28.6.12

BUTA WARNA dan SOAL TAKDIR



Kenapa memilih SMK Teknologi Informasi ini? Kira-kira demikian pertanyaan yang diajukan pewawancara kepada salah satu siswa SMP yang melamar menjadi siswa di SMK tersebut. Ia kemudian menjawab, saya ingin belajar di sini. Kenapa tidak memilih SMA? Lagi-lagi ia menjawab, saya inginnya di sini. Dengan tegas ia menjawab. Berani sekali. 

Persoalan yang muncul kemudian adalah, ia tidak lengkap persyaratan administrasi. Surat keterangan dokter yang ia tunjukkan memberitahukan kekurangannya mengidap Buta Warna Parsial. Sementara ketentuan yang berlaku di SMK lebih lagi bidang kompetensi keahlian Teknologi Informatika, tidak bisa menerima penderita tersebut. Bukan persoalan mau atau tidak mau saja, masalahnya akan timbul ketika ia tidak bisa bekerja maksimal di bidang desain, Multi Media dan Teknik Komputer Jaringan.  
 
Buta Warna, seperti dikutip dari Wikipedia.org, adalah suatu kelainan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu akibat faktor genetis.
Buta warna merupakan kelainan genetik / bawaan yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebaut sex linked, karena kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Artinya kromosom Y tidak membawa faktor buta warna. Hal inilah yang membedakan antara penderita buta warna pada laki dan wanita. Seorang wanita terdapat istilah 'pembawa sifat' hal ini menujukkan ada satu kromosom X yang membawa sifat buta warna. Wanita dengan pembawa sifat, secara fisik tidak mengalami kelalinan buta warna sebagaimana wanita normal pada umumnya. Tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor buta warna kepada anaknya kelak. Apabila pada kedua kromosom X mengandung faktor buta warna maka seorang wanita tsb menderita buta warna.
Saraf sel di retina terdiri atas sel batang yang peka terhadap hitam dan putih, serta sel kerucut yang peka terhadap warna lainnya. Buta warna terjadi ketika syaraf reseptor cahaya di retina mengalami perubahan, terutama sel kerucut.



“H” misalnya, mana tahu kalau dirinya menderita buta warna. Jauh-jauh hari sebelum ia tahu tentang penghambat masa depannya itu, ia telah lebih dulu suka dan tertarik dengan dunia teknik-otak-atik komputer. Saya dan sejumlah guru kemudian menyarankan agar ia memilih sekolah lain. SMK jurusan lain. Atau SMA sekalian. Tapi ia berkeras tidak mau. Kekeuh ingin bersekolah di SMK teknologi informasi. 

Awalnya saya biasa saja, memperlakukan seperti anak lainnya. Jika tidak memenuhi persyaratan, tidak bisa diberikan hal istimewa. Kemudian ia memperlihatkan piagam MTQ nya. Hafal quran 10 juz.  

Saya tersentak. Anak hafal 10 juz ingin di SMK? Lalu, saya mengetes bacaannya. Beberapa potongan ayat disambungnya lancar, beberapa lagi tidak. Saya mencari tahu, adakah jurusan yang bisa untuk anak ini? Bertanya ke sana ke mari, kepada guru-guru kejuruan. Kendala apa dan bagaimana yang akan dialami anak itu nantinya. Dampak terhadap nilai dan pendidikan ke depannya. 

Tidak mudah pula rupanya. Mencoba mencari celah ‘istimewa’ untuk anak ‘istimewa’, menembus dinding benton “ATURAN dan ADAT yang berlaku”. Saya ditentang oleh tidak sedikit ‘orang’. Seperti ia terus berharap, saya pun begitu. Mencoba mencairkan kebekuan aturan itu, kalau saja ada yang bisa, kenapa tidak dicoba. Ini berbeda. Anak ini penuh kesungguhan belajar. 

“Dari dulu tidak ada menerima siswa yang buta warna”. Omong kosong. Bukankah tes buta warna baru terselenggara di sekolah ini beberapa tahun terakhir? Yang lain membantah argumen seseorang itu.

Saya hanya prihatin, ketika ada dispensasi dan kebijakan pihak kota untuk membantu siswa 'kota' untuk masuk ke sekolah negeri, mereka yang masuk melalui jalur itu jelas tidak terpantau apakah bebas buta warna ; parsial atau tidak. Mereka terbebas dari jaring seleksi administrasi lain tersebut. Dengan satu alasan : mereka warga kita; berhak mendapat pendidikan di sekolah negeri. Lantas bagaimana dengan anak yang jelas-jelas mau belajar ini, bukankah ia juga ‘warga kita’?
 
Tidak adakah? Anak yang memiliki kemudahan menghafal quran ini? Dengan kemauannya, ia telah menyimpan sepertiga ayat Tuhan dalam ingatannya.  Apa tidak ada dispensasi untuk urusan kecil ini? 

Siapa yang menjamin, mereka yang belajar, mengikuti proses dan prosedur di sekolah ini akan lebih baik daripada mereka yang menempuh jalan berliku untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan? DAN, yang mereka inginkan adalah belajar di bidang “ini”. 

Jika kemudian saya dianggap membesar-besarkan urusan itu, saya kira tidak tepat. Saya hanya tidak rela dengan prestasi-prestasi yang menjadi embel-embel sejumlah anak, lalu dipertahankan dan dibebas-administrasian pada beberapa hal. Naik kelas. Lulus, dan lain sebagainya. 

Jika kita sportif dan mau jujur, kiranya prestasi lain juga (berhak) perlu dihargai dan diberikan posisi istimewa untuk mereka. 

Saya hanya tak rela, jika anak-anak berbakat dan mau belajar ini akhirnya harus mengubur mimpi, meredam cita, tersebab keterbatasan yang menjadi bagian takdir dan mesti diterimanya dengan lapang dada. Karena bagi saya, segala keterbatasan itu bahkan bisa menjadi cambuk pelecut semangatnya dibanding mereka yang diberikan berbagai kemudahan dan fasilitas, serta jalan aman. 

Semoga kehidupan berbaik kepada kalian, dimudahkan Tuhan.


No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...