3.3.17

اللغة العربية - Raja Salman

Sengaja kata-kata yang menjadi judul tulisan ini, saya bedakan. Satu berbahasa Indonesia, satunya lagi berbahasa Arab. Setidaknya, agar mulai saat ini kita terbiasa dengan bahasa arab. Walaupun, sebagai seorang muslim, hendaknya bahasa arab bukan lagi bahasa asing. Toh, setiap hari ada lima kali setidaknya kita ber'cakap-cakap' dengan Tuhan menggunakan bahasa ini. Dimana negeri yang membolehkan shalat pakai bahasanya sendiri selain bahasa arab?

Jika beberapa tahun lalu saya bicara tentang 'bahasa arab', sebagian orang hanya akan menilai, hal ini sebagai bentuk ketidak puasan terhadap perlakuan yang diterima. Hanya terzalimi sistem, begitu saja. Barangkali hari ini, awal Maret tahun 2017 ini, tidak lagi demikian. Ya, barangkali. Kemungkinan pertama tetap saja masih ada. Walaupun, tinggal sedikit yang berpikiran demikian. Semoga saja.

Sebagai contoh, jangan jauh-jauh lah... atasan saya saja. Saat menghadap, hari pertama ditugasi di tempat saya bekerja, atasan saya justru berkata: "Barangkali pemerintah berpikir akan ada kerja sama ke Arab. Anak SMK kerja ke Arab, makanya ada bahasa arab di SMK."
Kalimat ini terucap sekitar tahun 2011. Dan tahun ini, saat siswa-siswa saya (yang pernah sedikit mengenal bahasa arab) itu telah berada di dunia kerja, mereka mampu memahami, dan walaupun sekedar berucap "ahlan wa sahlan, afwan, syukran, syekh, sayyid," dan percakapan sederhana lainnya. Di samping, mestinya ada perubahan bacaan shalat yang dilaksanakannya setidaknya lima kali dalam sehari. Kondisi siswa tamatan SMK ini, tentu lebih 'ramah', komunikatif dan 'lebih dekat' dengan konteks kunjungan King Salman ke Indonesia hari ini.

Lebih lanjut kita mengikuti informasi di media, bahwa kedatangan King Salman ini tak lepas dari tujuan kerjasama dalam segala bidang. Selain bersama memerangi terorisme dan radikalisme, bentuk kerjasama yang ingin diciptakan adalah di bidang pendidikan kebudayaan. Kabarnya ada sebelas nota kesepahaman (yang semoga saja berwujud MoU kerjasama itu), antara RI dengan Saudi Arabia. Dan, mengingkari adanya kemitraan Indonesia dengan Saudi Arabia, bagaikan mengingkari matahari di siang hari, demikian perumpamaannya kata King Faisal.

Pendidikan Kita Mesti Ramah Berbagai Bahasa Asing

Bahasa Arab dan kedatangan King Salman hari ini adalah contoh sederhana, bahwa pendidikan vokasi/ kejuruan perlu ramah terhadap bahasa asing. Setidaknya, tiga bahasa asing selain bahasa Inggris. Maksud saya, bukan setiap siswa menguasai bahasa itu keseluruhan, tidak. Tapi mereka mengenal dan merasakan dzuq berbahasa itu. Kelas sepuluh SMK perlu kenal tiga bahasa asing yang dekat dengan vocational yang mereka tekuni. Bahasa Jepang misalnya, atau Perancis, atau Mandarin, atau Korea, Belanda dll.

Saya pikir, anak-anak yang telah memilih sekolah kejuruan, tak akan kesulitan mengenal, menerima dan memperoleh bahasa kedua, ketiga dan seterusnya karena konsep dan sifat kreatif yang sudah melekat pada diri mereka. Tentu saja, jika berharap mereka menguasai, ya tak akan cukup dalam pertemuan dua kali semester. Toh, belajar bahasa Inggris sejak SD pun tak memperlihatkan hasil yang memuaskan jika hanya berpatokan pada pendidikan formalnya. Setidaknya, ada dzuq itu tadi. Dengan mudah, mereka bisa mendalami bahasa asing apapun yang mereka inginkan dan mereka sukai.

Saya screenshot salah satu berita online dengan judul yang menarik ini. "Kunjungan Raja Salman, Bali Belum Punya Pemandu Wisata Berbahasa Arab".





