17.2.13

In memoriam Arif Adi Putra



****
Belum lagi setengah jam dia meninggalkan rumahnya pagi Jumat itu. Berpamitan dengan ibu. Berangkat, berniat mencari ilmu. Ia lekas menuju sekolah. 

Di perjalanan menuju sekolah, yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu, dia teringat akan ‘sesuatu’ yang tertinggal di rumah. Diputarnya motor, melaju kembali ke rumah. 

Sesampai di rumah, segera diambilnya apa yang dimaksudkannya menjemput tadi. Lalu bergegas lagi. Menstarter motor, memacu kendaraan itu melaju lebih cepat. Berharap ia tidak terlambat sampai di sekolah. Karena pagi ini ada kegiatan muhadarah. Ia tak mau berbaris terpisah. 

Belum lagi satu kilometer dari rumahnya. Si dia itu terjatuh sendirinya. Kata orang sekitar, dia jatuh, bukan tertabrak. 

Kadang memang benar kata orang tua dulu, “air tenang menghanyutkan”. Juga pada lirik lagu Minang tempo dulu, “Usah takuik Nak, di ombak gadang. Aia nan tanang, oi Nak kanduang, mambaok karam”. Barangkali, juga demikian berlakunya dalam urusan jalan. Jalan datar itu membahayakan. 

Kata masyarakat sekitar lagi, dulu, ketika jalan masih berbatu, tak banyak kecelakaan di daerah itu. Justru sekarang, setelah jalan itu diaspal, ada saja kecelakaan. 

Memang banyak orang ‘kena’ justru pada hal yang tidak dikhawatirkannya. Ia barangkali menganggap pada posisi aman. Padahal, apa saja, pada siapa saja, waspada mesti selalu ada. Kalau bukan akan disebut curiga atau ekstra cemas. 

Dia terjatuh sendirinya. Memang di jalan menurun. Meski bagus, mungkin jalannya licin.
Di sana dia sedang berdebat dengan malaikat maut. Bahwa ia masih ingin sampai ke sekolah. Ingin belajar. Ingin menuntut ilmu. Tapi tidak, kata malaikat itu.

Sesaat, ketika kepalanya retak, dan mengucurkan darah yang super hebat, mengaliri jalanan menurun itu, ia terus mencoba mendebat malaikat. Tunggulah. Ia hanya hendak berpamitan dengan sanak saudaranya. Ia hanya ingin pesta perpisahan kecil dengan sahabat-sahabatnya. Ia lalu juga ingin bersalaman, mencium punggung tangan yang selama ini mendidik dan mengasuhnya. Ia hanya ingin meminta tenggang waktu. Tunggulah. Tapi, lagi-lagi, tidak demikian kehendak malaikat.

Tidak, tidak. Itu bukan kehendak malaikat. Itu aturanNya. Hal itu sudah disiapkanNya dan menjadi ketetapan yang malaikat hanya menjalankan. Si dia bisa apa. Semua itu sudah baku. Sudah tertulis di alam sana, sejak ia ditiupkan ke dalam perut ibunya. Lalu siapa yang bisa mencegah dan menghentikan? Siapa yang mampu menolak permintaanNya?

Darah pekat kepalanya masih mengucur hebat. Pada aliran darah segar itu, barangkali turut mengalir rumus matematika yang diterimanya kemarin, lalu digunakannya menyelesaikan tugas tadi malam. Dalam kemerahan darah itu, ada klorofil –yang berwarna hijau-, beragam jenis tanaman obat keluarga, tanaman hias, dan tanaman lainnya yang ia turut tanam dan tata screen house sekolah sore kemarin. Bersama pekatnya darah itu, mengalir pula semangat. Semangat bahwa kelak, ia akan bahagiakan orang tuanya, mencapai cita-cita, dan hidup lebih baik. Itu saja, tak pula rumit. 

Darah terus mengucur deras. Tapi orang-orang sekitar hanya terpana dan bingung melihatnya terkapar di aspal itu. Mereka hanya berdiri mematung. Atau juga membiarkan. 

Apa yang ada di kepala mereka? Tidakkah ada lagi kemanusiaan itu hari ini? Kenapa dia dibiarkan begitu saja? Bukankah yang dilihat mereka itu adalah manusia? Dia bukan kucing, yang setelah tertabrak saja masih dicoba mengemasinya, menggulung dengan kain, lalu menguburnya jika mati. 

Tidakkah mereka tahu, bahwa dia adalah anak manusia? Dia anak sekolah, sama seperti anak-anak mereka. Dia bujang dari kampung mereka juga. Dia anak tetangga mereka. Bahkan boleh jadi, dia adalah kemenakan mereka. Dia masih dibiarkan begitu saja. Mungkin di pikiran mereka ada takut. Takut menjadi saksi. Takut dengan yang namanya darah. Mungkin saja.
Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. 

Untung saja, diantara yang membiarkan itu, masih ada yang ‘berotak’ untuk memberitahukan pada keluarga si dia. Memanggilkan saudara dan keluarganya. 

Sekonyong-konyong datang keluarga. Tidak pula langsung membawa si dia ke rumah sakit yang jaraknya tak berapa kilometer itu. Tak ada kendaraan. Mungkin lebih tepatnya, tak ada kendaraan yang mau. 

