Kenapa memilih SMK Teknologi Informasi ini?
Kira-kira demikian pertanyaan yang diajukan pewawancara kepada salah satu siswa
SMP yang melamar menjadi siswa di SMK tersebut. Ia kemudian menjawab, saya
ingin belajar di sini. Kenapa tidak memilih SMA? Lagi-lagi ia menjawab, saya
inginnya di sini. Dengan tegas ia menjawab. Berani sekali.
Persoalan yang muncul kemudian adalah, ia
tidak lengkap persyaratan administrasi. Surat keterangan dokter yang ia
tunjukkan memberitahukan kekurangannya mengidap Buta Warna Parsial. Sementara
ketentuan yang berlaku di SMK lebih lagi bidang kompetensi keahlian Teknologi
Informatika, tidak bisa menerima penderita tersebut. Bukan persoalan mau atau
tidak mau saja, masalahnya akan timbul ketika ia tidak bisa bekerja maksimal di
bidang desain, Multi Media dan Teknik Komputer Jaringan.
Buta Warna,
seperti dikutip dari Wikipedia.org, adalah suatu kelainan yang
disebabkan ketidakmampuan sel-sel
kerucut mata
untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu akibat faktor genetis.
Buta warna merupakan kelainan genetik / bawaan yang
diturunkan dari orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebaut sex linked, karena
kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Artinya kromosom Y tidak membawa faktor buta
warna. Hal inilah yang membedakan antara penderita buta warna pada laki dan
wanita. Seorang wanita terdapat istilah 'pembawa sifat' hal ini menujukkan ada
satu kromosom X yang membawa sifat buta warna. Wanita dengan pembawa sifat,
secara fisik tidak mengalami kelalinan buta warna sebagaimana wanita normal
pada umumnya. Tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor
buta warna kepada anaknya kelak. Apabila pada kedua kromosom X mengandung
faktor buta warna maka seorang wanita tsb menderita buta warna.
Saraf sel di retina terdiri atas sel batang yang
peka terhadap hitam dan putih, serta sel kerucut yang peka terhadap warna
lainnya. Buta warna terjadi ketika syaraf reseptor cahaya di retina mengalami
perubahan, terutama sel kerucut.
“H” misalnya, mana tahu kalau dirinya
menderita buta warna. Jauh-jauh hari sebelum ia tahu tentang penghambat masa
depannya itu, ia telah lebih dulu suka dan tertarik dengan dunia
teknik-otak-atik komputer. Saya dan sejumlah guru kemudian menyarankan agar ia
memilih sekolah lain. SMK jurusan lain. Atau SMA sekalian. Tapi ia berkeras
tidak mau. Kekeuh ingin bersekolah di SMK teknologi informasi.
Awalnya saya biasa saja, memperlakukan
seperti anak lainnya. Jika tidak memenuhi persyaratan, tidak bisa diberikan hal
istimewa. Kemudian ia memperlihatkan piagam MTQ nya. Hafal quran 10 juz.
Saya tersentak. Anak hafal 10 juz ingin di
SMK? Lalu, saya mengetes bacaannya. Beberapa potongan ayat disambungnya lancar,
beberapa lagi tidak. Saya mencari tahu, adakah jurusan yang bisa untuk anak
ini? Bertanya ke sana ke mari, kepada guru-guru kejuruan. Kendala apa dan
bagaimana yang akan dialami anak itu nantinya. Dampak terhadap nilai dan
pendidikan ke depannya.
Tidak mudah pula rupanya. Mencoba mencari
celah ‘istimewa’ untuk anak ‘istimewa’, menembus dinding benton “ATURAN dan
ADAT yang berlaku”. Saya ditentang oleh tidak sedikit ‘orang’. Seperti ia terus
berharap, saya pun begitu. Mencoba mencairkan kebekuan aturan itu, kalau saja
ada yang bisa, kenapa tidak dicoba. Ini berbeda. Anak ini penuh kesungguhan
belajar.
“Dari dulu tidak ada menerima siswa yang buta
warna”. Omong kosong. Bukankah tes buta warna baru terselenggara di sekolah ini beberapa tahun terakhir? Yang lain membantah argumen seseorang itu.
Saya hanya prihatin, ketika ada dispensasi
dan kebijakan pihak kota untuk membantu siswa 'kota' untuk masuk ke
sekolah negeri, mereka yang masuk melalui jalur itu jelas tidak terpantau
apakah bebas buta warna ; parsial atau tidak. Mereka terbebas dari jaring
seleksi administrasi lain tersebut. Dengan satu alasan : mereka warga kita;
berhak mendapat pendidikan di sekolah negeri. Lantas bagaimana dengan anak yang
jelas-jelas mau belajar ini, bukankah ia juga ‘warga kita’?
Tidak adakah? Anak yang memiliki kemudahan
menghafal quran ini? Dengan kemauannya, ia telah menyimpan sepertiga ayat Tuhan
dalam ingatannya. Apa tidak ada
dispensasi untuk urusan kecil ini?
Siapa yang menjamin, mereka yang belajar,
mengikuti proses dan prosedur di sekolah ini akan lebih baik daripada mereka
yang menempuh jalan berliku untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan? DAN,
yang mereka inginkan adalah belajar di bidang “ini”.
Jika kemudian saya dianggap membesar-besarkan
urusan itu, saya kira tidak tepat. Saya hanya tidak rela dengan
prestasi-prestasi yang menjadi embel-embel sejumlah anak, lalu dipertahankan
dan dibebas-administrasian pada beberapa hal. Naik kelas. Lulus, dan lain
sebagainya.
Jika kita sportif dan mau jujur, kiranya
prestasi lain juga (berhak) perlu dihargai dan diberikan posisi istimewa untuk
mereka.
Saya hanya tak rela, jika anak-anak berbakat
dan mau belajar ini akhirnya harus mengubur mimpi, meredam cita, tersebab
keterbatasan yang menjadi bagian takdir dan mesti diterimanya dengan lapang
dada. Karena bagi saya, segala keterbatasan itu bahkan bisa menjadi cambuk
pelecut semangatnya dibanding mereka yang diberikan berbagai kemudahan dan
fasilitas, serta jalan aman.
Semoga kehidupan berbaik kepada kalian,
dimudahkan Tuhan.
No comments:
Post a Comment