2.3.09

Krisis apa lagi yang perlu kita sematkan pada bangsa ini

Krisis apa lagi yang perlu kita sematkan pada bangsa ini, setelah beberapa tahun lalu, menutup abad 19, krisis moneter menjadi gelar yang tersemat di dada bangsa Indonesia. Perekonomian adalah permasalahan utama kala itu. Berbagai upaya membangkitkan bangsa dari kondisi perekonomian yang buruk pun dilakukan. Salah satunya dengan bantuan pinjaman dana moneter internasional. Sesaat bangsa ini berangsur pulih dari krisisnya.

Belum sehat betul, Indonesia mengalami krisis lagi. Kali ini krisis kepercayaan. Berbagai bentuk penyimpangan kepercayaan yang telah diamanahkan teruntuk wakil rakyat dan pejabat Negara, disepelekan. Terbukti dengan maraknya kasus tindak korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara ini. Krisis kepercayaan pun ikut berserakan bercampur dengan polusi pembakaran hutan di udara masyarakat Indonesia. Klimaksnya adalah ketika demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat, bahkan hingga hari ini krisis kepercayaan masih menggejala di nurani masyarakat Indonesia.

Krisis moral di lingkungan pelajar terlihat dengan maraknya tawuran antar pelajar, mahasiswa dan antar kampung. Entah permasalahan apa yang menyulut emosi kita kala itu, yang menawarkan solusi hanya terlihat dari tawuran. Kembali, layaknya orang-orang Arab Badui yang nomaden, mencari tempat menetap yang baru dengan bangga mempersembahkan “perang antar kaum/suku”.

Lebih-lebih lagi, Putri tidak layak lagi dipanggil putri, ketika pelajar-pelajar putri di berbagai daerah yang melakukan aksi cakar-cakaran, adu jotos layaknya pegulat dan pemain Smax Down di layar televisi. Barangkali karena terlalu menikmati hiburan yang ditayangkan di stasiun televisi, “putri-putri” tadi tersihir dan tersulap memasuki arena adu kekuatan. Berbagai informasi seputar perkelahian sesama siswi silih berganti muncul di surat kabar dan media elektronik.

Seiring dengan itu, krisis intelektual membaur di dunia pendidikan bangsa ini. Teringat ketika Menteri Pendidikan menanyai seorang bocah SD suatu kali di saat perbaikan sekolahnya di Jakarta, “Ananda cita-citanya mau jadi apa?”, dengan yakin dan semangat si bocah menjawab, “Mau jadi artis Pak! Artis kan terkenal, banyak duitnya..”. Pilu memang barangkali yang tersirat di lubuk hati Bapak Menteri Pendidikan kita. Tapi apa mau dikata, wong yang dilihat tiap hari selalu ada acara seleksi dan audisi menjadi artis dadakan alias ngetop instant.

Meski perlu diakui tidak semua anak Indonesia bercita-cita menjadi artis, namun yang satu itu telah menjadi gambaran buruknya mental akademis dunia pendidikan kita hari ini. Krisis intelektual masih berlangsung, entah sampai kapan. Barangkali sampai bangsa tercinta ini mampu menaikkan rating pendidikannya termasuk posisi 3 besar Asia Tenggara. Itu saja sudah cukup membuktikan keberhasilan pendidikan Indonesia dan kembali mendapat tempat di mata dunia.

Sudah cukupkah krisis bangsa sampai disini? Belum. Hari ini, dua dukun cilik bersaing merebut hati masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap dunia medis yang “tidak terjamah” saku mereka. Keyakinan dan keberimanan adalah krisis berikutnya. Bolehlah jika batu yang berkhasiat menyembuhkan itu memiliki senyawa khusus yang dapat mengobati suatu macam pengakit. Mungkin seperti belerang yang dapat menyembuhkan penyakit kulit, tentunya kita juga percaya hal itu. Akan tetapi, memposisikan dukun cilik sebagai “dewa penolong” dan berkat batu tersebut penyakit lenyap sesaat setelah minum air rendamannya, inilah dia krisis itu.

Mau berakhir dimana keimanan masyarakat kita? Agaknya keimanan sudah menjadi puncak dari berbagai krisis yang melanda bangsa ini. Semoga tidak ada lagi krisis-krisis lain yang datang menjangkiti jiwa dan kehidupan bangsa ini.


Nimiasata

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...