7.12.15

Saat Bicara Gak Nyambung yang Sesuatu Banget

[google pic.]

Pernah dong kamu merasa gak nyambung banget dengan tema pembicaraan?
Beberapa waktu lalu, saya justru memfasilitasi pembicaraan yang gak nyambung. Dan, itu.. buat saya menjadi rasa yang sesuatu banget. Rasa campur aduk, kesel, nyesel, bosenin plus bikin bingung sendiri.

Sebagai seorang tenaga pengajar, mestinya kita biasa dan -hasrunya lagi- bisa berkomunikasi yang baik. Komunikasi efektif itu, di antara ciri-cirinya adalah gak bertele-tele, dapet inti/poinnya, menarik, disertai humor mungkin, disampaikan secara tulus juga, bahasa mudah, dan cara penyampaian baik, tentunya dengan tujuan pembicaraan yang jelas. Komunikasi efektif itulah yang buat nyambung atau tidaknya seorang pembicara dengan audiensnya,

Nah, kalau posisi kamu jadi seorang penengah, antara pembicara dan audiens, dihadapkan pada keadaan yang,
1. dikasi tau tentang tema pembicaraan
2. dikasi slide pembicara satu
3. dikasi slide pembicara dua
yang, antara satu, dua dan tiga rada ga nyambung gitu. Ibarat jari-jemari, yang mertinya klop, saling silang kelima jarinya, dan itu jelas banget ketercapaian apa yang dibicarakan. Ada arah timbal balik antara kedua tangan. Maka si jari itu, sukses buat nyambung keduanya.
Kalau ilustrasinya, jari telunjuk nempel ke jari telunjuk, buat saya itu belum efektif. Cuma ketemu aja, gak nyambung.
Yang satu ngomongin ABCDE, satunya lagi ngomongin A aja. Sedangkan secara garis besar arah pembicaraan yang ditetapkan itu adalah "Huruf-Huruf Vokal". A-I-U-E-O. Yang tukang nyambungin itu pun, taunya cuma I -E, gimana nyambungnya...

Dan, kalau pembicaraan yang sejak awal udah rada ga enak hati, tersebab apalah misalnya, kondusif tidaknya sarana-prasarana, terang aja ngaruh sama pembicaraannya.
So that, butuh waktu cukup lama, saya menghibur diri atas ketidakmaksimalan saya memfasilitasi hal itu semua. Itu tadi, rasanya mulai dari kebanyakan "loh, kok...?", "duh, kok gini,,", hmm..hmm., monoton, gimana nyambunginnya, kasi komen, bosen, kesel, jadi bingung, dan ujung-ujungnya nyesel. Saya bener-bener KZL beratz sama diri sendiri waktu itu. Hahaha.

Karena, saya tau banget, bagaimanapun itu adalah kesalahan saya. Persentase terbesar, kegagalan komunikasi itu adalah kesalahan saya. #ITU!
Kenapa saya ga bisa bikin suasana cool jadi adem, akrab. Kenapa ga bisa nyari benang merah apa yang dibicarain untuk difloor- lagi ke audiens. Kenapa ga bisa menetralisir kebingungan sendiri dengan lebih baik. #hallah, ini salah ding, bingung kok dinetralisir#. Dan lain-lain,, dan lain-lain.

hmh.

Dulu, juga saya pernah mengantar sebuah acara sakral, yang sampai berhari-hari setelah acara itu selesai, saya tetap uring-uringan, KZL. Masalahnya waktu itu, saya udah siapin urutan acara, udah dikasi tau panitia, di fix kan yang hadir, yang bicara dan udah ready gitu. Lah, emang dasarnya amatiraann...saya nya justru belum nyambung kalo yang hadir belakangan itu adalah pejabat kota itu [bukan kota saya tinggal sih, jadi ga kenal]. Saya kira cuma tamu penting, siapalah, taunyaaa...plat merah 1 nya.

Panitia buru-buru datangi saya, bilang ini-itu dan marah-marah, di sisi ruang yang kelihatan banget sama orang banyak. DUH!! itu rasanya, KZL kelas internasional. Rasanya, mau pulang aja. "Selesaikan sendiri acaramu." mau bilang gitu sih, tapi "ya allaahh... ampuni, ampuni. Save me. :(" Trus, coba lagi, senyum, tarik nafas, senyum, istighfar. Dan lanjutin acara sampai selesai.

Setelah itu? Setelah acara selesai, saya cabut. Pamit dikit, basa basi. Udah. Nyari kopi, coklat dan kripik. Hahaha. #makananadalahpelampiasanemosipalingbaik.

Gituu deh, cuap-cuapnya, gak nyambung yang rasanya sesuatu banget!!
Buat saya, nulis yang semacam ini, di blog juga jadi penyalur emosi yang lebih baik. Tapi ga langsung saat rasa KZL itu hadir, didiamin dulu beberapa waktu, biar otak dan hatinya terkoneksi dulu dengan baik. Beres. #tarikk nafas... plong.

