7.8.12

Lelaki Kertas



Pernah kau tanyakan padaku tentang lelaki kertas. Aku menjawab, ia hanya akan memenangkan perempuan batu. Kertas dan batu, menanglah kertas. Kertas menggulung batu.

Tak ingat aku, sejak tahun ke berapa di hidupku aku begitu membenci jenis makhluk ini. Yang pasti tak lebih dari usia sepuluh tahun. Saat itu aku duduk di kelas empat sekolah dasar. 

Masa-masa itu adalah bagian sulit di hidupku. Eh, memang bukan yang tersulit. Karena sampai saat ini aku masih merasakan kesulitan-kesulitan pada banyak hal di kehidupanku. 
Bapak. Ia termasuk lelaki kertas. Betapapun seorang anak menyayangi ayah dan ibunya, seringkali ia merasa lebih sayang pada ibu. Begitu pun aku. Aku sangat sayang pada ibuku, dengan kadar yang jauh, jauh lebih banyak, lebih besar daripada bapak. Lebih-lebih lagi, kemudian ada kejadian yang membuat simpati dan sayangku ke Bapak makin berkurang. Memudar. 
Saat kecil dulu, kami hidup bahagia. Seperti yang orang-orang pahami tentang kebahagiaan. Kami dilingkup kemewahan. Bapak yang sifatnya royal, memanjakan kami. Aku dan kedua adikku selalu mendapatkan yang kami inginkan. Tinggal meminta, tanpa harus menangis. Jangankan menangis, merengek saja sudah hal langka. 
Mungkin dengan begitu, kami terbiasa keras. Memaksa. Pasti dapat. Maka, ketika kemudian Ibuk mulai menjaga kami dari foya-foya, kami berontak. Menganggap orang tua sudah tidak sayang lagilah. Kami memaksakan semua keinginan. Uang belum terlalu menjadi masalah ketika itu. 
Masalah saat itu yang kulihat adalah Bapak. Bapakku jauh dari agama. Hidupnya dunia saja. Walaupun ibuk sudah seringkali coba ajak, tetap tak ia hiraukan. Kadang Bapak menjawab keras. Tak jarang pula menghardik, kasar ke Ibuk. Aku masih siswa SD saat itu. Hanya geram dan tak melawan atau berontak. 
Kami hidup di kampung. Masyarakat kampung ini pun mengajarkan foya-foya dan orientasi gaya. Sangat mementingkan strata sosial. Buruk. 
Bagi mereka, sekolah agama hanya jadi olok-olok saat itu. “kenapa masuk sekolah agama?? “ pasti akan ditanya dengan pertanyaan yang tak perlu dijawab itu. Tapi Ibuk memasukkan aku ke sekolah agama,  berharap kehidupanku kelak dapat lebih baik dengan dasar agama yang “setidaknya” dibekalkan sekolah itu. Dua adikku tak mengikuti. Ia memilih sekolah umum unggulan kampung kami. Dan, tentu saja, juga terpengaruh gaya hidup mereka. 
Sementara, saat itu kondisi ekonomi keluarga mulai memburuk. Perusahaan Bapak tutup. CV mati. Anak buah pergi. Mereka meninggalkan Bapak, dan hanya beberapa orang yang setia saja yang tetap bertahan. Walau begitu, Bapak terus bekerja tanpa perusahaan sendiri. Artinya, Bapak tidak mungkin mendapatkan tender besar. Palingan hanya bangun rumah orang komplek dekat kami. Itu saja. 
Tidak ada lagi foya-foya. Hidup susah. Anak buah balik minta gaji. Berhutang sana sini. Ibuk mulai berdagang di pasar kampung kami untuk menyiasati hidup. Semua sulit.
Saking sulitnya kehidupan kami, aku dikirim ke kota lain, tempat bibi. Aku hidup bersama mereka, melanjutkan pendidikan SMA jauh dari orang tua. Kehidupan keluargaku ditopang oleh penghasilan Ibuk yang mulai membaik. Herannya, Bapak masih saja keras. Tak mau ‘tunduk’ pada agama. Kadang juga masih membentak Ibuk. Aku tak tahu pasti, apakah tanpa sepengetahuanku Bapak ada ‘main’di luar, atau minum, atau berjudi, atau..atau.. lainnya. Atau, semoga itu hanya kecemasanku saja. 
Aku mulai berpikir tentang kebahagiaan. Mengingat-ingat, lelaki dan perempuan. Terbandingkan Bapak dengan paman. Jauh. Jauh sekali bedanya. Ya, pendidikan mereka berbeda. Pergaulan juga berbeda. Satu hal yang penting, sikap dan penghormatannya terhadap perempuan sangat berbeda. Paman sangat memperhatikan dan menghormati  bibi. Terlihat jelas sayangnya. Sedang Bapak? Ah, entahlah. 
Aku tak pernah dibekali tentang kehidupan. Yang diberi tahu Bapak sepertinya hanya uang, bahagia, uang lagi, kehormatan. Itu saja. 
Maka, tak salah rasanya, jiwa remajaku begitu berontak dengan semua ini. Aku tak bisa menerima DIA adalah Bapakku. Lelaki itu adalah Bapak yang harus aku hormati dan sayangi. Ia tak pernah perlihatkan sayangnya padaku. Ia seringkali berkata kasar. Membentak Ibukku. Ini masalah besarnya. 
Tak salah pula bagiku, pagi tadi kata-kata kasarku pun meloncat untuknya.
Brengsek! Dia menghardik Ibukku! 
“Buk, mana lelaki setan tadi?!” aku beringas. 
