14.2.12

Urang Bunian; Percaya atau Tidak


Suatu malam di bulan lalu, saya sempat berbincang dengan Mak Datuak. Perbincangan kami mengalir sampai membahas tentang orang Lasi yang hilang beberapa waktu lalu. 

Kasus lelaki paruh baya itu terkait dengan orang bunian. Ceritanya, setelah ia menggorok leher istri, ia lalu kabur. Lari ke gunung. Menghilang. Tak ada kabar berita lagi. 

Pencarian dilakukan oleh tim SAR selama tiga hari tiga malam. Menjelajahi gunung Merapi. Hasilnya nihil. Lelaki itu tetap tidak ditemukan. 

Akhirnya, pihak keluarga meminta bantuan “orang pintar”/paranormal, untuk mencari. Lelaki itu kemudian ditemukan. Rupanya ia dilarikan “urang bunian”. Mereka (orang bunian) itu bukan dengan serta merta mau menyerahkan lelaki itu pada pihak keluarga. Mereka meminta syarat agar “mandoa/baralek” di Sarasah/air terjun  lembah itu. 

Kata Ayah, orang bunian itu biasanya memilih orang-orang hebat. Dulu, juga pernah seorang perempuan di kampung Ayah yang “dibawa” mereka. Perempuan itu menduga kepergiannya hanya sebentar, padahal orang kampung sudah mencarinya berhari-hari. Berminggu-minggu. Ketika kembali sesaat, perempuan itu bercerita, kalau menurutnya ia hanya pergi sebentar. Kira-kira setengah hari. 

Kita berhenti dulu di sini. Saya ingin menganalisa satu hal. Begitulah. Memang ada hal-hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa diukur berdasarkan standar pikir rasio kita. Misalnya saja cerita ini. Kita tidak bisa menyambungkan waktu dalam standar dunia nyata dengan kehidupan alam ghaib yang ada, tapi kita tak mengetahuinya. 

Bagaimana kita mengukur keimanan dengan meyakini seorang anak manusia dapat sampai ke langit ke tujuh hanya dalam waktu semalam? Berapa kecepatan kendaraannya jika ia berkendara. Tidak. Jangan bayangkan kendaraan yang ada sekarang. Jet dan segala jenis pesawat terkini, terhebat ciptaan manusia belumbisa menempuh ruang dengan batas waktu yang sama. 

Bagaimana mungkin seorang astronot dapat mendengar suara azan di bulan, sementara daerah itu hampa. Berapa tahun cahaya yang dibutuhkan suara dari bumi untuk sampai menembus space/angkasa. Pantas saja, ada yang menyebut azan itu adalah azan sekian tahun silam, yang baru sampai di bulan, dan didengar oleh astronot tersebut. Wallahu a’lam!

Ternyata begitulah adanya. Ilmu kita tak cukup dalam untuk membahas perbedaan alam ghaib dengan alam nyata ini. Iman kita tak cukup kuat untuk berkelabat memikirkannya. Mencari singkronisasi antara iman dan rasio. Namun saya yakin, suatu saat aka nada ilmu manusia sampai pada pengetahuan itu.

Kembali ke cerita orang bunian. Menurut cerita Ayah, dulu  beliau juga pernah hampr dibawa mereka. Ketika Ayah dan pemuda di Lasi mendaki gunung merapi, mencari asal muara galodo yang menimpa tiga kampung, termasuk kampung Ayah. 

Saat itu, ayah dan kawan-kawannya, serta tetua kampung, mesti meniti sebatang kayu. Dibawah batang kayu yang melintang itu jurang. Jurang Gunung Merapi memang terkenal ‘angkernya’. Ayah berada di bagian belakang rombongan. Setelah ayah, ada Mamak, yangjuga tetua kampung. Ayah kemudian melihat ada yang berjualan es. Dan logikanya, mana mungkin di gunung itu ada sebuah perkampungan yang orangnya berjualan es. Bukankah Lasi adalah kampung bagian perut gunung? Dan tidak mungkin pula orang yang hidup di negeri dingin akan berjualan es. Kalau bukan diingatkan oleh mamak tadi, barangkali ayah sudah lupa, kalau yang terlihat oleh pandangannya itu adalah kehidupan orang bunian. 

Ayah dipegangi oleh mamak. Terus berjalan. Sampai di suatu perhentian, selepas makan, mamak menceritakan perihal yang dilihat ayah. “Ampia se ang tingga di gunuang lai tadi” ujar mamak.  Alhamdulillah Ayah sampai di kampung dengan selamat. 

Mak Datuk bercerita tentang asal mula danau maninjau. Tentang batu cincinnya. Tentang kawannya, Tan Mudo, yang minta tolong dipanggil, karena dirinya tersesat, entah di gurun mana. Lalu dipanggil lewat hape, ia terdampar di daerah Pesisir Selatan. Setelah itu barulah ia pulang, ke kota kami.

Saya lalu berkesimpulan. Guru-guru agama di sekolah memang mengajarkan agar kita beriman dengan hal ghaib. Namun terkesan semua yang diketahui dalam masyarakat tentang hal ghaib, tidak diajarkan dan dicontohkan dengan baik, sehingga dapat dicerna dengan baik pula. Saya tak yakin, siswa dapat beriman dengan hal ghaib seperti yang dimaksud dalam kurikulum. Belum tercapai tujuan pelajaran agama tentang beriman pada hal ghaib jika masih saja ada rasa penasaran berlebih. Seperti yang saya rasakan dulu. Maka, pendidikan keluargalah menurut saya yang berperan besar untuk mendidik anak dalam hal keimanan seperti ini.  (*)

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...