Jadi, kesimpulan saya atas cuap-cuap ini:
1. kalau kamu mau "berbicara" jangan lupa doa dulu. Ini bener banget, Rabbisy rahli shadri, wa yassirli amri, wah lul 'uqdatan min lisaani. Karna gimana pun persiapannya, kalo dalam hati ada rasa 'sepele, anggap enteng, dll, Allah punya cara ingetin keangkuhan kita.
2. setelah persiapan, jangan diburu stres, atau merasa tertekan baik oleh waktu, orang-orang atau pun ketakutan sendiri. Yakinkan diri, bismillah, niatnya bantu lancarin acara orang, udah.
3. buat dirimu rileks dengan yang kamu suka. Dengan senyum, liat orang yang kamu percaya, dan all things gonna be okay.
4. tambah jam terbang. Coba lagi belajar lagi. kalau udah lama ga coba, awal-awalnya ya biasa aja, grogi dikit mungkin. *oh. ITU AKU..* #s07lirik# hehehe.

Daan, udah dulu cuap-cuapnya, udah pagii, ga enak sama mentari, telat keluar rumah. :D 
Komunikasi Efektif adalah saling bertukar informasi, ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang atau kelompok yang hasilnya sesuai dengan harapan. - See more at: http://chalouiss.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-tujuan-bentuk-dan-unsur.html#sthash.XnOBa8Na.dpuf
Komunikasi Efektif adalah saling bertukar informasi, ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang atau kelompok yang hasilnya sesuai dengan harapan. - See more at: http://chalouiss.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-tujuan-bentuk-dan-unsur.html#sthash.XnOBa8Na.dpuf
Komunikasi Efektif adalah saling bertukar informasi, ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang atau kelompok yang hasilnya sesuai dengan harapan. - See more at: http://chalouiss.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-tujuan-bentuk-dan-unsur.html#sthash.XnOBa8Na.dpuf

6.12.15

Menuju Hijrah



Pernah kusimpan di diam. Tak kering dendam. Terus mengembang. Bertumbuh duri. Terasa sakit.
Barulah dimengerti, mengenang tak terasa perih. Pergi tak ada ganti. Hilang kemana dicari. Lepas tak tau arah terbang. Merelakan. Mengerti walau bukan diberi arti. 

Pernah kudekap angan. Harap dan doa berpagutan. Tak penat mengejarnya. Kian jauh berlari. 
Sesampai di muara,  lalu bertanya, apa guna. Apa guna sampai di sini. 
Heran kepada diri. Sudah dapat tak tau arti. Jauh katanya hamba dari Ilahi. 
Di muara, kita terhenti. Lihatlah sampan itu. Dayung dan lentera telah siaga. 
Siapa lebih dulu, atau siapa menunggu apa. Kenapa tak kunjung berlayar.


Pernah kutitip mimpi. Pada elang di puncak Merapi. Hendak menurut kelana bersamaan,
Tak perlu terlalu tinggi. Bertapakan juga hendaknya di bumi. Belum. Belum lagi sejengkal mengangkat diri.
Tersungkur, tiada kuasa berdiri. Meng-awangkan terawang lebih jauh lagi.



Kadang takdir seperti kebaikan yang menumpuk. Menumpuk berkebalikan. Beroleh, walau dari lain sisi. 
Ingatan membenam dalam kenangan. Tak pantas dipupuk menjadi dendam. Rindu enggan berkesudahan. 
Mimpi-mimpi, lalu terjadi, tapi tanpa arti. 

Kenapa enggan bertanya, bila diam menyengsarakan.
Kenapa diam, bila pergi sudah masanya.
Kenapa bertahan, bila di sisi ada jalan. 
Kenapa mencuri, sedang masih bisa ia dicari.
Kenapa menerka, apa yang sudah jadi tetap Nya.
Kenapa kikir pada kebaikan-kebaikan.
Kenapa tak jua belajar kepada sabar.
Innal insaana khuliqa haluu'a. 
 
Mungkin kembali hadir, pada waktu, dengan dan dalam sesuatu yang tak lagi merupa wujud. 

#menujuhijrah

18.11.15

yang tersisa dari #han tahun ini

With irvan


Duo bocah TK yang malu-malu pas diajak berfoto

Ada yang kenal nama si Om ini? Hehe

#yang tersisa dari peringatan han kota kami tahun ini.. :)

28.10.15

Review Buku: DILAN



DILAN
Dia Adalah Dilanku tahun 1990


Tak ada yang disampaikan buku ini, selain kebanggaan si Aku kepada  laki-laki nakal, usil, tapi asik bernama Dilan. Si Aku bangga, karena Dilan selain sebagai penggemarnya, juga merupakan anggota geng motor yang juara kelas.
Dilan suka bersosial. Jago menggambar. Suka bermain gitar dan cuek terhadap anak perempuan. (lho, jangan-jangan itu karakter penulis pas SMA. hehe)


Dilan dan Melia, dalam buku Dilan (I), mestinya dibaca para guru, pengajar SMA sekarang. Dengan demikian, terlihat perbandingan, bahwa “anak jaman 90-an” saja, “unik”nya sudah minta ampun. Maka, tak perlu menyalahkan diri, mengutuk zaman, “anak sekarang begini dan begitu”.

