan pulau itu. Dulu, tahun 2006 nyaris takdir mengantarkan saya ke kota Gudeg, Jogjakarta. Selesai pendidikan di MAPK Koto Baru Padang Panjang, saya mencoba peruntungan PMDK di UIN Sunan Kalijaga Jogja. Hamdalah, saya dan beberapa teman diterima di sana. Sudah buncah mimpi dan bayangan kota itu akan kami tinggali empat tahun ke depan. 

Dan, yang namanya takdir tak bisa ditebak, tentu kita sepakat. Saya dan beberapa teman lain terpaksa mengubur mimpi belajar di kota pendidikan itu. Gempa Pangandaran membuat orang tua kami takut melepas kami belajar di sana. Ah, padahal tahun-tahun setelah itu kota kami lah yang di-“guyur” gempa bumi. Begitulah jalannya hidup.

Jadilah tahun ini semua rencana backpaker dijalankan, Tour De Java. Rasanya, bukan egois saya memilih tanggal 14-22 Mei itu untuk ke luar kota. Mengingat agenda yang menanti setelah ini sudahlah tinggi tumpukannya. Sederetan surat keputusan terkait panitia pelaksana, tim, dan tugas lainnya sudah menjadi bagian terencana di bulan-bulan ke depan. Lebih lagi, belum lama, saya juga disibukkan berbagai aktifitas -lebih tepatnya rutinitas- yang meskipun melelahkan tapi menyenangkan. Ya, menyenangkan. 

Bagi saya -saat ini-, apapun kegiatan atau pekerjaan yang menyibukkan pikiran, melelahkan fisik, menyita waktu, hingga tak menyisakan senggang, sungguhlah menyenangkan. Saya memang menginginkan semua itu. Saya butuh semua itu. Apakah ini juga dinilai sebagai bentuk keegoisan? Tentu saja tidak. Semua kesibukan itu saya yang inginkan. 

Maka rasanya, agar semua kesibukan ini tidak berujung jenuh, bosan dan lelah yang bersangatan, saya memutuskan untuk backpakeran bersama tiga orang kawan lain yang juga tengah jenuh dengan pekerjaan dan tesisnya. Kami mulai menyusun jadwal, rute, dan mengontak kawan-kawan yang berada di Jogja.  
Mari ikuti cerita ini, kalian akan menertawakan ‘kebodohan’ dan pengalaman saya dalam perjalanan ini. But, its okay! Life is learning, trying, doing, n meaning rite?! 

Dan, perjalanan singkat itu pun dimulai... :)

Senin (14/05), belum usai pelatihan Jurnalistik yang diadakan kota kami untuk para siswa SMA/SMK, saya sudah meninggalkan ruangan pelatihan itu. Pukul 14.30, ketika materi Membuat Film Dokumenter masih berlangsung, saya memberi isyarat pamit pada Pak Alri St. Pamuncak.  Walaupun dalam perbincangan sebelumnya sudah disampaikan bahwa saya tidak mengikuti materi beliau sampai akhir. Beliau tersenyum. Saya menuruni anak tangga gedung Balaikota, berjalan keluar, menuju halte bus, menunggu travel dari Bukittinggi yang sudah saya pesan paginya  sebelum ke Padang Panjang.  

15.23. Travel melaju kencang menuju Bandara Internasional Minangkabau. Perjalanan saya isi dengan memastikan pada seorang rekan kerja, tentang koran yang memuat berita sekolah apakah sudah dibagikan ke warga sekolah atau belum. Menghubungi Paradise yang akan menunggu saya di Soeta nanti malam. Mengabarkan Ika dan Aming bahwa “perjalanan telah dimulai.” Pamit singkat pada Ifit, tia dan ami. Dan, tentu saja, kabar aman, lancar, rutin saya kirim ke Ibu dan Ayah di rumah.

