14.6.12

RESENSI: Cerita Galau yang Berjuta Rasanya


Resensi

Judul Buku          : Berjuta Rasanya
Penulis                 : Tere Liye
Penerbit              : Mahaka Publishing, Republika, Jakarta
Cetakan              : Pertama, Mei  2012
Tebal                   : vi + 205 hlm




Satu lagi karya Tere Liye tentang cinta, bukan berkisah tentang anak-anak ataupun keluarga seperti novel-novel sebelumnya. Buku edisi pertama Mei ini, bukan sebuah novel, namun sekumpulan cerita singkat. Cerita tentang kehidupan percintaan manusia, dengan akhir dan proses yang beragam. Baik yang berakhir happy ending, sad ending, atau sekedar gokil dan lucu-lucuan saja. 

Bahasa yang lebih santai menjadikan buku ini pas buat remaja dan –siapa saja-  yang dirundung kegalauan gara-gara cinta. Atau mereka yang ingin menemukan makna kata cinta, takdir, nasib, jodoh, dan patah hati. Seperti karya lainnya, buku ini bercerita  cinta namun dalam kerangka bahasa yang tidak vulgar.  Salah satu nilai berbeda milik Tere Liye.

Berjuta Rasanya memuat cerita-cerita galau, dengan tetap menyampaikan makna dan pelajaran kehidupan. Tak seperti ketika menikmati alur novel, yang setelah dibaca satu bab, membuat penasaran pembaca untuk terus melanjutkan ke bab berikutnya. Kenikmatan membaca novel adalah tentang kelanjutan cerita  dan mengetahui akhirnya secepat mungkin. Maka kumpulan cerita ini menuntut sedikit ‘perenungan’ atau pembenaran atas makna dan pelajaran yang ditawarkan lewat kisah singkat tersebut.   

Jika mereka yang dimabuk asmara, yang sedih tak terkira tersebab patah hati, akan mencampurkan pikiran logis dengan ilusi, lantas berharap semua bisa terjadi sesuai harapan, maka Tere Liye lewat imajinasi dan cerita galaunya ‘akan’ mengembalikan pikiran rasional dan logis mereka itu ke tempat semula. Menerima dan memahami berbagai kemungkinan takdir atau nasibnya. Karena dengan pemahaman itu, dapat diterima begitulah yang terbaik. Hal-hal semacam ini yang terus disampaikan penulis lewat setiap ceritanya. Tak sekedar cerita galau yang berjuta rasanya, bukan?   

Pembenaran pada bagian yang berjudul Cintanometer misalnya. Cintanometer adalah sebuah alat deteksi cinta, membantu mereka yang sulit sekali mengungkapkan rasa cinta, tapi ingin mengetahui apakah orang yang ditaksir juga memiliki rasa yang serupa. Pembenarannya adalah, jika alat itu kemudian ada di dunia ini, apa jadinya cinta. Tak berarti dan menjadi ‘tak berjuta rasa’nya lagi.

“Jika cintanometer berkedip-kedip itu artinya cinta. Jika tidak berkedip-kedip maka tidak ada cinta. Lama-lama penduduk kota mulai lupa apa itu cinta, bagaimana sesungguhnya perasaan seseorang saat jatuh cinta. Mereka hanya mengerti soal berkedip atau tidak berkedip. Lama-lama, mereka kehilangan kosa kata cinta.” 

Pun pada  cerita Pandangan Pertama Zalaiva, “Cinta tidak membuat ia merasa memiliki dunia ini, ia justru merasa kehadirannya di dunia sia-sia belaka. Cinta memang lebih mirip hantu, semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benar-benar pernah melihatnya. Dan ketika kau berhasil melihatnya kau lari sungguh ketakutan.” (h. 189)

Ada 15 cerita singkat yang seperti seringkali pada karya lain Tere Liye, setting tempat cerita ini kebanyakan ada di negeri antah berantah. Sedikit saja yang menyebutkan detail lokasi. Nah, di buku ini, yang paling populer adalah nama-nama kafe. Kafe, sebuah tempat dimana kebanyakan kaum muda menghabiskan waktu, atau bahkan menyempatkan di sela-sela kesibukan mereka untuk sekedar mengurus ‘kegalauan hati’ karena cinta, jodoh, takdir dan patah hati. 

Konsep cerita memang sederhana. Cerita cinta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sekedar upaya mendapatkan orang yang ditaksir, mempertahankan dan menjaga cinta sejati, bangkit dari rasa patah hati, dan lain sebagainya. Namun, kekonyolan cerita cinta itu ditangkap dan dihadirkan kembali oleh penulis dengan tokoh yang beragam. Nama yang seringkali muncul di buku ini, mengingatkan kita pada karya Tere Liye “Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”, yaitu Tania. Barangkali nama itu menjadi ‘sesuatu’ bagi penulis?!
 
“Kehidupan ini tak selalu memberikan kita pilihan terbaik. Terkadang yang tersisa hanya pilihan-pilhan berikutnya.”(Kotak-Kotak Kehidupan Andrei)

 “Seseorang yang mencintaimu karena fisik, maka suatu hari ia juga akan pergi karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang menyukaimu karena materi, maka suatu hari ia juga akan pergi karena materi. tapi seseorang yang mencintaimu karena hati, maka ia tidak akan pernah pergi! Karena hati tidak tidak pernah mengajarkan tentang ukuran relatif lebih baik atau lebih buruk.”

Bacaan ringan saat santai ini menghadirkan berjuta rasa ketika Anda membaca, kemudian merenungkan bagian-bagian pembenarannya. Bagi Anda penggemar karya-karya Tere Liye, jangan sampai ketinggalan untuk menambah koleksi Anda dengan buku bercover cantik yang satu ini.[]

Peresensi : Miftahul Hidayati

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...