Bahwa, “setiap zaman ada anaknya atau setiap anak ada zamannya” mesti kita terima. Karena saya juga guru SLTA, khususnya Kejuruan, dengan perbandingan anak perempuan dan laki-laki adalah 70 banding 30. Artinya, tidak sedikit kisah romantis anak se-usia Dilan yang dihadapi. Apalagi kisah “heroik”, pertarungan antar geng, kelompok, komunitas dan lain sebagainya.

Dan, novel Dilan hadir sebagai jalan tengah, solusi menenangkan diri, dan membuat tawa dan senyum-senyum sendiri sampai akhir cerita. Dilan yang nakal tapi asik, Melia dengan gaya “anak Jakarta”nya, pertemanan dan dunia saling naksir zaman SMA yang kocak.

Penulisnya, Pidi Baiq pantas berbangga, Dilan yang ia ciptakan benar-benar membuat jatuh cinta para gadis remaja usia SMA. Barangkali, penulisnya ingin menyampaikan, “gini loh..cowo keren itu. Bukan yang kayak zaman sekarang, si cowo pemberi harapan palsu, nah si cewe-cewenya mudah digombalin”.

Over all, buku Dilan menjadi buku ringan, enak dibaca, seru dan cukup sekali baca. Hehehe. Karena, sebagai generasi 90an, saya cukup kenal dengan beberapa dialog Dilan dan Melia. Ya, memang begitulah anak 90-an. Meskipun ada beberapa bagian dari dialag yang membuat  bingung, dan bertanya, apa zaman itu sudah biasa begini, atau begitu?

Pidi Baiq bercerita sebagai Melia. Penulis laki-laki yang menjadikan “Aku” si tokoh utamanya adalah perempuan, itu hebat menurut saya. Sama hebatnya seperti penulis favo saya, Dee Lestari yang bisa menjadi laki-laki dalam tokoh-tokoh “aku” di ceritanya.

Buku yang anak SMA banget. Mengajarkan cara-cara elegan mendapatkan yang ditaksir, cara unik dan asik dalam berkawan. Dan, terlalu banyak ha ha ha dan he he he nya.
Katanya, setelah Dilan (1991) mau ada cerita versinya Dilan ya? Kita tunggu saja, gimana seniman Pidi Baiq cerita dari sisi Dilan-nya. 

7.10.15

Sehari ke NLS

Pagi itu suasana sekitar Victoria street, Singapore tidak begitu ramai. Ada beberapa orang  yang berlalu lalang, dengan langkah tegap besar-besar seakan dikejar waktu. Saat sampai di depan gedung Lee Kong Chian, saya tidak menduga bahwa itu adalah sebuah gedung perpustakaan. Jauh sekali dari bayangan, jika perpustakaan adalah bangunan tua, kuno dan berdebu.

Di lantai dasar terdapat pojok cafe dan "papan" informasi. Lee Kong Chian Reference Library sendiri ada di level 7 gedung itu. Level 5 adalah bagian drama dan koleksinya. Ada lagi level 9, yang memuat koleksi berbahasa melayu.

"papan informasi" :)

Secara keseluruhan, buku di sini tercakup atas bahasa inggris, cina dan koleksi asia tenggara lainnya. Menurut informasinya, perpustakaan ini dibuka sejak tahun 2005. Dengan jumlah buku lebih dari 600 ribu judul, baik klasik maupun terbaru.

These are the collections found at each level of the Lee Kong Chian Reference Library
Level 7 – Business, Science and Technology Collections
Level 10 – Donors' Collections, Asian Children's Collection
Levels 12 and 13 – Rare Materials Collection (limited access, only with permission)
Lantai dasar, bagian registrasi dan pusat informasi

Bangunan bergaya modern ini, diarsiteki oleh mr. Ken Yeang, jelas berbeda dengan tampilan luar perpustakaan negara malaysia, yang klasik dan sudah pernah kita bicarakan. NLS terlihat gagah dan megah.

Ruang baca National Library Singapore
Ada banyak koleksi buku berbahasa Inggris dan Asia di ruang bacanya. Di salah satu pojok ada bagian khusus majalah, rata-rata berbahasa inggris, meskipun sedikit-sedikit ada yang berbahasa cina dan melayu. Majalah yang dibagi berdasarkan usia pembaca, ada untuk anak-anak, dan dewasa itu, disiapkan secara gratis untuk pengunjung. Sayangnya, saya tidak bisa mengabadikan banyak saat di dalam, karena dilarang membawa kamera. Untuk bisa mengambil gambar ini (Ruang baca nls) pun saya meminta izin dulu, dengan menjelaskan keperluan dan mengenalkan diri serta asal.