17. 44 saya check in. Hei, ini penerbangan pertama saya dengan maskapai hebat negeri ini lho! Memang, betapa pun terbang dengan maskapai lain, bagi saya penerbangan  kali ini hebat. Di samping waktu senja, menyaksikan pemandangan yang beralih dari siang ke malam, sendiri, dan ‘risih’nya lagi adalah masih berpakaian kota kami. Itulah, tak sempat terpikir untuk ganti kostum di toilet bandara. Karna barang-barang sudah di travel bag, dan hanya ransel coklat dan tas kamera yang saya sandang saat itu. Untung saja, saya sempat selipkan salah satu buku Tere Liye, jadilah buku itu dan film SpongeBob teman di ruang tunggu.
Saya agak risih dengan pandangan dua perempuan muda yang duduk berseberangan dengan saya di ruang tunggu. Aneh ya? Boleh jadi ketika sebagian orang merasa ilfil dengan para abdi negara, saya kira kita cukup perlu saling menghargai. Saya juga tak pernah tuh, menyepelekan perempuan berseragam cokelat, apalagi ya abu-abu ini. Juga, saya tak soalkan siapa-siapa berseragam atau tidaknya. Yang pasti jadi aneh adalah yang tak berpakaian. Dan, tahukah, Sebetulnya saya memang tidak PD dengan pakaian ini! :D Haha. Ya, mau bagaimana lagi, bodo amat. :D Meski matahari masih menyiram panasnya di kota ini, saya pikir jaket bisa sedikit melunturkan ketidak pedean saya senja ini. 

18.30 Bismillah, saya berharap trip singkat ini memberi berbagai makna kehidupan, for  her therapy, for her life, tomorrow n next season. Setelah ‘pasai’ berputar-putar, pesawat pun mengangkat diri. Meninggi. Cuaca cerah saat itu, mulanya tidak menimbulkan kekhawatiran pada penerbangan kali ini. Apalagi saya ‘agak’ mempercayai maskapainya. Jalan beberapa menit, mulai ada goncangan. Saya bergumam, “ya, sama saja. Mau pakai maskapai apa saja, kalau akan celaka, ya celaka.” Saya beristighfar. Terpikir tontonan berita beberapa hari terakhir. Kecelakaan pesawat yang menabrak Gunung Salak Bogor. Bukankah itu katanya pesawat “hebat”?? Teringat Ibu dan Ayah. Teringat cuplikan episode hidup beberapa waktu terakhir. Sedikit berkesimpulan, jika nanti terjadi apa-apa, bukankah itu sempat ada dalam pikiran saya dalam bulan-bulan terakhir? :D

Selama perjalanan, saya mencoba relaks dengan fasilitas musik, video, film dan tentu saja makanan yang disediakan. Memang tak sia-sia rasanya ‘membuat’ penerbangan kali ini berbeda. Hamdalah, nyaman rasanya bepergian sendiri, ketika sudah mendarat di Soeta. :D  

21.30. di KFC Soeta, mengabari Ibu. Paradise menertawakan kebodohan saya di lorong-lorong besar Soeta barusan. Aneh, bahkan saya juga merasa perlu menertawakan kebodohan itu. 
22.30. Saya dan Paradise menyiapkan segala sesuatu untuk perjalanan berikutnya. Mengabari Ika dan Aming. Istirahat.

Selasa (15/05), Pagi ini kami bersiap menuju Ciputat, Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, BNN dan kembali pulang, terakhir bersiap menuju Gambir. 

10.05 Aming menyambut kami dari balik jendela kontrakannya. Lalu, saya dan Ika ke Natasha Bintaro, Paradise menunggu di kontrakan. 

13.20 Saya dan Paradise memutar Jakarta, naik-turun transjakarta menuju BNN, dan akhirnya melewatkan Rumah Sakit Haparan Kita begitu saja, karena kami pikir tak cukup waktu jika mampir dulu di RS tersebut.

