2.3.09

Mengakhiri Dominasi Politis Laki-laki

Perempuan dituntut mampu mengekspresikan dirinya di lingkungan social-politik. Hal ini dibuktikan dengan adanya quota 30 % bagi perempuan untuk duduk di kursi legislasi sebagai bukti penghargaan terhadap perempuan dalam keterlibatannya menetapkan kebijakan terkait nasib bangsa ini kedepan. Tentunya perhatian yang besar tersebut terhadap perempuan juga berimbas pada kemampuan moral, intelektual, dan social perempuan tersebut.

Pertanyaan yang muncul adalah, benarkah perempuan yang 30% di kursi legislative tersebut benar-benar mampu membawa angin segar perubahan sebagai bukti keterwakilan perempuan-perempuan Indonesia untuk menyelesaikan berbagai problematikanya?

Untuk bisa duduk di kursi tersebut, tentunya diharapkan adalah yang benar-benar loyal terhadap pembelaan perempuan. Tidak hanya yang telah memiliki gelar atau pun jabatan. Loyalitas ini akan terlihat dari pengetahuannya terhadap berbagai persoalan perempuan bangsa hari ini, lalu upaya apa yang ditawarkannya sebagai solusi untuk merubah stagnasi peran dan posisi perempuan di Indonesia, serta menjawab persoalan yang ada di kalangan perempuan.

Kalau selama ini cenderung ada asumsi yang sedikit menyudutkan perempuan dengan minimnya posisi dan peran wakil perempuan di bangku legislative dikarenakan imej yang diberikan pada perempuan adalah makhluk lemah yang tidak akan mampu berbuat banyak untuk kepentingan umat dan Negara, maka hari ini asumsi itu akan berganti dengan berakhirnya dominasi politis laki-laki di kancah perpolitikan bangsa ini.

Dengan adanya quota 30% tersebut, sebetulnya malahan membatasi keberadaan perempuan di kursi tersebut. Kalau saja ide mengakhiri dominasi politis laki-laki dapat terealisasi, maka jatah 30% tersebut tidak akan mencukupi. Mengingat perempuan secara kuantitas di Indonesia memang jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Namun, sudah menjadi rahasia umum barangkali ide tersebut tidak akan terealisasi karena secara umum untuk hal ini, kuantitas tidaklah menentukan kualitas.

Bentuk hubungan lelaki dan perempuan hari ini adalah partnership bukan lagi patriarkhi. Ketika perempuan terjun ke dunia maskulin semacam perpolitikan, lalu mencalonkan diri menjadi pemimpin, maka yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitasnya, baik secara intelegensi, spiritual, maupun secara emosionalnya. Jika ketiga syarat tersebut tidak dimiliki oleh perempuan, maka secara seleksi alam ia akan tersingkir dari dunia tersebut. Atau minimal ia akan merasa sendiri dan asing ditengah keramaian permasalahan yang menuntut solusi dari pemikirannya. Alhasil, perempuan berada pada kondisi dan situasi seperti itu, adalah ibarat mentimun bungkuk, yang hanya masuk karung, namun tidak masuk hitungan.

Realita hari ini barangkali sudah mendekati perumpamaan tadi. Ketika kebijakan quota 30% hak perempuan yang dibebankan bagi masing-masing partai dinilai hanya akan memperlemah penempatan posisi perempuan di mata masyarakat. Partai akan menyeleksi seorang perempuan setelah ada dua orang laki-laki. Ini terkesan hanyalah sebatas taat aturan saja, bukan disebabkan karena melihat potensi yang memang ada pada perempuan tersebut. Artinya, ketika calon perempuan ideal yang diharapkan, seperti yang memiliki tiga persyaratan tadi tidak didapatkan, maka partai hanya akan menawarkan pada orang yang ketika itu “bersedia” diajak bergabung ke dunia tersebut. Maka syarat mutlak keterlibatan perempuan di ranah public pada kondisi ini adalah kesediaannya, tidak lagi memperhatikan kualitasnya.

Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam keterlibatan perempuan dalam ranah public, hal yang wajib baginya adalah tetap mampu memerankan dirinya dengan sebagaimana mestinya dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga, atau di ranah domestic. Karena walau bagaimanapun suksesnya seorang perempuan dalam lingkup penetap kebijakan demi kepentingan bangsa, umat dan Negara, ia mesti memperhatikan sisi-sisi kodrati yang juga menuntut perlakuan adil darinya. Perempuan juga menjadi orang yang sangat berperan dibalik kesuksesan seseorang./ “The Man Behind The Gun”. Perempuan yang dituntut mampu memelihara keluarga, mendidik anak dan peranan lain di ranah domestic tersebut.

Jika perempuan mampu menyeimbangkan peranannya di kedua ranah tersebut, disinilah unggulnya perempuan dibanding laki-laki. Kita lihat saja bagaimana perkembangan moral dan perkembangan anak-anak indonesia pasca diberikannya kepercayaan kepada ibu-ibu mereka untuk bergabung menetapkan kebijakan demi kepentingan bangsa, umat dan Negara, yang notabene kebijakan tersebut berarti “mengurangi hak ibu bersama keluarganya”.

Demikian juga ketika bicara organisasi. Hari ini organisasi adalah bentuk dunia relasi, bukan masalah lelaki atau perempuannya. Tidak masalah apakah seseorang yang menjabat itu adalah laki-laki atau perempuan sekalipun, maka yang dituntut darinya adalah potensi kepemimpinan yang dimilikinya. Tetap saja, untuk mengakhiri dominasi politis laki-laki mesti diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia kaum hawa tersebut.

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...