Rangka
Tak hanya memiliki bangunan yang megah, fasilitasnya pun modern. Di antaranya adalah adanya jasa mesin penerima buku bookdrops yang bisa diakses 24 jam. Mesin ini bekerja memilah-pilah buku yang dikembalikan sesuai bagian masing-masingnya. Tentu saja, jika bukan buku koleksi perpus tersebut, mesin akan menolak. Untuk bisa mengetahui koleksi yang dibutuhkan juga dapat diakses dengan katalog online, Online Public Access Catalog.


Menjadi pengunjung perpus modern ini, ternyata membuat saya grogi. Pertama denga loker yang dikunci dengan kode/ password yang tersistem komputer. Lah, saya biasanya menggunakan loker dengan kunci yang digantung. Maka jadilah saat itu, saya harus menghafal beberapa kode, untuk setiap barang yang saya simpan, sekaligus menghafal kode loker teman seperjalanan dengan saya. hahaha.

Bersama petugas perpustakaan NLS
Dan, masalah terjadi saat saya hendak mengambil barang dari satu di antara empat loker yang saya dan teman gunakan. Saya lupa salah satu kodenya, dan kebetulan itu adalah loker yang isinya keperluan teman seperjalanan. Saya lalu melapor kepada petugas. Seorang Bapak petugas itu menjelaskan dengan ramah, apa yang harus saya lakukan.

Saya melapor lagi ke bagian resepsionis, lalu membuat surat pernyataan bahwa benar saya adalah pengunjung, dan isi dari loker nomor sekian adalah barang milik saya. Disebutkan pula apa isinya. Dilampirkan (tentu saja) identitas dan passport saya. --hallaah. Leganyaa, saat akhirnya proses itu berakhir. Namun saya mendapat pelajaran berharga dari cara-cara itu. Thanks mr and mrs petugas.. hehehe.

Kata si petugas lagi, NLS mendapat penghargaan sebagai perpus terbaik tahun 2013. Oh tentu saja, saya juga mengira demikian. Baik tampilan fisik yang menarik, plus koleksi yang banyak dan beragam, wajar saja jika ini menjadi tongkrongan anak-dan keluarga yang mencerdaskan.
Kita butuh adanya yang 'seperti ini' di sini. Kita butuh petugas yang ramah, fasilitas yang mudah. Kita akan bangga di negeri kita punya yang serupa. Namun kita akan lebih bangga, jika membaca, mengantri untuk membaca, menyediakan jadwal-jadwal membaca adalah budaya kita dari kana-kanak hingga dewasa. Pasti bangga. :)

Pemandangan Vict street dari lantai 5 Lee Kong Chian Library
membaca
Dan, informasi rute ini penting di simpan lebih dulu  :)

Melawat ke "Jendela Dunia" Negeri Jiran


Melawat ke "Jendela Dunia" Negeri Jiran

Pagi itu, Kuala Lumpur masih sepi. Belum banyak kendaraan berlalu lalang di Bukit Bintang. Barangkali, gemerlap malam tadi masih menyisakan lelah pelancong negeri jiran itu. Kehidupan yang begitu ramai menjelang tengah malam. Berbagai makanan justru tesedia waktu-waktu itu. Pengunjung dari berbagai negara, berbagai ras dan warna kulit menyatu di sana.

Saya menyusuri pinggiran toko dan hotel yang masih tertutup. Cukup sepi. Hanya ada petugas toko yang mulai membersishkan kaca, atau petugas kebersihan yang membersihkan sekitar toko. Saya justru menikmati pagi dengan kendaraan yang tak begitu ramai ini. Lebih leluasa memandang, menikmati. Tujuan saya hari ini tak begitu jauh dari penginapan. Saya juga telah menyiapkan catatan-catatan kecil hasil searching, bekal perjalanan. Rute, titik-titik stesyen, dan jenis-jenis transportasi untuk pulang, sudah dalam catatan. Kamera, pasport, ringgit dan makanan kecil juga sudah aman dalam tas.

Saya berjalan santai, meninggalkan area ramai turis itu menuju Titiwangsa. Kira-kira jaraknya 7 km. Dalam perjalanan lancar, bisa ditempuh hanya dalam waktu lebih kurang 15 menit. Karena tidak terburu-buru, saya menikmati setiap perhentian, persimpangan. Lalu sedikit mengingat, kenapa seperti Pasar Raya Padang di pagi hari ya? *ups.

Dan ya, target saya adalah melawat dan melihat, bagaimana rupa perpustakaan negara di negeri itu. National Library of Malaysia itu ada di 232, Jalan Tun Razak, Titiwangsa, 53200 Kuala Lumpur. Dari KL sentral kita bisa menggunakan monorail menuju "TKP". Bisa juga dengan taksi yang langsung turun tepat di depan gedungnya. Namun saya lebih memilih kendarahaan umum yang di Indonesia, masih dalam rencana pembuatannya. Mungkin karena masih minim transportasi jenis ini, jadi lebih menarik saja.

