26.7.12

Pengamen




Dont judge the book by its cover, kalimat tersebut sudah biasa kita dengar atau baca kan?
Nah, tulisan saya ini bukan bercerita tentang buku, tapi tentang pengamen. Persamaannya adalah, kesimpulan agar kita tidak kita menilai seorang pengamen dari penampilannya saja. Dengar dulu suara dan lagunya, baru tutup mata, atau pura-pura tidur, pura-pura sibuk nelpon, atau sms-an, atau..atau..lainnya. Jika Anda terhibur apalagi terkesima dengan penampilannya, sisihkanlah barang seberapa rupiah untuk harga suara dan kocokan gitarnya untuk Anda. #edisi-membela-pengamen! :D

**
Baru kali ini saya mendengar seorang pengamen bus menyanyikan nasyid (makna umum, lagu islami). Maksudnya, bukan lagu-lagu pop indonesia biasa, dari grup band umum. Kali ini dari grup nasyid yang menurut saya tidak dikenal banyak orang (kalangan umum). Wah, susah menggambarkan sesuatu untuk menghindari bahasa-bahasa khusus ya! :D

Sederhananya, saya menyimak lagu islami -yang tidak populer di kalangan umum- itu dari pengamen yang gaul secara penampilan. Pengamen itu adalah seorang lelaki penyandang gitar.. (terinspirasi : Gadis penjual korek api). J

Biasa saja penampilannya. Memakai celana jins kucol lagi belel, kantong di sana-sini, kedodoran. Atasannya kaos oblong berwarna merah. Walaupun saya suka kaos warna merah, tapi sungguh yang dipakai pengamen itu sangat tidak menarik bagi saya. Karena warna merah darahnya itu menakutkan, apalagi ada gambar entah wajah siapa di bagian depan. Entah tokoh –pemberontakan- apa, saya tak kenal.  

Saya kemudian tak memperhatikan bagian wajah si pengamen, karena ia sudah memulai aksinya. Gejreng-gejreng..-Selamat siang bapak ibu sodara sodari penumpang bus XX jurusan xx.. ; prolog-.
Yang jelas, ia memakai topi pet. Ya, biasalah. Sama seperti gaya anak muda lainnya. *eh!*
            “Ia ibarat kaca yang berdebu...” ia memulai.

Dug! Saya terkejut. Lalu, mematut-matut pengamen itu lagi.
“Masak sih, pengamen segini “keren”, mau-maunya laguin nasyid itu? Tau darimana juga?” Saya membatin. *Lha, saya apa pula? Heran-heran begitu! Suka-suka pengamen dunk!

“Ia ibarat kaca yang berdebu/jangan terlalu keras membersihkannya/Karena ia mudah retak dan pecah/”
Waw! Keren! Hebat pula mungkin ya, kalau pengamen ini diberikan pendidikan mengamen ya. Wah, tentunya pendidikan itu akan berguna sekali buat para pengamen. Bisa dilihat keprofesionalannya dalam mengamen. Nanti, bisa-bisa pengamen ini  juga disertifikasi. Pengamen yang tersertifikasi adalah yang jam mengamennya sesuai standar. Atau, jumlah peminat yang mendengarkan ia mengamen sesuai standar. Pelayanan primanya sesuai standar. Dan standar-standar lainnya. *ngawur!*

Dia ibarat kaca yang berdebu/jangan terlalu lembut membersihkannya/nanti ia mudah keruh dan ternoda/”
Bukankah begitu lebih baik, daripada asal-asalan. Setiap pekerjaan jika dilakukan secara profesional; bekerja se-terbaik mungkin, tentu akan menjadikan kita berbeda dengan yang lainnya. Beda inilah nilai jualnya Bung!

Mengamen ibaratnya berdagang, kan tidak cuma : saya jual anda beli, tapi lebih dari itu. Melihat kebutuhan pasar. Kesesuaian barang dengan harga yang ditawarkan. Jika barang berkualitas, pembeli pun tak segan membeli dengan harga standarnya. Anda butuh apa? Saya jual dengan harga segini. Anda jadi beli? Kalau tidak, tak apa. Saya bisa jual pada yang lain. –tawar-menawar-.  Berdagang, tak sekedar untung rugi. Tapi juga mengerti peluang dan kebutuhan pasar.

“Ia bagai permata keindahan/Sentuhlah hatinya dengan kelembutan/Ia sehalus sutera di awan/Jagalah hatinya dengan kesabaran.”

Begitu juga dengan mengamen. Tidak sekedar nyanyi-nyanyi. Imej pengamen yang sudah begitu hendaknya dikembalikan. Kembali menjadi : Pengamen adalah kerja/profesi menghibur orang lain dengan membawakan sebuah lagu. Sederhananya ia adalah pemusik jalanan.

Bukan sekedar sandang gitar, asal gejreng-gejreng, lirik atau syair lagunya pun sangat jauh dari yang namanya menghibur. Mana sebagiannya juga tak ‘menghibur’ dari segi penampilan. Okelah, kalau rapi dan wangi. Yang menyebalkan sekali adalah bau tak sedap itu. Waduhh!

Bagi penonton/pendengar, mau dibayar enggan, tak dibayar juga susah. Karena di penutup kata-katanya, di pengujung penampilannya, tak sedikit pula pengamen yang ‘mengutuk’ mereka yang tidak memberi sedikit uangnya.  Huh.

Saya lanjutkan mendengar Lelaki penyandang gitar...
 “/Lemah lembutlah kepadanya? Namun jangan terlalu memanjakannya/Tegurlah bila ia tersalah/Tapi janganlah lukai hatinya/”

Satu lagi, mengamen sebetulnya bisa juga berdakwah. Coba setiap pengamen bisa menyampaikan beberapa hadis tentang adab ini – itu. Dengan catatan, ya, dia sendiri juga lebih dulu beradab. Bisa ingatkan tentang kepedulian sosial. Kan bermanfaat. Orang tak akan pura-pura tidur, atau bermuka masam padanya.

Hm..satu lagi..(kedua), saya hanya menyarankan, kalau-kalau ada pengamen yang baca blog saya ini. Masing-masing kita diberi kelebihan oleh Sang Pencipta. Nah, jika kelebihan kita adalah suara yang merdu, indah dan menyenangkan, tak masalah jika menjadi pengamen. Namun seandainya kelebihan itu bukanlah pada suara, mungkin pada otot kawat tulang besi,  dan tenaga sakti mandraguna *lebay*, ada baiknya kita menyalurkan kelebihan tersebut untuk profesi lain. Bertukang misalnya. Mengangkat di pasar misalnya. Dan profesi lain yang memanfaatkan kekuatan.

Kalaupun akan tetap menjadi pengamen, jadilah pengamen yang berbeda. Seperti pengamen yang saya ceritakan di awal misalnya. Jadilah pengamen yang penuh sopan santun, bersih, rapi, wangi, lagu-lagunya pun bermakna. Kan keren! Setidaknya, dengan itu orang masih mendengarkan walau tak terhibur secara utuh. Dan, jika nanti ada sertifikasi pengamen, mana tau itulah kriterianya.

“Bersabarlah menghadapinya/terimalah ia dengan keikhlasan/karena ia kaca yang berdebu/semoga kau temukan dirinya/bercahayakan iman/”

Saya pun mengeluarkan selembar uang kertas untuk pengamen itu. Lelaki penyandang gitar. Karena merasa terhibur dengan dendangan nasyid Kaca Yang Berdebu – Maidany di siang yang terik itu. Ikhlas. *dan, akhirnya saya tidak menerima kutukan pengamen*
  ^_*

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...