20.4.09

Bukan Salah Kartini: Antara Emansipasi dan Kemerosotan Akhlak

Sejarah Indonesia telah mengukir nama Raden Ajeng Kartini sebagai tokoh penggagas pergerakan perempuan Indonesia pertama yang berjuang untuk mempertinggi kedudukan social. Emansipasi perempuan digaungkannya melalui tuntutan kesetaraan hak untuk memperoleh pendidikan dengan kaum laki-laki. Tidak lain emansipasi ini muncul sebagai respon terhadap ketidakadilan budaya dan adat yang memposisikan perempuan sebagai korban hak kemanusiaan dalam perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Sebutlah kawin paksa, kekuasaan dan kepemimpinan mutlak lelaki dalam rumah tangga, ‘gadis pingitan’ yang baru menganjak waktu dewasa dan lain sebagainya. Inilah barangkali yang dianggap Kartini disebabkan karena kurangnya pendidikan perempuan.

Setelah bibit awal emansipasi perempuan disemai Kartini, maka bermunculan pula pergerakan perempuan lainnya. Meskipun sebelumnya memang telah ada sederetan nama yang menjadi Srikandi dalam legenda perjuangan rakyat Indonesia. Cut Nya Dien telah lebih dulu bergerak dengan raganya di Tanah Rencong, ada Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus serta banyak lagi Kartini-Kartini lainnya yang barangkali belum sempat terekam sejarah.

Namun perempuan mulai dalam kesatuan organisasi, pergerakan yang tidak lagi sendiri-sendiri baru ada pada tahun 1912 di Jakarta dengan berdirinya perkumpulan “Putri Madika” yang memang terlahir melalui campur tangan Budi Utomo –organisasi yang didominasi laki-laki-, dimana yang menjadi perhatiannya adalah kemajuan pengajaran anak-anak perempuan. Berikutnya, perkumpulan “Keutamaan Istri” yaitu rumah sekolah untuk perempuan, lainnya Sekolah Kartini (1913) di Jakarta dan disusul di berbagai kota, dan lain sebagainya.

Pergerakan dan perhatian terhadap perempuan tidak semata bermunculan dari perempuan. Piet H. Khaidir (laki-laki) dalam bukunya Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial menyebutkan, di Indonesia, terjadinya pelecehan perempuan dikarenakan tradisi melestarikan asumsi bahwa perempuan secara konservatif adalah di bawah laki-laki dalam akses komunikasi maupun pendidikan. Sehingga tidak terpikirkan bagaimana perempuan mendapatklan kelayakan pendidikan dan bebas dari kekerasan serta pelecehan yang sejajar dengan lelaki.

Barangkali argument Piet H. Khaidir tidak lagi mutlak dibenarkan jika kita bicara dalam konteks kekinian. Jika dalam aliran filsafat dikenal adanya aliran dualisme, maka perempuan termasuk objek di dalamnya. Perempuan berada pada dua sisi mata uang. Sisi pergerakan emansipasi, dimana perempuan telah mendapat tempat di dunia politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Tentunya berbeda dengan emansipasi Kartini yang hanya berbicara pada ranah domestic, bagaimana perempuan memiliki skill wajib semacam menjahit, baca-tulis, membatik dan lain sebgainya.

Ditambah lagi ekslusifisme emansipasi Kartini, dalam artian ketika itu emansipasi hanya menjadi ‘garapan’ kalangan tertentu (elit dan bangsawan Jawa) tidak merata dan mencakup berbagai ranah. Kedua, perempuan -disadari atau tidak- terjebak eksploitasi hak-haknya sebagai manusia. Dipertontonkan, dipekerjakan bahkan jauh dari pemeliharaan harga diri dan martabat perempuan timur yang berbudaya.

Di belahan dunia lain pada saat berdekatan dengan emansipasi Kartini juga tengah terjadi bentuk emansipasi perempuan. Pasca revolusi industry di Inggris (1760-1830 M) tanpa disengaja telah terjadi penghancuran akhlak dan tradisi perempuan Inggris saat itu. Perempuan yang bekerja sebagai buruh, mendapatkan hak yang tidak sama dengan laki-laki, mereka menuntut kesetaraan upah. Diupayakan sedemikian rupa dengan berbagai aliran feminism. Akibatnya, perempuan semakin banyak berkecimpung dalam dunia perburuhan. Kesalahan emansipasikah ini?

Ada dua hal menurut Muhammad Quthub yang menjadi akibat emansipasi tersebut, diantaranya longgarnya tali ikatan kekeluargaan yang tadinya dipegang oleh wanita. Sikap dasar femininnya sudah jauh berubah, juga kelembutan sentimentilnya yang dinilai merupakan satu eksistensi hidup perempuan. Kedua, rusaknya akhlak.
Dua sisi mata uang kepribadian perempuan yang terlahir dari bentuk emansipasi yang menurut rakyat Indonesia disuarakan perdana oleh RA Kartini. Adalah suatu konsekuensi dari aksi emansipasi tersebut.

Maka kesalahan Kartinikah jika perempuan hari ini begitu mengagungkan kemolekan dirinya sebagai wujud eksistensi? “Andakah Miss … itu?” atau, “Jika Anda berpenampilan menarik…” dan lain sebagainya, yang kebanyakan hanya sebatas kompetisi semu. Jika pemudi Indonesia disibukkan dengan cita-cita semu tersebut, kapan lagi waktunya memikirkan anak bangsa ini. Layaknya Kartini, 24 tahun jatahnya telah mampu menjalin pertemanan dan ‘diskusi pena’ dengan perempuan belahan Eropa sana, lalu mengukir nama sebagai emansipator.

Memang berbicara Kartini sama halnya membicarakan perempuan secara umum, yang tidak akan pernah tuntas sampai akhir masa. Namun, jika bukan perempuan itu sendiri siapa lagi yang akan membangunkannya dari lamunan panjang itu. Yang penting bukan salahnya Kartini memancing kemunculan emansipasi hingga apa yang terjadi hari ini tentang akhlak perempuan.

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...