Perpustakaan itu bertetangga dengan Museum Sejarah. Bangunan dengan atap khas itu terdiri dari tujuh lantai. Lantai dasar, terdapat perpustakaan khusus anak-anak. Dari pintu masuk di lantai satu, kita dihadapkan pada ruang terbuka dengan pemandangan area pendaftaran dan sofa/tempat duduk yang bersisian.
Pemandangan dari lantai satu

Buku-buku yang dipamerkan
Si Miniatur Kapal yang Tak Mini



Ada pula bagian ruangan yang digunakan untuk pameran. Ada miniatur *cukup besar* kapal di tengah-tengahnya. Di dalam kapal terdapat foto-foto dan patung -orang-orangan kapal-. Hati-hati menyusuri ruangan gelap di sana. Kalau kata saya, ya jangan sendiri jalan ke dalam kapal itu. Jangan pula kaget dengan kemiripan dan kengerian asli "penghuninya". Cukup horor. Hiiii...

Di dalam kapal
 Lebih ke sisi kiri ruangan di lantai itu, ada pojok samsung smart library. Di sini kita dibebaskan mengakses e-book yang telah disediakan di dalam tablet, dan tersusun rapi di setiap meja. Pengunjung juga difasilitasi headset untuk mendengar music atau audio dari e-book itu.
Registrasi
Smart Library

Tampilan Layar Tablet

Di lantai satu itu, saya disapa petugas perpustakaan. Ditanya dan ditawari untuk ditemani. Saya perkenalkan diri sedikit, dan jelaskan tujuan bertandang ke sana. Mereka menyambut ramah. Kata mereka, bagian peminjamannya ada di lantai tiga dan empat. Jika berkenan, mereka mau antar ke lantai khusus membaca.

PNM
Secara fisik, tampilan perpus ini lebih terkesan klasik. Meskipun di dalam, tetap ada nuansa modern dan ramah teknologinya. Mungkin beberapa perpustakaan di Indonesia dapat bersaing dengan yang satu ini. Sedangkan dari segi kelengkapan isi, ketersediaan beragam buku dan fasilitas, saya tak bisa pastikan. Pasalnya, kita orang belum baca dan telusuri lebih.. hehe

Cukup berpusing-pusing di perpustakaan itu. Tak bisa berlama-lama. Agaknya, seronok lah bila dapat membaca dan berkunjung ke sana seringkali. Kapan lagi ya? Hahaha.


Review Buku : Ketika Elang Kembali ke Sarang

sumber : diwanteen.blogspot


"Kisah cinta yang mengharukan, diawali hangatnya persahabatan,dengan latar pedesaan. Tokohnya sukses sekolah dan bekerja. Novel ini patut dibaca oleh remaja, bahasanya jernih, dengan alur cerita, yang membuat pembaca penasaran."
- Sastrawan Taufiq Ismail -

Buku keluaran tahun 2008 ini, baru saya temukan dan baca pada 2015 ini. Itupun, karena endorsment sastrawan hebat, yang saya kutip di atas. Tertarik dengan judulnya, meski tak menemukan satu kata elang pun dalam ceritanya. Apa elang memang punya sarang? Bukankah elang sudah tertakdir bertualang?

Dan, Ny. Ina Huda menceritakan tentang dua sahabat, Septi dan Lanang, dengan latar pedesaan, yang mengalami proses pendewasaan. Dewasa secara usia, persahabatan mereka berubah menjadi rasa cinta. Proses pendewasaan melalui pendidikan, yang barangkali saat itu, masih kentara bahwa anak gadis desa, setamat SMA sudah pantas berkeluarga. Tapi masing-masing tokoh melanjutkan studinya ke kota yang berbeda. Lalu mereka lost kontak. Putus komunikasi.

Septi, dengan rasa nyaman persahabatannya kepada Lanang, menutup diri dan hatinya dari orang-orang yang menawarkan perhatian. Sedangkan Lanang, atas perjuangan kuliah, dan hutang budinya, rela mengorbankan dirinya untuk masuk ke kehidupan yang tak ia kehendaki. Melarut dan tertekan dengan kehidupan barunya itu.

"Mencintai dan dicintai adalah hal yang sederhana. Jauh lebih sederhana dari membuat orang yang kita cintai mencintai kita, atau mencintai orang yang mencintai kita."

Lanang bertemu lagi dengan Septi, dalam keadaan sudah menjadi milik orang lain. Septi harus merelakan sahabatnya, yang tidak menjadi cinta yang dimilikinya. Dengan kerelaan dan ketulusan masing-masingnya, akhirnya takdir menyatukan kembali.

