Pernah kau tanyakan padaku tentang lelaki
kertas. Aku menjawab, ia hanya akan memenangkan perempuan batu. Kertas dan
batu, menanglah kertas. Kertas menggulung batu.
Tak
ingat aku, sejak tahun ke berapa di hidupku aku begitu membenci jenis makhluk
ini. Yang pasti tak lebih dari usia sepuluh tahun. Saat itu aku duduk di kelas
empat sekolah dasar.
Masa-masa itu adalah bagian sulit di hidupku. Eh, memang bukan yang tersulit. Karena sampai saat ini aku masih merasakan kesulitan-kesulitan pada banyak hal di kehidupanku.
Masa-masa itu adalah bagian sulit di hidupku. Eh, memang bukan yang tersulit. Karena sampai saat ini aku masih merasakan kesulitan-kesulitan pada banyak hal di kehidupanku.
Bapak.
Ia termasuk lelaki kertas. Betapapun seorang anak menyayangi ayah dan ibunya,
seringkali ia merasa lebih sayang pada ibu. Begitu pun aku. Aku sangat sayang
pada ibuku, dengan kadar yang jauh, jauh lebih banyak, lebih besar daripada
bapak. Lebih-lebih lagi, kemudian ada kejadian yang membuat simpati dan
sayangku ke Bapak makin berkurang. Memudar.
Saat
kecil dulu, kami hidup bahagia. Seperti yang orang-orang pahami tentang
kebahagiaan. Kami dilingkup kemewahan. Bapak yang sifatnya royal, memanjakan
kami. Aku dan kedua adikku selalu mendapatkan yang kami inginkan. Tinggal
meminta, tanpa harus menangis. Jangankan menangis, merengek saja sudah hal
langka.
Mungkin
dengan begitu, kami terbiasa keras. Memaksa. Pasti dapat. Maka, ketika kemudian
Ibuk mulai menjaga kami dari foya-foya, kami berontak. Menganggap orang tua
sudah tidak sayang lagilah. Kami memaksakan semua keinginan. Uang belum terlalu
menjadi masalah ketika itu.
Masalah
saat itu yang kulihat adalah Bapak. Bapakku jauh dari agama. Hidupnya dunia
saja. Walaupun ibuk sudah seringkali coba ajak, tetap tak ia hiraukan. Kadang
Bapak menjawab keras. Tak jarang pula menghardik, kasar ke Ibuk. Aku masih
siswa SD saat itu. Hanya geram dan tak melawan atau berontak.
Kami
hidup di kampung. Masyarakat kampung ini pun mengajarkan foya-foya dan
orientasi gaya. Sangat mementingkan strata sosial. Buruk.
Bagi
mereka, sekolah agama hanya jadi olok-olok saat itu. “kenapa masuk sekolah
agama?? “ pasti akan ditanya dengan pertanyaan yang tak perlu dijawab itu. Tapi
Ibuk memasukkan aku ke sekolah agama,
berharap kehidupanku kelak dapat lebih baik dengan dasar agama yang
“setidaknya” dibekalkan sekolah itu. Dua adikku tak mengikuti. Ia memilih
sekolah umum unggulan kampung kami. Dan, tentu saja, juga terpengaruh gaya
hidup mereka.
Sementara,
saat itu kondisi ekonomi keluarga mulai memburuk. Perusahaan Bapak tutup. CV
mati. Anak buah pergi. Mereka meninggalkan Bapak, dan hanya beberapa orang yang
setia saja yang tetap bertahan. Walau begitu, Bapak terus bekerja tanpa
perusahaan sendiri. Artinya, Bapak tidak mungkin mendapatkan tender besar.
Palingan hanya bangun rumah orang komplek dekat kami. Itu saja.
Tidak
ada lagi foya-foya. Hidup susah. Anak buah balik minta gaji. Berhutang sana
sini. Ibuk mulai berdagang di pasar kampung kami untuk menyiasati hidup. Semua
sulit.
