29.3.17

Mendidik Anak Multibahasa

Menguasai multibahasa (banyak bahasa) adalah impian sebagian orang, penyuka bahasa. Di samping, menguasai berbagai bahasa sebagai sebuah tuntutan kehidupan, -misalnya orang yang hidup di luar negeri, berbaur dengan orang dari berbagai negara-. Dalam keadaan demikian, bahasa yang digunakan tentunya tak hanya satu, 'bahasa ibu' saja. Berbeda dengan orang yang hanya hidup di satu wilayah sosial, penguasaan bahasa yang diperlukan hanyalah satu bahasa ibu, yang disertai dengan sejumlah dialek-dialek.

Di masyarakat Indonesia sendiri, menguasai multibahasa mungkin adalah hal yang lumrah. Dengan begitu kayanya bangsa ini -beragam suku bangsa, budaya dan juga bahasa-. Saya adalah salah satu yang menginginkan penguasaan multibahasa itu.

Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw, menyuruh Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Yahudi, bahasa Suryani. Tujuan saat itu adalah untuk mengetahui beberapa kalimat yang terdapat dalam kitab umat Yahudi. Dalam riwayat lain kita masyhur pula mendengar, "siapa yang menguasai bahasa suatu kaum, maka ia selamat dari tipu daya kaum tersebut."

Sejarah juga telah mengajarkan kita, bagaimana pertukaran ilmu pengetahuan antara timur dan barat itu terjadi. Masing-masingnya menguasai bahasa tujuan ilmu itu dipelajari. Umat Islam mempelajari bahasa Yunani, lalu menerjemahkan kitab-kitab Yunani. Maka belajarlah orang Timur pendapat-pendapat Aristoteles, Socrates, Plato, Phytagoras dan sebagainya. Sebaliknya, zaman berganti, saat Barat dilanda masa kegelapan, mereka mempelajari bahasa arab, lalu menerjemahkan kitab-kitab yang lahir dari ilmuwan muslim abad itu, ke dalam bahasa mereka.

Terlepas dari semua itu, sebagai seorang muslim yang hidup di Indonesia, kita tentu 'terbiasa' dengan ibadah-ibadah yang hanya bisa dilaksanakan dengan bahasa Arab. Shalat misalnya. Ini tentu juga menjadi gambaran ke-multibahasa-an yang telah populer di kehidupan kita.

Lalu, bagaimana dengan mendidik anak multibahasa?

Sekolah RSBI, sekian tahun lalu telah menggunakan dua bahasa (bilingual) dalam pembelajarannya. Bagi saya, ini adalah salah satu perhatian pemerintah agar anak terbiasa menguasai bahasa selain bahasa ibu nya sejak dalam proses pembelajaran.

Sekolah-sekolah swasta bahkan, sejak usia kanak-kanak telah mengajarkab bahasa asing (kedua) secara intensif kepada anak-anaknya. Memang ada pro kontra terkait pendidikan multibahasa kepada anak. Ada yang berasumsi bahwa anak belum perlu belajar basaha selain bahasa ibu. Ada argumen lain yang menyatakan bahwa, semakin dini anak mengenal bahasa, semakin mudah penyerapannya. Menurut para ahli, masa paling ideal untuk mempelajari bahasa lain selain bahasa ibu adalah usia 6 – 12 tahun.

Dalam teori psikologi anak dikatakan bahwa, stimulasi awal pada usia perkembangan anak melalui pembelajaran bahasa akan memberikan keuntungan dalam perkembangan bernalarnya. Anak akan memiliki kesadaran sistem bahasa sebagai suatu gejala sosial.Tentunya semua ini baik, jika dilakukan dan dipelajari atas dasar kesukaan berbagai bahasa, bukan keterpaksaan.

Kita juga tidak setuju dengan pewajiban belajar bahasa kedua (asing) bagi anak di sekolah-sekolah, khususnya dasar. Hal ini hanya akan menambah beban kurikulum. Di lain sisi, justru mencederai eksistensi bahasa ibu si anak, Bahasa Indonesia.

Maka, rumah dan pendidikan keluarga adalah sarana yang tepat untuk mengajarkan anak berbagai bahasa. Sekali lagi, tentu dengan memperhatikan kecendrungan belajar anak. Bahwa ia memang juga menyukai banyak bahasa. Karena, orang tua hanyalah fasilitator bukan eksekutor. Tak baik pula rasanya hanya tersebab keinginan ibunya, -untuk menguasai berbagai bahasa- anak harus menjadi korban, les bahasa ini itu.