Nah, elang ada dimana? Barangkali, Lanang yang melalang buana, menjauh dari kehidupan Septi, menghilang, dikesankan sebagai elang. Namun hanya beberapa tahun. Dan, menurut saya, itu sedikit mustahil. Mereka yang bersahabat sejak kecil, tidakkah saling tahu, dan kenal dengan keluarganya. Bukankah mereka juga satu kampung.

Di sisi lain, juga diceritakan tentang perjuangan dokter Iman mendekati dan mendapatkan hati Septi. Hampir-hampir didapatkannya, lalu Lanang kembali mengisi hari-hari dan pikiran Septi.

Cerita ini juga tentang Amel, sahabat Septi yang menyukai dokter Iman, dan Ning, istri Lanang, yang sama-sama melepaskan apa yang mereka inginkan demi kebahagiaan orang yang disayang. Nah, dimanakah elang dalam kisah ini? hehehe.

Btw, terima kasih untuk cerita segarnya, Ny. Ina huda. Saya menikmati, *meski tak bersua elang. :)



Review Buku: Bulan Nararya

Lebih Dekat dengan "Schizophrenia"
 
Bulan Nararya
Secara medis, schizophrenia merupakan kumpulan kelainan otak yang membuat penderitanya menafsirkan kenyataan secara berbeda. Orang yang menderita schizophrenia ini, seringkali berhalusinasi. Dengan halusinasi dan penyimpangan cara berpikir dan bertindak, penderitanya sulit membaur dengan masyarakat umum. Banyak pula yang menganggap penderita schizophrenia memiliki kepribadian ganda. 

Secara bahasa, kata ‘schizophrenia’ sendiri memang berarti ‘pemikiran yang terpisah’, tapi lebih condong kepada gangguan keseimbangan emosi dan cara berpikir. Schizophrenia adalah kondisi kronis yang memerlukan perawatan seumur hidup. 

Sebagai seorang psikolog, Sinta Yudisia, novelis perempuan FLP, menceritakan tentang penderita schizophrenia dalam novelnya Bulan Nararya (Indiva, 2015). Dengan latar belakang keilmuan yang dimiliki, penulis mengantar pembaca lebih dekat mengenal penderita salah satu jenis "penyakit gila" yang ada di masyarakat kita. 

Dalam kehidupan sosial, penderita schizophrenia pada dasarnya sangat membutuhkan kehadiran dan peran orang-orang terdekatnya untuk proses penyembuhan. Meskipun, perawatan yang disebut medis -sepanjang waktu- itu, membuat tipis peluang sembuh dan normal secara total bagi penderitanya. Rara- si tokoh utama dalam novel, mencoba menjelaskan secara ilmiah teori dan temuan barunya -metode transpersonal- demi upaya penyembuhan tersebut. 

Selain Rara, tokoh lain yang memberi kesan ilmiah, dan menambah pengetahuan pembaca soal penyakit ini adalah Bu Sausan. Dosen sekaligus senior Rara dalam dunia terapis. Bahwa ketulusan membagi ilmu, terus mengembangkan diri, merawat klien terapis menjadi ciri tradisi intelektual. 

Selaku terapis, Rara dan Bu Sausan juga pernah mengalami konflik dengan pikirannya sendiri. Masalah-masalah pribadi yang tidak luput dari kehidupan seorang terapis, menuntut Rara mampu menyelesaikan masalahnya sebagaimana ia lakukan kepada orang-orang yang diterapinya. 

Cerita yang tidak dapat diprediksi. Alurnya benar di luar dugaan. Pergolakan kisah tentang cinta antar sepasang suami istri, yang diwarnai dengan kepercayaan - sekaligus kekecewaan. Rara dan Angga. Cinta dua orang sahabat yang saling salut, juga ada cemburu. Rara dan Moza. Mencipta keluarga dari kasih sayang dan rasa sesama penderita. Yudhis- Sania dan Pak Bulan. Tentang pengorbanan dan pengkhianatan. Tentang cara mencintai yang tak serupa-semakna. Tentang melepaskan, perih dan cinta yang sesungguhnya. 

Novel ini jauh sekali dari kesan "cerita anak-anak" yang saya tangkap pertama kali dari melihat sampulnya.
Pertama melihat sampulnya, saya mengira novel itu seperti novel petualanga remaja/anak-anak. 

Novel ini, tidak terkesan #FLP banget. Sedikit ilmiah, untuk mengenal schizoprhenia, tapi tidak membosankan. Buku ini, recemended lah. :)



Review Buku : AYAH (Andrea Hirata)

Kulalui sungai yang berliku
Jalan panjang sejauh pandang
Debur ombak yang menerjang
Kukejar bayangan sayap elang
Di situlah kutemukan jejak-jejak untuk pulang
Ayahku, kini aku telah datang
Ayahku, lihatlah, aku sudah pulang
( Ayah – Hlm. 384)


Ada banyak novel bermunculan belakangan ini dengan tema Ayah. Hamka, juga pernah menulis tentang Ayah. Andrea Hirata, pertengahan tahun 2015 ini, meluncurkan buku "Ayah" nya, setelah melalui proses riset enam tahun lebih dulu. 