Si dia masih terbaring. Kepalanya masih mengucurkan darah. Darah yang mengalir, bersamaan dengan jiwanya yang ia relakan dibawa malaikat. Ia menyerah. Bawalah. Pergilah.

Tubuhnya dibawa ke rumah sakit. Turut bersamanya si ibu, si kakek, si uda dan juga beberapa tetangga. Di sana rupanya sudah menanti, si Dayat, sahabat kentalnya. Konco bermain bola. Semua menangis melihat tubuhnya. 

Dia lalu diperiksa dokter. Dokter meminta ada pihak keluarga yang menyaksikan. Tak ada. Kenapa tak ada? Si nenek, sudah terjatuh, pingsan di luar sana. Si ibu, berdiri saja tak kuasa, menangis menahan pilu, tak sanggup mencerna kata-kata dokter. Hanya terduduk lemas tak bertenaga, dipegangi tetangga di kursi luar sana. 

Hanya Dayat, yang sedari tadi menangis di balik kaca, menjawab tegas. “Saya”. Lalu masuk bersama dokter itu. Menyaksikan si dokter mengancah kepala sahabatnya. Melihat langsung retak dan rengkah kepala kawannya. Hanya bisa terisak dan mengucap doa.

Tapi, sungguh, doa kadang tak berperan apa-apa pada takdir. Doa yang bisa untuknya, adalah kerelaan. Merelakan si dia pergi, lalu diterima di sisiNya. Dokter pun menyerah. Kita hanya bisa berusaha. Ketetapan jua di tanganNya. 

Kepergiannya, lalu disadari. Semua yang diluar kembali menangis. Dia ditutup dengan kain putih. Mukanya memucat. Tubuhnya dingin. Tak ada lagi rona kehidupan di jasad itu. Dia benar-benar telah berada di dimensi yang berbeda. Di alam sana. Entah di mana.

***
Dia. Arif Adi Putra. Siswa kelas X jurusan Rekayasa Perangkat Lunak, SMK Teknologi Informasi yang bercita-cita menjadi Polisi. Ia dikenal santun oleh guru-guru. Baik pula bergaulannya dengan teman-teman. 

Saya pribadi, tepat dua hari menjelang kepergiannya, ada pengalaman yang berkesan.
Saat kegiatan kerja bakti, Arif duduk di kelasnya sambil memegang gitar. Seperti sebelum-sebelumnya, saya mengontrol siswa untuk membersihkan ruangan kelas. Jika ada yang tak bekerja, saya pikir mereka tak ada inisiatif, dan perlu diberitahukan pekerjaan yang bisa mengasah jiwa sosial, kerja sama, dan tanggung jawabnya. 

Saya lalu memintanya mengantarkan bunga ke bagian screen house yang berdekatan dengan toga. Di sana telah ada guru lain. Saya lalu hubungi guru yang di bagian toga. Bahwa saya sudah menyuruh siswa ke sana. Berikan ia pekerjaan lanjutan. Karena tampaknya ia tak tahu apa yang akan dikerjakannya. 

Arif lalu sendirian ke kebun itu. Bahkan, sampai saya datangi kebun itu, ia masih di sana. Ia tengah mengangkat pot besar berisi bunga panah asmara. Masih di sana? Setelah sekian lama? Saya berubah pikiran. Tersenyum menyapanya. Ia bilang, kalau ia menyukai tanaman.
Itulah benarnya, dont judge the book by its cover. Dia hanya tak tahu apa yang akan dilakukannya. Dan memberitahu itulah tugas guru. Lalu mengenali karakter, selanjutnya mendidiknya menjadi pribadi yang lebih baik. Itu saja.

Ia adalah anak yang bertanggung jawab. Hanya kurang ide dan inisiatif untuk mengerjakan apa. Namun, jika diminta, ia akan patuhi dan laksanakan semampunya. Cukup bertanggung jawab.

**

Sayang, kita pantas bersyukur, karena kita masih beruntung. Kita dikehendaki hadir di dunia ini oleh ibu dan keluarga sederhana kita. Lalu, di saat kita pergi, lihatlah, betapa menyedihkannya kehidupan bagi mereka, yang meski berat harus diterima. Mereka menangisi jenazah kita. Kita tak seperti bayi-bayi tak beruntung itu. Mereka tak dikehendaki hadir di dunia ini, justru oleh ibu mereka sendiri. Mereka ‘disuruh’ dan diusir agar pergi. 

Kita masih beruntung. Diberinya kesempatan untuk menikmati kehidupan yang singkat ini. Menikmati siang bersama teman-teman. Berprestasi dan berkompetisi. Mengisi malam yang dingin di tengah-tengah keluarga sederhana yang menghangatkan. Mengisi kekosongan jiwa dengan nikmat iman. Itu yang utama. 

Apakah hanya sampai di sana? Tidak Sayang. Tak hanya sampai di sana. Bahkan, ketika kita pergi, berpisah nyawa dan badan, berbeda alam, kita masih saja beruntung. Beruntung hidup di lingkungan baik, yang terus mengalirkan doa untuk kehidupan kita di alam sana kepadaNya. Selalu, mengalir doa untuk kita.


*
Selamat jalan Arif. Selamat memasuki alam jeda-sementara untuk kehidupan baru kelak. Semoga, di sana baik-baik saja. Kita hanya bisa kirimkan doa. Dan suatu masa, mungkin nanti, besok, lusa atau kapan saja, kami juga ke sana.



No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...