Maksud tulisan ini hanya: jika ada yang sependapat, menyukai berbagai bahasa, ajarkanlah anak-anak sejak dini multibahasa, sekalipun hidupnya di Indonesia. Jika muslim, tentu terbaik adalah mengenalkan bahasa agamanya, bahasa arab. Seperti kata Umar bin Khattab, "Hendaklah kamu sekalian tamak mempelajari Bahasa Arab, karena bahasa Arab itu merupakan bagian dari agamamu." Selanjutnya tentu bahasa-bahasa internasional lainnya. 

* Tulisan ini adalah hasil pikir-pikir saya di jalan menuju sekolah tadi pagi, saat seorang bocah usia dua tahun (kira-kira), menyebut cat dan menunjuk kucing.

** Oya. Bahasa arabnya cat itu ada qith-tun (قِطٌّ ) lho. Mirip ya?! :D

28.3.17

Sudah Berpikir Benarkah Kita?

Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, apakah kita sudah berpikir benar. Salah satu instrumen yang bisa dipakai untuk mengukur ke-benar-an cara berpikir kita adalah dengan mencermati hal-hal berikut:


Pertama, Mencintai kebenaran.
Kita seringkali dihadapkan dengan berbagai soalan dan kenyataan yang menggiring kita pada prasangka-prasangka. Atau, justru berpikir dengan mengkotak-kotakkan. Untuk bisa berpikir benar, perlu diwaspadai kecendrungan manusia untuk selalu menerima sesuatu adalah benar, sebagai hal yang dikehendakinya benar. Bersikap mencintai kebenaran, termasuk seperti mematuhi kebenaran-kebenaran yang ditemukan orang lain.

Kedua, Ketahui (dengan sadar) apa yang sedang dikerjakan.
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Kita terus menerus mengejar kebenaran, diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi sifatnya parsial.

Ketiga, Ketahui apa yang tengah kita katakan.
Pikiran diungkapkan dengan kata-kata. Kalaulah, -seperti kata Ibnu Sina- pikiran itu bisa mengungkapkan dirinya sendiri langsung, tanpa lewat kata-kata, tentu tak perlu lagi kata-kata. Maka orang yang cermat pikirannya, terungkap lewat kecermatan kata-katanya. Terkadang menggunakan istilah (term) yang tidak tepat untuk penunjukan maknanya. Ketidaktertiban istilah yang digunakan itu akan berakibat pada penalaran.

Keempat, buatlah pembedaan dan pembagian.
Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda. Namun ada kalanya, dua hal yang sama bentuknya, tapi tidak identik. Di sini diperlukan pembedaan (distingsi). Hal yang satu secara eksplisit adalah bukan hal yang lain. Bukan justru dipukul rata, sama. Karena luasnya realitas itu, maka diperlukan klasifikasi/pembagian.

Kelima, cintailah definisi yang tepat.
Definisi ditujukan untuk membuat pembatasan. Mencintai definisi, artinya mencintai cara berpikir yang terang, jelas, dan tajam membeda-bedakan. Maka teranglah maksudnya.

Keenam, Ketahui alasan pilihan (mengapa menyimpulkan begini/begitu)
Kesimpulan itu diperlukan. Namun jika bahan yang ada tidak atau kurang cukup, sebaiknya menahan diri untuk menyimpulkan atau membuat pembatasan-pembatasan dalam kesimpulan.

Ketujuh, hindari kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, dan kenali sebab kesalahan pemikiran.
Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis.

Itulah tujuh kondisi yang dibutuhkan sebagai upaya berpikir baik, selain berpikir benar dan logis-dialektis.

(disarikan dari buku Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu)

Review Buku: Veronika Memutuskan Mati

Judul          : Veronika Memutuskan Mati 
                     Veronika Decides to Die
Penulis       : Paulo Coelho
Penerbit     : Gramedia 
Tebal buku : 236 hlm


"Gadis itu akan menganggap setiap hari sebagai keajaiban -dan sebenarnya memang demikian jika kita melihat betapa banyak hal tak terduga yang bisa terjadi setiap detik dalam hidup kita yang rapuh ini." -- Dr. Igor ; hlm. 236

Dr. Igor; psikiater yang menangani berbagai kasus kejiwaan di Vilette.
Mari; mantan pengacara yang bermasalah dengan kemampuan dirinya mengelola ketakutan. Gangguannya disebut panic attack.
Zedka Mendel; penderita depresi yang menjalani perjalanan astral, setelah diberi pengobatan insulin shock. Sebuah terapi terlarang (tahun 1930) di rumah sakit jiwa yang dipakai kembali, untuk menekan kapasitas mental pasien depresi.
Eduard; pemuda yang mengalami jenis kegilaan, skizofrenia. Ia ingin menjadi pelukis, ayah dan ibunya merencanakannya menjadi diplomat.

