15.5.09

KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN

Kekerasan atau paksaan juga berarti tindakan hirarki, otoritas, intimidasi atau dalam dunia pendidikan dikenal adanya istilah bullying. Kekerasan dalam pendidikan berarti adanya situasi-situasi yang dipaksakan dalam proses pendidikan, yaitu proses transformasi ilmu dan menjadikan manusia menjadi manusia dewasa.

Ada dua sisi jika melihat adanya kekerasan dalam pendidikan. Pertama, kekerasan secara abstrak, yaitu dalam artian paksaan. Jika ditilik lebih jauh, ada banyak situasi yang terkesan dipaksakan dalam proses pendidikan kita. Seperti halnya dalam proses pendidikan yang diselenggarakan beserta elemen-elemen penyelenggara pendidikan itu sendiri. Artinya ketika kita berbicara kekerasan, tidak terlepas dari tiga hal, yaitu pelaku kekerasan, korban dan proses.
Korban utama dalam proses pendidikan adalah peserta didik, korban berikutnya adalah guru atau pendidik. Sementara pelakunya, bisa saja adalah system yang sudah menyalahi aturan-aturan kemanusiaan, dimana pengusutan tentang penyelesaiannya bisa diselesaikan melalui lembaga peradilan. Sebagaimana yang muncul ke permukaan Mei 2007 lalu, ketika para praktisi pendidikan melaporkan pemerintah / departemen pendidikan nasional ke pengadilan negeri Jakarta pusat, yang telah melanggar HAM, yaitu hak siswa, sehubungan dengan tidak adanya remedial bagi siswa yang gagal dalam UN.
Kedua, kekerasan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan kerugian dan kerusakan pada orang lain atau barang lain atau dalam artian kongkrit (bullying). Misalnya jeweran telinga guru pada murid, atau lempar sesuatu pada siswa, atau membelalakkan mata, menekan siswa dengan ancaman dan sebagainya. Di Minangkabau, jika orang tua menyerahkan anaknya untuk menuntut ilmu agama di surau, yang dibekalkan kepada guru mengaji adalah rotan. Rotan yang disiapkan untuk membuang kebodohan dan malas berganti lecutan semangat bagi anak. Tapi memang berbeda dengan konsep hari ini.
Penilaian dan evaluasi secara nasional semacam Ujian Nasional bukanlah hal yang baru lagi. Dahulu kita mengenal adanya EBTANAS. Pada EBTANAS, penilaian dilakukan tidak hanya berpatokan pada hasil akhir saja, namun sekolah juga berperan dalam lulus atau tidaknya seorang siswa. Dengan alasan penilaian didasarkan pada prinsip pertama dari prinsip-prinsip penilaian yang dikeluarkan oleh DIKNAS, yaitu menilai harus berorientasi pada siswa. Artinya penilaian dilakukan untuk membedakan mana siswa yang cepat dapat menerima pelajaran dan mana yang lambat. Dan proses tersebut tidak ada yang dapat mengetahui selain melalui pihak sekolah. Maka inovasi pendidikan dalam penilaian yang sesuai untuk permasalahan tersebut adalah dengan EBTANAS.
Ternyata pemerintah menemukan kejanggalan dalam sistem EBTANAS ini. Ketika kelulusan itu ditentukan oleh pihak sekolah, semua siswa walau bagaimanapun kualitasnya, cenderung tetap diluluskan. Dengan demikian siswa yang lulus ketika diterjunkan ke masyarakat malah tidak ‘terlihat’ atau tidak mampu bersaing secara sehat untuk mendapatkan prestasi dalam pemilihan perguruan tinggi / sekolah lanjutan favorit.
Untuk itu, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyuksekan pendidikan, mengganti EBTANAS dengan UN sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah dalam mengontrol kualitas pendidikan. UN memandang peserta didik sebagai indvidu dalam suatu bentuk yang unik, memperhatikan standardisasi test agar pemerintah tidak kecolongan lagi. UN ditujukan untuk mengukur kemampuan peserta didik berdasarkan kompetensi yang dituntut oleh suatu program dari lembaga pendidikan.