Saking
sulitnya kehidupan kami, aku dikirim ke kota lain, tempat bibi. Aku hidup
bersama mereka, melanjutkan pendidikan SMA jauh dari orang tua. Kehidupan
keluargaku ditopang oleh penghasilan Ibuk yang mulai membaik. Herannya, Bapak
masih saja keras. Tak mau ‘tunduk’ pada agama. Kadang juga masih membentak Ibuk.
Aku tak tahu pasti, apakah tanpa sepengetahuanku Bapak ada ‘main’di luar, atau
minum, atau berjudi, atau..atau.. lainnya. Atau, semoga itu hanya kecemasanku
saja.
Aku
mulai berpikir tentang kebahagiaan. Mengingat-ingat, lelaki dan perempuan.
Terbandingkan Bapak dengan paman. Jauh. Jauh sekali bedanya. Ya, pendidikan
mereka berbeda. Pergaulan juga berbeda. Satu hal yang penting, sikap dan
penghormatannya terhadap perempuan sangat berbeda. Paman sangat memperhatikan
dan menghormati bibi. Terlihat jelas sayangnya.
Sedang Bapak? Ah, entahlah.
Aku
tak pernah dibekali tentang kehidupan. Yang diberi tahu Bapak sepertinya hanya
uang, bahagia, uang lagi, kehormatan. Itu saja.
Maka,
tak salah rasanya, jiwa remajaku begitu berontak dengan semua ini. Aku tak bisa
menerima DIA adalah Bapakku. Lelaki itu adalah Bapak yang harus aku hormati dan
sayangi. Ia tak pernah perlihatkan sayangnya padaku. Ia seringkali berkata
kasar. Membentak Ibukku. Ini masalah besarnya.
Tak
salah pula bagiku, pagi tadi kata-kata kasarku pun meloncat untuknya.
Brengsek!
Dia menghardik Ibukku!
“Buk,
mana lelaki setan tadi?!” aku beringas.
Lelaki
setan. Aku menyebutnya begitu. Untuk ia yang tak bertanggung jawab terhadap
keluarganya ini. Dia yang hanya santai dengan kehidupannya, tiduran, saat aku
dan Ibuk berdagang di pasar. Berdiri. Bertudung payung.
Lelaki
setan itu hanya menyulut api rokoknya, saat kami dari sore sudah berpanas-panas
memanggang kue. Menggoreng kacang. Mencari-cari tambahan untuk hidup.
Lelaki
setan itu duduk bermenung, saat kami tersedu di ujung doa, usai shalat.
Lelaki
setan itu tetap makan, saat puasa. Saat seharusnya ia mengayomi kami tentang
ketaatan. Ah, lelaki setan apalagi, yang akan aku ceritakan.
Semua
tambah berubah, setelah adikku meracau kehidupan kami. Sok bisnis
besar-besaran. Buat lubang hutang sebesar entah. Ratusan juta. Bilangan yang
tak pernah tercatat dalam rekeningku, yang hanya seorang buruh negara. Apalagi
yang akan aku lakukan untuknya? Sudah. Sudahku ku gadaikan semuanya. Semua
jaminan itu aku berikan untuknya. Menutupi lubang besar itu. Itulah salah satu
tanggung jawabku sebagai kakak. Sebagai KAKAK yang malang!
Aku
bukan BAPAKnya. Bukan orang yang bertanggung jawab atasnya. Aku tak berdosa
karena dia salah langkah begitu. Tapi, akhirnya aku yang lakukan semua itu.
Oke, semua itu aku relakan. Barangkali Tuhan mengajarkanku keikhlasan.
Tak
hanya sekali rupanya, adikku juga membuat lubang lagi. Entah atas bisnis apa
lagi. Aku ragu itu hanya soal bisnis dan hutang –piutang dengan rentenir. Itu
lebih besar. Penyekutuan Tuhan. Tuhan marah padanya. Tambah lagi gaya hidup
yang sudah mendarah daging itu. Foya-foya. Sok kaya. Masih menyangka dirinya
anak siapa. Padahal semua sudah masa lalu.