Lelaki setan. Aku menyebutnya begitu. Untuk ia yang tak bertanggung jawab terhadap keluarganya ini. Dia yang hanya santai dengan kehidupannya, tiduran, saat aku dan Ibuk berdagang di pasar. Berdiri. Bertudung payung. 
Lelaki setan itu hanya menyulut api rokoknya, saat kami dari sore sudah berpanas-panas memanggang kue. Menggoreng kacang. Mencari-cari tambahan untuk hidup. 
Lelaki setan itu duduk bermenung, saat kami tersedu di ujung doa, usai shalat.
Lelaki setan itu tetap makan, saat puasa. Saat seharusnya ia mengayomi kami tentang ketaatan. Ah, lelaki setan apalagi, yang akan aku ceritakan.  
Semua tambah berubah, setelah adikku meracau kehidupan kami. Sok bisnis besar-besaran. Buat lubang hutang sebesar entah. Ratusan juta. Bilangan yang tak pernah tercatat dalam rekeningku, yang hanya seorang buruh negara. Apalagi yang akan aku lakukan untuknya? Sudah. Sudahku ku gadaikan semuanya. Semua jaminan itu aku berikan untuknya. Menutupi lubang besar itu. Itulah salah satu tanggung jawabku sebagai kakak. Sebagai KAKAK yang malang! 
Aku bukan BAPAKnya. Bukan orang yang bertanggung jawab atasnya. Aku tak berdosa karena dia salah langkah begitu. Tapi, akhirnya aku yang lakukan semua itu. Oke, semua itu aku relakan. Barangkali Tuhan mengajarkanku keikhlasan. 
Tak hanya sekali rupanya, adikku juga membuat lubang lagi. Entah atas bisnis apa lagi. Aku ragu itu hanya soal bisnis dan hutang –piutang dengan rentenir. Itu lebih besar. Penyekutuan Tuhan. Tuhan marah padanya. Tambah lagi gaya hidup yang sudah mendarah daging itu. Foya-foya. Sok kaya. Masih menyangka dirinya anak siapa. Padahal semua sudah masa lalu. 
Dan. Dimana Bapakku saat itu? Ia ada. Ada di rumah kami. Makan. Merokok. Kencing. Memancing. Ya, itu saja kerjanya lelaki setan itu. Sesekali ia pergi ke kontrakan adikku yang turunan setan itu juga. Berdua mereka. Ber-iya-iya entah tentang apa lagi. Memperbincangkan keburukan keluarga. Menyebut-nyebut orang yang tak peduli. Ah, setan. Aku benci sekali. 
“Dasar kau!” Plak!! Itulah puncak setahun ini. Aku menampar adikku. Tak tahan rasanya. Ia membentak Ibuk. Ibuku!! 
“Apa kau bilang?? Kau yang sopan ya bicara pada ibuku, SETAN! Kau, berani-beraninya bicara begitu pada ibuku hah! Sekali lagi kau begitu, kubunuh kau. Dan, kalian. Siapa saja yang berani kasar pada ibuku, ku bunuh!” Aku juga menjambak rambutnya.
Tak menyangka aku. Kata-kata itu keluar begitu saja. Adikku sesak. Menangis. Berlari.
“Tahan setan itu! Kunci pintu!” aku berteriak pada siapa saja. Kalap.
“Hei, mau kemana kau hah?! Kau mau keluar? Pergi dengan kondisi ini? Lalu kecelakaan? Kau tinggalkan hutang-hutangmu pada kami? Setan!” aku mencekiknya.
Oh Tuhan! Sebegitunyakah sesak yang aku rasa selama ini? Sampai sebegini kasarnya aku. Aku terisak. Ikut menangis. Berdua beradik ini menangis.  
Bapak dimana?
Bapak datang. Mendekat. Dengan langkah patah-patah setelah kecelakaan kemarin. Pagi kemarin itu Bapak terjatuh dari motor, menghindari anak kecil yang menyeberang sembarangan. Bapak menatapku, membentak. 
“Hentikan. Sudah. Sudah!”
Aku tak peduli. Leher setan yang satu itu masih dalam genggamanku walau sudah melemah. Ia terisak. Mengungu. Tak jelas lagi apa yang ia katakan. 
“Sudah apa? Kau jangan ikut campur urusanku!” aku balik membentak Bapak.
Lelaki setan yang satu lagi itu meninggalkan kami. Ia juga tergugu. Terisak. Menangis di ruang tamu. 
Apa? Apa kalian?? Mari kita tuntaskan kesengsaraan ini... Aku membatin. Satu sesak berubah lapang di dadaku. 
Adikku makin sesak. Susah sekali ia bernafas. Aku cemas. Aku raih al quran. Ingin meruqyahnya. Aku bacakan Yaasin. Ku pikir saat itu, ‘setan’ yang mengikutinya itu sedang masuk. Sedang di tubuhnya. Karena tatapan adikku bukan lagi dia. Tangan dan kakinya kaku. Sungguh, aku benar mencemaskannya. 
Aku sebetulnya sayang dia. Aku hanya ingin ‘setan’nya pergi. Ia terlalu berani untuk semua ini, pastilah karna ada ‘setan’ itu. Aku hanya inginkan adikku yang baik. Bukan dibawah kendali setan-setan itu. 
Ibuk meraih tangan adikku. Berkata lemah lembut padanya. Mengajaknya berdiri. Berwudhu. Ia lemah. Berdiri pun tak sanggup. 
Aku membiarkan semuanya berlalu dengan diam. Membiarkan setan-setan itu berkeliaran. Membiarkan pula, diriku kalah, dirasuki setan itu.

***
Bukankah bulan Ramadhan setan itu dibelenggu? Pertanyaan adikku saat belajar agama di sekolah dasar dulu.


No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...