18.5.16

Lindungi Anak-anak Kita Sejak dalam Pikiran

Pramoedya Ananta Toer — 'seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan'.

Sepertinya quote Pak Pram, "sejak dalam pikiran" ini bisa dipakai untuk urusan perlindungan anak. 'Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil ---dan melindungi anak di sekitarnya --- sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan'. 

Maraknya kasus kekerasan  terhadap perempuan dan anak beberapa tahun terakhir, menjadi beban tersendiri bagi para orang tua, juga pemerhati pendidikan dan anak. Informasi yang disajikan media beragam, silih berganti, di berbagai daerah yang mengungkap korban-korban kekerasan dari kalangan anak bawah umur.

Sebut saja, kasus yang terjadi di lingkungan sekolah, seperti bullying, kekerasan verbal terhadap anak, bahkan kasus kekerasan seksual kian menjadi pembicaraan serius. Bahkan, pada awal Mei ini, negara Indonesia ditetapkan oleh Presiden RI berada dalam status darurat kekerasan seksual. Apa yang sebenarnya tengah melanda, sehingga buruknya keamanan bagi anak-anak bangsa ini.

Rumah dan sekolah semestinya menjadi area paling aman bagi anak. Justru pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap anak banyak yang berasal dari dua lingkungan tersebut. Saat di rumah, anak mengalami kekerasan verbal dari orang tua. Di luar rumah seakan ia memiliki tempat untuk melakukan hal serupa kepada orang lain. Tidak sedikit pula berita tentang anak yang menjadi korban kekerasan seksual, pelecehan atau bahkan pemerkosaan, oleh paman, abang, atau ayah kandungnya sendiri.

Di sekolah pun demikian. Beberapa kabar menyebutkan, seorang anak diajak melayani nafsu seksual seorang penjual mainan di lingkungan sekolahnya. Hanya dengan memberi iming-iming sebuah mainan, dan bujuk rayu uang selembar dengan nominal tak seberapa. Masa depannya ia pertaruhkan. Belum lagi kasus pelecehan dan pencabulan, yang kadang bagaikan fenomena gununng es, yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil saja.

Dari sisi korban, dapat diketahui bahwa kini korban bukan lagi dari kalangan gadis-gadis remaja yang memang sudah memiliki perubahan fisik seperti layaknya orang dewasa. Namun, anak usia di bawah umur seperti SMP, SD bahkan TK, sudah dihadapkan pada kasus-kasus serupa.

Jika dilihat dari segi usia, sepertinya juga tengah terjadi pe-remajaan usia pelaku kekerasan seksual tersebut. Pelaku, bukan lagi dari usia-usia remaja atas seperti SMA, melainkan didominasi oleh remaja usia SMP bahkan SD. Demikianlah, usia pelaku kekerasan seksual kini semakin belia. Usia yang belum lagi sepantasnya membahas, membincangkan, menonton, bahkan melakukan hal-hal yang belum sesuai dengan kematangan psikologinya.

Barangkali secara psikis, remaja Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Agaknya ini perlu penelitian lebih lanjut oleh mereka yang menyusun kurikulum pendidikan bangsa ini. Kita mesti sadar anak-anak bangsa esok hari harus sudah kita lindungi, sejak dalam pikiran, konon lagi dalam perbuatan. 

Kasus berhenti di polisi

Data komnas perempuan menyebutkan, 40 % kasus kekerasan seksual berhenti di kepolisian. Hanya 10% saja yang sampai ke pengadilan. Benar demikian adanya saat fakta di lapangan mempertegas bahwa, kasus-kasus perkosaan misalnya, tidak bisa dibuktikan karena tidak adanya saksi, meskipun visum sudah dilakukan.

Contoh kasus tahun 2015 ini ada dua kasus yang saya ikuti, prosesnya masih dengan"kita terus lakukan penyelidikan" di kepolisian. Polisi pun harus berbuat apa? Begitulah sistem hukum kita. Ada kasus yang ditutup karena tidak lengkapnya bukti.

Seandainya saat kejadian perkosaan/pelecehan ada saksi, tentulah "hukum masyarakat" berlaku. Habis sudah nyawa atau setidaknya luka yang tidak ringan, pasti dialami si pelaku. Ini jika, ada saksi. Sekali lagi, jika ada saksi, tentu perkosaan tidak akan terjadi -sampai tuntas-.

Nah, bagaimana dengan visum? Tidak cukup sekedar visum dan pakain korban yang menjadikan kasus bisa terus dinaikkan. Demikian informasinya. Selang beberapa waktu, kasus itu kemudian seperti dilupakan. Pelaku dengan percaya diri melenggang kangkung beredar di kampung. Bukan tidak mungkin ia akan mencari korban lain. Melakukan kejahatan lagi, karena ada candu, ada kesempatan.

Sedangkan korban, jika saja korban adalah anak-anak bawah umur, seperti yang marak diberitakan akhir-akhir ini, akan seperti apa masa depan yang akan mereka tempuh sekian tahun mendatang. Salah satu analisa yang muncul adalah, tidak adanya pendidikan di sekolah yang mengajarkan zero tolerance terhadap segala bentuk kekerasan terhadap anak.

Sebagai orang dewasa yang sadar dengan kehidupan, bahwa setiap zaman ada anaknya, dan setiap anak ada zamannya, sudah selayaknyalah kita, peduli akan keterlindungan dan keamanan anak-anak di sekitar kita. Dan, semua itu tak hanya sebentuk menyelamatkan saat kejadian, tapi juga melindungi sejak dalam pikiran. Berhenti berpikir, bahwa anak adalah komoditas seksual yang tak berdaya apa-apa.

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...