Dan.
Dimana Bapakku saat itu? Ia ada. Ada di rumah kami. Makan. Merokok. Kencing. Memancing. Ya, itu saja kerjanya lelaki setan itu. Sesekali ia pergi ke
kontrakan adikku yang turunan setan itu juga. Berdua mereka. Ber-iya-iya entah
tentang apa lagi. Memperbincangkan keburukan keluarga. Menyebut-nyebut orang
yang tak peduli. Ah, setan. Aku benci sekali.
“Dasar
kau!” Plak!! Itulah puncak setahun ini. Aku menampar adikku. Tak tahan rasanya.
Ia membentak Ibuk. Ibuku!!
“Apa
kau bilang?? Kau yang sopan ya bicara pada ibuku, SETAN! Kau, berani-beraninya
bicara begitu pada ibuku hah! Sekali lagi kau begitu, kubunuh kau. Dan, kalian.
Siapa saja yang berani kasar pada ibuku, ku bunuh!” Aku juga menjambak
rambutnya.
Tak
menyangka aku. Kata-kata itu keluar begitu saja. Adikku sesak. Menangis.
Berlari.
“Tahan
setan itu! Kunci pintu!” aku berteriak pada siapa saja. Kalap.
“Hei,
mau kemana kau hah?! Kau mau keluar? Pergi dengan kondisi ini? Lalu kecelakaan?
Kau tinggalkan hutang-hutangmu pada kami? Setan!” aku mencekiknya.
Oh
Tuhan! Sebegitunyakah sesak yang aku rasa selama ini? Sampai sebegini kasarnya
aku. Aku terisak. Ikut menangis. Berdua beradik ini menangis.
Bapak
dimana?
Bapak
datang. Mendekat. Dengan langkah patah-patah setelah kecelakaan kemarin. Pagi
kemarin itu Bapak terjatuh dari motor, menghindari anak kecil yang menyeberang
sembarangan. Bapak menatapku, membentak.
“Hentikan.
Sudah. Sudah!”
Aku
tak peduli. Leher setan yang satu itu masih dalam genggamanku walau sudah
melemah. Ia terisak. Mengungu. Tak jelas lagi apa yang ia katakan.
“Sudah
apa? Kau jangan ikut campur urusanku!” aku balik membentak Bapak.
Lelaki
setan yang satu lagi itu meninggalkan kami. Ia juga tergugu. Terisak. Menangis
di ruang tamu.
Apa? Apa kalian?? Mari kita tuntaskan kesengsaraan ini... Aku
membatin. Satu sesak berubah lapang di dadaku.
Adikku
makin sesak. Susah sekali ia bernafas. Aku cemas. Aku raih al quran. Ingin
meruqyahnya. Aku bacakan Yaasin. Ku pikir saat itu, ‘setan’ yang mengikutinya
itu sedang masuk. Sedang di tubuhnya. Karena tatapan adikku bukan lagi dia.
Tangan dan kakinya kaku. Sungguh, aku benar mencemaskannya.
Aku
sebetulnya sayang dia. Aku hanya ingin ‘setan’nya pergi. Ia terlalu berani untuk
semua ini, pastilah karna ada ‘setan’ itu. Aku hanya inginkan adikku yang baik.
Bukan dibawah kendali setan-setan itu.
Ibuk
meraih tangan adikku. Berkata lemah lembut padanya. Mengajaknya berdiri.
Berwudhu. Ia lemah. Berdiri pun tak sanggup.
Aku
membiarkan semuanya berlalu dengan diam. Membiarkan setan-setan itu
berkeliaran. Membiarkan pula, diriku kalah, dirasuki setan itu.
***
Bukankah bulan Ramadhan setan itu dibelenggu? Pertanyaan adikku
saat belajar agama di sekolah dasar dulu.
No comments:
Post a Comment