15.10 Kami sampai di BNN. Bercakap sejenak dengan Na, pulang bareng, jalan dan cerita-cerita singkat. Berpisah di perempatan dekat BNN. Berpelukan. Na menuju Pondok Gede, kami pulang, ke Jatinegara. Mengingat sudah harus berada di Gambir sebelum pukul 18.00

17.40 dari Jatinegara kami berangkat menuju gambir. 

18.10 Sampai di Gambir saya langsung shalat magrib dan menjama’ Isya. Aming dan Ika menurut informasinya hampir sampai. Kami berjumpa di dekat petugas karcis.
“Eh, pada mau kemana ini? Ke Jogja kok gak diajak?” petugas karcis sok akrab.
“Yuuukk!” Aming menjawab, dan tentu saja lebih sok akrab lagi.
Menunggu kereta tiba, Aming mulai narsis, berfoto ria. 

18.30 Kereta Bogowonto merapat. Kami naik. Mengatur barang-barang, dan duduk semanis dan senyaman mungkin. Bersyukur dan sedikit tak percaya dengan semua ini. Lucu, kalaulah ada rekaman videonya.
“Teng..Jojga teng..  hmmmm.. Assikk!“ Aming memulai.
“Bisa samo-samo lo lai” Ika nyambung.
Saya dan Paradise hanya tersenyum. Bersyukur.
Apa saja kerjaan kami di kereta semalaman?? Menghitung stasiun dan bertanya pada Paradise:
“Sis, bara stasiun lai Sis?”
Paradise akan menjawab enteng, “Banyak lai!”
Hahaha.
Atau Paradise yang akan spontan memberitahu:
“Cirebon.”
“ Kertasura.“
Apa lagi kerjaan di kereta? Poto-poto. Makan-makan. Cerita-cerita.
Dan, malam itu entah apa dosanya, bagi saya bagian itu dibuang saja dari memori. Tak ingin mengingatnya. Membuang jauh, dan melupakan kata-kata yang telah keluar dari mulutnya.
Saya berharap, pagi bisa datang lebih awal. Hari baru yang sangat dinanti. Melupakan malam yang kelam. 

Rabu (16/05) Kami menyambut fajar di stasiun Tugu Jogjakarta. Shalat Subuh. Pagi itu saya benar berharap semua bisa kembali nyaman dan menyenangkan. Seperti udara fajar yang selalu menyegarkan. Menyegarkan pikiran dan membersihkan hati kita. Melancarkan agenda dan perjalanan hari ini. Ke kos-kosan Pity, istirahat sejenak, bersih-bersih, ke Candi Prambanan, dan mungkin bisa keliling Kota Jogja. Tepatnya, kami belum bisa pastikan planning untuk hari ini.  

Ika mengabari teman-teman Jogja. Saya mengabari Ibu. Kami berjalan keluar meninggalkan stasiun. Berjalan menyusuri Malioboro yang sepi. Mengabadikan setiap tempat-tempat asing itu. Moment dan gaya Aming, ekspresi Ika dan Paradise. Mengintip keraton sepi di pagi hari. Halte busway-nya Jogja. Jalanan lengang. Lampu-lampu kota. Taman. Hingga mentari menyembul di balik sebuah gedung di perempatan BNI. 

07.00 Bersama “Garasie”  kami menuju kos-kosan teman-teman Jogja. Mereka teman sewaktu MAPK dulu yang sedang menyelesaikan pendidikan S2 di UIN SuKa, sebagiannya  sambil bekerja. 

10.00 Saya, Ika dan Paradise ditemani Ana berangkat menuju Prambanan. Setelah kami konfirmasi jadwal ke Bul dan garasie menjelang senja kami menuju pantai, dan malam di kota. Menuju NOL kilometer kota Gudeg itu. Mereka harus tuntaskan kerja sampai sebelum siang. 