Dan, tentu saja ada si tokoh utama, Veronika.
Gadis 24 tahun, yang memiliki kehidupan normal, bekerja sebagai pegawai perpustakaan, memiliki orang tua yang lengkap dan sempurna. Ia menginginkan kebebasan. Menurutnya, segala sesuatu itu akan berakhir dengan kematian. Kebebasan itu bisa didapat hanya dengan mati. Ia memutuskan bunuh diri dengan menenggak empat bungkus pil tidur.

Apakah ia kemudian langsung mati? Tidak. Semua berproses. 

 Apa yang akan kita lakukan sembari menanti kamatian?

Inilah cerita 236 halaman karya Paulo Coelho yang memberikan banyak informasi, lintas ilmu pengetahuan, memberi inspirasi serta motivasi kehidupan dengan hikmah beragam.

***
Veronika memutuskan mati. Ia akan bunuh diri dengan cara elegan. Lalu mengirimkan surat ke koran, memberi tahu dunia, bahwa ia akan bunuh diri di Slovenia. Kota asing yang dijadikan seorang wartawan, sebagai judul tulisannya dalam sebuah majalah. Veronika membaca majalah itu, tersebab ia tak kunjung mati setelah menenggak pil tidur. 


Ia kemudian, harus melalui lima hari lebih untuk mengetahui, bahwa ternyata ia pun memiliki hidup yang bermakna, tak sia-sia. Semuanya justru diperoleh melalui banyak orang "gila", di rumah sakit jiwa. 

"Apakah sesuatu dianggap normal, melulu karena diikuti oleh mayoritas?" Pertanyaan ini diajukan Paulo Coelho lewat novel ini. Dia yang pernah menjadi bagian rumah sakit jiwa, tentu memahami betul bagaimana rasanya menjadi yang dianggap "tidak normal" itu. 

Orang-orang yang hidup di dunia mereka sendiri, kemudian disebut gila. 'Orang gila' dibebaskan dari hal-hal yang berkaitan dengan aturan, juga hukuman. Ketika diberi kesempatan menjadi bagian orang 'gila', tokoh utama melakukan hal-hal gila. Tidak harus patuh. Tidak mesti menyenangkan orang lain. Bebas menjadi yang dirinya mau. Mencoba hal-hal yang menurut selama ini terlarang.

Teori-teori berkaitan psikologi, kejiwaan, pengobatan medis terhadap penyakit jiwa dijelaskan di buku ini melalui penjelasan Dr. Igor. Si Dr. Igor bertekad menemukan obat untuk menyembuhkan kegilaan. Salah satu penelitiannya adalah terhadap Veronika.

"Diperkirakan, satu dari lima individu menderita beberapa gangguan psikiatri dan satu dari delapan warga Kanada akan mengalami perawatan, setidaknya sekali dalam seumur hidup akibat gangguan mental." ---h. 87

Pesan lain dalam buku ini adalah, pandangan penulis tentang hukum. Melalui pendapat Mari, dikatakan bahwa "keadaan sulit bukan akibat kekacauan atau anarki, melainkan akibat terlalu banyak aturan. Di masyarakat semakin banyak kaidah, hukum bertentangan dengan kaidah dan kaidah baru bertentangan dengan hukum. Orang takut keluar dari kaidah yang mengendalikan seluruh hidupnya." Salah satu keahlian pengacara, -katanya- adalah mengulu-ulur persoalan. 

Satu tema di akhir, tentang perkenalan Veronika dan Eduard. Masing-masingnya kemudian jatuh cinta. Bagi Veronika, meskipun ia kemudian mati, -setelah lima hari penantian kematian itu-, ia akan mati dengan penuh cinta. Ia tidak lagi menjadi : "Veronika yang bunuh diri karena merasa tak ada lagi artinya hidup. Yang merasa bahwa semua tugasnya sudah tuntas." 

