15.2.13

Fenomena Bahasa Indonesia #1



Ada berbagai fenomena bahasa yang nyata terjadi di lingkungan berbahasa Indonesia kita. Salah satunya adalah yang muncul lewat dialog antara saya dengan Fachry di awal bulan Februari ini. Fachry adalah adik sepupu saya yang masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar di kampung kami.

***
--terdengar lirik lagu : kulihat ibu pertiwi/sedang bersusah hati/ air matanya berlinang/....dst
Fachry   : Uni, si pertiwi itu adiknya Kartini ya?
Saya       : ha? –Terkejut. Melihat ke arah Fachry. Lalu tertawa.-
Fachry   : iya ni?
Saya       : Bukan Ai. Tidak ada hubungannya antara Pertiwi dengan Kartini. Ai mungkin beranggapan begitu karena ada TK Pertiwi, juga ada TK Kartini ya?
Fachry   : iya. –mengangguk-
Saya       : Baiklah. Pertiwi itu bukan nama orang, bukan nama perempuan hebat, bukan nama ibu-ibu seperti halnya Kartini. Pertiwi itu istilah yang digunakan sebagai pengganti nusantara-Indonesia ini. Ibu pertiwi berarti wilayah nusantara kita.
Fachry   : oo. –meng-o seadanya-.

***
Sumber gambar : google/wahyusiswaningrum.blogspot

Sungguh, saya cukup kesulitan menjelaskan hal itu. Mencari perbedaan kongkrit antara ibu kartini dengan ibu pertiwi, yang secara bahasa -nyata- sama-sama menggunakan kata IBU. Sementara pengertiannya sangat jauh berbeda. 

Ada banyak kosa kata lain dalam bahasa Indonesia yang juga sulit –bagi saya- dicarikan penjelasannya. Misalnya soal akronim dan singkatan. Bagaimana sebenarnya kaidah dalam bahasa indonesia mengatur? 
Ada kalanya singkatan itu diambil dari huruf pertama dari setiap katanya. Seperti, SD singkatan dari Sekolah Dasar. Atau BI : Bank Indonesia. Atau BPSNT : Badan Pusat Sejarah dan Nilai Tradisi. 

Ada kalanya singkatan itu diambil bukan dari satu huruf pertama, melainkan dari sembarang kata yang terdapat pada kata itu. Seperti Bawaslu: Badan Pengawas Pemilu. Sementara PEMILU  sendiri juga kata yang sudah disingkat Pemilihan Umum. 

Semakin hari singkatan itu semakin “keren” saja. Entah sengaja dibuat keren atau tren bahasa sekaranglah yang menuntun menjadi “ke-keren-keren-an”. Contohnya seperti lalin: lalu lintas.

Barangkali menyingkat-nyingkat kata itu sudah menjadi candu bagi pengguna bahasa saat ini. Katanya agar lebih efektif. Tapi menurut saya, tidak pula susah menyebut kata itu baik-baik. Menyelesaikan kata itu sebagaimana mestinya. Yang ada kini, biar terlihat keren (mungkin), disingkatlah kata-kata itu. Walau tanpa aturan tertentu. Sembarang(an) saja.

Ada pula singkatan dari bahasa asing yang tak jelas penggunaannya, seperti WC yaitu water-closet. Padahal ada padanan kata dalam bahasa Indonesia seperti jamban. Sayangnya kebanyakan masyarakat terbiasa menggunakan WC.
 

Contoh lain seperti (maaf) BH : bustehouder yang jika diterjemahkan menjadi penyangga payudara. Berbeda dengan jamban, yang bahasa Indonesia-nya terkesan lebih baik, untuk BH ini, masyarakat (menurut saya) tidak salah jika memilih menggunakan kata tersebut, daripada versi Indonesianya; kutang.  

Singkatan kata itu juga –kadang- tidak menghargai. Seperti singkatan MITA untuk Minyak Tanah. Apa alasannya coba? Padahal ada banyak orang bernama demikian bukan? Judul media pun kadang “main-main” dengan kata ini, seperti “Mita kembali bergejolak”, atau “Taslim: Tindak Penyelundup Mita”, atau “Mita langka, harga pun melambung di Dharmasraya”. Aih! Risih dengan judul berita usil seperti itu -kalau tidak akan disebut kreatif-. Hahaha.

Nah, baru-baru ini saya dengar di media istilah baru lagi, Sprindik. Kata yang cukup sulit mengejanya, sama seperti spritus. Sprindik adalah Surat perintah penyidikan. Kenapa bukan SPP saja? Bukankah ada banyak kata lain yang juga merupakan singkatan yang sama, tapi kepanjangannya berbeda. Kita bisa mengetahui maknanya dari konteks pembicaraan kata tersebut. Seperti LPM. Ada banyak LPM. Lembaga Pengabdian Masyarakat, atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, atau juga Lembaga Pers Mahasiswa. Mudah saja bukan?   

Kita tentu berbangga dengan keragaman bahasa yang dimiliki bangsa ini. Semakin hari semakin bertambah istilah yang muncul lewat media. Namun ada kekhawatiran, jika tidak ada aturan yang jelas tentang akronim dan singkatan itu. 

Barangkali jika para pakar bahasa dan pemerhati bahasa terus mengikuti perkembangan itu,  akan kesulitan meng-input (Bahasa Indonesianya: memasukkan) kosa kata baru tanpa aturan itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Atau, semua kata yang semakin begaram tak beraturan ini tak perlu saja dikumpulkan dalam KBBI? (eh? akhirnya, saya pakai singkatan juga nih!)

Dan, seperti itulah fenomena bahasa kita sehari-hari.  Ini baru satu soal akronim dan singkatan saja, belum lagi jika kita komentari tentang bahasa alay, lebay, dan gaul anak muda sekarang. (ceileee, berasa tua aja! :D) Akan semakin membingungkan. Saya juga. Selamat ber-bingung-bingung-lah kalau begitu. :)
                                                       

1 comment:

  1. wayangnya bingung dalangnya bingun yg penting ketawa, ngomngnya ngaco ngom ongnya aneh yg penting bisa mengerti :D

    ReplyDelete

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...