11.30 Dari kos-kosan kami ke Prambanan. Sekali angkot dan sekali busway/transjogja. Rupanya, perjalanan itu sudah keluar propinsi. Seingat saya, dalam pelajaran IPS SD dulu, Prambanan itu bukannya masih masuk Jogja? Rupanya beda. Kadang, konsep yang tertanam dari kecil itu, diubah pun, akan sering kembali ke asalnya. Itulah kenapa, mengajarkan anak kecil itu, mbok ya yang benar-benar saja.  :D Kami sampai di Jawa Tengah, hanya berkendara delman. 

14.00 kembali ke kosan. Makan siang, nasi Padang. Saya berharap di mana pun berada, saya bisa mencicipi makanan daerah itu. Eh, taunya pas beli makan siang, kawan-kawan membeli Nasi Padang. Heran. Atau, karena saya sendiri yang masih ‘hangat’ dari Padang. Mereka mungkin sudah merindukan masakan Padang sebenarnya. Lalu kami bersiap menuju pantai selatan.  

17.20 di Pantai parang tritis itu, kami habiskan senja dengan poto-poto. Berlarian dikejar ombak. Bercerita singkat.
Saya lupa, sedang berada di belahan lain Indonesia, bukan di kampung saya. Hahaha. Pantas saja, azan magribnya lebih cepat. *wow!*

Ada cerita mistis kami senja itu. 

Hingga lewat jembatan batas desa malam itu suasana di mobil dingin, mencekam. Saya dan Ika duduk di belakang, berdua. Paradise menyelip diantara Bul dan Ana, tampak ketakutan.
Paradise bercerita. Ika ngotot bertanya, penasaran. Ana mematut poto-poto di pantai tadi. Saya dan Bul sepakat tak mau melihat kamera saat itu. Alasan kami, ya, karena tak mau dikuasai rasa takut saja. *welehh..padahal itu sudah indikasi takut! :D*

19.00 Sampai di kota kami makan malam di Raminteen. Bagi saya tempat ini menarik, ada “sesuatu yang gimanaaa gitu!” Hehe. Bukan, maksudnya, ya, karena tempat makan ini dimiliki oleh seorang yang bisa berperan dua (lelaki dan perempuan) sekaligus. Kebetulan malam itu kami bertemu “dia” yang versi laki-lakinya. Di samping nuansa yang kental Jawa, harga yang murah meriah juga menjadi daya tarik tempat ini. 