**
Menyimak kisah-kisah orang yang dianggap gila, atau benar-benar menderita gangguan mental, sesekali perlu dilakukan. Agar kita sadar, betapa mahalnya anugerah akal dan kewarasan yang dimiliki saat ini. 



3.3.17

اللغة العربية - Raja Salman

Sengaja kata-kata yang menjadi judul tulisan ini, saya bedakan. Satu berbahasa Indonesia, satunya lagi berbahasa Arab. Setidaknya, agar mulai saat ini kita terbiasa dengan bahasa arab. Walaupun, sebagai seorang muslim, hendaknya bahasa arab bukan lagi bahasa asing. Toh, setiap hari ada lima kali setidaknya kita ber'cakap-cakap' dengan Tuhan menggunakan bahasa ini. Dimana negeri yang membolehkan shalat pakai bahasanya sendiri selain bahasa arab?

Jika beberapa tahun lalu saya bicara tentang 'bahasa arab', sebagian orang hanya akan menilai, hal ini sebagai bentuk ketidak puasan terhadap perlakuan yang diterima. Hanya terzalimi sistem, begitu saja. Barangkali hari ini, awal Maret tahun 2017 ini, tidak lagi demikian. Ya, barangkali. Kemungkinan pertama tetap saja masih ada. Walaupun, tinggal sedikit yang berpikiran demikian. Semoga saja.

Sebagai contoh, jangan jauh-jauh lah... atasan saya saja. Saat menghadap, hari pertama ditugasi di tempat saya bekerja, atasan saya justru berkata: "Barangkali pemerintah berpikir akan ada kerja sama ke Arab. Anak SMK kerja ke Arab, makanya ada bahasa arab di SMK."
Kalimat ini terucap sekitar tahun 2011. Dan tahun ini, saat siswa-siswa saya (yang pernah sedikit mengenal bahasa arab) itu telah berada di dunia kerja, mereka mampu memahami, dan walaupun sekedar berucap "ahlan wa sahlan, afwan, syukran, syekh, sayyid," dan percakapan sederhana lainnya. Di samping, mestinya ada perubahan bacaan shalat yang dilaksanakannya setidaknya lima kali dalam sehari. Kondisi siswa tamatan SMK ini, tentu lebih 'ramah', komunikatif dan 'lebih dekat' dengan konteks kunjungan King Salman ke Indonesia hari ini.

Lebih lanjut kita mengikuti informasi di media, bahwa kedatangan King Salman ini tak lepas dari tujuan kerjasama dalam segala bidang. Selain bersama memerangi terorisme dan radikalisme, bentuk kerjasama yang ingin diciptakan adalah di bidang pendidikan kebudayaan. Kabarnya ada sebelas nota kesepahaman (yang semoga saja berwujud MoU kerjasama itu), antara RI dengan Saudi Arabia. Dan, mengingkari adanya kemitraan Indonesia dengan Saudi Arabia, bagaikan mengingkari matahari di siang hari, demikian perumpamaannya kata King Faisal.

Pendidikan Kita Mesti Ramah Berbagai Bahasa Asing

Bahasa Arab dan kedatangan King Salman hari ini adalah contoh sederhana, bahwa pendidikan vokasi/ kejuruan perlu ramah terhadap bahasa asing. Setidaknya, tiga bahasa asing selain bahasa Inggris. Maksud saya, bukan setiap siswa menguasai bahasa itu keseluruhan, tidak. Tapi mereka mengenal dan merasakan dzuq berbahasa itu. Kelas sepuluh SMK perlu kenal tiga bahasa asing yang dekat dengan vocational yang mereka tekuni. Bahasa Jepang misalnya, atau Perancis, atau Mandarin, atau Korea, Belanda dll.

Saya pikir, anak-anak yang telah memilih sekolah kejuruan, tak akan kesulitan mengenal, menerima dan memperoleh bahasa kedua, ketiga dan seterusnya karena konsep dan sifat kreatif yang sudah melekat pada diri mereka. Tentu saja, jika berharap mereka menguasai, ya tak akan cukup dalam pertemuan dua kali semester. Toh, belajar bahasa Inggris sejak SD pun tak memperlihatkan hasil yang memuaskan jika hanya berpatokan pada pendidikan formalnya. Setidaknya, ada dzuq itu tadi. Dengan mudah, mereka bisa mendalami bahasa asing apapun yang mereka inginkan dan mereka sukai.