Dalam novel ini, Ayah lah yang sebenarnya berperan dalam pembentukan karakter anak. Ayah memberi inspirasi. Ayah adalah sosok serba bisa yang melakukan apa saja demi anaknya. Ayah yang tidak mempedulikan kesusahan dirinya, demi kebahagiaan anaknya.

Ada banyak Ayah dalam cerita ini. Ayah Sabari, yang seorang guru Bahasa Indonesia. Selalu mengajarkan anaknya berpuisi. Sabari sendiri, yang kemudian juga menjadi Ayah, juga mengajarkan puisi-puisi kehidupan kepada anaknya, Zorro. Ayahnya Lena, Markoni yang mendapat karma, perlakuan tidak mengindahkan keinginan ayahnya untuk bersekolah, kemudian juga mendapat perlakuan yang sama dari anaknya, Lena.
Begitulah seorang Ayah, ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Sebaliknya, di sini tidak terlalu ditegaskan peran seorang Ibu. Hanya ibu seorang Zorro yang diberikan kesan -tak baik- lewat kisah ini. Hebat, jika benar ada perempuan semacam Lena ini. Keras kepala, keras pula perjuangan hidupnya. Enggan dengan Sabari, akhirnya bertakdir menikah dengan lelaki sabar itu. Melalang buana kian kemari. Menikah lagi dengan Jon, pria bule yang berprofesi sebagai musisi di Medan. Menikah juga dengan Amirza. Menurut saya, Marlena bukan seperti idealnya seorang Ibu, yang...yaa, diceritakan novel-novel bertema #ibu yang ramah, lembut, baik dan penyabar.

Bakti seorang anak kepada Ayahnya, diperlihatkan pula melalui kisah Amiru --yang ternyata juga Zorro--, kepada Ayah kesekiannya, Amirza. Nah, disini saya tiba-tiba menyadari, bahwa yang dimaksud Amiru di awal cerita, adalah Zorro anaknya Sabari di pertengahan. Huhu. #terjebak. Kisah Amiru, demi mengembalikan radio kepunyaan ayahnya, Amirza yang tergadai, rela berlatih untuk ikut kejuaraan sepeda di kotanya. *Apakah sejenis TdS/ Tour de Singkarak?? Hingga Amiru tak dapat ikut karena tidak lengkapnya peralatan balapnya. hehe

Novel ini berkisah tentang cinta Ayah. Kesabaran Sabari (pas banget dengan nama tokohnya), demi mendapatkan Lena, meski tidak mendapatkan hatinya.Perjuangan Sabari menjadi Ayah, yang kemudian cintanya kepada buah hati, melebihi cintanya kepada -yang disebutnya cinta sejati-, ibu dari anaknya.

Ceritanya juga diwarnai dengan kisah lucu perkawanan anak Melayu, Sabari, Tamat dan Ukun yang berlanjut hingga mereka dewasa. Perkawanan yang tidak dimakan usia. Tamat dan Ukun, dengan modal surat-surat Marlena dengan sahabat penanya, mereka bertualang demi menemukan Marlena dan Zorro, menjelajah Sumatera. Apa pentingnya? Ya itu, agar sahabat mereka Sabari bisa ceria kembali.

Masih dengan latar dominan daerah Belitung, kini penulis best seller Laskar Pelangi ini, mulai mengenalkan daerah-daerah pelawatan si tokoh cerita hingga ke Pariaman, Bukittinggi, Bengkulu dan Medan. Sampai pula latar bercerita di Australia. Perkara surat berbahasa inggris, tentang pencarian Sabari terhadap anak dan istrinya, yang dibawa penyu dan mendarat di Darwin. Seakan tidak percaya, Brother Nil dan Larissa anak perempuannya juga turut mencari Zorro.

Penasaran dengan kisah perjuangan cinta Sabari, dengan persahabatan konyol Sabari, Tamat dan Ukun, dengan kisah-kisah Ayah yang mengharu biru? Sebaiknya miliki buku ini. Recomended!

18.2.15

Tentang Ayahnya

Bukankah setiap kita memiliki kenangan bersama Ayah? 

**
Sore itu, saya mendapati rumahnya tampak sepi. Setelah dua kali mengucap salam, sambil sedikit menjulurkan kepala ke dalam rumah kayu sangat sederhana itu, terdengar jawaban dari dalam.
Seorang remaja laki-laki muncul dari bagian dalam rumah. Ia tengah memegang telinga periuk nasi. Lalu ditaruhnya di meja. Mengelap tangannya dan bersegera menuju pintu. Saya berdiri di pintu, ibu gurunya.

