4.9.16

Review Buku: Singgah



Komentar buku      : Singgah (antologi cerpen)
Penulis                   : Jia Effendie, dkk


“Karena hidup adalah persinggahan.”

Kalimat yang tertera di halaman awal buku dengan judul Singgah ini, menarik perhatian saya untuk terus membalik ke daftar isi. Mencoba mengira-ngira, di judul manakah terletaknya quote tersebut. Karena, buku ini merupakan kumpulan cerita bertemakan tempat-tempat persinggahan yang ada. Baik stasiun kereta, terminal, bandara, pelabuhan atau dermaga.

Di tempat-tempat itu, banyak terukir kenangan, tercipta harapan. Sedih maupun senang. Orang-orang datang dan pergi silih berganti. Disanalah tempat persinggahan, perhentian dan keberangkatan.

Beberapa cerita berkisah tentang imajinasi. Lainnya tentu seperti kisah nyata. Seakan ada, atau pernah dirasakan banyak kita. Di antara kisah-kisah itu, yang berkesan bagi saya adalah tulisan Anggun Prameswari, dengan judul Rumah Untuk Pulang.

Latar cerita Rumah Untuk Pulang, adalah stasiun kereta. Seorang perempuan muda, senantiasa duduk di peron stasiun, memikirkan kemana ia harus pulang. Arum namanya. Perempuan yang terjebak dalam rasa bersalah, yang terus menghantui. Rumah, tempat kebahagiaan dicipta bersama ibu dan ayahnya, bukan lagi menjadi tempat pulang. Karena ia terlalu bersalah untuk kembali.

Rumah, tempat ia, suami dan anak-anaknya berada, bagi Arum bukanlah tempat untuk pulang. Ia terus diliputi rasa bersalah dan menyesal pada masa lalu. Ia ingin memutar waktu. Menemukan dirinya, sebagaimana anak/gadis berkehidupan saat itu.

Meskipun disisipi bagian-bagian imajinasi, namun cerita ini sarat makna. Bagaimana pikiran bisa membentuk perilaku seseorang. Terjebak dengan penyesalan dan pikiran-pikiran sendiri, membuatnya merasakan rumah dan tempat tinggal tak pernah sama. Bisa saja, raganya kembali dan menetap di satu tempat. Tapi pikiran dan harapannya menerawang, mencari-cari tempat yang nyaman dan aman.

Saya pernah bertemu orang serupa itu. Lelaki, yang saat ini mungkin sudah berusia separuh baya. Lelaki itu, setiap pagi menjelang, selalu berbenah. Ia berjalan dari kampungnya ke kota. Sekedar entah mencari apa. Lalu, kira-kira dua jam berikutnya ia kembali pulang. Kira-kira waktu dhuha.

Ia tidak terlihat seperti seseorang yang sedang disibukkan mencari sesuatu. Bukan. Melainkan, ia adalah seorang yang melakukan rutinitas perjalanan pagi. Dengan rapi, mengenakan sarung ia berjalan. Sesekali ia juga menyandang tas.

Menurut informasi yang didapat, lelaki itu terganggu dengan pikiran masa lalu. Ia lalu berjalan sangan jauh. Dari ibukota proinsi lain, ke kampungnya. Masalahnya adalah, ia tak cukup berani sampaikan penolakan yang diberikan kakaknya, atas permintaannya. Ia hanya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dan, terkendala biaya.

Ia hanya tak bisa menerima keadaan tersebut. Terus menerus terjebak dengan pikiran dan harapannya. Begitu juga dengan Arum. Menjebak dirinya dengan pikiran dan harapan imajainasinya. Dan, mungkin juga banyak di antara kita saat ini yang hampir-hampir juga terjebak dengan harapan-harapan dan mimpi yang belum tercapai. Atau tak bisa keluar dari rasa bersalah  yang terus menghantui.

Hidup benarlah sebuah persinggahan. Kalau bahasa Komaruddin Hidayat, Hidup adalah perjalanan. Tak ada yang menetap, dan kita tak akan menetap.

Secara umum, buku ini menarik. Kisah-kisah tentang kenangan dan rindu dikumpul jadi satu buku, oleh sebelas orang penulis. Ke sebelas cerita itu, diawali dengan cerita horor Jia Effendie, "Jantung". Lalu, Dermaga Semesta, tulisan Taufan Gio. Alvin Agastia Zirtaf, menulis cerpen dengan judul Menunggu Dini. Moksha, karya Yuska Vonita. Kemenangan Apuk, oleh Bernard Batubara. Dian Harigelita dengan cerpennya Semanis Gendhis. Rumah Untuk Pulang. Memancing Bintang karya Aditia Yudis. Para Hantu dan Jejak-jejak di Atas Pasir, Koper, Persinggahan Janin di Pelabuhan Cerita, dan Pertemuan di Dermaga.

Dermaga, tempat orang-orang menunggu yang datang, menjemput yang pergi.
Terminal, tempat dimana pertemuan dan perpisahan harus terjadi.
Stasiun, sayangnya bersedia memberi ruang untuk terus menanti, menanti. Meski yang ditunggu entah akan kembali atau tak akan pernah lagi.
Dan, bandara bisa menjadi tempat pertemuan tak terduga. 

* Jadi, "Karena hidup adalah persinggahan.”ada di halaman berapa.

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...