20.30 Saya lelah. Tapi, perjalanan dilanjutkan Aming yang hunting “sesuatu” ke Dagadu. Maka malam itu kami berada di 0 Km Kota Jogjakarta. Sedang saya dan Paradise tertidur di titik NOL itu selama 30 menit, menunggu mereka yang pilah-pilih di dalam distro.
22.00 kami kembali ke kosan Pity, mempersiapkan esok dengan serangkaian agenda.
Kamis (17/05), hari ini perjalanan dimulai dengan trip menuju Borobudur, dilanjutkan ke Keraton, Kota, Malioboro, dan Stasiun Lempuyangan, kembali ke Jakarta.
08.30 kami sarapan pagi di sebuah kedai di daerah apalah namanya sebelum sampai di Borobudur, saya lupa.  Menurut Garasie, tempat itu adalah tempat makan semacam soto yang populer bagi turis yang datang ke Jogja.
Jumat (18/05), subuh ini kami sudah kembali berada di ibukota. Berpisah dengan Aming dan Ika di kereta. Belum bising dan berdebu, walaupun aktifitas orang-orang sudah dimulai dari sekitar 3 jam yang lalu. Ah, entah tepat ada istilah dimulai atau berakhir saya tak tahu. Karena tempat fotokopi di kota itu menurut Paradise buka /beraktifitas 24 jam. Jadi kapan mulai dan berakhirnya? Tak ada.
Agenda hari ini, bersih-bersih di rumah Jatinegara. Siangnya bersiap-siap ke Pasar Minggu. Dari Pasar Minggu langsung ke Bogor, IPB, Darmaga.
Sabtu (19/05) mengitari Kebun Raya Bogor. Poto-poto. Menunggu Na di depan KRB. Tadinya ia mengajak mampir ke Cimahpar, tapi kami harus melanjutkan perjalanan ke Cibinong.
Minggu (20/05) dari Cibinong kami menuju Depok, Mesjid Kubah Mas. Siang melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Sore sampai di Jatinegara. Bersih-bersih. Makan. Bersama Teton, Paradise saya bersiap menuju Jakarta Kota. Di sana kami janji bertemu dengan Ika. Dari Jakarta Kota, saya, Teton dan Ika menuju Ciputat. Paradise pulang ke Jatinegara.
Senin (21/05) Ika mengantar Teton ke terminal Lebak Lubus. Teton harus mengejar kuliahnya siang ini, dengan bus Patas AC. Saya di kontrakan Aming bersiap menuju Blok M. Di sana, saya dan Ika janji ketemuan lagi dengan Paradise.
18.30 Kami nonton Avenger.
19.30 Suasana buruk. Saya mulai gelisah.
20.30 salam perpisahan dengan Ika. Perjalanan singkat kami ditutup dengan Film Avenger. 
21.00 Menanti bus menuju Jatinegara. Di bus saya dan Paradise tak banyak bercakap. Suasana kaku. Ia sibuk menjawab telepon S**Y.
22.00 Bersiap segala sesuatu untuk pulang ke Padang. Malam itu, hati saya bercampur aduk rasanya. Entahlah.
Selasa (22/05) Saya kembali ke Padang dengan penerbangan kedua Batavia.
07.00 Pesawat delayed 20 menit. Saya memberi kabar keterlambatan ke sekolah. Terus berkomunikasi dengan Teton, Aming, Ika, Ami dan tentu saja Ibu.
09.00 Menunggu travel di BIM. Saya kembali konfirmasi ke sekolah. Harus ubah haluan, menuju Tabing. Ke kontrakan Ami. Melihat kondisinya pasca kecelakaan kemarin. Sulit memberi penjelasan kenapa planning saya berubah. Bukan langsung ke Padang Panjang, tapi mampir ke Padang dulu.
12.00 Mengecek kondisi Ami. Urung, ia menolak saya temani ke dokter. Bersih-bersih. Makan siang.
14.00 Menyiapkan tugas sekolah. Memprint nilai.
15.10 Menuju Tabing.
15.30 Saya berangkat pulang ke Bukittinggi bersama Bahagia. Menjelang Magrib sampai di rumah. Alhamdulillah.

Akhirnya, semua memang berakhir BAHAGIA dan penuh makna. Dan kalian tahu? Kita dituntut dalam hidup ini hanya melalui dengan peran terbaik kita. Begitu saja! Perjalanan singkat ini, sungguh mengesankan. Alhamdulillah..
Bukittinggi-Padang Panjang-Padang-Jakarta-Jogjakarta-Magelang-Jogjakarta-Jakarta-Bogor-Cibinong-Depok-Jakarta-Padang
Gagal ke Pare, Malang dan Bandung.
Next trip to Batam-Singapore- Malaysia.. J
Next nya lagi : Jeddah- Mekah- Madinah- Cairo è HAJI n UMRAH
Next-next nya lagi : Belanda-Jerman è just follow siapalah/ atau apalah :D
Next-next-next nya lagi : Jepang/ Aussie è studi banding pendidikan/ magang

:D
Heran ya?? Kenapa?? Masalah buat Loe?  Xixi
Heiii....beginilah hidup! Never COMPARE ur JOURNEY *of life* with someone else’s. UR JOURNEY/LIFE is URS!! J
So, yakin saja, sometime, ur dream will be a reality guys! Just get plan n dream it before!

Nimiasata_2012
^_^


*Kalian boleh menganggap saya katrok membicarakan ini ‘kan? Ya, tak masalah.. * :D


Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...