Sebagai wali kelasnya, saya merasa perlu melakukan kunjungan rumah siswa, untuk mengetahui perihal apa yang menyebabkan si siswa di sekolah "bermasalah".
Kita sebut saja "R". R adalah anak tunggal di keluarganya. Ayahnya, kira-kira berusia di atas enam puluh tahun. Dulu, ayahnya bekerja sebagai karyawan sebuah tempat pangkas rambut. Saat saya ke rumah R ketika itu, ayahnya terlihat berbaring di kamar yang hanya pas untuk satu dipan tempat tidur. Sambil batuk-batuk, ia masih menyempatkan menyapa saya, guru anaknya.
Si ayah, mencoba keluar kamar, menemui saya. Mencoba bergabung dalam pembicaraan. Saya jongkok di pintu. Bukan karena tak dipersilahkan masuk, tapi memang tak ada tempat untuk duduk di dalam ruang  kecil yang disebut "rumah" itu.
Dari sisi meja dekat kamar, keluar pula si Ibu. Ibu R kira-kira berusia 50 tahunan. Perempuan itu duduk di lantai. Lalu beringsut ke arah saya. Ia bersuara. Seperti menggumam, tak jelas. Tapi tampak dari wajahnya kesedihan. 

Keadaan itu, telah 'menceritakan' banyak hal kepada saya. Wajar, R yang baru kelas dua SMK, harus sekolah dan bekerja bersamaan. Di saat pagi harus pergi sekolah, sore pulang, lalu mengurus kedua ayah dan ibunya. Malam hari ia harus pergi ke pasar sayur, bekerja menjadi tukang parkir hingga menjelang pagi lagi. Demikian hari-harinya.

Kapan ia tidur? Itulah kenapa saya katakan wajar. Wajar ia seringkali tertidur di kelas. Wajar ia sering tak masuk jam pelajaran pertama pada hari-hari tertentu setiap minggunya. 
Namun tak wajar, dengan kesulitan itu, ia tetap peduli penampilan. Tak kurang gagahnya, dengan wajah bersih dan baju rapinya. 


***
Tengah hari Jumat itu, saya mendatangi rumah sakit. Entah kenapa, saat pertama mendengar kabar kawan-kawan sekelasnya, -tentu saja bersama wali kelas barunya-, mengumpulkan dana untuk membantu biaya perawatan Ayahnya, saya merasa harus membesuk mereka siang itu juga.

Sepertinya hari kesedihan itu tak mampu diberi warna. Mungkin saja kelabu, mungkin ungu, atau juga biru. Baginya, Jumat itu jelas saja memberikan nilai kedewasaan yang tak dimiliki remaja lain seusianya.

Saya masuk ruang itu. Dia kaget. Heran dan barangkali tak menduga kedatangan saya. Ada dua tempat tidur di ruang itu. Tempat tidur ayahnya, tepat bersebelahan dengan jendela. Mestinya tak akan terasa gerah di siang yang tak terlalu panas itu. Namun, Ayahnya terlihat begitu gelisah.

Saya tersenyum, menyapa beberapa laki-laki muda yang berada di sekitarnya. Dia menyalami saya, sedikit tersenyum.
"Sudah makan?" saya bertanya.
"Sudah Buk." ujarnya.
"Tadi pagi kah?" saya menebak.
"Hehe..iya buk".
Saya melihatnya mencoba santai dengan senyuman itu. Namun, terlihat jelas kecemasannya.

Murattal Yasin, sayup-sayup terdengar dalam pembicaraan kami.
"Ingatkan Ayahmu syahadat. Bisikkan ke telinganya."
Dia lalu membacakan syahadat sedikit berbisik di telinga Ayahnya. Sekali-dua kali, diulanginya. Lalu, ia matikan murattal, dan membungkuk selama beberapa menit, membacakan syahadat. Dia tampak terisak. Air matanya menetes jatuh ke sisi kanan Ayahnya.
Tuhan, akan Engkau jadikan apa anak ini.. Sungguh hebat kehidupannya. Berikanlah ia keikhlasan Ya Rabb..

Hampir seperempat jam saya di tempat itu. Memperhatikan gelagat-gelagat malaikat yang tampaknya kian dekat. Orang tua yang terbaring di tempat itu, berusaha menyingkap perutnya, membuka selimut. Dia masih dengan sabar membisikkan kata "Allah". Sedang laki-laki yang katanya saudara tirinya itu, hanya mematung, memperhatikan saja. Entah apa yang dipikirkannya.

Saya lalu pamit, mengajak dia berbicara di luar ruangan sebentar. Mengingatkan dia, bahwa kita tak pernah tau, kapan akan dipanggil olehNya. Anak laki-laki itu menangis. Terisak. 


***
Saya dalam perjalanan pulang. Sebuah pesan singkat masuk. 
"Buk, ayah wak lah pai salamo-lamonyo buk..."
(13.10)

Selang waktu tak sampai satu jam. Malaikat benar-benar bekerja untuk TuhanNya. Mengantar hamba menemui Rabb-nya. 


Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...