17.5.11

Masih(kah) Ujian Nasional Efektif *

Mampukah formula baru Ujian Nasional (UN) yang diprediksi lebih efektif ini menjadi standar ukur kemampuan siswa? Agaknya pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan jujur oleh pelaku dan pengamat pendidikan di negeri ini.
Tentang pengalaman ini, media massa acapkali memuat berita tentang keganjilan dan kecurangan proses UN. Mulai dari kebocoran soal, baik pada proses penggandaan maupun pendistribusian. Pengawas independen yang tidak bisa bekerja maksimal. Ketidak tegasan pengawas silang, dan lain sebagainya.
Beberapa tahun terakhir dapat diamati adanya oknum siswa yang nyata menjadi pelaku kecurangan tersebut. Tanpa persiapan, akhirnya tetap lulus dengan nilai yang tidak dapat disebut pas-pasan. Sangat mengherankan. Bahkan informasi lain disebutkan, siswa-siswa di sekolah yang katanya unggul, telah membeli seperangkat jawaban. Jawaban yang disiapkan itu, jelas menguntungkan bagi mereka yang memang tidak berminat belajar. Sementara, solusi aneh ini sudah menjadi rahasia umum di sekolah-sekolah pelarian. Jadilah, UN sebagai olok-olokan siswa.
Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Ironis, ketika siswa yang dianggap mampu dan pintar dalam pelajaran hariannya tiba-tiba dinyatakan tidak lulus, sementara siswa yang memang sudah di-cap ‘kurang’ dari sekolah mendapatkan nilai yang memuaskan. Itu hanya karena satu diantara mereka yakin dan beriman kepada ‘sms keramat’ yang datang setengah jam menjelang UN. Entah dimana ‘tercecer’nya lembar ujian tersebut. Mungkin penggandaan soal di percetakan, mungkin pula terjadi berbagai ‘kecelakaan’ di perjalanan yang sudah dikawal polisi itu.
Melihat realita ini, pemerintah menyiapkan formula baru pelaksanaan UN tahun 2011 ini. Jika pada tahun-tahun sebelumnya penentuan kelulusan murni ditentukan UN tanpa melibatkan sekolah. Maka, seperti disebutkan Peraturan Mendiknas No 2 Tahun 2011 tentang Ujian Sekolah/Ujian Nasional Tahun 2011, kelulusan siswa SMP dan SMA ditentukan dari nilai sekolah (40%) dan nilai UN (60%). Khusus untuk nilai sekolah ditentukan dari nilai rapor (40%) dan nilai ujian akhir sekolah/UAS (60%).
Inilah bentuk kepedulian sekaligus kecemasan Kemendiknas. Peduli, agar UN benar menjadi standar ukur keberhasilan pendidikan Indonesia. Cemas, jika nyatanya sekian persen siswa peserta UN dinyatakan tidak lulus. Kecemasan ini berujung pada solusi-solusi yang dipikirkan pihak-pihak terkait. Baik orang tua siswa yang tidak siap menerima hasil evaluasi kemampuan anaknya. Guru yang cemas dinilai tidak mampu mengajar. Kepala sekolah yang belum bisa memimpin, serta Kemendiknas yang belum berhasil menetapkan kebijakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada formula baru ini tidak hanya UN penentu kelulusan siswa. Tapi juga nilai sekolah. Dilihat lagi proses belajar yang telah dilalui, yang dibuktikan dengan nilai rapor semester 3-5 untuk tingkat SMA. Lalu diakumulasikan dengan nilai UAS. Satu kemungkinan ‘solusi’ dapat disiapkan. Mungkin saja, oknum dari pihak sekolah ‘tertentu’ akan memanipulasi data nilai rapor siswa. Sehingga untuk 40 % nilai sudah aman. Walau berdalih ‘tidak mungkin’, apapun usaha bisa saja dihalalkan, toh itu lah kenyataannya. Layaknya kurva kemampuan siswa di kelas. Hal yang lumrah, padi satangkai ado yang boneh dan hampo.
Jika benar begitu, tidak salah kiranya beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang sudah dikenal mutunya, tidak mau percaya penuh pada nilai dan kelulusan siswa. Pun pada penerimaan formasi kerja baik Pegawai Negeri Sipil maupun swasta/industri tertentu, tidak akan merekrut lulusan SMA/SMK, jika hanya bersandar pada nilai dengan menihilkan skill mereka.
Formula baru ini juga menyiapkan soal sebanyak lima paket. Siswa tidak mengetahui paket soal apa yang akan dijawab saat ujian nantinya. Lantas, apa mungkin siswa akan menghafal kunci-kunci jawaban yang telah ditukarnya dengan sejumlah angka-angka rupiah sebelumnya? Jelas tidak mungkin. Tapi, lagi-lagi banyak hal yang mungkin saja terjadi.
Disinilah pentingnya peran pengawas. Pengawas diharapkan benar-benar jujur dalam menjalankan tugasnya. Dilematis. Jika pengawas silang, yang mengawasi suatu sekolah, jika benar-benar jujur, dikhawatirkan akan memuat laporan-laporan ganjil itu dalam berita acara. Panitia dan pihak diknas akan mendapati laporan tersebut. Sebagian menganggap, beginilah seharusnya ‘meng-awas-i’ proses evaluasi itu. Namun sebagian lain akan ‘memuji’ keujujuran tersebut dengan sindiran-sindiran. “Siapkah si guru jujur itu, jika nama yang tertulis dalam berita acara tersebut adalah anaknya atau siswa sekolahnya?”
Pengawas tetap bernama pengawas, meskipun pekerjaan yang dilakukan dengan ber’kaca mata kuda’. Menjalankan absen, lalu duduk diam, mengamati. Pasalnya, jika mondar-mandir dikhawatirkan akan mengganggu efektifitas ujian. Lain lagi dengan pengawas independen yang didatangkan dari perguruan tinggi. Para dosen tersebut, sebelum ini, tidak diperkenankan masuk ruangan ujian. Entah ini hanya di sebagian sekolah saja. Jika demikian, independensi apa yang akan dijamin?
Kita semua jelas bangga dengan cita-cita –mencerdaskan kehidupan bangsa- ini. Tapi, tanpa kontrol bersama, baik stakeholder maupun masyarakat peduli pendidikan, semua akan kembali seperti pengalaman sebelum-sebelumnya. UN seakan masih kebohongan publik yang direncanakan. UN tak akan pernah efektif menjadi alat ukur. Bukankah yang namanya alat akan digunakan, bukan malah diper-alat- lagi.
Tidak saja pada hasil akhir baik yang tentunya diharapkan dan dibutuhkan bangsa ini. Melainkan, adalah keharusan dan tanggung jawab bersama untuk mensukseskan UN standar pendidikan Indonesia. Jika hanya untuk kelulusan, apalah artinya. Kita akan menjadi saksi bagaimana kecurangan dan kebohongan itu masih saja ada dalam pelaksanaan UN.
Pasti, apresiasi tertuju pada Kemendiknas yang menyiasati UN dengan formula baru ini agar bisa lebih efektif. Namun selaku masyarakat yang mendambakan pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa, kita juga perlu mengontrol jalannya UN. Bersama-sama untuk berkomitmen, seperti komitmennya Mendiknas Muhammad Nuh, “Prestasi Yes! Kejujuran harus”. Demikian hendaknya diyakinkan dan dilaksanakan sampai ke siswa. Wallahu a’lam. []

April 2011
*Miftahul Hidayati, Alumni Fak. Tarbiyah dan Tabloid Mahasiswa Suara Kampus IAIN Imam Bonjol Padang

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...