Ada berbagai fenomena bahasa yang nyata terjadi di
lingkungan berbahasa Indonesia kita. Salah satunya adalah yang muncul lewat dialog
antara saya dengan Fachry di awal bulan Februari ini. Fachry adalah adik sepupu
saya yang masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar di kampung kami.
***
--terdengar lirik lagu : kulihat ibu pertiwi/sedang bersusah
hati/ air matanya berlinang/....dst
Fachry : Uni, si
pertiwi itu adiknya Kartini ya?
Saya : ha?
–Terkejut. Melihat ke arah Fachry. Lalu tertawa.-
Fachry : iya ni?
Saya : Bukan Ai.
Tidak ada hubungannya antara Pertiwi dengan Kartini. Ai mungkin beranggapan
begitu karena ada TK Pertiwi, juga ada TK Kartini ya?
Fachry : iya.
–mengangguk-
Saya : Baiklah.
Pertiwi itu bukan nama orang, bukan nama perempuan hebat, bukan nama ibu-ibu
seperti halnya Kartini. Pertiwi itu istilah yang digunakan sebagai pengganti
nusantara-Indonesia ini. Ibu pertiwi berarti wilayah nusantara kita.
Fachry : oo. –meng-o
seadanya-.
Sungguh, saya cukup kesulitan menjelaskan hal itu. Mencari
perbedaan kongkrit antara ibu kartini dengan ibu pertiwi, yang secara bahasa
-nyata- sama-sama menggunakan kata IBU. Sementara pengertiannya sangat jauh
berbeda.
Ada banyak kosa kata lain dalam bahasa Indonesia yang juga
sulit –bagi saya- dicarikan penjelasannya. Misalnya soal akronim dan singkatan.
Bagaimana sebenarnya kaidah dalam bahasa indonesia mengatur?
Ada kalanya singkatan itu diambil dari huruf pertama dari
setiap katanya. Seperti, SD singkatan dari Sekolah Dasar. Atau BI : Bank
Indonesia. Atau BPSNT : Badan Pusat Sejarah dan Nilai Tradisi.
Ada kalanya singkatan itu diambil bukan dari satu huruf
pertama, melainkan dari sembarang kata yang terdapat pada kata itu. Seperti
Bawaslu: Badan Pengawas Pemilu. Sementara PEMILU sendiri juga kata yang sudah disingkat
Pemilihan Umum.
Semakin hari singkatan itu semakin “keren” saja. Entah sengaja
dibuat keren atau tren bahasa sekaranglah yang menuntun menjadi
“ke-keren-keren-an”. Contohnya seperti lalin: lalu lintas.
Barangkali menyingkat-nyingkat kata itu sudah menjadi candu
bagi pengguna bahasa saat ini. Katanya agar lebih efektif. Tapi menurut saya, tidak pula susah menyebut kata itu baik-baik. Menyelesaikan kata itu sebagaimana mestinya. Yang ada kini, biar
terlihat keren (mungkin), disingkatlah kata-kata itu. Walau tanpa aturan tertentu. Sembarang(an)
saja.
Ada pula singkatan dari bahasa asing yang tak jelas penggunaannya, seperti
WC yaitu water-closet. Padahal ada padanan kata dalam bahasa Indonesia seperti jamban. Sayangnya kebanyakan masyarakat terbiasa menggunakan WC.
Contoh lain seperti (maaf) BH : bustehouder yang jika diterjemahkan menjadi penyangga payudara. Berbeda dengan jamban, yang bahasa Indonesia-nya terkesan lebih baik, untuk BH ini, masyarakat (menurut saya) tidak salah jika memilih menggunakan kata tersebut, daripada versi Indonesianya; kutang.
Contoh lain seperti (maaf) BH : bustehouder yang jika diterjemahkan menjadi penyangga payudara. Berbeda dengan jamban, yang bahasa Indonesia-nya terkesan lebih baik, untuk BH ini, masyarakat (menurut saya) tidak salah jika memilih menggunakan kata tersebut, daripada versi Indonesianya; kutang.
Singkatan kata itu juga –kadang- tidak menghargai. Seperti
singkatan MITA untuk Minyak Tanah. Apa alasannya coba? Padahal ada banyak orang
bernama demikian bukan? Judul media pun kadang “main-main” dengan kata ini, seperti “Mita
kembali bergejolak”, atau “Taslim: Tindak Penyelundup Mita”, atau “Mita langka,
harga pun melambung di Dharmasraya”. Aih! Risih dengan judul berita usil
seperti itu -kalau tidak akan disebut kreatif-. Hahaha.
Nah, baru-baru ini saya dengar di media istilah baru lagi,
Sprindik. Kata yang cukup sulit mengejanya, sama seperti spritus. Sprindik
adalah Surat perintah penyidikan. Kenapa bukan SPP saja? Bukankah ada banyak
kata lain yang juga merupakan singkatan yang sama, tapi kepanjangannya berbeda. Kita bisa mengetahui maknanya dari konteks pembicaraan kata tersebut. Seperti LPM. Ada
banyak LPM. Lembaga Pengabdian Masyarakat, atau Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat, atau juga Lembaga Pers Mahasiswa. Mudah saja bukan?
Kita tentu berbangga dengan keragaman bahasa yang
dimiliki bangsa ini. Semakin hari semakin bertambah istilah yang muncul lewat
media. Namun ada kekhawatiran, jika tidak ada aturan yang jelas tentang akronim dan singkatan itu.
Barangkali jika para pakar bahasa dan pemerhati bahasa terus mengikuti perkembangan itu, akan kesulitan meng-input (Bahasa Indonesianya: memasukkan) kosa kata baru tanpa aturan itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Atau, semua kata yang semakin begaram tak beraturan ini tak perlu saja dikumpulkan dalam KBBI? (eh? akhirnya, saya pakai singkatan juga nih!)
Barangkali jika para pakar bahasa dan pemerhati bahasa terus mengikuti perkembangan itu, akan kesulitan meng-input (Bahasa Indonesianya: memasukkan) kosa kata baru tanpa aturan itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Atau, semua kata yang semakin begaram tak beraturan ini tak perlu saja dikumpulkan dalam KBBI? (eh? akhirnya, saya pakai singkatan juga nih!)
Dan, seperti itulah fenomena bahasa kita sehari-hari. Ini baru satu soal akronim dan singkatan
saja, belum lagi jika kita komentari tentang bahasa alay, lebay, dan gaul anak
muda sekarang. (ceileee, berasa tua aja! :D) Akan semakin membingungkan. Saya juga. Selamat
ber-bingung-bingung-lah kalau begitu. :)
wayangnya bingung dalangnya bingun yg penting ketawa, ngomngnya ngaco ngom ongnya aneh yg penting bisa mengerti :D
ReplyDelete