Faktanya, ternyata UN masih belum menjadi obat yang mujarab untuk kesembuhan kualitas pendidikan Indonesia. Yang ada malahan UN menjadi hantu yang menakutkan bagi dunia pendidikan. Sehubungan dengan penyakit ini, kita kembalikan pada konsep awal, bahwa kekerasan dalam pendidikan terdiri dari tiga elemen, yaitu pelaku, korban dan proses.
Pertama, korban. Peserta didik adalah korban kekerasan yang pertama dalam pendidikan. Karena peserta didik dituntut untuk bisa bersungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai yang sesuai standar dalam UN. Siswa ditekan oleh guru. Pada tingkatan diatasnya, guru juga menjadi korban penindasan pihak sekolah dan juga bentuk permasalahan prestisenya sendiri. Guru dituntut bisa memberikan ‘kesuksesan nilai’ bagi peserta didik. Guru adalah korban kedua.
Pihak sekolah juga ditekan oleh pemerintahan daerah, karena kegagalan suatu sekolah dalam UN merupakan aib bagi daerah tersebut. pusinglah kepala sekolah. Dan yang menjadi sorotan ketika daerah gagal sekian persen dalam UN, adalah pemerintahnya. UN merupakan permasalahan gengsi. Kegagalan bukan lagi menjadi keberhasilan yang tertunda, melainkan menjadi momok yang harus benar-benar diantisipasi. Tidak berlaku lagi gaya belajarnya Einsten, seribu kali coba untuk menguji kebenaran teorinya.
Kedua, pelaku kekerasan. Jika dalam hal ini pelaku kekerasan adalah yang memberikan tekanan dan tuntutan, maka yang termasuk dalam pelaku kekerasan dalam UN adalah pemerintah/departemen pendidikan nasional, lalu pemerintahan daerah, pihak sekolah kemudian guru.
Sehingga tidak dapat disalahkan ketika peserta didik menjadi pelaku kekerasan sebenarnya pula. Apa mau dikata, jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mereka berasumsi, kalau batasan pelaku kekerasan untuk saat ini tidak hanya preman alias manusia perai makan, atau free man (manusia tanpa aturan), melainkan free adalah bagian dari freedom of human right. Siapapun berhak melakukannya ketika ia menerima perlakuan kekerasan tersebut. Kekerasan yang sifatnya nyata alias perilaku amoral.
Namun tidak bisa disalahkan, pemerintah menjadi pelaku kekerasan pendidikan dalam UN disebabkan keinginan untuk menjaga muka di pentas dunia, agar tidak mendapat prediket kualitas terburuk dalam bidang pendidikan. Ketika fakta bahwa pendidikan Indonesia berada dibawah peringkat Vietnam, pemerintah merasa perlu memegang kendali langsung dalam dunia pendidikan nasional demi peningkatan mutu pendidikan. Jalan salah satunya melalui system penilaian terpusat seperti UN.
Sedangkan peserta didik menjadi pelaku kekerasan dari intimidasi system dan kekerasan proses. Peserta didik merasa ada hak yang semestinya mereka peroleh. Tidak ada yang bisa disalahkan.
Ketiga, proses. Dengan adanya pertaruhan gengsi dan prestise berbagai pihak, proses bukan menjadi prioritas lagi. Hasil adalah segala-galanya. Untuk mendapatkan hasil sesuai keinginan tersebut, cara atau proses dinafikan dengan menghalalkan segala cara. ‘Menghalalkan’ disini lebih bermuatan ‘syirik’, karena secara praktis, UN dikawal langsung oleh guru dan petugas keamanan yang sudah tidak aman lagi.
Jangan lagi proses UN menjadi hantu yang menakutkan dalam dunia pendidikan bagi peserta didik. Cukuplah dosa turunan ini terputus, tidak menjadi perusakan dasar suci nilai agama, ilmiah dan hati nurani secara ‘berjamaah’, jika memang semua berkeinginan menjadikan baik manusia ‘pintar’ bangsa ini.


Miftahul Hidayati

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...