Tak perlu heran juga dengan realita sebagaimana yang terjadi hari ini. Apakah, selama ini kita kekurangan orang-orang dengan kualitas cakap berbahasa Arab? Tidak. Kita tak sedang mencari jarum di tumpukan jerami. Mungkin kita hanya mencari kambing ke kandang bebek. Ya, tak bersua. Ada banyak ma'had yang telah mewisuda mahasiswanya cakap berbahasa arab. Bahkan lembaga pendidikan khusus bahasa arab pun di Indonesia ada.

Dimana persoalannya? Saya berkesimpulan, beberapa hal ini memiliki keterkaitan satu sama lain.
Pertama, dunia pariwisata kita belum memandang perlu adanya bahasa arab sebagai skill dasar bagi pemandu wisata. Hal ini sebaiknya menjadi perhatian bagi pemerintah daerah yang akan mengembangkan wisata dengan istilah kita hari ini, "Wisata Halal Dunia", seperti Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Gubernur dua daerah ini cukup paham akan hal ini, saya kira.

Kedua, selain pariwisata, perhatian terhadap keagamaan dan keberagamaan dalam dunia politik akhir-akhir ini menjadi hal yang sensitif. Maka, bila seorang pemimpin benar-benar menginginkan rakyatnya ber-Islam dengan baik, mulailah memperbaiki generasi muda. Ingin anak-anaknya shalat yang benar, bantulah memperbaiki bacaannya. Ingin mereka paham, mengerti dan peduli, ajarkan bahasa agamanya. Soal agama, jelas berkaitan dengan pendidikan.




Ketiga, Jauhkan dikotomi ilmu pengetahuan. Bahwa 'Bahasa Arab' adalah bahasa IAIN, madrasah atau pesantren, itu tidak lagi relevan. Dengan tujuan bahasa Arab selain sebagai bahasa internasional kedua, bahasa arab bahasa agama Islam, bahasa ini juga merupakan bahasa ekonomi, politik dan budaya. Jika bisa kita beri hukum wajibnya mahasiswa IAIN memahami bahasa Arab, apapun jurusannya, maka hukum itu menjadi dianjurkan pada jurusan-jurusan ekonomi, hubungan internasional, pariwisata, dan ilmu sosial lainnya. Pun demikian juga dengan sekolah-sekolah kejuruan. Arus globalisasi dan berpikir moderat mengantarkan bangsa-bangsa pada taraf berpikir dan pergaulan yang maju. Tak ada lagi yang terpinggirkan. Selagi ada nilai ekonomis, semua negara memiliki harga diri yang sama. Dulu sensi, sekarang selpi. Dulu anti, malah 'cie ciee' hari ini. *begitulah..

Keempat, Perubahan yang begitu cepat di negara ini, seiring dengan pergantian pejabat, pemimpin, penguasa dan isi kepalanya masing-masing, menuntut kita harus berdiri dengan kaki-kaki hukum. Apapun kebaikan yang tak ada standar hukumnya, menjadi termansukhkan oleh kebijakan yang datang kemudian. Maka apapun yang hendak kita ubah, ubahlah lewat sistem. Berteriak dari luar pagar, kadang tak memberi arti apa-apa pada si pemilik rumah. Terlalu tinggi sekat yang dibuatnya, mungkin. Tapi, bertamulah dengan hormat, elegan berpendapat, ikuti aturan main, dan bermain sesuai aturan, idealnya kebaikan-kebaikan bisa tersalurkan. *ehh..eh, ini apa maksudnya. :D

Eniwei, semua ini hanya cuap-cuap dan luapan kebanggaan saya sebagai rakyat Indonesia.
Saya bangga punya Presiden yang memuliakan tamunya, semoga senantiasa dilimpahi hidayahNya.
Saya hormat dan bangga pada Raja Salman, *terselip pesan: ada banyak pesan-pesan dari lubuk hati terdalam kami ummat Islam lewat spanduk-spanduk itu ya Malik Salman, :D dan semoga senantiasa dalam rahmat Allah swt.

أهلا و سهلا

** BIG Jempol buat Republika. Emang wokeh lah, halaman satunya, ga ada tandingan. Pake bahasa arab sih..

قدوما مباركا يا خادم الحرمين


No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...