Saya screenshot salah satu berita online dengan judul yang menarik ini. "Kunjungan Raja Salman, Bali Belum Punya Pemandu Wisata Berbahasa Arab".





Tak perlu heran juga dengan realita sebagaimana yang terjadi hari ini. Apakah, selama ini kita kekurangan orang-orang dengan kualitas cakap berbahasa Arab? Tidak. Kita tak sedang mencari jarum di tumpukan jerami. Mungkin kita hanya mencari kambing ke kandang bebek. Ya, tak bersua. Ada banyak ma'had yang telah mewisuda mahasiswanya cakap berbahasa arab. Bahkan lembaga pendidikan khusus bahasa arab pun di Indonesia ada.

Dimana persoalannya? Saya berkesimpulan, beberapa hal ini memiliki keterkaitan satu sama lain.
Pertama, dunia pariwisata kita belum memandang perlu adanya bahasa arab sebagai skill dasar bagi pemandu wisata. Hal ini sebaiknya menjadi perhatian bagi pemerintah daerah yang akan mengembangkan wisata dengan istilah kita hari ini, "Wisata Halal Dunia", seperti Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Gubernur dua daerah ini cukup paham akan hal ini, saya kira.

Kedua, selain pariwisata, perhatian terhadap keagamaan dan keberagamaan dalam dunia politik akhir-akhir ini menjadi hal yang sensitif. Maka, bila seorang pemimpin benar-benar menginginkan rakyatnya ber-Islam dengan baik, mulailah memperbaiki generasi muda. Ingin anak-anaknya shalat yang benar, bantulah memperbaiki bacaannya. Ingin mereka paham, mengerti dan peduli, ajarkan bahasa agamanya. Soal agama, jelas berkaitan dengan pendidikan.




Ketiga, Jauhkan dikotomi ilmu pengetahuan. Bahwa 'Bahasa Arab' adalah bahasa IAIN, madrasah atau pesantren, itu tidak lagi relevan. Dengan tujuan bahasa Arab selain sebagai bahasa internasional kedua, bahasa arab bahasa agama Islam, bahasa ini juga merupakan bahasa ekonomi, politik dan budaya. Jika bisa kita beri hukum wajibnya mahasiswa IAIN memahami bahasa Arab, apapun jurusannya, maka hukum itu menjadi dianjurkan pada jurusan-jurusan ekonomi, hubungan internasional, pariwisata, dan ilmu sosial lainnya. Pun demikian juga dengan sekolah-sekolah kejuruan. Arus globalisasi dan berpikir moderat mengantarkan bangsa-bangsa pada taraf berpikir dan pergaulan yang maju. Tak ada lagi yang terpinggirkan. Selagi ada nilai ekonomis, semua negara memiliki harga diri yang sama. Dulu sensi, sekarang selpi. Dulu anti, malah 'cie ciee' hari ini. *begitulah..

Keempat, Perubahan yang begitu cepat di negara ini, seiring dengan pergantian pejabat, pemimpin, penguasa dan isi kepalanya masing-masing, menuntut kita harus berdiri dengan kaki-kaki hukum. Apapun kebaikan yang tak ada standar hukumnya, menjadi termansukhkan oleh kebijakan yang datang kemudian. Maka apapun yang hendak kita ubah, ubahlah lewat sistem. Berteriak dari luar pagar, kadang tak memberi arti apa-apa pada si pemilik rumah. Terlalu tinggi sekat yang dibuatnya, mungkin. Tapi, bertamulah dengan hormat, elegan berpendapat, ikuti aturan main, dan bermain sesuai aturan, idealnya kebaikan-kebaikan bisa tersalurkan. *ehh..eh, ini apa maksudnya. :D

Eniwei, semua ini hanya cuap-cuap dan luapan kebanggaan saya sebagai rakyat Indonesia.
Saya bangga punya Presiden yang memuliakan tamunya, semoga senantiasa dilimpahi hidayahNya.
Saya hormat dan bangga pada Raja Salman, *terselip pesan: ada banyak pesan-pesan dari lubuk hati terdalam kami ummat Islam lewat spanduk-spanduk itu ya Malik Salman, :D dan semoga senantiasa dalam rahmat Allah swt.

أهلا و سهلا

** BIG Jempol buat Republika. Emang wokeh lah, halaman satunya, ga ada tandingan. Pake bahasa arab sih..

قدوما مباركا يا خادم الحرمين


Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...